ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-44


Bahkan kalau sudah menggunakan aji kesaktian ini, jari-jari kedua tangan Badrun menjadi sedemikian kuatnya seperti cakar harimau yang mampu merobek-robek kulit tubuh lawan! Kini Badrun sudah membuat gerakan kembangan, memasang kuda-kuda yang gagah, dua kaki terpentang kokoh, kedua lengan membuat gerakan di depan dada, kadang menyilang dan kedua tangan itu membentuk cakar, tergetar-getar dipenuhi tenaga dahsyat! Pandang matanya yang besar bersinar-sinar seperti mata harimau, ada pun bibirnya bergerak-gerak meringis seperti bibir harimau dan dari tenggorokannya keluar suara menggereng-gereng. Semua orang yang menonton merasa seolah mereka melihat seekor harimau terlepas dan hendak mengamuk.

Tetapi Jaka Bintara hanya tersenyum mengejek melihat sikap lawan yang mengerikan itu. Dia adalah murid Kyai Sidhi Kawasa yang sudah menguasai aji-aji kesaktian dari gurunya, maka sikap lawannya itu seperti permainan kanak-kanak saja baginya. Jaka Bintara mulai menari pula, membuat kembangan-kembangan silat sambil menggeser kakinya mendekati lawan.

Badrun juga bergerak dan keduanya seperti dua ekor ayam jago yang sudah siap berlaga, bergerak saling mengelilingi seolah-olah sedang mengukur kekuatan lawan lewat pandang mata dan juga mengintai untuk menemukan kelemahan dalam pertahanan lawan.

“Ayo maju dan seranglah, jangan hanya memamerkan cakar kucingmu itu. Engkau hendak bertanding atau mau membadut?” ejek Jaka Bintara.

Badrun menjadi marah. Tadinya dia memang bersikap hati-hati sesudah mendengar bahwa lawannya datang dari Banten dan dia tahu bahwa daerah itu memiliki banyak jagoan. Kini kemarahannya membuat dia tidak sabar lagi. Mendadak dia membuat gerakan menerjang ke depan, kedua lengannya bergerak cepat dan kedua tangan itu telah menyambar dengan cengkeraman ke arah muka dan dada Jaka Bintara dan dari mulutnya terdengar bentakan nyaring.

“Haaarrrggghhh...!”

Tetapi dengan gerakan yang cepat dan indah, Jaka Bintara sudah menggerakkan tubuh ke belakang, kakinya melangkah ke kanan dan tangan kirinya menampar dari kanan ke arah lambung lawan.

“Hyaaattt...!” Sambaran tangan itu mendatangkan angin yang dahsyat dan Badrun terkejut bukan main. Cepat dia memutar tubuh dan mempergunakan tangan kiri memotong tangan lawan dengan tangkisannya.

“Wuuuuttt...! Dukkk !”

Dua lengan bertemu dan mengeluarkan suara nyaring bagaikan dua potong besi bertemu. Bukan main kagetnya hati Badrun ketika merasa betapa lengannya nyeri bagaikan hendak patah dan tubuhnya terdorong mundur hingga tiga langkah! Padahal dia terkenal bertenaga besar, akan tetapi sekali ini pertemuan kedua lengan itu membuat tulang lengannya terasa seperti hendak patah. Tapi dasar orang yang tak tahu diri, menganggap orang lain rendah dan dirinya sendiri paling hebat. Dia tidak menyadari bahwa ilmunya kalah jauh bahkan dia menjadi penasaran dan marah.

Kembali Badrun mengeluarkan gerengan yang amat menyeramkan, lalu menubruk dengan sebuah loncatan ke depan, gayanya seperti seekor harimau yang menerkam kelinci. Akan tetapi sekali ini Jaka Bintara yang diterkam itu sama sekali tidak mengelak, bahkan kedua tangannya bergerak cepat menyambar kedua tangan berbentuk cakar itu dan mengangkat kedua tangannya ke atas.

