ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-46


Aji mengangguk dan berangkatlah mereka berdua ke rumah Neneng Salmah yang berada di sebelah utara di pinggir kota kadipaten Sumedang. Akan tetapi, begitu tiba di rumah Ki Salmun, mereka menemukan Ki Salmun sedang menangis kebingungan.

Mang Engkos segera bertanya apa yang telah terjadi sementara Aji mendengarkan dengan kening berkerut. Ketika Ki Salmun melihat Aji dan mengenalnya sebagai pemuda perkasa yang tadi telah menghajar Jaka Bintara, dia lalu berlutut menyembah-nyembah.

“Raden... tolonglah anak saya... tolonglah Neneng Salmah.”

Aji memegang kedua pundak Ki Salmun dan menariknya bangkit.

“Tenanglah, paman. Tenanglah dan ceritakan apa yang terjadi.”

“Serombongan prajurit datang dan mereka memaksa Neneng Salmah ikut ke rumah Raden Tumenggung Jayasiran yang memanggilnya. Anak saya menolak, akan tetapi dia dipaksa dan diseret ke dalam kereta lalu dibawa pergi...” kata Ki Salmun dengan bingung.

“Kapan hal itu terjadi, paman?” tanya Aji.

“Baru saja dan saya tidak tahu harus berbuat apa. Tolonglah... tolong anak saya, raden...”

“Mang Engkos, harap temani paman ini dulu. Aku hendak menyusul dan menolong Neneng Salmah!” Setelah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban tubuh Aji sudah berkelebat lenyap karena dia sudah menggunakan Aji Bayu Sakti, meloncat dan berlari secepat angin menembus kegelapan malam menuju ke rumah Tumenggung Jayasiran.

Ternyata rumah gedung itu telah sepi. Pesta tadi telah bubar hanya tinggal bekasnya saja, yaitu daun-daun dan kertas bekas pembungkus makanan yang berserakan di pekarangan, di bawah panggung.

Aji memasuki pekarangan yang sepi itu, lalu menyusup ke samping dan melompati pagar tembok samping yang tak begitu tinggi. Dia turun ke sebelah dalam yang ternyata berupa sebuah taman dan menyelinap di antara pohon dan semak menuju ke gedung yang sudah kelihatan sunyi itu. Dia bingung karena tidak tahu di mana Neneng Salmah berada, namun dia yakin bahwa gadis penari itu tentu dibawa ke gedung ini.

Tiba-tiba dia mendengar jerit wanita, akan tetapi jerit itu segera terdiam seolah mulut yang menjerit itu dibungkam. Jeritan pendek itu telah cukup memberi petunjuk bagi Aji ke mana dia harus mencari.

Cepat dia melompat ke bagian belakang gedung. Dia melihat sinar lampu menyorot keluar dari celah-celah jendela sebuah kamar dan terdengar suara napas orang terengah-engah dari dalam kamar itu. Aji lalu mendorong daun jendela kamar dan jendela itu pun jebol.

Di bawah sinar lampu gantung di kamar itu, dia melihat Neneng Salmah mempertahankan diri, bergumul di atas pembaringan dengan seorang pria yang berusaha merenggut lepas pakaiannya. Dara itu melawan dengan gigih, mempertahankan pakaiannya dengan gigitan, cakaran, dan pukulan. Mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara karena dibekap tangan kiri penyerangnya yang bukan lain adalah Raden Jaka Bintara!

Ternyata Jaka Bintara inilah yang karena merasa penasaran, minta kepada Tumenggung Jayasiran agar dia dapat menguasai Neneng Salmah yang digandrunginya. Tumenggung itu merasa sungkan untuk menolak, apa lagi dia tadi tidak bisa mencegah ketika pangeran Banten itu dikalahkan dan dipermalukan di depan umum. Untuk menghibur hati pangeran itu, Tumenggung Jayasiran memenuhi permintaannya dan memerintahkan pasukan untuk memanggil Neneng Salmah dan memaksa gadis itu agar datang ke gedungnya, kemudian menyerahkannya kepada Jaka Bintara.

Pemuda bangsawan Banten itu menjadi girang sekali dan sesudah dia memasuki kamar di mana Neneng Salmah dikeram, dia menerkam gadis itu bagaikan seekor binatang buas! Namun gadis itu melawan dengan sekuat tenaga, bahkan sempat mengeluarkan jeritan.

