ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-43
Jelas nampak bahwa mereka adalah orang-orang penting. Kursi mereka pun lebih besar, berbeda dengan kursi-kursi lain. Dari seorang lelaki yang berdiri di dekatnya, Aji mendapat tahu bahwa laki-laki tinggi besar berpakaian seperti seorang pembesar dengan sikap yang berwibawa dan congkak itu adalah Tumenggung Jayasiran, seorang senopati Sumedang yang menjadi tuan rumah penyelenggara pesta.
Aji memperhatikan dua orang yang duduk di kanan kiri tumenggung itu. Di sebelah kanan tumenggung itu duduk seorang kakek yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun. Ketika bicara kakek itu mengeluarkan suaranya yang lemah lembut. Kepalanya kecil dan botak, rambut yang tumbuh di sekeliling kepalanya keriting dan sudah berwarna dua.
Wajahnya masih tampak muda, bahkan bersih dan tampan tanpa kumis mau pun jenggot. Hidungnya pesek dan mulutnya kecil, namun bentuk mukanya tampan. Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kobra.
Dari penampilannya saja Aji dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang yang sakti mandraguna. Hal ini jelas tampak pada sinar matanya yang terkadang mencorong seperti mata harimau.
Orang kedua yang duduk di sebelah kiri tumenggung juga menarik perhatian Aji. Orang itu masih muda, berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus namun karena cara duduknya, sikap dan tongkrongannya seperti jagoan, maka dia nampak tegap dan kokoh. Wajahnya cukup tampan meski kulitnya berwarna hitam gelap. Sikapnya membayangkan kesombongan, terlebih lagi karena pada punggungnya tergantung sebatang pedang yang warangkanya terukir indah.
Pemuda ini memandang ke sekelilingnya dengan mulut tersenyum mengejek, agaknya dia memandang rendah semua yang berada di situ. Akan tetapi bila mana pandang matanya berhenti pada wajah sang waranggana, Neneng Salmah, Aji melihat betapa kedua mata itu bersinar penuh gairah seperti mata seekor kucing kelaparan melihat tikus.
Aji juga melihat betapa tuan rumah bersikap amat hormat kepada dua orang itu dan ketika dia mengerahkan pendengarannya, dia dapat menangkap betapa logat bicara tuan rumah dan dua orang tamunya itu serupa, yaitu logat bicara orang yang datang dari Banten. Dari tempat dia berdiri, Aji dapat mencium bau minuman keras yang dihidangkan kepada para tamu beserta makanan yang membuat dia merasa semakin lapar.
Tiba-tiba Tumenggung Jayasiran memberi isyarat dengan mengangkat tangannya. Isyarat ini ditujukan kepada para pemain gamelan atau lebih tepat kepada pimpinan para penabuh agar tarian para waranggana dimulai.
Mulailah para penari itu bangkit berdiri. Dua orang gadis penari yang cukup manis bangkit berdiri, akan tetapi Neneng Salmah sendiri masih belum mulai. Sebagai primadona tentu saja dia dijual mahal dan baru akan menari sebagai puncak acara perayaan itu.
Namun dua orang penari itu pun cukup menarik. Dari leher, pundak dan lengan yang tidak tertutup itu dapat dilihat betapa mereka mempunyai kulit yang putih mulus. Wajah mereka manis bahkan usia keduanya baru sekitar tujuh belas tahun. Tubuh mereka belum mekar benar, bagaikan bunga baru setengah mekar, bagaikan buah yang masih ranum.
Namun ketika mereka mulai menari diiringi suara gamelan dan hentakan suara kendang, tubuh mereka bergerak lemah gemulai dengan indahnya. Goyangan pundak serta pinggul dan gelengan kepala sedemikian hidup sehingga membuat hati para pria berdebar-debar. Semua gerakan yang sangat menarik ini masih dipermanis dengan senyum memikat dan kerlingan mata yang menantang.