Tubuh Badrun tinggi besar. Biar pun tubuh Jaka Bintara kurus akan tetapi lebih jangkung sehingga kini tubuh Badrun tergantung! Badrun meronta sambil mengerahkan tenaganya untuk melepaskan kedua pergelangan tangan yang dipegang lawannya itu, tapi usahanya sia-sia. Cengkeraman tangan Jaka Bintara pada pergelangan kedua lengannya itu seperti jepitan baja! Ketika Jaka Bintara mengerahkan tenaga dalamnya, Badrun membelalakkan matanya dan berteriak kesakitan.

“Krek-krekk!”

“Aduuuuhhhh...!”

Tulang pergelangan kedua tangan Badrun patah kemudian Jaka Bintara membanting tubuh lawannya ke atas lantai panggung.

“Brukkkk...!”

Badrun mengeluh kesakitan sambil merangkak. Akan tetapi pada saat itu kaki kanan Jaka Bintara menendang dan tepat mengenai dadanya.

“Dessss...!”

Tubuh Badrun terlempar ke bawah panggung dan dia pingsan seketika. Dua batang tulang rusuknya patah seperti kedua pergelangan tangannya.

Beberapa orang temannya langsung menggotongnya pergi dari situ di bawah tepuk sorak para penonton yang mengagumi kegagahan Jaka Bintara yang luar biasa tangguhnya itu. Bayangkan saja! Dalam dua gebrakan saja Badrun yang ditakuti orang itu roboh pingsan dengan tulang-tulang patah.

Sekarang gamelan ditabuh lembut mengisyaratkan kepada penari untuk mulai menari lagi. Si selendang merah yang tahu bahwa Jaka Bintara keluar sebagai pemenang dan berhak berjoget dengannya, segera bangkit lalu menghampiri pria jangkung itu sambil menari dan mulutnya tersenyum senang karena dia terbebas dari gangguan Badrun yang kurang ajar tadi.

Tetapi Jaka Bintara segera mengeluarkan sepotong uang reyal dari kantungnya dan sekali lempar, sekeping uang perak itu berputaran di udara lalu melayang turun dan meluncur ke atas dada ledek berselendang merah, kemudian dengan tepat uang itu memasuki celah di antara sepasang payudara ledek itu. Tentu saja perbuatan ini memancing sambutan tepuk tangan para penonton.

Aji yang sejak tadi menonton juga merasa kagum. Ternyata Jaka Bintara adalah seorang sakti yang sudah mampu mengendalikan tenaga saktinya secara hebat. Tetapi Aji melihat bahwa pemuda jangkung itu memiliki watak yang kejam bukan main, karena kalau melihat tingkatnya dengan mudah saja dia dapat mengalahkan Badrun tanpa membuatnya cidera sedemikian rupa. Biar pun dia juga tidak senang melihat kesombongan Badrun dan sudah sepantasnya orang sesombong itu mendapatkan hajaran keras, akan tetapi tidak sampai mematahkan kedua pergelangan tangan dan tulang-tulang rusuknya!

Mendapatkan hadiah satu real secara luar biasa itu, ledek selendang merah juga merasa ngeri. Bayangkan saja, sekeping uang perak itu bagaikan hidup saja, dapat menyusup ke celah-celah dadanya! Akan tetapi ledek ini segera menyembah dan menekuk sedikit kedua lututnya dengan gerakan lemah gemulai sambil berkata lembut, “Terima kasih, raden!”

Raden Jaka Bintara melambaikan tangannya kepada penari itu sambil berkata, “Sudahlah, kau mengasolah dan suruh Neneng Salmah menggantikanmu. Aku ingin berjoget dengan dia!”

Mendengar ini wajah si selendang merah langsung berseri-seri. Biar pun laki-laki muda ini cukup tampan, gagah dan berpakaian mewah, tetapi ada sesuatu pada sikap dan pandang matanya yang dingin itu hingga membuatnya merasa ngeri, apa lagi bila dia teringat akan penyiksaan terhadap Badrun tadi. Dia cepat-cepat kembali ke tempat duduknya di tengah-tengah para penabuh gamelan, kemudian berbisik kepada Neneng Salmah bahwa Raden Jaka Bintara ingin berjoget dengannya.