Ketika daun jendela jebol, Jaka Bintara terkejut dan dia menjadi lebih terkejut lagi sesudah menengok ke jendela yang telah terbuka. Dia melihat wajah Aji yang tertimpa sinar lampu dari dalam. Dia terbelalak dan merasa gentar karena dia maklum bahwa dia tidak mampu menandingi pemuda yang sakti mandraguna itu. Terlebih lagi melihat sinar mata Aji yang mencorong itu, Jaka Bintara merasa gentar dan maklum bahwa dirinya terancam bahaya besar.

Pada dasarnya orang yang senang bertindak kejam memang menyembunyikan perasaan takut. Perasaan takut ini membuat pemuda itu cepat melepaskan Neneng Salmah lalu dia pun melompat, membuka daun pintu kamarnya dan lari meninggalkan kamar itu. Dia harus cepat mencari bala bantuan, dan siapa lagi kalau bukan gurunya yang mampu menandingi Lindu Aji?

Sesudah melihat Jaka Bintara melarikan diri, Aji segera melompat masuk ke dalam kamar itu. Neneng Salmah membereskan pakaiannya yang awut-awutan, lalu saking girang dan leganya dia cepat berlari menghampiri Aji, menjatuhkan diri berlutut di hadapan pemuda itu sambil merangkul kedua kakinya, menyembah dan mencium kaki seperti orang melakukan sungkem (menghormati orang dengan sembah sujud).

“Terima kasih, raden... terima kasih...”

Aji cepat memegang lengan gadis itu dan menariknya bangkit. “Cukuplah, mari kita cepat-cepat pergi dari sini.”

Neneng Salmah adalah seorang wanita yang tabah. Dia tidak menangis walau pun kedua pipinya masih basah. Dia mengangguk sambil bangkit berdiri dan menurut saja ketika Aji menarik lengannya menghampiri jendela.

Akan tetapi pada saat itu Neneng Salmah berseru, “Awas, raden...!”

Aji cepat membalikkan tubuh dan melihat Kyai Sidhi Kawasa telah berdiri di ambang pintu. Di belakangnya berdiri Jaka Bintara yang berlindung di belakang gurunya. Agaknya Kyai Sidhi Kawasa sudah marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah mendorongkan kedua tangannya dengan Aji Analabanu. Sinar api berkobar segera menyambar dari kedua telapak tangannya ke arah Aji.

Namun dengan tenangnya tetapi dengan pengerahan tenaga sakti sepenuhnya pemuda itu menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula. Karena maklum bahwa tenaga kakek ini tentu jauh lebih kuat dari pada tenaga Jaka Bintara, maka Aji juga mempergunakan Aji Guruh Bumi. Begitu dia mengerahkan tenaga untuk menyambut, kamar itu seolah tergetar hebat, seolah ada gempa bumi. Demikian hebatnya Aji Guruh Bumi itu.

“Wuuuttt...! Blarrrr...!”

Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dan akibatnya, tubuh Kyai Sidhi Kawasa lantas tergetar sehingga dia terpaksa melangkah mundur tiga kali. Aji tidak terpengaruh benturan tenaga itu, dan dia cepat memondong tubuh Neneng Salmah lalu membawanya melompat keluar jendela.

Gadis itu memejamkan mata ketika merasa betapa pinggangnya dirangkul dan tubuhnya dibawa ‘terbang’. Memang demikianlah rasanya ketika dia dipondong dan dibawa lari cepat sekali kemudian melompati tembok sehingga akhirnya mereka tiba di luar gedung. Setelah itu barulah Aji menurunkan tubuh Neneng Salmah dari pondongannya dan barulah wajah Aji menjadi kemerahan dan jantungnya berdebar.

“Ahh... nimas, maafkan aku. Terpaksa aku memondongmu agar dapat lari dengan cepat,” kata Aji.

Neneng Salmah menjadi makin kagum. Tadi dia sudah merasa kagum dan merasa dibela kehormatannya ketika melihat pemuda ini menghajar Jaka Bintara. Oleh karena itu, ketika dia berada dalam cengkeraman Jaka Bintara di dalam kamar tadi, bagaikan seekor domba dalam cengkeraman harimau, lalu Aji muncul dan membuat laki-laki jahat itu melarikan diri, dia menjadi terharu dan bersyukur sekali sehingga dia lantas menjatuhkan diri berlutut dan sungkem di depan kaki Aji.