Kini keadaan mulai ramai dan gembira. Suara tawa, sorak dan tepuk tangan menyambut setiap goyangan pinggul yang merangsang para penonton. Suasana menjadi riuh rendah dan seruan-seruan nakal mulai terlontar dari mulut para penonton.
Aji yang merasa lapar itu melihat betapa di luar pekarangan, di pinggir jalan, banyak orang berjualan makanan dan minuman dengan memasang obor. Maka dia segera menyelinap di antara penonton, keluar dan segera membeli makanan serta minuman teh. Sejak pagi tadi dia belum makan dan perutnya terasa lapar sekali. Karena itu Aji merasa nikmat dan puas walau pun dia hanya membeli makanan sederhana yang terdiri dari nasi dan sayur gudang (sayur dengan sambal kelapa) serta minum air teh saja,.
Sementara itu perebutan untuk tampil berjoget dengan dilayani dua orang penari itu pun sudah dimulai. Pertama-tama seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun melompat ke atas panggung dan langsung saja dia berjoget bersama seorang penari yang berselendang biru. Penari kedua berselendang merah segera mengundurkan diri untuk memberi kesempatan kepada si selendang biru melayani lelaki itu berjoget.
Orang-orang bertepuk tangan ketika lelaki itu dengan beraninya memutar-mutar tubuh dan menggoyang pinggul dekat sekali dengan tubuh si penari hingga beberapa kali tangannya dapat menyentuh dan mencolek tubuh penari itu. Yang dicolek hanya tersenyum genit dan dengan lincahnya mengelak dan menghindar. Tarian itu menjadi seperti sepasang kupu-kupu yang saling berkejaran.
Aji melihat bahwa di antara para tamu yang duduk di pendopo tak ada yang bangkit untuk memperebutkan penari itu. Agaknya dua orang penari itu kurang layak diperebutkan para tamu yang terhormat itu, melainkan hanya menjadi sajian bagi para penonton yang berdiri di bawah panggung, yaitu para penonton yang tak diundang atau rakyat jelata.
Sesudah laki-laki itu menari beberapa menit lamanya, tiba-tiba seorang laki-laki lain yang usianya dua puluh lima tahun melompat ke atas panggung. Tepuk tangan menyambutnya karena penonton mulai merasa tegang dan bersemangat. Naiknya seorang laki-laki lain ke atas panggung itu berarti akan ada adu kekuatan agar yang menang mendapat hak untuk berjoget dengan penari itu.
Munculnya laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kokoh ini segera disambut oleh laki-laki pertama, seolah seekor jago (ayam jantan) yang mendapat gangguan selagi dia bercumbu dengan seekor ayam betina. Mereka berdua segera membuka pasangan kuda-kuda dalam gerakan silat yang indah dan gagah, saling berhadapan.
Penari wanita itu pun segera mundur lantas duduk bersimpuh, menunggu siapa yang akan keluar sebagai pemenang sehingga berhak untuk dilayani berjoget. Sementara itu Neneng Salmah menembang dengan suaranya yang merdu merayu.
Para penabuh gamelan yang sangat mahir itu segera mengubah irama gamelan mereka. Kini suara gamelan itu berdetak-detak garang, membunyikan gamelan perang yang gegap gempita. Tukang kendangnya dengan penuh semangat memukul kendangnya dengan jari-jari tangan yang trampil. Suasana menjadi tegang dan gembira.
Diiringi suara gamelan, tanpa banyak kata lagi kedua orang itu sudah mulai saling terjang. Mereka bersilat dengan gagah dan gerakan mereka ditimpali oleh hentakan bunyi kendang serta diselingi teriakan mereka ber-ciat-ciat dan ber-hait-hait. Mereka saling tampar, saling tonjok, saling sikut, saling tendang dan pertandingan berjalan dengan serunya.
“Plak-ketipak-tipak... blang...!” Suara kendang bergaya.