Karena dua orang ledek yang lain sudah berjoget dan dia tahu bahwa kemunculnnya telah dinantikan penonton, Neneng Salmah lantas bangkit berdiri dan dengan lenggangnya yang seperti macan kelaparan itu dia menuju ke tengah panggung. Semua penonton, terutama kaum mudanya, menyambutnya dengan tepuk tangan dan sorak sorai gembira.

Neneng Salmah tersenyum dan semua orang turut tersenyum dengannya. Untuk ukuran ledek harus diakui bahwa Neneng Salmah mempunyai daya tarik yang luar biasa. Memang kecantikannya tidaklah luar biasa, tapi justru karena dia tidak terlalu merias diri, bedaknya juga tipis tidak seperti rekan-rekannya, maka daya tariknya menjadi semakin menonjol dan kuat sekali.

Senyumnya merekah, sepasang bibirnya terbuka sedikit memperlihatkan kilauan gigi yang berderet rapi dan putih, lesung pipit di sebelah kiri bibirnya, kerling matanya yang bagaikan mengandung besi sembrani, kemudian tubuhnya yang padat ranum dengan lekuk lengkung sempurna, terutama sekali bagian dada, pinggul dan pinggang yang ramping, langkahnya yang tidak dibuat-buat tetapi tampak begitu lemah gemulai, kulitnya yang putih kekuningan dan mulus bersih, semua itu mengandung daya tarik yang membuat hati semua pria yang memandangnya berdebar penuh gairah.

Namun berbeda pula dengan para rekannya, Neneng Salmah terkenal sebagai penari dan penyanyi yang sopan dan pandai menjaga kehormatannya. Bahkan dalam usia sembilan belas tahun itu dia masih menyandang julukan perawan dalam arti yang seluasnya.

Dia memang ramah, manis budi, pandai dan murah hati dalam memberikan senyum manis dan kerling tajam memikat kepada setiap laki-laki, akan tetapi hanya itulah yang diberikan dengan rela hati. Dia tidak mau menyerahkan tubuhnya, bahkan untuk disentuh pun akan ditolaknya, apa lagi diciumi seperti ledek-ledek lain, sama sekali dia tidak mau.

Banyak hartawan atau bangsawan yang menawarkan banyak uang untuk membeli dirinya, tapi semua itu ditolaknya dengan halus. Sikap ini mendapat dukungan kuat dari ayahnya, Ki Salmun yang sekarang sudah menjadi duda dan bekerja sebagai tukang kendang dalam rombongan anaknya.

Ayah yang bijaksana dan tidak gila harta ini sama sekali tak mau menyerahkan puterinya untuk dibeli kehormatannya dengan harta betapa pun banyaknya. Dia memberi kebebasan kepada Neneng Salmah untuk memilih sendiri laki-laki yang kelak akan menjadi suaminya. Tetapi selama ini belum ada seorang pun pria yang berhasil mendapatkan cinta kasihnya.

Mungkin Neneng Salmah terlampau mencintai pekerjaannya sebagai penari dan penyanyi sehingga kadang dia merasa ragu dan khawatir bahwa kalau dia menjadi istri orang, maka dia akan kehilangan jati dirinya sebagai seorang seniwati. Bukan laki-laki biasa saja yang gandrung (tergila-gila) kepadanya, bahkan secara diam-diam karena merasa malu apa bila ketahuan orang, Pangeran Mas Gede sendiri, Adipati Sumedang, pernah mengirim utusan membujuk Neneng Salmah supaya mau menjadi selirnya, atau setidaknya melayani hasrat kerinduan dan kegairahannya! Akan tetapi dengan sikap ramah dan hormat sehingga tidak menyinggung hati, Neneng Salmah menolaknya secara halus.

Inilah sebabnya maka nama Neneng Salmah tidak saja amat terkenal sebagai ledek yang bersuara emas, tapi terutama sebagai seorang ledek perawan yang merupakan hal langka pada waktu itu. Namanya bukan hanya terkenal di Sumedang dan sekitarnya saja, bahkan terkenal sampai ke Cirebon!