Kemudian pemuda yang dikaguminya itu bahkan melawan serangan kekek mengerikan itu, lalu memondongnya dan membawanya lari keluar dari gedung Tumenggung Jayasiran. Dan apa yang dilakukan pemuda itu setelah menyelamatkan dirinya dari bahaya yang baginya lebih mengerikan dari pada kematian? Pemuda itu bahkan minta maaf karena tadi sudah memondongnya!

Selama hidupnya belum pernah Neneng Salmah menemukan pemuda seperti ini! Berbudi dan bijaksana, lemah lembut dan bersusila tinggi!

Biasanya semua laki-laki seperti berlomba untuk dapat menjamahnya, baik menggunakan pengaruh uang, kedudukan, rayuan atau paksaan. Tetapi pemuda yang memondongnya ini malah minta maaf karena hendak membawanya lari dan menyelamatkannya!

Dan sebutan itu! Nimas! Betapa merdu memasuki telinganya. Betapa membuat dia merasa terhormat. Padahal hampir semua pria, kecuali Sudarman, seolah-olah memandang rendah padanya. Mereka mengira bahwa semua ledek adalah wanita murahan yang mudah saja menyerahkan diri kepada setiap orang laki-laki yang sanggup memberinya uang! Dia tahu apa artinya sebutan nimas itu, seperti sebutan adinda yang mesra dan akrab. Walau pun sebutan itu biasa dipergunakan di Jawa Tengah, di Mataram, namun dia tahu artinya, maka terdengar amat merdu menyenangkan.

“Aduh, raden... akulah yang sepatutnya mohon maaf kepadamu. Raden sama sekali tidak mengenalku akan tetapi andika telah menyelamatkan aku dari bencana, telah menolongku dengan mempertaruhkan keselamatan diri raden sendiri. Sepantasnya justru akulah yang mohon maaf dan menghaturkan terima kasih. Sampai mati pun aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu yang berlipah itu, raden.”

“Hemmm, jangan sebut aku raden, Nimas Neneng Salmah. Aku bukan bangsawan seperti Raden Jaka Bintara itu. Aku hanya seorang dusun biasa, namaku Lindu Aji. engkau cukup memanggilku Mas Aji saja.”

“Baiklah, Mas Aji. Kini bertambah lagi nilai andika di dalam pandanganku. Ternyata andika adalah seorang pemuda yang rendah hati pula. Tapi dalam pandanganku andika jauh lebih bijaksana, lebih berharga dari pada sekalian laki-laki bangsawan yang pernah kutemui dan aku berterima kasih sekali kepadamu.”

“Sudahlah, kalau hendak berterima kasih, berterima kasih dan bersyukurlah kepada Gusti Allah karena hanya Gusti Allah yang dapat menolong manusia. Aku ini hanya menjadi alat, menjadi sarana. Mari kuantar engkau pulang ke rumah Ki Salmun yang sedang menantimu dengan hati gelisah.”

“Bapa... ahh bapa... kasihan dia.”

Mereka lalu bergegas menuju rumah Ki Salmun.....

********************

Sementara itu Kyai Sidhi Kawasa dan Jaka Bintara yang merasa amat penasaran hendak melakukan mengejaran dan minta bantuan pasukan. Akan tetapi Tumenggung Jayasiran muncul dan mencegah mereka.

“Jangan kejar mereka. Baru saja aku mendapat kabar bahwa yang bernama Lindu Aji itu mempunyai keris pusaka Nogo Welang!”

“Hemm, lalu apa artinya itu?” tanya Kyai Sidhi Kawasa.

“Itu berarti bahwa dia adalah seorang utusan dan kepercayaan Sultan Agung di Mataram. Dia adalah seorang senopati Mataram!” kata Tumenggung Jayasiran. “Tadi baru saja aku mendapat berita ini dari seorang prajurit pengawal sang adipati. Oleh karena itu sebaiknya kita tidak membuat permusuhan dengan dia. Malah besok pagi-pagi sekali kuharap paman dapat mendahuluinya menghadap Gusti Adipati Pangeran Mas Gede untuk mempererat persahabatan antara Banten dan Sumedang karena saya berpendapat bahwa Lindu Aji itu besok pasti akan datang menghadap sang adipati. Apa bila paman melakukan pengejaran dan menggunakan pasukan, kemudian diketahui sang adipati, tentu saya akan mendapat teguran keras, paman. Sebaliknya kalau paman dapat menghadap lebih dahulu dan dapat meyakinkan hati sang adipati bahwa Lindu Aji itu mungkin dikirim Mataram sebagai mata-mata sehingga bisa membangkitkan kecurigaan dalam hati sang adipati, maka hal itu akan menguntungkan kita.”

