ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-45


Jaka Bintara lalu menerjang maju, sepasang tangannya melakukan pukulan mendorong ke depan dan ke mana pun tubuh lawan berkelebat, selalu disusulnya dengan pukulan jarak jauh yang amat ampuh itu. Itulah aji pukulan Hastanala (Tangan Berapi) yang benar-benar dahsyat. Beberapa kali Ki Bajra masih mampu menghindar, tetapi tiba-tiba sebuah pukulan yang mengandung hawa berapi itu menerpanya.

“Auhhhhh...!” Dia memekik dan tubuhnya terdorong lalu jatuh ke bawah panggung dengan baju serta kulit dada hangus seperti dibakar! Kakek itu sudah pingsan dan seperti halnya Sudarman tadi, dia pun lalu diangkat oleh beberapa orang muridnya.

Semua orang merasa ngeri melihat akibat dari pukulan maut itu dan mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Jaka Bintara yang tertawa bergelak itu, merasa takut dan ngeri. Bahkan Neneng Salmah yang juga melihat pertandingan itu dari jarak dekat, dengan nekat mencela pemuda bangsawan dari Banten itu sambil meneteskan air mata.

“Raden, andika sangat kejam, terlalu kejam...!”

Jaka Bintara menoleh kepada Neneng Salmah sambil mengerutkan alisnya. “Hayo bangkit dan layani aku bejoget!”

Kemudian dia pun memberi isyarat kepada para penabuh gamelan untuk memainkan lagu pengiring tarian. Para penabuh tak berani membantah dan segera bunyi gamelan berubah, beralun lembut. Akan tetapi Neneng Salmah tetap duduk bersimpuh sambil menyusut air matanya dengan ujung selendangnya yang berwarna merah muda.

Melihat gadis penari itu tetap saja duduk bersimpuh, Jaka Bintara menjadi marah, “Neneng Salmah, hayo bangkit dan layani aku berjoget!” katanya lagi agak ketus.

Neneng Salmah tetap menundukkan mukanya dan dia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Semua penonton terbelalak. Ini kejadian luar biasa. Seorang ledek berani menolak diajak berjoget oleh seorang jawara yang telah mengalahkan beberapa orang dalam suatu pertandingan!

Tumenggung Jayasiran mengerutkan kening. Ledek itu tidak menghormati tamu agungnya, berarti tidak menghormati dia yang menanggapnya!

Muka Jaka Bintara menjadi merah. Penolakan Neneng Salmah di hadapan begitu banyak orang sungguh merupakan penghinaan besar baginya. Dia segera merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan sepuluh potong uang reyal dan melemparkan semua uang itu ke atas papan panggung, tepat di depan gadis penari itu.

“Engkau ingin uang? Nah, ini, simpanlah dulu, nanti pasti akan kutambah lebih banyak lagi kalau engkau memuaskan hatiku!” katanya sambil tersenyum lebar dengan bangga.

Jarang ada laki-laki ayang berani mengeluarkan sepuluh reyal sebagai ‘uang muka’. Akan tetapi alangkah heran dan malunya ketika dia melihat Neneng Salmah tetap menggeleng kepala, bahkan kini Neneng Salmah bangkit berdiri dan hendak lari kembali ke tempat dua orang rekannya duduk.

Akan tetapi tiba-tiba Jaka Bintara membentaknya. “Berhenti!”

Neneng Salmah terkejut. Dia berhenti lalu memutar tubuh menghadapi Jaka Bintara.

“Berani engkau membikin malu padaku? Aku pun dapat membikin malu padamu di depan semua orang dengan menelanjangimu!”

Tiba-tiba tangan Jaka Bintara bergerak ke arah gadis itu. Jarak antara mereka sekitar dua depa, tapi tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu-tahu kemben yang melingkari pinggang ramping itu terlepas dan kain yang membungkus tubuh Neneng Salmah bergerak melorot.