Setelah berhadapan dengan Raden Jaka Bintara, Neneng Salmah tetap tersenyum dengan ramah dan sopan, lalu memberi hormat dengan sembah. Gamelan memainkan lagu joget yang seronok dan halus, kemudian Neneng Salmah mulai menari, lembut dan indah sekali.

Dia menari dengan sepenuh jiwanya sehingga seolah-olah setiap bagian tubuhnya menari. Pundaknya, dada serta pinggangnya, goyang pinggulnya sampai langkah kaki dan gerakan jari kakinya, gerakan lengan dan jari-jari tangannya, semua bagian tubuh Neneng Salmah menari-nari, bahkan gumpalan rambut yang terurai di dahi dan pelipisnya, sinom halus itu, ikut pula bergoyang menari!

Walau pun kepala, pundak dan pinggulnya membuat gerakan-gerakan yang sangat indah, namun gerakannya tidak mengandung kecabulan. Pinggulnya memang bergoyang manis, tapi tidak seperti gerakan pinggul para rekannya yang seolah-olah menggapai menantang dan membangkitkan gairah laki-laki mana pun juga.

Aji yang menonton dapat merasakan ini dan diam-diam dia memandang penari itu dengan sinar mata kagum. Seorang gadis yang amat hebat, pikirnya. Seorang seniwati yang amat menghayati seni tariannya dan ketika bertembang tadi, suaranya juga merdu sekali.

Bahkan sikap yang manis tapi penuh susila ini juga dapat dirasakan Jaka Bintara sehingga pemuda bangsawan Banten ini juga menari dan berupaya untuk dapat menari sebaik dan segagah mungkin. Dia dapat merasa bahwa kalau tangannya usil menowel, mencubit atau menggerayangi maka hal itu akan tampak janggal sekali dan bisa melenyapkan keindahan gerak tari mereka. Dari pandang mata yang jeli indah itu saja Jaka Bintara merasa bahwa di dalam hati ledek luar biasa ini sedikit pun tidak ada niat merayu atau memikat.

Tetapi hal ini membuat Jaka Bintara merasa kecewa. Sejak tadi sebelum Neneng Salmah menari dia telah tergila-gila pada ledek ini, sudah timbul gairahnya, dan tadi dia ingin sekali berdekatan, berjoget bersama, bahkan menyentuhnya, merangkul dan bercumbu dengan gadis itu. Akan tetapi kenyataannya sekarang, biar pun sudah berjoget bersama, dia sama sekali tidak berani menyalurkan semua gairahnya itu!

Dia merasa kesal dan untuk melampiaskan kekesalannya, dia memutar tubuh menghadapi para penonton, bahkan juga ke arah para tamu undangan, lalu menantang.

“Hei, para penonton dan para tamu semua. Kini Neneng Salmah sudah berjoget denganku. Siapa di antara kalian yang ingin berjoget bersamanya? Siapa yang hendak mencoba-coba untuk merebutnya dari tanganku? Jika ada yang berani, naiklah ke sini, kita bermain-main sebentar. Sebaliknya jika tidak ada yang berani, terpaksa kelak akan kuceritakan kepada para jawara (pendekar) di Banten bahwa di Sumedang tidak ada pendekarnya. Dan kalau tidak ada yang maju berarti Neneng Salmah akan menjadi milikku!”

Memang Neneng Salmah ialah seorang gadis yang memiliki daya tarik amat kuat. Barang kali namanya yang terkenal itu pun menambah kuatnya daya tarik dirinya. Maka mulai banyaklah pendekar yang terusik hatinya.

Bertanding di atas panggung tayuban seperti itu biasanya merupakan kejadian biasa saja. Paling sial orang dikalahkan hingga terpaksa mundur, mengaku kalah dan mengurungkan niatnya untuk berjoget dengan Neneng Salmah yang dirindukannya setiap hari. Tidak ada yang aneh dalam pertandingan macam itu.

Memang tadi mereka melihat betapa sadis dan kejamnya pemuda bangsawan dari Banten itu. Akan tetapi hal itu adalah karena kesalahan Badrun sendiri, karena kesombongannya. Dalam pertandingan biasa yang memperebutkan kemenangan agar dapat berjoget dengan seorang ledek, biasanya cukup asal dapat menjatuhkan lawan saja, dan itu cukup sebagai bukti kemenangan.