Karena alasan yang dikemukakan Tumenggung Jayasiran itu kuat, biar pun hatinya masih penasaran, Kyai Sidhi Kawasa terpaksa mengangguk-angguk dan dia mengajak muridnya kembali ke kamarnya. Jaka Bintara yang merasa telah dua kali dihalangi dan diganggu Aji, mengepal kedua tangannya.

“Akan kubunuh dia... kubunuh dia...!”

********************

“Ah, Salmah, anakku...!” Ki Salmun merangkul anaknya dan keduanya berangkulan sambil menangis.

Mang Engkos yang tengah berada di situ berkata kepada Ki Salmun. “Sudahlah, kita harus bersyukur bahwa Neneng Salmah telah pulang dalam keadaan selamat berkat pertolongan Anakmas Lindu Aji.”

Ki Salmun seperti diingatkan. Dia cepat melepaskan anaknya kemudian membungkuk dan menyembah kepada Lindu Aji.

“Anakmas, banyak terima kasih atas pertolongan andika. Budi kebaikan andika terhadap kami sekeluarga sungguh tak ternilai besarnya.”

“Sudahlah, paman. Mari kita mengucapkan syukur dan menghaturkan terima kasih kepada Gusti Allah. Sekarang yang penting adalah paman dan Nimas Neneng Salmah harus pergi meninggalkan Sumedang untuk mencegah terjadinya hal-hal yang lebih buruk lagi.”

Ayah dan anak itu saling pandang dengan mata terbelalak, lalu Neneng Salmah memutar tubuh menghadapi Aji dengan wajah pucat.

“Mas Aji... benarkah kami... kami harus pergi meninggalkan rumah sekarang juga? Malam-malam begini? Akan tetapi kemana, mas...?”

“Benar, nimas. terpaksa engkau dan ayahmu harus pergi sekarang juga, kalau tidak tentu akan muncul gangguan-gangguan baru yang lebih berbahaya lagi sebab sudah jelas bahwa Tumenggung Jayasiran berpihak kepada orang Banten itu. Besok aku akan melaporkan kepada Paman Adipati Sumedang, minta keadilan. Akan tetapi engkau dan ayahmu harus pergi dulu sehingga tak akan terancam bahaya selagi aku pergi menghadap ke kadipaten.”

“Akan tetapi... Akang... eh, Mas Aji. Ke manakah kami harus pergi malam-malam begini?” suara gadis itu terdengar agak gemetar seperti hendak menangis, bahkan Ki Salmun juga bingung dan tak mampu berkata apa-apa. Meninggalkan Sumedang malam-malam begini, lalu hendak kemanakah?

“Apakah andika tidak punya keluarga yang tinggal jauh dari Sumedang, Paman Salmun?”

Ki Salmun menggelengkan kepalanya tanpa mengeluarkan suara karena merasa bingung sekali. Bingung harus pergi begitu saja bersama puterinya, meninggalkan rumah seisinya tanpa tahu harus pergi ke mana!

“Kang Aji...” dalam gugupnya Neneng Salmah keliru menyebut akang, bukan mas kepada Aji yang sesungguhnya masudnya sama, yaitu kakak atau kanda.

“Kami tidak mempunyai sanak dekat yang kiranya akan mampu menampung kami.”

“Kalau begitu aku yang akan mengatur. Malam ini juga andika berdua harus meninggalkan Sumedang dan mengungsi ke Cirebon.”

“Ke Cirebon?” kata Ki Salmun. “Tapi... tapi kami tidak mempunyai keluarga di sana...”

“Aku memiliki sahabat yang sangat baik, paman, yaitu Ki Subali yang tinggal di Dermayu. Tapi sebelum andika pergi ke Dermayu dan tinggal bersama Ki Subali, harap andika lebih dulu pergi ke Kadipaten Cirebon untuk menghadap Adipati Cirebon Pangeran Ratu.”

Kembali Ki Salmun terbelalak heran. “Menghadap Gusti Adipati Cirebon? Ah, Saya... saya tidak berani, anakmas!”

“Jangan khawatir, paman. Aku akan membuatkan sepucuk surat dan paman hanya tinggal menghadap kemudian menyerahkan surat itu saja. Gusti Adipati Pangeran Ratu pasti akan menyambut paman dan Nimas Neneng Salmah dengan baik. Sesudah itu barulah andika berdua pergi ke Dermayu, menemui Paman Subali dan menyerahkan suratku kepadanya.”