Neneng Salmah menjerit dan cepat menggunakan dua tangannya untuk menahan kainnya sehingga dia tidak sampai telanjang di hadapan umum! Pada saat itu sesosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu Aji telah berdiri di depan Jaka Bintara dan dengan suara lembut namun penuh teguran Aji berkata.

“Jaka Bintara, sebagai orang yang memiliki aji kedigdayaan dan bersusila, sungguh tidak patut dan memalukan sekali apa yang andika lakukan terhadap gadis penari ini. Ia berkata benar, memang andika adalah orang yang kejam dan keji, tidak berperi-kemanusiaan dan sewenang-wenang!”

Jaka Bintara terbelalak, mukanya menjadi merah kehitaman saking marahnya. Sementara itu, melihat seorang pemuda tiba-tiba muncul kemudian membelanya, sambil memegangi kainnya Neneng Salmah cepat-cepat mengambil kembennya, lalu berjalan ke arah rekan-rekannya sambil menangis. Setelah tiba di antara dua rekannya, Neneng Salmah segera membereskan pakaiannya, dibantu dua orang ledek yang lain. Sementara itu para penabuh gamelan sudah menghentikan tabuhan mereka.

Jaka Bintara bertolak pinggang dan menatap wajah Aji dengan mata melotot. “Babo-babo, keparat! Lancang benar ucapanmu! Engkau berani mencampuri urusanku? Siapa engkau dan apa maumu?!”

“Namaku Lindu Aji. Aku naik ke panggung ini selain untuk membela Neneng Salmah agar tidak kau perhina, juga untuk menandingimu dalam mengadu kedigdayaan.”

“Babo-babo, keparat jahanam sombong! Agaknya engkau telah bosan hidup!” bentak Jaka Bintara marah.

Aji tersenyum lalu memberi isyarat kepada para penabuh gamelan. Karena para penabuh gamelan merasa tidak suka terhadap Jaka Bintara yang tadi menghina Neneng Salmah, maka dengan penuh semangat mereka memenuhi permintaan Aji. Mereka mengharapkan pemuda tampan yang baru datang ini, yang senyumnya penuh percaya kepada diri sendiri, biar pun pakaian dan sikapnya sederhana tapi akan mampu menghajar Jaka Bintara yang sombong dan kejam itu.

“Jaka Bintara, memang mudah sekali menemukan cacat orang walau sekecil semut sekali pun, akan tetapi amatlah sulit menemukan cacat diri sendiri, biar pun sebesar gajah. Tadi engkau mengatakan aku sombong tapi sama sekali tidak menyadari bahwa yang sombong setengah mati adalah engkau sendiri. Sadarlah bahwa engkau telah melakukan kejahatan. Sebagai seorang tamu yang datang dari Banten tidak sepantasnya engkau melukai orang-orang seperti yang kau lakukan tadi, masih ditambah lagi hendak memaksa dan menghina seorang penari.”

“Keparat, jangan banyak mulut! Bersiaplah menerima hajaran dariku!” bentak Jaka Bintara.

Karena sudah marah sekali maka dia hendak merobohkan orang yang berani menentang dan mencelanya sedemikian rupa di atas panggung, merobohkan secepat mungkin dengan pukulan yang paling dia andalkan, yaitu dengan Aji Hastanala.

Kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu mengepulkan asap, kini lebih tebal dari pada tadi ketika dia merobohkan Ki Bajra sehingga semua orang memandang dengan hati tegang. Pemuda yang bernama Lindu Aji itu tentu akan roboh dan tewas!

Bagaimana pun juga sebagian besar penonton mulai timbul perasaan tidak suka pada Jaka Bintara karena kesombongannya, tidak memandang kepada orang-orang Sumedang. Juga mereka merasa sangat marah melihat perlakuan Jaka Bintara terhadap Neneng Salmah yang amat menghina itu. Maka kini sebagian besar dari mereka condong untuk memihak Lindu Aji, sungguh pun mereka belum mengenal siapakah pemuda itu dan sampai di mana kemampuannya. Mampukah pemuda asing ini menandingi pemuda bangsawan dari Banten itu yang sedemikian sakti mandraguna?