Mendadak dari rombongan penonton di bawah panggung melompat seorang pemuda. Dia bertubuh sedang akan tetapi agak kerempeng sehingga baru dari penampilannya saja telah memancing suara tawa penonton. Tetapi mereka yang mengenal Sudarman tidak tertawa. Mereka tahu bahwa pemuda berusia dua puluh lima tahun yang bertubuh kerempeng tapi berwajah ganteng itu adalah seorang pemuda yang pandai pencak silat.

Sudah lama Sudarman gandrung terhadap Neneng Salmah, bahkan orang tuanya pernah berkunjung ke rumah Ki Salmun dan dengan tata cara umum mengajukan pinangan untuk menjodohkan Sudarman dengan Neneng Salmah. Tapi karena Neneng Salmah menolak, maka pinangan itu tidak dapat diterima kemudian ditolak dengan hormat dan dengan kata-kata yang tidak menyinggung.

Hal ini tentu saja membuat Sudarman semakin rindu kepada ledek itu dan kini dia hendak mempergunakan kesempatan ini untuk mencoba agar bisa berjoget dengan perawan yang digandrunginya itu. Biar pun tidak dapat menjadi suami Neneng Salmah, akan tetapi kalau dapat berjoget bersama, tentu sudah merupakan hiburan yang menyenangkan.

Begitu melihat Sudarman melompat naik ke panggung, Neneng Salmah segera mengenali pemuda yang pernah meminangnya itu. Dia menjadi malu-malu, tersenyum sambil melirik kepada pemuda itu, lalu mengundurkan diri duduk bersimpuh di pinggiran seperti biasanya dilakukan ledek yang sedang diperebutkan, membiarkan dua orang laki-laki itu berhadapan dan bertanding. Untuk sementara gamelan dihentikan agar para penonton bisa mendengar apa yang akan dikatakan kedua orang jagoan yang sudah saling berhadapan itu.

Ketika melihat bahwa yang meloncat naik ke atas panggung adalah seorang pemuda yang kerempeng, Jaka Bintara yang bertubuh kurus namun bertulang besar dan tidak kelihatan kerempeng segera tersenyum mengejek. Matanya memandang Sudarman penuh selidik, mulai dari kepala sampai ke kaki.

“Orang muda.” kata Jaka Bintara dengan logat bicaranya yang terdengar asing dan kaku. “Andika berani menyambut tantanganku untuk memperebutkan Neneng Salmah? Hemm, katakanlah dulu siapa nama andika. Jika andika belum mengetahuinya, aku adalah Raden Jaka Bintara dari Banten.”

Tadi Sudarman telah mendengar nama pemuda bangsawan Banten itu. Dia tersenyum dan melirik ke arah Neneng Salmah yang kebetulan juga sedang memandang kepadanya, Jaka Bintara juga menoleh dan melihat betapa Neneng Salmah tersenyum memandang pemuda kerempeng itu. Dia mengerutkan alisnya dan hatinya menjadi panas oleh cemburu.

“Raden Jaka Bintara,” kata Sudarman dengan sikap ramah dan lembut. “Saya bernama Sudarman, penduduk sini saja, karena itu tanpa bertanding pun saya mau mengaku kalah. Akan tetapi karena andika sudah cukup lama berjoget dengan Neneng Salmah, maka jika saya boleh menggantikan andika, saya mau memberikan pusaka saya ini kepada andika.” Sudarman mencabut sebatang Kujang (semacam keris) kemudian menyerahkannya pada Jaka Bintara.

Para penonton yang mendengar ini merasa heran. Sudah lazim kalau orang mengajukan permintaan menggantikan pemenang untuk berjoget dengan sang penari dengan memberi semacam hadiah, akan tetapi biasanya orang memberi hadiah dalam bentuk uang. Kalau ada orang menyerahkan pusakanya, maka hal itu dianggap terlalu merendahkan diri.