“Tetapi...!” Orang tua itu tampak bingung dan memandang ke sekeliling dalam rumahnya. “lalu bagaimana dengan rumah dan semua milik kami ini?”

“Jangan khawatir, paman. Kukira paman... ehh, Mang Engkos akan mau menjaganya dan kelak kalau perlu atas namamu menjual semua ini dan uangnya dapat paman pergunakan untuk membeli rumah dan sawah ladang di Dermayu, tentu saja kalau segalanya sudah tenang kembali. Malah ada kemungkinan juga andika berdua kembali ke sini, yaitu... kalau keadaan sudah aman dan nimas Neneng Salmah sudah mempunyai seorang suami yang dapat melindunginya.”

“Tentu saja aku mau mengurus rumah dan seisinya ini untuk Adi Salmun. Jangan khawatir akan hal itu!” kata Mang Engkos dengan serius.

“Nah, sekarang aku akan membuat surat untuk Paman Adipati Cirebon dan untuk Paman Subali di Dermayu. Andika berdua dapat berkemas, membawa apa yang sekiranya perlu. dan Paman... eh, Mang Engkos, harap suka mencarikan sebuah kereta dengan kuda-kuda yang dapat disewa untuk mengantar Paman Salmun dan Nimas Salmah ke Cirebon.”

Mang Engkos segera pergi. Biar pun masih bingung Ki Salmun dan Neneng Salmah juga segera berkemas, membawa pakaian dan barang-barang berharga yang tidak terlampau berat. Sementara itu Aji lalu membuat dua pucuk surat yang akan dibawa ayah dan anak itu. Sesudah semua beres, Ki Salmun dan Neneng Salmah telah selesai berkemas, kereta dan dua ekor kuda beserta kusirnya sudah datang, dan Aji sudah pula menyelesaikan dua sampul suratnya, pemuda itu lalu berkata,

“Nah, sekarang tiba saatnya bagi andika berdua berangkat, Paman Salmun.”

Ayah dan anak itu masih tampak kebingungan. “Aku... aku masih merasa tidak tenang dan khawatir, anakmas...”

“Dan aku juga takut, Mas Aji. Bagaimana jika dalam perjalanan nanti ada oang jahat yang menghadang dan mengganggu kami...?” suara Neneng Salmah seperti hendak menangis.

“Tenanglah, paman dan engkau juga, Nimas. Aku sendiri yang akan mengawalmu malam ini meninggalkan Sumedang. Sesudah malam ini lewat dengan aman, besok pagi barulah andika berdua boleh melanjutkan perjalanan tanpa aku.”

Wajah Neneng Salmah yang tadinya muram dan bendungan tangisnya hampir bobol, tiba-tiba saja kelihatan berseri dan mulutnya tersenyum. Hampir dia melompat dan menari-nari saking girangnya.

“Andika mengantar kami, Mas Aji? Aduh, terima kasih, terima kasih. Kalau begitu mari kita berangkat sekarang juga! Aku tidak takut lagi!” Ki Salmun juga merasa lega dan sekarang dia dapat tersenyum.

“Hanya sampai besok pagi, nimas. Besok pagi aku harus kembali ke sini karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Aku akan menghadap Paman Adipati Sumedang dan melaporkan semua kejadian ini agar beliau dapat turun tangan dan mengusir orang-orang Banten yang agaknya didukung Tumenggung Jayasiran itu.”

“Nanti dulu, aku ingin bicara dan mengajukan saran. Tetapi harap maafkan jika aku salah bicara, anakmas Aji.” kata Mang Engkos.

“Tentu saja boleh. Saran siapa pun pasti akan membantu dan amat penting, Mang Engkos. Mungkin saranmu lebih baik dari pada apa yang hendak aku lakukan.” kata Aji.

“Begini, Anakmas Aji dan kalian juga, adi Salmun dan Neneng Salmah. Kukira kepergian adi Salmun dan anaknya tidak perlu begini tergesa-gesa. Aku mendengar bahwa anakmas Aji sudah menyelamatkan Gusti Adipati dari serangan Tumenggung Jaluwisa yang hendak memberontak. Dengan demikian tentu anakmas amat dipercaya oleh Gusti Adipati. Maka jika anakmas melaporkan semua ini kepada beliau, tentu beliau akan bertindak, mengusir orang Banten itu dan menindak Tumenggeng Jayasiran. Nah, jika sudah begitu, bukankah berarti keadaan menjadi aman dan Neneng Salmah tidak terancam lagi. Jika sudah begitu kukira ayah dan anak ini tak perlu lagi melarikan diri dari Sumedang. Bagaimana pendapat kalian? Bukankah sebaiknya kepergian ini ditunda dan menanti sampai besok pagi untuk melihat bagaimana keadaannya setelah Anakmas Aji melapor kepada Gusti Adipati?”