“Ciattttt...!” Pemuda tinggi besar menerjang dengan tonjokan kuat sekali ke arah dada.
Lawannya menangkis dengan sigapnya, tapi agaknya pukulan itu terlampau kuat baginya sehingga dia terhuyung ke belakang. Pemuda itu cepat maju dan kakinya menyerampang.
“Bresss...!”
Tanpa bisa dihindarkan lagi tubuh lawannya terpelanting roboh dan pada saat itu, pemuda tinggi besar menendang dengan kaki kirinya.
“Pak-dupak-pak... jerr...!”
Tubuh laki-laki pertama kena tendang perutnya dan dia terguling-guling sampai keluar dari panggung lalu jatuh ke bawah!
Tepuk tangan menyambut kemenangan pemuda tinggi besar yang kini menari-nari dengan gagahnya. Dia menghampiri penari berselendang biru tadi seperti lagak Raden Gatotkaca menghampiri Dyah Pergiwa!
Penari itu tersenyum manis dan dia pun cepat menyambut ketika pemuda itu menjulurkan tangan, membiarkan tangannya dituntun dan dia bangkit berdiri. Kemudian mereka menari bersama dan laki-laki itu merapatkan tubuhnya sampai mukanya hampir merapat dengan muka sang penari dan hidungnya menyentuh pipi yang halus itu. Para penonton bersorak gembira menyambut kemenangan pemuda yang mendapat ‘hadiah’ dari penari itu.
Ketika mereka berdua sedang menari dengan asyiknya, diseling senggakan para penabuh gamelan dengan bunyi “serr! serr!” sehingga suasana menjadi tambah meriah dan makin merangsang, tiba-tiba nampak seorang laki-laki yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun lebih. Akan tetapi laki-laki ini tidak meloncat ke atas panggung yang tingginya satu setengah meter, melainkan memanjat melalui tiang di sudut panggung!
Tentu saja pemandangan yang amat lucu ini membuat banyak orang tertawa geli, apa lagi ketika memanjat tiang bambu yang licin, beberapa kali laki-laki itu terpeleset dan melorot turun lagi. Melihat laki-laki tua kurus kerempeng dan tidak dapat meloncat itu hendak naik panggung dengan memanjat tiang bambu dan hendak merebut penari ayu, tentu saja para penonton menjadi geli dan tertawa terbahak-bahak.
Akhirnya orang itu dapat juga naik ke atas panggung dan begitu tiba di atas panggung, dia lalu memasang kuda-kuda sambil berjoget mengikuti irama kendang. Jogetnya lucu sekali, tubuh kerempeng itu ditekuk ke belakang, pantatnya yang tepos (tak berdaging) meruncing megal-megol.
Orang-orang semakin riuh tertawa. Bahkan penari selendang biru itu pun tak tahan untuk tidak tertawa. Ia menutupi mulutnya dengan tangan kiri lalu mundur dan duduk bersimpuh seperti tadi, menanti pertandingan sampai seorang di antara kedua pria itu keluar sebagai pemenang.
Pemuda itu mengerutkan alis dan mulutnya tersenyum menyeringai melihat lagak kakek itu. Orang macam itu hendak menantangnya? Dengan sekali tampar saja kakek itu tentu akan roboh ke bawah panggung dan copot semua giginya. Maka tanpa banyak membuat gerakan kembangan lagi, pemuda tinggi besar itu sudah menerjang ke arah lawan yang berusia setengah abad dan bertubuh kerempeng itu.
“Heiiiitttttt...! Pecah kepalamu!” tangan kanannya yang panjang dan besar dengan kepalan sebesar kepala lawan menyambar ke arah kepala kakek itu. Akan tetapi dengan gerakan lucu dan agak kaku, kakek itu sudah berhasil mengelak dengan menekuk kedua lututnya. Akan tetapi pemuda itu sudah menyerang lagi dengan tendangan kaki yang kuat sekali.
“Syuuuuttt...!”