Melihat lawannya sudah menggosok-gosok kedua tangannya sehingga mengepulkan asap hitam, Aji lantas melangkah maju dan berkata dengan sikap tenang sekali. Di antara bunyi gamelan terdengar suara Aji tegas. “Jaka Bintara, sejak tadi aku sudah siap. Mulailah!”

“Pecah kepalamu!” bentak Jaka Bintara sambil menyerang dengan pukulannya yang amat ampuh.

Pukulan itu mengandung Aji Hastanala, mampu merobohkan lawan tanpa menyentuhnya, hanya mengandalkan angin pukulannya saja. Apa lagi kalau tangan yang seperti membara itu sampai mengenai kepala lawan, tentu akan pecah dan hangus!

“Heiiiitttt...!” Aji menggeser kakinya dan melompat ke kiri hingga pukulan dahsyat itu luput.

Namun Jaka Bintara sudah menyusulkan serangan berikutnya secara bertubi-tubi dengan menggunakan kedua tangan terbuka yang mengepulkan asap. Tapi tiba-tiba dia tertegun. Lawannya itu bergerak aneh dan luwes sekali seperti seekor kera menari-nari, akan tetapi hebatnya, semua serangannya tidak pernah mengenai lawan. Bahkan hawa pukulan jarak jauh itu pun tidak pernah mengenai atau mempengaruhi lawan.

Memang Aji mempergunakan ilmu silat Wanara Sakti sehingga dia mirip peran Hanoman dalam kisah Ramayana, berlompatan ke kanan kiri, terkadang melambung ke atas kadang berjongkok dan bergulingan, berjungkir balik tetapi selalu dapat lolos dari serangan lawan.

Para penonton merasa tegang. Mereka mengira Aji ketakutan dan hanya dapat mengelak ke sana sini saja seperti dua orang lawan terdahulu yang akhirnya roboh juga oleh pukulan sakti pemuda Banten itu.

Suasana menjadi sunyi dan menegangkan, hanya terdengar suara gamelan yang dipukul bertalu-talu.

Ki Salmun, ayah Neneng Salmah yang menjadi penabuh kendang dan tentu saja berpihak kepada Aji yang membela puterinya, memainkan kendangnya dengan indah sekali, selalu disesuaikan dengan gerak-gerik Aji yang mirip tarian kera sehingga gerakan pemuda itu menjadi ‘hidup’.

Makin lama Jaka Bintara menjadi semakin penasaran. Dia agak pening juga karena harus berputar-putar mengejar tubuh Aji yang seolah-olah berubah menjadi bayangan yang gesit sekali. Dia hendak menggunakan siasat ketika merobohkan Sudarman tadi, yaitu dengan memancing lawan agar menyerangnya sehingga dia bisa merobohkannya dengan pukulan mautnya. Maka dia lalu berseru lantang.

“Heh, keparat! Kalau andika bukan pengecut, hayo balas seranganku, jangan hanya main mengelak seperti seekor munyuk (anak monyet)!”

Semua orang yang mendengar ini diam-diam juga ikut berharap agar Aji membalas karena mereka ingin melihat jagoan Banten itu terkena pukulan.

“Hemm, begitukah kehendakmu? Nah, rasakan ini!”

Tiba-tiba tubuh Aji berkelebat. Sebelum Jaka Bintara dapat berbuat sesuatu, tangan kiri Aji sudah ditamparkan ke arah tengkuk lawan. Gerakannya cepat sekali, namun Aji tidak ingin mencelakai orang, hanya sekedar hendak memberi pelajaran maka dia tidak mengerahkan tenaga sakti yang terlalu kuat.

“Plakkk!”

Tamparan itu tepat mengenai tengkuk. Tubuh Jaka Bintara terputar, akan tetapi dia dapat bertahan, masih berdiri sambil mempergunakan kedua tangan memegangi kepalanya yang terasa berpusing, kedua matanya dipejamkan!