Ayah dan anak itu memandang kepada Aji dengan sinar mata penuh harapan. Tentu saja mereka juga ingin sekali dapat tetap tinggal di Sumedang dan mereka menganggap usul Mang Engkos itu baik sekali.

Aji menyambut pandangan mereka dan dia pun termenung. Bagaimana pun juga usul itu memang pantas diperhatikan. Besar kemungkinan Adipati Sumedang akan mendengarkan laporannya dan bertindak. Kalau Jaka Bintara dan gurunya telah diusir dari Sumedang dan Tumenggung Jayasiran telah ditindak, berarti tak ada lagi ancaman bagi Neneng Salmah. Mengapa harus tergesa-gesa menyuruh mereka menyingkir malam-malam begini?

Aji mengangguk-angguk. “Usulmu baik sekali, Mang Engkos. Baiklah kalau begitu. Malam ini aku akan tinggal di sini untuk menjaga segala kemungkinan buruk. Besok pagi-pagi aku akan menghadap Paman Adipati Sumedang dan melaporkan kejahatan Jaka Bintara yang didukung Tumenggung Jayasiran. Kemudian kita lihat perkembangannya.”

“Terima kasih, Mas Aji...! Terima kasih, mang Engkos...!” Neneng Salmah berseru seperti bersorak gembira. “Biar kubuatkan masakan untuk andika bedua.” Gadis itu lalu berlari ke dapur untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi mereka semua.

Sesudah minum-minum sejenak, mang Engkos segera berpamit pulang karena dia harus merawat Sudarman dan Ki Bajra yang terluka. Aji dipersilakan beristirahat dalam sebuah kamar di mana pemuda ini duduk bersila, mengaso akan tetapi tetap waspada melakukan penjagaan. Sementara itu Neneng Salmah berada di kamar ayahnya.

Ayah dan anak itu bicara berbisik-bisik, tampaknya serius sekali.

“Sudah kau pertimbangkan baik-baik, Salmah?” tanya Ki Salmun berbisik.

“Tentu sudah, bapa. Bila hati telah merasa, perlukah pikiran mempertimbangkannya lagi? Selama hidupku belum pernah aku bertemu seorang laki-laki seperti dia. Aku jatuh cinta, bapa, aku merasa bahagia kalau dapat hidup didekatnya, biar hanya menjadi pelayannya atau abdinya. Tolonglah, bapa, sampaikan keinginanku ini kepadanya, bicarakanlah urusan perjodohan ini.”

Ki Salmun menghela napas panjang. “Hmm, memang sebetulnya sudah matang waktunya bagimu untuk menjadi istri orang, Salmah. Semenjak tiga tahun terakhir ini, entah berapa banyaknya pinangan pria yang terpaksa kutolak karena engkau masih belum ingin menjadi istri orang. Bahkan pinangan Sudarman putera Mang Engkos yang begitu baik, terpaksa kutolak. Padahal engkau juga tahu bahwa Sudarman adalah seorang pemuda yang sangat baik, bahkan tadi pun dia berusaha membelamu dari orang Banten itu. Akan tetapi engkau menolak juga dan sekarang... tiba-tiba engkau ingin menjadi istri anakmas Aji.”

“Akang Sudarman memang baik, tetapi aku tidak menyukainya, bapa. Sedangkan Mas Aji ini... ahh, dia sudah menjatuhkan hatiku dan aku merasa yakin bahwa hidupku pasti akan berbahagia di dekatnya, walau pun hanya menjadi pelayannya.”

“Hemm, kalau tekadmu sudah bulat seperti ini, biarlah besok akan kusampaian kepadanya setelah dia menghadap Gusti adipati.”

“Terima kasih, bapa! Memang bapa seorang yang bijaksana dan berhati mulia! Hatur nuhun (terima kasih), bapa...!” Gadis itu merangkul dan mencium pipi ayahnya.

Perbuatan ini mendatangkan rasa haru dalam hati Ki Salmun, membuat dia teringat akan mendiang istrinya dan dua butir air mata jatuh ke atas kedua pipinya.....