Neneng Salmah memandang dan merasa terharu juga. Dia merasa betapa besarnya cinta Sudarman padanya sehingga pemuda itu rela merendahkan diri, menyerahkan pusakanya hanya untuk dapat berjoget dengannya!

Jaka Bintara menerima kujang itu, mengamatinya sebentar lalu tertawa mengejek. Dengan kedua tangannya dia menekuk senjata itu sambil mengerahkan tenaga saktinya.

“Krekkk!”

Kujang itu patah menjadi dua, kemudian sambil tertawa Jaka Bintara membuang potongan senjata itu ke bawah panggung.

“Ha-ha-ha-ha, senjata pisau pemotong bawang seperti itu, sepuluh batang pun bisa kubeli. Siapa sudi menerimanya? Heh, Sudarman, jika engkau memang berani, kalahkan dulu aku dalam pertandingan, baru andika berhak joget dengan Neneng Salmah. Kalau andika tidak berani, hayo cepat turun dan jangan mengganggu aku yang sedang asyik berjoget!”

Wajah Sudarman menjadi pucat, lalu memerah. Apa lagi mendengar suara beberapa orang mentertawakannya. Seorang laki-laki boleh saja mengalah seperti yang diperlihatkan dari sikapnya tadi, akan tetapi tidak ada laki-laki jantan yang membiarkan dirinya diperhina. Bila perlu dia siap untuk mempertahankan kehormatannya dengan taruhan nyawa.

Sudarman membusungkan dadanya yang tipis, matanya bersinar-sinar karena marah dan dia menatap wajah Jaka Bintara dengan tajam.

“Jaka Bintara, andika sudah mematahkan pusakaku. Ini berarti andika sudah menghinaku dan mau tidak mau terpaksa aku harus menyambut tantanganmu untuk bertanding!”

Pada saat itu Sudarman bertemu pandang mata dengan Neneng Salmah dan wanita muda itu merasa khawatir akan nasib pemuda. Dia menggelengkan kepalanya. “Akang Darman, harap jangan berkelahi...”

Sudarman memandang ledek itu dan mengerutkan alisnya. Bila dia mundur hanya karena Neneng Salmah yang memang telah dikenalnya itu mencegahnya, pasti dia disangka takut dan akan menjadi bahan tertawaan semua penduduk Sumedang. Dia juga maklum bahwa gadis itu mencegah perkelahian bukan karena cinta padanya, melainkan hanya takut akan terjadinya keributan karena penghinaan itu tentu memancing perkelahian, bukan sekedar bertanding mengadu kepandaian untuk bisa keluar sebagai pemenang dan berjoget dengan Neneng Salmah.

Sementara itu begitu mendengar ucapan Neneng Salmah, Jaka Bintara menjadi semakin cemburu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa di antara dua orang itu memang ada hubungan persahabatan biasa, dan tidak tahu pula bahwa pemuda itu pernah mengajukan pinangan kepada gadis itu namun ditolak. Kalau dia mengetahuinya, tentu tidak akan cemburu.

“Ha-ha-ha, benar ucapan Neneng Salmah, Sudarman. Kalau engkau berkelahi denganku, tentu engkau akan mampus. Maka sebaiknya cepat menyembah padaku dan minta ampun lalu mengundurkan diri, barulah engkau bisa selamat!”

Sudarman tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Penghinaan demi penghinaan terus dilontarkan orang dari Banten itu.

“Jaka Bintara, jangan mengira bahwa aku takut bertanding melawanmu. Majulah!” katanya sambil memasang kuda-kuda, kedua kaki sedikit ditekuk, tangan kanan di depan, terbuka dengan telunjuk ditudingkan ke atas, tangan kiri menyingsingkan paha celananya.

Jaka Bintara menoleh kepada para penabuh gamelan, kemudian memberi isyarat dengan tangannya supaya para penabuh gamelan membunyikan gamelan mereka untuk mengiringi pertandingan itu. Gamelan lantas dipukul nyaring dan Jaka Bintara menghadapi Sudarman, lalu membentak nyaring.

“Pecah kepalamu!”