“Ambrol dadamu!” Dia membentak dan kaki kanannya mencuat, menyambar ke arah dada lawan.
“Hossshhhh!” Kakek itu menggerakkan kedua lengannya untuk menangkis tendangan dari samping.
“Plakk!”
Dua lengannya berhasil menangkis tendangan kaki, akan tetapi tangkisan ini membuat dia terhuyung. Kembali pemuda itu menyerang semakin cepat dan kakek itu segera terdesak hebat, hanya mampu menangkis dan mengelak saja. Gerakannya kacau dan lucu hingga terdengar suara tawa geli di sana sini.
Akan tetapi Aji yang menonton pertandingan itu mempunyai pendapat lain. Dia tahu bahwa tenaga kakek itu kalah besar, juga kalah dalam hal ketangkasan, tapi harus diakui bahwa kakek itu bergerak mengelak dengan amat cerdiknya dan yang menguntungkan adalah dia memiliki tubuh yang ringan dan lincah sehingga sampai sebegitu lama seluruh serangan lawan dapat dia hindarkan.
Mendadak pemuda itu menyerangnya dengan pukulan beruntun sambil berseru nyaring, “Mampus kau!”
Tetapi tiba-tiba tubuh kakek itu rebah dan bergulingan. gerakannya sedemikian cepatnya sehingga ketika dia bangkit, dia sudah berada di samping pemuda itu. Tangan kanannya menyambar ke arah pinggang lawan, lalu menarik dan...
”Brettt...!”
Tali celana pemuda itu putus sehingga celananya melorot! Pemuda itu terkejut dan cepat menggunakan kedua tangan untuk menahan dan memegangi celana yang kedodoran.
Tentu saja pemandangan ini disambut ledakan suara tawa para penonton. Semua orang tidak mampu menahan tawa karena geli melihat peristiwa yang lucu itu. Apa lagi sekarang kakek itu begitu bernafsu untuk mengalahkan lawan dan mengejarnya, mengirim pukulan dan tendangan membabi buta, sedangkan pemuda itu harus menggunakan kedua tangan untuk memegangi celananya yang tidak berkolor lagi itu.
Pemuda itu berlari-larian memutari panggung sambil dikejar-kejar oleh kakek itu! Sungguh suatu pemandangan yang lucu. Pertunjukan adu ilmu pencak silat itu kini berubah menjadi pertunjukan lawak! Akhirnya pemuda itu tidak dapat bertahan lagi sehingga dia terjerumus keluar dan jatuh dari panggung! Tentu saja dia dianggap kalah dan tidak berani naik lagi, malah melarikan diri sambil memegangi celananya.
Kini kakek itu mulai menari dengan gayanya yang lucu. Semua orang yang tadi terpingkal-pingkal menyaksikan adegan itu, kini bersorak menambut kemenangan yang lucu itu dan tertawa-tawa melihat betapa kekek itu kini beraksi dengan menggerakkan kaki tangannya, berjoget dilayani oleh penari berselendang biru.
Tarian kakek itu juga lucu. Dari gerakannya yang kaku orang dapat mengetahui bahwa dia bukan ahli berjoget, akan tetapi dia hanya memiliki keberanian atau tebal muka. Dia lebih banyak menggerak-gerakkan pinggulnya yang kerempeng, sementara bibirnya tersenyum-senyum dan matanya melirik ke kanan kiri, agaknya dia merasa bahwa dia seperti Raden Gatotkaca yang gagah perkasa!
Penari berselendang biru itu mengerutkan kening dan wajahnya yang ayu kini terlihat sebal dan tidak suka. Tetapi menurut peraturan dia harus melayani sang pemenang dan kakek ini dianggap sebagai pemenang. Dia merasa lebih sebal lagi ketika kakek itu tanpa malu-malu menyentuh pipinya dengan hidung, disoraki banyak penonton!