********************

Malam itu tidak terjadi sesuatu. Hal ini sesungguhnya berkat Tumenggung Jayasiran yang telah mencegah Kyai Sidhi Kawasa dan Jaka Bintara yang hendak melakukan pengejaran terhadap Aji.

Sesudah matahari muncul menerangi bumi, Aji pergi mandi dan menerima ajakan sarapan pagi yang disediakan oleh Neneng Salmah. Sepagi itu Neneng Salmah sudah mandi dan bertukar pakaian, tampak bersih dan cantik berseri walau pun wajahnya yang berkulit putih kuning mulus itu tidak memakai riasan apa pun, bahkan bedak pun tidak. Gadis itu terlihat malu-malu dan menjadii amat pendiam.

Ki Salmun juga tidak banyak bicara ketika mereka sarapan. Sesudah selesai sarapan, Aji berpamit untuk pergi menghadap Sang Adipati Sumedang.

“Kami doakan semoga usaha andika akan berhasil baik, anakmas,” kata Ki Salmun yang bersama puterinya mengantar pemuda itu sampai ke depan rumah.

Setelah Aji pergi, keduanya bergegas memasuki rumah lantas menutup daun pintu. Kereta yang disewa masih berada di pekarangan dan kusirnya yang dengan setia menunggu juga sudah mendapat kiriman sarapan dari Neneng Salmah.

Ketika sampai di pekarangan gedung kadipaten yang luas, Aji disambut oleh para prajurit pengawal dengan penuh kehormatan setelah mereka mengetahui bahwa pemuda itu yang kemarin telah menyelamatkan Sang Adipati. Mereka tahu bahwa pemuda itu ialah seorang senopati Mataram dan seorang yang sakti mandraguna. Salah satu dari pengawal segera melapor ke dalam dan tidak lama kemudian Aji diantar seorang perwira pasukan pengawal memasuki gedung kadipaten menuju ke ruangan tamu yang luas.

Akan tetapi ketika dia memasuki ruangan tamu di mana Adipati Sumedang, Pangeran Mas Gede, menantinya, Aji merasa terkejut bukan main melihat Kyai Sidhi Kawasa telah duduk berhadapan dengan sang adipati, agaknya menjadi tamu agung yang amat dihormati! Akan tetapi dia tidak memperlihatkan keterkejutan hatinya. Dengan tenang dia melangkah maju menghampiri, kemudian melakukan penghormatan dengan sembah sambil berdiri kepada sang adipati.

Pangeran Mas Gede bangkit berdiri dan menyambut Aji dengan senyum ramah.

“Akhirnya andika muncul juga, Anakmas Lindu Aji. Silakan duduk, memang sejak tadi kami menunggu kedatanganmu. Mari, kami perkenalkan. Anakmas, ini adalah Bapa Kyai Sidhi Kawasa, tokoh besar dari Banten yang juga menjadi penasihat Adipati Banten. Bapa Kyai, ini adalah Anakmas Lindu Aji, senopati muda Mataram yang sudah menyelamatkan kami dari ancaman pemberontak Tumenggung Jaluwisa!”

Melihat Kyai Sidhi Kawasa tidak bangkit berdiri, Aji pun segera duduk dan kedua orang ini saling pandang dengan sinar mata mencorong. Sang Adipati memandang dengan kening berkerut. Tadi dia sudah terlebih dulu menerima laporan datuk Banten itu betapa Aji telah menghina dan membikin malu Jaka Bintara, bahkan sudah melarikan Neneng Salmah dari tangan Jaka Bintara.

Tentu saja sang adipati merasa tidak enak hati terhadap dua orang tamunya dari Banten mengingat bahwa Raden Jaka Bintara adalah seorang pangeran dan dialah yang sudah memberikan Neneng Salmah kepada pangeran itu untuk menghiburnya. Akan tetapi di lain pihak, dia pun berhutang budi kepada Lindu Aji, maka dia menjadi serba bingung.

“Hm, para senopati Mataram hanya merupakan orang sombong yang suka memamerkan kesaktian, memukul orang-orang tak bedosa, sesuai dengan sifat angkara murka Mataram yang memerangi dan menaklukkan semua daerah. Akan tetapi Kadipaten Banten takkan tunduk kepada Mataram yang angkara murka!” kata Kyai Sidhi Kawasa.

“Paman...!” Pangeran Mas Gede terkejut sekali dan wajahnya berubah khawatir.