Tangan kanannya yang terbuka menghantam ke arah kepala Sudarman dengan tamparan yang mengeluarkan angin pukulan dahsyat.

Aji yang menonton dari bawah panggung menjadi terkejut karena dia mengenal pukulan ampuh yang mengandung tenaga sakti yang dahsyat. Dia mengkhawairkan nasib pemuda kerempeng itu.

Akan tetapi ternyata Sudarman memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat. Dia mampu menghindarkan diri dari pukulan itu dengan elakan yang gesit, kemudian cepat membalas dengan pukulan dari samping yang mengarah lambung lawan.

“Dukkk!”

Jaka Bintara menangkis dan tangkisan itu membuat Sudarman terhuyung-huyung. Sangat jelas bagi Aji bahwa biar pun Sudarman memiliki gerakan ringan dan cepat, namun dalam hal tenaga sakti dia kalah jauh. Pertandingan itu tak akan berlangsung lama, pikirnya dan hatinya merasa bingung. Di dalam hatinya dia ingin melindungi Sudarman yang terancam bahaya, akan tetapi bagaimana dia dapat melakukannya?

Tentu perbuatannya itu akan menimbulkan keributan dan celaan karena bukankah mereka bertanding dengan adil di atas panggung? Kalah atau menang dalam sebuah pertandingan pencak silat adalah hal yang wajar, namun mencampurinya merupakan pelanggaran yang tidak pantas. Karena itu dengan hati berdebar tegang Aji mengikuti jalannya pertandingan.

Seperti yang telah diketahui Aji sebelumnya, pertandingan itu ternyata berat sebelah. Jaka Bintara terus mendesak lawannya yang kini tidak mampu membalas lagi melainkan hanya main elak mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya, bahkan menangkis pun dia tak berani karena tadi pernah Sudarman menangkis sebuah pukulan dan akibatnya lengan kirinya terasa patah tulangnya dan nyerinya bukan main.

Tiba-tiba saja Jaka Bintara menghentikan desakan dan serangannya, bahkan mundur tiga langkah. Kesempatan ini segera dipergunakan Sudarman untuk menyerang karena sejak tadi dia diserang terus dan sudah kewalahan.

Aji bergerak hendak mencegah pemuda itu menyerang, namun dia teringat lagi dan segera menahan diri. Apa lagi karena tendangan kaki kanan Sudarman telah dilakukan.

Kaki kanan itu mencuat dan dengan cepat sekali menyambar ke arah dada Jaka Bintara. Memang inilah yang dikehendaki pemuda bangsawan Banten itu dan Aji mengetahui hal ini namun tidak berdaya. Ketika kaki itu sudah menyambar dekat, Jaka Bintara mengerahkan tenaga sakti untuk membuat kebal dadanya. Dengan tepat kaki itu bertemu dada lawan.

“Bukkk!”

Jaka Bintara tidak bergeming sedikit pun. Sudarman sangat terkejut, namun dia terlambat menarik kembali kaki kanannya karena tangan kanan Jaka Bintara sudah menyambar dan menghantamkan tangan yang terbuka itu dengan gaya membacok ke arah tulang lutut.

“Krakk!”

Sudarman mengeluh lalu roboh, tulang lutut kaki kanannya patah!

Pada saat tubuh Sudarman sudah menggeletak, ketika dengan susah payah dia bangkit dan merangkak, tiba-tiba Jaka Bintara menggerakkan kedua kakinya dan berulang-ulang menendangi kaki serta lengan pemuda yang bernasib malang itu.

“Krekk! Krekk! Krekk!”

Terdengar bunyi tiga kali dan kini kedua tulang kaki berikut lengan Sudarman patah-patah! Sekali lagi sambil tertawa Jaka Bintara menendang dan tubuh Sudarman yang sudah tidak dapat bergerak itu terlempar ke bawah panggung.

Terdengar jeritan Neneng Salmah diikuti tangisnya, diiringi suara banyak penonton berseru kaget melihat peristiwa itu. Tiba-tiba dari bawah panggung berkelebat sesosok bayangan orang dan tahu-tahu di atas panggung sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun yang berjenggot panjang. Kakek itu menudingkan telunjuknya ke wajah Jaka Bintara.