Melihat joget yang lucu ini, para penabuh gamelan jadi bersemangat dan mengimbanginya dengan suara tabuhan yang lucu pula, terutama si tukang kendang. Dia sengaja memukul kendang dengan gencar dan sengaja mengacaukan suara kendangnya sehingga kadang cocok dengan gerakan si kakek tetapi terkadang berlawanan sehingga kakek itu bergerak-gerak bingung dalam usahanya mengikuti irama kendang! Tentu saja para penonton jadi semakin geli disuguhi adegan seperti badut ini.
Tiba-tiba tampak seorang wanita berusia empat puluh tahun yang bertubuh gendut sekali sehingga kelihatan bulat, dengan susah payah memanjat ke atas panggung melalui tiang bambu. Tangan kanannya memegang sebatang sapu bergagang kayu dan dengan bantuan sapu itu yang ditekankan pada tanah, akhirnya dapat juga dia naik ke atas panggung.
Semua orang terheran-heran, akan tetapi segera mereka semua tertawa terbahak-bahak melihat adegan yang lebih lucu lagi. Wanita gendut itu segera saja menyerang kakek yang sedang berjoget dengan gagang sapunya, menyerang dan memukuli kalang kabut sambil memaki-maki.
“Cuih, lelaki gelo, teu boga era, sia (Huh, laki-laki gila, tidak punya malu, kamu)!” teriaknya sambil memukuli kepala dan tubuh laki-laki yang menjadi suaminya itu.
“Heittt... huutt... aih, aduh... wadouww... aih, amit-mit... sabarlah dulu, Cicih...!” laki-laki itu mencoba mengelak dan menangkis, namun tetap saja tubuh dan kepalanya kena dihajar sehingga terdengar suara bak-bik-buk dan di dahinya muncul benjolan sebesar telur ayam. Dia berlari-larian memutari panggung, dikejar istrinya yang memaki-maki.
Semua orang terpingkal-pingkal, bahkan ada yang memegangi perut hingga terjungkal dari tempat duduknya di pendopo. Penonton yang berada di bawah panggung juga terpingkal-pingkal, bersorak gemuruh.
Akhirnya suami kerempeng itu melompat turun dari atas panggung, disusul istrinya yang gembrot. Kemudian dia pun melarikan diri dikejar-kejar wanita yang mengacung-acungkan gagang sapu itu.
“Ha-ha-ha-ha, jago dikejar babon! Ha-ha-ha...!” Semua orang terbahak-bahak, bahkan ada beberapa orang laki-laki yang bergegas keluar dari kerumunan penonton untuk pergi ke tempat sunyi karena mereka tidak tahan untuk tidak membuang air kecil. Saking gelinya tertawa tepingkal-pingkal membuat mereka terkencing-kencing dan biar pun sudah berada di tempat sunyi dan membuang air kecil, mereka masih tetap terkekeh-kekeh!
Penari berselendang biru mengundurkan diri di tengah-tengah para penabuh gamelan dan kini tiba giliran penari berselendang merah untuk tampil di panggung. Penari berselendang merah ini lebih manis dibandingkan si selendang biru, maka banyak penonton menelan air liur membayangkan betapa akan nikmat dan menggembirakan jika dapat berjoget bersama penari itu! Akan tetapi karena sekali ini pertunjukan tarian itu juga merupakan pertunjukan adu kedigdayaan, tentu saja jarang ada yang berani naik ke panggung dengan resiko patah tulang dan memar-memar, terbanting jatuh ke bawah panggung dan mendapatkan malu!
Penari berselendang merah itu mulai menari dan semua orang menahan napas. Ternyata penari ini memiliki keistimewaan dalam gerak tariannya, yaitu pinggulnya dapat berputar secara menggairahkan dan lentur. Terdengar tepuk tangan dan teriakan-teriakan para pria yang seperti mabok karena terangsang oleh tarian itu.