“Tidak apa-apa, Anakmas Adipati. Mungkin Kadipaten Sumedang memang mau mengakui kekuasaan Sultan Agung Mataram, tetapi kami dari Banten bukanlah taklukan Mataram!” kata Kyai Sidhi Kawasa dengan tajam menggigit.

Aji bangkit perlahan-lahan, memandang kepada kakek itu dengan sinar mata mencorong lalu berkata dengan tenang, “Kyai Sidhi Kawasa, sudah menjadi watak senopati Mataram sebagai satria sejati untuk menentang yang jahat dan membela yang lemah tertindas. Jika andika memaksakan kekerasan di mana pun andika berada, apa bila bertemu dengan aku sudah pasti aku akan menentangmu!”

“Babo-babo, apa kau kira aku takut padamu?” Kyai Sidhi Kawasa bangkit berdiri. Kini dia memegang sebuah tongkat ular cobra yang tampak mengerikan.

Aji juga bangkit berdiri. “Aku pun tidak takut padamu!”

Dua orang itu saling berhadapan, siap untuk saling serang. Adipati Sumedang cepat-cepat bangkit dari kursi dan berdiri di antara mereka untuk melerai.

“Cukup! Bila ada permusuhan pribadi harap jangan dipertengkarkan di sini! Apakah andika berdua sama sekali tidak menaruh hormat kepada kami?”

“Maafkan, Anakmas Adipati.” kata Kyai Sidhi Kawasa sambil duduk kembali.

Namun Aji menghadapi sang adipati dan berkata dengan hormat. “Paman Adipati, orang Banten ini dan muridnya sudah berlaku sewenang-wenang di kadipaten ini, mengandalkan kesaktian melukai orang-orang, bahkan semalam mereka telah menculik Neneng Salmah. Tindakan mereka didukung Tumenggung Jayasiran, bahkan baru saja kakek ini menghina Mataram. Apakah Paman Adipati akan mendiamkan saja sikap dan perbuatannya?”

“Anakmas Lindu Aji, tenanglah dan bersabar dulu. Bagaimana pun juga Paman Kyai Sidhi Kawasa ini adalah tamu kehormatan kami, sebab dia adalah utusan dari kerajaan Banten. Bahkan muridnya, Raden Jaka Bintara, adalah seorang Pangeran Banten. Oleh karena itu semua urusan harus diselesaikan dengan jalan damai, bukan dengan permusuhan.”

“Hemm, begitukah pendapat paman? Baiklah, kalau begitu saya mohon pamit!” Sesudah berkata demikian Aji segera memberi hormat lantas keluar dari ruangan itu, terus berjalan cepat meninggalkan gedung itu menuju ke rumah Ki Salmun.

Ketika dia sampai di sana, Ki Salmun dan Neneng Salmah menyambutnya dengan penuh harapan. Mang Engkos juga sudah berada di sana, ingin mengetahui apa hasil kunjungan Aji ke kadipaten.

“Bagaimana hasilnya, anakmas?”

“Mas Aji, kami tidak perlu pergi, bukan?” tanya pula Neneng Salmah penuh harapan.

Aji menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. “Keadaannya bertambah buruk. Ternyata Adipati Sumedang juga membela orang Banten. Andika berdua bersiaplah, kita pergi sekarang juga. Paman Salmun, tolong berikan surat saya kepada Kanjeng Adipati di Cirebon, akan saya tambahi sedikit laporan saya.”

Ayah dan anak itu tentu saja menjadi prihatin lagi. Ki Salmun cepat mengeluarkan surat itu dan Aji menambahkan laporannya. Setelah itu Ki Salmun, Neneng Salmah dan Aji segera naik kereta yang masih siap menunggu di pekarangan dan berangkatlah mereka.

Neneng Salmah duduk di dalam kereta sambil menangis tanpa suara. Aji dan Ki Salmun duduk di depannya dan kereta bergerak meninggalkan pekarangan rumah itu.

Mang Engkos berdiri di pekarangan mengikuti kereta itu dengan pandangan matanya yang sayu. Dia ikut berduka akan nasib Neneng Salmah dan ayahnya. Kalau saja dulu Neneng Salmah menerima pinangannya, pikirnya, tentu sekarang telah menjadi istri Sudarman dan tidak akan terjadi musibah ini karena Sudarman tentu melarang istrinya menjadi ledek. Dia berjanji pada diri sendiri akan merawat rumah itu dan isinya dengan baik-baik.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)