“Engkau manusia kejam yang tak berperi-kemanusiaan!” Kakek itu menegur. “Pertandingan memperebutkan ledek merupakan perayaan dan pesta, mengapa engkau demikian kejam terhadap lawan yang sudah kalah?”

Jaka Bintara memandang wajah kakek dan tersenyum mengejek.

“Aki tua, siapakah engkau?” tanyanya dengan nada suara memandang rendah.

“Jaka Bintara, aku adalah Ki Bajra, guru Sudarman.”

“Ha-ha-ha, bagus! Jadi engkau hendak membela muridmu yang tolol itu? Majulah!”

Biar pun mulutnya menantang begitu, akan tetapi sebelum Ki Bajra menyerang maju Jaka Bintara sudah mendahuluinya dengan serangan kilat. Hal ini menunjukkan betapa liciknya pemuda bangsawan Banten ini. Licik dan juga sakti.

“Iyaaahhhh...!” Kekek itu mengelak dengan mudah dan ternyata dia memiliki gerakan yang lincah sekali.

Aji mengangguk-angguk. Ternyata kakek tua itu seorang yang ahli dalam aji meringankan tubuh sehingga gerakannya sangat cepat seperti seekor burung srikatan. Pantas saja tadi Sudarman juga bergerak begitu cepatnya. Ternyata gerakan kakek ini lebih cepat lagi dan sambil mengelak dia pun dapat mengirim serangan balasan kilat.

Agaknya ketika muridnya menghadapi Jaka Bintara, Ki Bajra sudah mempelajari gerakan pemuda bangsawan Banten itu dan maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Karena itu dia pun maklum bahwa untuk mengatasi lawannya, dia hanya dapat mengandalkan kecepatan gerak dan tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk dapat memukulnya.

Siasatnya ini memang tepat. Jaka Bintara amat terkejut dan juga penasaran sekali karena semua serangannya dapat dielakkan lawan dengan mudah dan gerakan kakek ini ternyata lebih cepat dari pada gerakan Sudarman yang tadi pun membuat dia pusing karena sukar untuk dapat memukulnya. Kalau terus dilanjutkan maka dia sendiri yang akan kehabisan tenaga dan napas.

Apa lagi serangan balasan kakek itu cepat sekali datangnya. Baiknya dia telah melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan yang amat kuat sehingga beberapa pukulan kakek itu yang mengenai tubuhnya, tidak dapat merobohkannya.

Sejak tadi gamelan telah dipukul bertalu-talu mengiringi petandingan yang tampaknya seru sekali ini. Dan agaknya kali ini Jaka Bintara bertemu tanding yang amat tangguh. Setelah lewat tiga puluh jurus, dia sudah empat kali terkena pukulan walau pun pukulan itu dapat ditahan dengan kekebalannya sehingga tidak membuat dia jatuh atau nyeri. Sebaliknya, semua terjangannya selalu mengenai tempat kosong.

“Agaknya kakek itu amat tangguh, sebaiknya kalau kuhentikan saja pertandingan itu.” kata Tumenggung Jayasiran perlahan kepada Kyai Sidhi Kawasa yang duduk di sebelahnya.

Kakek yang menjadi datuk persilatan di Banten itu terkekeh. Suaranya yang lemah lembut itu terdengar amat meyakinkan. Dia tahu bahwa Tumenggung Jayasiran yang berasal dari Banten tentu saja tak suka melihat jagoan Banten dikalahkan orang Sumedang, maka dia hendak menghentikan petandingan untuk mencegah kekalahan Jaka Bintara.

“Heh-heh, anakmas Tumenggung, jangan andika khawatir. Muridku tidak akan kalah. Lihat saja nanti, he-he-he!”

Mendengar ini tentu saja sang tumenggung merasa kega dan dia pun kembali menonton pertandingan itu dengan penuh perhatian. Dia melihat sekarang Jaka Bintara melompat ke belakang, menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan... sang tumenggung terbelalak kagum melihat asap mulai mengepul dari antara kedua tangan itu.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)