Dari tempat duduk para tamu di pendopo mendadak bangkit seorang laki-laki yang dengan langkah lebar berjalan menuju panggung. Ketika para penonton melihat lelaki itu, mereka segera bersorak dan bertepuk tangan menyambut. Laki-laki itu pun langsung berjoget dan gerakannya menari cukup gagah.
Aji melayangkan pandangannya ke atas panggung. Laki-laki itu memang kelihatan gagah. Ikat kepala dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang yang kaya. Tubuhnya tinggi besar dengan kulit agak kehitaman. Sepasang matanya bundar dan lebar, sinarnya galak dan angkuh. Hidung serta mulutnya juga besar dan ketika dia berhadapan dengan penari selendang merah, dia menyeringai memperlihatkan giginya yang agak tongos dan besar-besar.
Begitu mulai berjoget, laki-laki itu segera mengambil beberapa butir uang reyal dan dengan bangga dia memasukkan uang itu ke celah-celah di antara sepasang bukit dada penari itu. Si penari tersenyum girang karena hadiah itu merupakan jumlah yang cukup besar.
Keduanya mulai berjoget dan penari itu melayaninya dengan penuh semangat sehingga tariannya menjadi semakin menggairahkan dan merangsang. Beberapa kali laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun itu mencolek dagu atau pipinya, bahkan juga mengelus pundak dan lengan yang telanjang itu.
Semua penonton yang tinggal di Sumedang mengenal lelaki ini. Dia bernama Badrun dan dikenal dengan julukan Maung (Macan) Sumedang. Dia sangat kaya dan terkenal digdaya, juga orang-orang mengenalnya sebagai seorang bandar yang suka mengadakan perjudian adu ayam jago.
Karena sering memukul roboh orang-orang yang berani menentangnya, maka Si Maung Badrun ini ditakuti orang dan ketika semua penonton melihat dia naik panggung berjoget dengan penari berselendang merah, mereka mengira bahwa tiada seorang pun penduduk Sumedang yang akan berani ‘mencari penyakit’ menyainginya di atas panggung.
Agaknya Si Maung Badrun juga maklum akan hal ini. Dia merasa bangga dan segera saja memamerkan keperkasaannya di depan para tamu kehormatan Tumenggung Jayasiran yang juga mengundang dia. Maka setelah berjoget lama dan melihat belum juga ada orang berani naik panggung, sambil berjoget dia melempar pandang ke arah penonton di bawah panggung.
Memang dia tengah menantang para penonton yang sebagian besar merupakan penduduk Sumedang yang sudah mengenal kebesarannya. Dia tidak begitu bodoh untuk menantang mereka yang menjadi tamu undangan, karena dia tahu bahwa di antara mereka terdapat banyak perwira yang sakti.
“Hei, para penduduk di Kadipaten Sumedang! Tidak adakah di antara kalian yang cukup jantan untuk mencoba merebut si geulis (si cantik) ini dari tanganku?”
Beberapa kali dia mengajukan pertanyaan ini kepada para penonton di bawah, akan tetapi jawaban mereka hanya menyeringai saja. Maka Badrun melanjutkan jogetnya.
Akhirnya dia menjadi bosan juga. Dia lebih ingin menonjolkan diri melalui pertarungan dan merobohkan orang-orang yang berani menyainginya. Dia tidak begitu suka berjoget. Kalau dia menginginkan seorang wanita dia bisa langsung membawanya, baik dengan halus mau pun kasar.
“Hei, apakah semua penonton di sini pengecut? Hayo saingilah aku Si Maung Badrun, kita bermain-main sebentar untuk memeriahkan pesta perayaan Gusti Tumenggung Jayasiran malam ini!”
Terdengar banyak orang saling berbisik-bisik. Sekali ini kesombongan Si Maung Badrun sudah keterlaluan. Di tempat umum berani mengatakan semua penonton pengecut! Pada hal semua orang tahu bahwa di antara penduduk Sumedang terdapat banyak pendekar, hanya mereka tak mau naik panggung karena mereka sungkan untuk membuat keributan hanya untuk bisa berjoget dengan penari selendang merah itu. Apa lagi yang mengadakan pesta adalah seorang senopati Sumedang.