Tepat pada waktu tamparan Aji itu mengenai tengkuk, dengan cermat sekali Ki Salmun si tukang kendang memukul kendangnya sehingga terdengar suara berdentam keras seolah-olah pukulan itu yang mengeluarkan suara! Penonton bersorak! Jelas tampak oleh mereka betapa tamparan itu tepat mengenai tengkuk dan melihat pula betapa tubuh Jaka Bintara terputar lalu berdiri sambil memejamkan mata dan memegangi kepalanya.

Tentu saja Jaka Bintara menjadi marah bukan main. Meski pun dia sudah terkena pukulan namun dia masih memandang rendah karena pukulan itu tidak sampai merobohkannya. Dia mengira lawannya sudah mengerahkan seluruh tenaga sehingga berarti bahwa lawan itu hanya mempunyai ilmu silat yang sangat cepat akan tetapi tidak memiliki tenaga yang mengkhawatirkan. Kalau tenaga lawan hanya sebegitu, biar pun dipukul lima kali, dia tidak akan roboh, tetapi sekali saja dia dapat membalas, pasti lawan akan roboh dan mampus!

“Ambrol dadamu!” Dia membentak lagi dan kini dia menyerang dengan tendangan kakinya yang panjang.

Tapi seperti tadi, Aji hanya mengelak dan cepat sekali tangannya menyambar, menangkap tumit kaki yang menendang dan sekali mengerahkan tenaga, dia melontarkan tubuh lawan dengan mendorong ke atas.

Tanpa bisa dihindarkan lagi tubuh Jaka Bintara langsung terlempar ke atas. Akan tetapi dia dapat berjungkir balik mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak sampai terbanting jatuh melainkan dapat turun di atas papan panggung dengan kedua kaki lebih dulu. Namun tetap saja dia terhuyung-huyung.

Kembali terdengar sorak-sorai, kini lebih gempita dari pada tadi. Orang-orang mulai merasa lega, senang dan gembira, maklum bahwa pemuda asing itu benar-benar dapat mengatasi jagoan Banten itu.

Jaka Bintara merasa seolah kulit mukanya ditoreh. Dia merasa malu sekali dan karenanya dia menjadi marah hingga membuat kedua matanya berubah merah dan mulutnya seperti berbusa. Dia memandang Aji yang berdiri santai di hadapannya dengan sinar mata seolah hendak membakarnya dengan sinar matanya.

“Keparat! Rasakan pembalasanku!” Dia merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, mulutnya berkemak kemik membaca mantera, kemudian menggosok-gosok lagi sepasang tangannya dan sekali ini bukan asap hitam saja yang nampak di antara kedua tangannya, melainkan nyala api! Lalu dia menekuk kedua lututnya, mendorongkan kedua tangan yang sudah bernyala itu ke arah Aji.

“Aji Analabanu...!”

Nyala api yang bersinar-sinar menerpa ke arah Aji. Akan tetapi semenjak tadi Aji telah siap siaga, maklum bahwa lawan menggunakan aji pukulan yang sangat ampuh. Maka dia pun menyambut dengan dorongan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sakti Surya Chandra.

“Wuuuttt...! Bresss...!”

Tubuh Jaka Bintara tersentak ke belakang lantas terlempar sampai keluar dari panggung, jatuh ke bawah panggung. Aji menggunakan kekuatan untuk bertahan saja dan lawannya terpental oleh tenaganya sendiri yang membalik. Jaka Bintara muntah darah, terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik.

Melihat ini Tumenggung Jayasiran segera memerintah prajurit pengawal untuk menolong dan memapah pemuda itu ke tempat duduknya. Tepuk tangan dan sorak sorai menyambut kemenangan Aji. Akan tetapi pada saat itu pula Kyai Sidhi Kawasa sudah berada di atas panggung dan berhadapan dengan Aji.

“Hmm, Lindu Aji, andika telah berhasil mengalahkan muridku. Sekarang lawanlah gurunya. Kalau andika mampu mengalahkan aku, barulah andika patut disebut seorang muda yang sakti mandraguna!” Ucapan Kyai Sidhi Kawasa itu terdengar lemah lembut.

Aji memandang kakek itu dan maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang tua yang berilmu tinggi. Maka dia lalu menyembah dan memberi hormat. “Maaf, eyang, dengan siapakah saya berhadapan?”

“Heh-heh-heh, orang muda, andika belum mengenal aku? Sudah sepantasnya karena aku bukan orang sini, melainkan datang dari Banten. Namaku adalah Kyai Sidhi Kawasa.”

Diam-diam Aji terkejut. Dia pernah mendengar nama datuk dari Banten ini.

“Ahh. kiranya eyang adalah Kyai Sidhi Kawasa yang terkenal sakti mandraguna itu. Saya tidak punya persoalan dengan eyang, mengapa eyang menantang saya?”

“Tidak punya persoalan? Andika sudah merobohkan muridku Raden Jaka Bintara. Sudah sepatutnya aku sebagai gurunya membelanya dan menebus kekalahannya.”

“Maaf, eyang. Saya yakin bahwa eyang adalah seorang yang bijaksana sehingga maklum bahwa murid eyang sudah melakukan kekejaman. Semestinya eyang sendirilah yang turun tangan mengingatkan dan memberi hukuman kepadanya supaya nama besar eyang tidak terseret ke dalam kecemaran. Saya hanya membela mereka yang diperlakukan sewenang-wenang oleh Jaka Bintara, harap eyang dapat memakluminya.”

Kata-kata yang halus dan merendah dari Aji ini oleh Kyai Sidhi Kawasa dianggap sebagai tanda rasa takut. Dia mengedikkan kepalanya yang kecil dan botak, lalu berkata lantang.

“Heh, Lindu Aji, kalau engkau merasa bersalah, berlututlah dan mohon ampun kepadaku.”

Aji berkata dengan tenang. “Maaf, eyang. Saya tidak dapat minta ampun karena saya tak merasa bersalah.”

“Hemm, kalau begitu tidak ada jalan lain lagi. Andika harus bertanding dengan aku untuk menentukan siapa yang lebih sakti!”

“Saya tidak bermusuhan dengan eyang, akan tetapi apa boleh buat kalau eyang memaksa saya bertanding. Akan saya layani.”

“Bagus, bersiaplah andika, Lindu Aji!” kata kakek itu.

“Tahan, harap jangan bertanding!” Mendadak terdengar suara dan Tumenggung Jayasiran berlari-lari ke tengah panggung melerai mereka yang hendak bertanding.

“Anakmas Tumenggung, kenapa menghalangi saya yang hendak memberi hajaran kepada bocah sombong ini?” tanya Kyai Sidhi Kawasa penasaran.

“Maaf, paman. Baru saja saya tahu bahwa anakmas Lindu Aji ini bukan orang lain, bukan musuh.” Lalu tumenggung itu menghadapi Aji dan bertanya, “Bukankah andika yang sudah menyelamatkan Gusti Adipati Pangeran Mas Gede?”

Ternyata ketika tumenggung itu mendengar nama Lindu Aji, dia lantas teringat akan berita yang terdengar olehnya tentang pemberontakan Tumenggung Jaluwisa yang gagal karena sang adipati diselamatkan oleh seorang pemuda bernama Lindu Aji bersama kedua orang kawannya. Sesudah bertanya-tanya kepada beberapa orang pengawal akhirnya dia yakin bahwa pemuda itulah penolong sang adipati, maka cepat-cepat dia melerai pertandingan antara pemuda itu dan Kyai Sidhi Kawasa.

Aji mengangguk dengan hormat. Dia tahu bahwa tumenggung ini adalah tuan rumah, maka dia lalu menjawab, “Benar, paman tumenggung.”

“Ah, kalau begitu maafkan bahwa tidak sejak tadi aku menyambutmu, anakmas. Dan lebih menyesal lagi aku tidak mencegah pertandingan tadi. Anakmas Lindu Aji, silakan duduk di atas dan silakan bila andika ingin berjoget dengan Neneng Salmah. Kami akan menyuruh dia datang melayani andika berjoget.”