Jika mereka tidak mengacuhkan dan tidak mau meladeni sesumbar dan tantangan Maung Badrun, bukan karena mereka takut kepada sang senopati. Akan tetapi sekiranya Neneng Salmah yang menari, tentu akan banyak orang yang akan mencoba-coba merebutnya dari tangan Badrun.
Bahkan mereka yang duduk di pendopo sebagai tamu undangan juga banyak yang tergila-gila kepada Neneng Salmah. Baru mendengar suara tembang Neneng Salmah yang amat merdu saja, lirikan matanya yang tajam memikat dan senyumnya yang seolah menantang dan menjanjikan seribu satu macam kenikmatan, para tamu pria sudah gandrung, apa lagi kalau dia sudah menari, melenggang-lenggokkan tubuhnya yang aduhai itu!
Sementara itu di atas panggung dengan amat hormatnya Senopati Tumenggung Jayasiran bercakap-cakap dengan kakek yang telah menarik perhatian Aji tadi. Tak salah dugaan Aji bahwa kakek itu seorang yang memiliki kesaktian karena dia bukan lain adalah Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten yang kepandaiannya sudah terkenal sekali. Kalau saja Aji tahu bahwa kakek itu adalah Kyai Sidhi Kawasa, tentu dia akan terkejut sekali karena dia sudah pernah mendengar nama datuk ini sebagai orang yang anti Kerajaan Mataram.
Juga Tumenggung Jayasiran bersikap sangat menghormat terhadap pemuda tinggi kurus yang duduk di sebelah Kyai Sidhi Kawasa. Pemuda ini bukan orang sembarangan. Selain menjadi murid Kyai Sidhi Kawasa, pemuda yang usianya tiga puluh tahun ini juga adalah seorang pangeran, yaitu putera Adipati Banten dari seorang selirnya. Karena Tumenggung Jayasiran juga berasal dari Banten, tentu saja dia mengenal baik guru dan murid ini dan karenanya dia bersikap sangat menghormat.
Pemuda Banten ini bernama Raden Jaka Bintara. Tadi ketika terjadi pertandingan untuk memperebutkan penari, dia bersikap tak acuh, memandang rendah semua itu dan minum arak sepuasnya. Kini mukanya kemerahan, hawa arak sudah mulai mempengaruhinya dan matanya yang lebar kemerahan ditujukan kepada Badrun yang masih menantang-nantang lawan di atas panggung. Pemuda bangsawan dari Banten itu mengerutkan keningnya dan akhirnya dia tidak tahan lagi melihat sikap yang jumawa dari Badrun.
“Hemm, alangkah sombongnya monyet itu!” katanya.
Kyai Sidhi Kawasa yang duduk di sebelahnya cepat-cepat berkata, “Ah, Raden, untuk apa memperhatikan orang macam itu? Tidak ada harganya.”
Namun Jaka Bintara masih merasa penasaran kemudian bertanya kepada sang senopati Sumedang. “Paman tumenggung, siapa sih monyet sombong itu?”
Tumenggung Jayasiran memandang ke arah panggung di mana Badrun masih berjoget bersama penari berselendang merah dengan penuh gaya. Karena tidak ada yang berani menyambut tantangannya maka Badrun menjadi semakin berlagak, bahkan kini dia berani menari sambil menggerayangi tubuh penari itu secara kurang ajar sekali. Apa lagi setelah para penonton yang terdiri dari lelaki muda tertawa gembira menyambut kekurang-ajaran itu.
Penari berselendang merah itu menjadi merah sekali wajahnya dan matanya menunjukkan bahwa dia merasa malu sekali dan hampir menangis.