Aji tersenyum. “Tidak perlu, paman. Saya tidak ingin berjoget, hanya tidak tahan melihat perlakuan sewenang-wenang tadi. Sebenarnya saya merasa heran sekali mengapa paman membiarkan penyiksaan dan penghinaan itu terjadi?”

Tumenggung Jayasiran tersenyum rikuh. “Ahh, maafkan anakmas. Tadi saya kira mereka hanya bertanding seperti biasa saja, tak tahunya menjadi sungguh-sungguh. Saya merasa sangat menyesal dan akan menghentikan acara petandingan ini. Cukup dengan berjoget saja secara bergiliran, tanpa pertandingan. Silakan masuk, anakmas.”

Aji menggelengkan kepalanya. “Terima kasih, paman tumenggung. Saya akan pergi untuk mencari tempat penginapan.”

“Ah, kalau ingin menginap, mengapa harus mencari tempat lain? Menginaplah saja di sini, anakmas! Andika adalah penyelamat gusti adipati, maka sudah sepantasnya kalau kami menyambut andika dengan segala senang hati dan kehormatan. Kami ikut berterima kasih atas pertolonganmu itu.”

“Terima kasih, paman. Saya hendak mencari penginapan di luar saja. Selamat malam!” Aji memandang ke arah wajah Kyai Sidhi Kawasa dan melihat betapa tatapan mata kekek itu ditujukan kepadanya dengan penuh rasa dendam. Dia pun maklum bahwa selanjutnya dia harus berhati-hati karena dendam seorang seperti kakek ini sangatlah berbahaya. Setelah memberi hormat kepada tumenggung itu, dia pun segera melompat turun dari panggung dan meninggalkan tempat itu.

Selagi Aji berjalan untuk mencari tempat penginapan, tiba-tiba seorang lelaki setengah tua menghadangnya dan bertanya dengan suara lembut dan ramah. “Apakah denmas sedang mencari tempat penginapan?”

Aji mengangkat muka memandang. Sinar lampu gantung di depan sebuah rumah tak jauh dari situ cukup menerangi wajah orang itu. Seorang lelaki berusia kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian seperti petani sederhana dan sikapnya kelihatan lugu, sama sekali tidak mencurigakan.

“Benar sekali, paman. Tetapi jangan sebut aku denmas karena aku bukan seorang priyayi. Apakah paman mengetahui di manakah ada tempat penginapan di kadipaten ini?”

“Den... ehh, anakmas. Kalau anakmas sudi, silakan bermalam di rumah kami. Kami akan senang sekali kalau anakmas sudi bermalam di rumah kami yang buruk.”

Lindu Aji menjadi tertarik. Dia mengamati wajah orang itu penuh selidik. “Siapakah paman dan mengapa paman yang belum mengenalku sudah begitu baik hati menawarkan rumah untuk aku bermalam?”

Mendengar nada suara Aji, orang itu segera menjawab. “Harap jangan curiga, anakmas. Aku sudah mengenal Anakmas Lindu Aji dengan baik semenjak di tempat pesta tadi. Aku biasa dipanggil Mang Engkos dan aku adalah ayah dari Sudarman yang malang, yang tadi menderita cidera karena kekejaman orang Banten itu. Karena anakmas sudah menghajar jagoan Banten itu maka kami berterima kasih sekali dan mendengar anakmas memerlukan tempat bermalam, maka aku cepat mengejarmu untuk menawarkan rumah kami sebagai tempat bermalam.”

Aji mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan merasa senang untuk bermalam di rumah keluarga Sudarman, pemuda tampan kerempeng yang tadi dengan gagah berani melawan Jaka Bintara.

“Terima kasih atas kebaikan hatimu, paman... ehh, Mang Engkos. Bagaimana keadaan Sudarman sekarang?”

“Marilah kita pulang, anakmas dan andika dapat melihat sendiri keadaannya. Menurut ahli pengobatan yang memeriksanya, dia mengalami patah tulang kaki tangan, akan tetapi dia akan sembuh. Justru keadaan Ki Bajra yang lebih parah. Dia juga berada di rumah kami, sedang dirawat oleh ahli pengobatan itu.”

Aji sudah tahu. Tadi dia melihat betapa Sudarman hanya patah tulang tangan dan kakinya, akan tetapi gurunya, Ki Bajra, sudah kena pukulan berhawa panas yang ampuh sekali. Aji mengikuti Mang Engkos ke rumah keluarga itu yang berada dipinggir kota, di bagian yang sunyi karena rumah itu agak terpencil. Sebuah rumah yang cukup besar biar pun tampak sederhana.

Ternyata di rumah itu hanya tinggal Mang Engkos yang sudah menduda bersama putera tunggalnya, yaitu Sudarman serta beberapa orang keponakan laki-laki yang sering datang untuk membantu pekerjaan Mang Engkos di sawah ladang. Semua keponakannya ini pun menjadi murid Ki Bajra yang sudah beberapa tahun tinggal di rumah Mang Engkos karena kakek ini seorang perantau yang tidak mempunyai keluarga.

Aji memeriksa keadaan Sudarman yang rebah di dalam sebuah kamar di atas tempat tidur kayu. Pemuda itu tersenyum ketika diperkenalkan kepada Aji. Dia sudah mendengar dari saudara-saudara seperguruannya betapa Aji telah menghajar keras jagoan dari Banten itu dan menyelamatkan Neneng Salmah dari penghinaan.

“Andika hebat sekali mampu mengalahkan Jaka Bintara yang digdaya itu!” kata Sudarman sambil memandang dengan sinar mata kagum. Kaki dan tangannya dibalut kuat-kuat dan biar pun dia menderita nyeri yang cukup hebat tetapi wajahnya tersenyum dan sedikit pun tidak tampak menderita!

“Bagaimana Darman? Apakah tidak terasa nyeri lagi?” tanya ayahnya sambil duduk di tepi pembaringan.

“Tentu saja nyeri, bapa. Panas, berdenyut-denyut dan terasa seperti ditusuk-tusuk,” jawab Sudarman, akan tetapi sambil tersenyum memandang ayahnya.

“Tapi kulihat wajahmu sama sekali tidak tampak menderita, Darman! Bagaimana mungkin itu? Engkau malah tersenyum-senyum seolah-olah merasa enak saja!” kata Mang Engkos dengan heran.

Sudarman memandang kepada Aji yang masih berdiri di situ dan tersenyum lebar. “Habis bagaimana lagi, bapa? Apakah aku harus menjerit-jerit dan menangis? Itu pun tidak akan mengurangi rasa nyeri. Yang patah adalah tulang kaki tangan saya, yang nyeri adalah kaki dan tangan itu, bukan aku, bapa,” kata pemuda itu sambil menunjuk dada sendiri.

“Hmm, bagaimana ini? Aku tidak mengerti, Darman. Jika engkau merasa nyeri, bagaimana wajahmu dapat terenyum dan berseri-seri seperti ini?” tanya Mang Engkos sambil geleng-geleng kepala.

“Ha-ha-ha, bapa. Inilah satu di antara ilmu-ilmu yang kupelajari dari Bapa Guru. Aku yakin ki sanak yang sakti mandraguna ini dapat menjelaskannya kepadamu.”

Mang Engkos menoleh kepada Aji yang masih berdiri mendengarkan percakapan antara anak dan ayah itu sambil tersenyum. “Anakmas Lindu Aji, benarkah andika mengerti apa yang diucapkan anakku tadi? Jangan-jangan dia bicara ngaco karena nyeri dan demam!”

Aji mengangguk. “Aku mengerti, paman. Begitulah jika sang rasa sudah masuk ke dalam nyeri hingga menjadi satu, tidak ada perpisahan antara nyeri dan rasa sehingga orangnya tidak tahu lagi apakah yang dirasakan itu nyeri ataukah nikmat.”