“Ohh itu! Dia seorang kaya di Sumedang. Hubungannya dengan para pamong praja cukup baik. Dia pun terkenal mempunyai kedigdayaan dan setiap ada perayaan yang diramaikan dengan pertunjukan penari yang diperebutkan, Badrun selalu tampil sebagai bintang.” kata Tumenggung Jayasiran.
“Paman, saya tidak senang dengan lagaknya. saya ingin menyambut tantangannya!” kata Jaka Bintara.
“Raden, untuk apa melayani dia? Tentu saja dia bukan lawan andika!” kata Tumenggung Jayasiran yang sudah mengenal kesaktian murid Kyai Sidhi Kawasa itu.
“Orang itu perlu dihajar!” kata Jaka Bintara. Dia segera bangkit berdiri dan dengan langkah lebar menuju ke panggung di mana Badrun masih berjoget bersama si selendang merah.
Sekarang kekurang ajaran Badrun telah mencapai puncaknya. Pada saat mereka berjoget berdekatan, tangan kiri Badrun mendadak merangkul pinggang yang ramping itu, menarik tubuh si selendang merah itu hingga merapat dengan tubuhnya sendiri, lalu dia menciumi muka ledek itu!
Tiba-tiba saja sebuah tangan mencengkeram pundaknya. Badrun berteriak kesakitan dan pelukannya kepada ledek itu terlepas. Dia cepat melangkah ke pinggir dan membalikkan tubuhnya untuk melihat siapa yang berani berbuat kurang ajar kepadanya.
Jaka Bintara memberi isyarat kepada si selendang merah untuk mundur, Sambil menahan isak ledek itu segera berlari ke tempat semula di antara para penabuh gamelan, lalu duduk bersimpuh di dekat dua orang ledek lainnya dan menangis tanpa suara, hanya menutupi mukanya dengan selendang merahnya.
Sekarang Badrun telah berhadapan dengan Jaka Bintara. Badrun tidak mengenal pemuda jangkung itu walau pun tadi dia melihat bahwa pemuda itu pun merupakan seorang tamu undangan, bahkan yang duduknya dekat Tumenggung Jayasiran. Dia mengerutkan alisnya dan memandang dengan marah.
“Ki sanak!” tegurnya. “Jika andika ingin memperebutkan penari selendang merah itu maka tandingilah aku, bukan menyerang secara menggelap seperti tadi!”
Jaka Bintara tersenyum mengejek. “Kalau tadi aku menyerangmu tentu sekarang engkau sudah mampus! Aku hanya ingin menghentikan perbuatanmu yang tak tahu malu.”
Mendengar logat bicara pemuda jangkung itu asing, Badrun yang dijuluki Maung (Harimau) Sumedang itu menjadi marah. “Hemm, ki sanak, Andika tentu bukan orang Sumedang dan tidak mengenal aku, maka berani bertindak lancang. Heh, ki sanak, karena andika seorang asing biarlah aku memaafkan perbuatanmu dan mundurlah sebelum aku bertindak kasar.”
“Hmm, aku tidak pernah takut menghadapimu. Walau pun ada sepuluh orang macam kau, aku tidak akan mundur.”
Marahlah Badrun. “Babo-babo, keparat! Katakanlah siapa namamu, aku Si Maung Badrun tidak suka merobohkan lawan yang tidak bernama.”
“Namaku Raden Jaka Bintara dari Banten. Nah, bersiaplah engkau untuk menggelundung keluar dari panggung ini!” kata Jaka Bintara dan dia sudah memberi isyarat kepada para penabuh gamelan.
Tumenggung Jayasiran yang ingin pula memamerkan kesaktian tamunya yang berasal dari daerahnya, segera memberi isyarat pula kepada para penabuh gamelan.
Segera terdengar bunyi gamelan dipukul dengan gencarnya, memainkan lagu perang yang tepat untuk mengiringi sebuah pertandingan silat.....
Komentar
Posting Komentar