“Ehh? Bagaimana ini? Aku menjadi tambah tidak mengerti!” kata Mang Engkos.

“Sudahlah, bapa, hal itu takkan dimengerti oleh yang belum menguasai ilmu itu. Pokoknya kita terima saja tanpa perlawanan, tanpa keluhan, menerimanya bukan sebagai kenyerian melainkan sebagai sesuatu yang wajar. Ehh, ki sanak, tadi aku sudah mendengar tentang pertandinganmu melawan Jaka Bintara. Hebat sekali! Siapakah namamu tadi?”

“Namaku Lindu Aji.”

“Andika masih muda sekali tapi sudah sakti mandraguna, Adimas Aji. Sekarang aku minta agar andika tidak kepalang tanggung menolong dan menyelamatkan orang.”

Aji memandang pemuda yang rebah telentang di atas pembaringan itu dengan sinar mata bertanya. “Menolong dan menyelamatkan siapakah, Kakang-mas Sudarman?”

“Siapa lagi jika bukan Neneng Salmah? Tolong selamatkan dia, dimas. Dia seorang gadis yang baik sekali, walau pun bekerja sebagai seorang ledek.”

“Akan tetapi... dia kenapa?” tanya Aji.

“Ahh, setelah peristiwa tadi, aku merasa gelisah sekali, dimas. Aku sendiri dan bapa guru sudah tidak berdaya, dan Neneng Salmah tidak mempunyai pelindung. Padahal peristiwa tadi... ahh, aku yakin bahwa dia sedang berada dalam bahaya besar.”

“Bahaya besar? Bahaya apa dan siapa yang akan mengganggunya?”

“Siapa lagi kalau bukan orang Banten itu? Aku melihat sikapnya dan orang seperti itu tentu tidak akan mau berhenti sebelum niat busuknya terlaksana. Dan Tumenggung Jayasiran agaknya amat menghormatinya. Dengan campur tangan sang tumenggung, tidak mungkin Neneng Salmah akan dapat lolos dari cengkeraman orang Banten itu, kecuali kalau andika mau menolongnya.”

“Akan tetapi bagaimana caranya, kangmas Sudarman?”

“Begini, dimas. Malam ini biar andika diantar bapa berkunjung ke rumah Ki Salmun, yaitu ayah Neneng Salmah. Biar bapa yang menerangkan bahwa sebaiknya andika bermalam di sana untuk menjaga kalau-kalau ada bahaya mengancam gadis itu. Tentu andika bersedia menolong, bukan?”

Aji mengerutkan alisnya. “Tentu saja aku selalu siap sedia menolong siapa pun juga. Tapi apa kata orang jika aku bermalam di sana? Tentu akan menjadi bahan pergunjingan orang bahwa ada sesuatu yang tidak pantas antara aku dan Neneng Salmah.”

“Peduli apa dengan gunjingan orang, dimas? Yang penting kita tidak melakukan hal tidak pantas! Kalau andika menolak, lalu besok mendengar bahwa Neneng Salmah mengalami bencana, apakah andika tidak akan menyesal?” kata Sudarman dengan suara mendesak.

Aji mengerutkan alisnya. Benar juga apa yang dikatakan pemuda yang bijaksana ini. Biar pun orang sedunia menuduhnya, tapi bila kenyataannya dia memang tidak melakukan apa yang dituduhkan orang, megapa dia mesti pusing?

Gurunya juga selalu mengajarkan bahwa yang terpenting bagi seseorang adalah eling lan waspodo (ingat dan waspada), yaitu ingat setiap saat dan menyerah kepada Gusti Allah dan waspada terhadap pikiran, kata, dan perbuatan sendiri. Kalau kita waspada dan sadar bahwa kita bersalah, inilah yang penting dan harus kita ubah. Sebaliknya kalau kita tidak bersalah, mengapa harus memusingkan gunjingan orang? Dan kalau benar besok terjadi sesuatu yang mencelakakan Neneng Salmah karena dia menolak bermalam di sana, tentu saja dia akan merasa menyesal bukan main.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)