ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-47
Tadi ketika beberapa kali dia beradu pandang, dia terkejut melihat betapa sinar mata gadis itu mengandung tatapan yang sangat aneh! Seperti orang terharu, seperti orang memohon dan ada kemesraan yang terasa benar olehnya dalam pandang mata yang indah itu.
Melihat ayahnya masih belum juga tanggap, Neneng Salmah segera menjulurkan kaki dan menyentuh kaki Ki Salmun yang duduk di depannya. Ki Salmun terkejut, lalu memandang puterinya dan kembali Neneng Salmah memberi isyarat dengan kedipan matanya ke arah Aji. Barulah Ki Salmun mengerti apa yang dimaksud puterinya.
Sesungguhnya sejak tadi pun dia sudah memikirkan janjinya semalam kepada puterinya, hanya saja dia merasa rikuh dan sulit sekali mengeluarkan kata-kata untuk menyampaikan keinginan hati anaknya itu.
Ki Salmun menoleh pada Aji yang duduk di sebelah kanannya. Melihat Aji duduk dengan punggung lurus dan kedua mata terpejam, dia menjadi ragu-ragu lantas menoleh kepada anaknya. Neneng Salmah kembali memberi isyarat seolah-olah mendorong ayahnya untuk segera bicara, maka Ki Salmun lalu menggunakan tangan kanannya menyentuh paha kiri Aji dan berkata lembut.
“Tentunya anakmas Aji sangat lelah dan mengantuk. Semua itu andika lakukan demi kami, sungguh membuat hati kami ayah dan anak merasa tak enak sekali karena telah membuat anakmas kelelahan.”
Seperti yang diharapkan ayah dan anak itu, Aji tidak tertidur. Dia membuka matanya, lalu menoleh dan tersenyum memandang kepada Ki Salmun.
“Ah, tidak sama sekali, paman. Saya tidak lelah atau mengantuk, tapi sedang memikirkan keadaan Kadipaten Sumedang.”
“Kalau begitu maafkan bila saya mengganggu ketenanganmu, anakmas. Ada sesuatu hal yang hendak saya sampaikan.”
“Ada apakah, paman? Kalau ada persoalan, katakan saja. Mengapa mesti ragu-ragu?” Aji merasa heran, apa lagi melihat Neneng Salmah menundukkan wajahnya dengan dua pipi merah sekali!
“Tetapi sebelumnya kami mohon sudilah kiranya anakmas memaafkan kami...” Ki Salmun tampak gugup dan mukanya basah berkeringat.
“Tentu saja! Paman ini aneh-aneh saja. Katakan saja kalau hendak menyatakan sesuatu, mengapa harus sungkan-sungkan dan minta maaf segala? Katakanlah, paman, aku yakin tidak akan marah.”
“Begini, anakmas. Tadi malam kami, saya dan Salmah sudah merundingkan tentang masa depan kehidupan Salmah. Dia menyatakan keinginan serta kebulatan tekadnya, dan saya menyetujuinya. Maka dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan kepada anakmas mengenai apa yang sudah menjadi keputusan kami itu. Anak saya ini sudah mengambil keputusan untuk... suwita (menghambakan diri) kepada andika, Anakmas Lindu Aji. Tentu saja kalau anakmas belum beristri dan sudi menerimanya sebagai istri.”
Aji terbelalak. Sama sekali tidak diduganya akan mendengar pernyataan seperti itu! Tiba-tiba saja dia teringat kepada Sulastri yang sudah kehilangan ingatan dan sekarang menjadi Listyani atau Eulis. Sejenak dia tidak mampu bicara, hanya memandang kepada Neneng Salmah dan dia melihat betapa gadis itu semakin menundukkan mukanya hingga dagunya menempel pada dadanya. Bibir yang merah mungil itu seperti hendak tersenyum, namun gemetar dan tampak giginya yang rapi dan putih menggigit bibir bawahnya seperti hendak menahan gejolak hati yang membuat bibir itu tergetar. Alangkah ayu manisnya gadis ini!
Akan tetapi selain teringat pada Sulastri, Aji pun teringat akan tugasnya. Memang ia telah bertemu dengan keluarga mendiang gurunya, bahkan sudah bertemu pula dengan putera gurunya dan cucu gurunya yang ternyata adalah orang-orang yang baik dan bijaksana.
Tetapi biar pun dia telah bertemu dengan kakak tirinya seperti yang dipesankan mendiang ayahnya, namun pertemuan itu tidak melegakan hatinya karena dia mendapat kenyataan bahwa kakak tirinya telah terpikat oleh para kaki tangan Kumpeni Belanda. Hal ini haruslah ditentangnya. Dia harus menyadarkan kakak tirinya bahwa kakak tirinya itu diperalat oleh Banuseta, pada hal justru Banuseta itu yang menjadi musuh besar mereka berdua!
Tugas ini harus diselesaikannya, juga tugas besar lain membantu usaha Sultan Agung dan Mataram untuk menyerang Batavia harus dia laksanakan dengan baik. Sesudah semua itu terlaksana barulah dia akan memikirkan tentang jodoh. Akan tetapi tidak sekarang!
“Maaf, paman Salmun. Terus terang saja saya memang belum beristri. Akan tetapi pada saat ini saya masih mengemban banyak tugas penting sehingga saya sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan. Maaf, saya kira sekarang telah aman bagi andika berdua untuk melanjutkan perjalanan tanpa saya karena saya harus mengambil jalan saya sendiri. Selamat jalan dan selamat berpisah.” Aji menyuruh kusir menghentikan kereta, kemudian dia turun dari kereta.
“Mas Aji...!” Neneng Salmah cepat turun pula dari kereta.
Aji membalikkan tubuhnya dan gadis itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya. Gadis itu menangis.
“Ada apakah, nimas? Jangan begini, jangan berlutut seperti ini,” kata Aji.
“Mas Aji...” Neneng Salmah terisak. “Apakah andika membenci saya? Apakah andika jijik melihat saya... karena saya... saya seorang ledek? Tentu saya tidak ada harganya dalam pandangan andika, tidak ada harganya untuk menjadi... istri andika...”
Aji memegang kedua pundak gadis itu lalu mengangkatnya berdiri sehingga mereka berdiri berhadapan dekat sekali. “Sama sekali tidak, nimas. Kalau mau bicara tentang siapa yang tidak berharga di antara kita berdua, maka akulah yang tidak ada harganya untuk menjadi suamimu, nimas. Andika adalah seorang gadis yang sangat baik, bijaksana serta pandai, seorang seniwati yang jarang bandingannya. Sedangkan aku? Aku hanya seorang pemuda dusun yang melarat dan tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi bukan soal itu yang menjadi alasanku menolak usul perjodohan yang diajukan oleh ayahmu, namun karena aku masih memiliki banyak tugas yang amat penting dan aku sama sekali belum mempunyai pikiran dan keinginan untuk menikah. Maafkan aku, nimas.”
Akan tetapi tiba-tiba Neneng Salmah kembali menjatuhkan diri, berlutut sambil merangkul kedua kaki Aji. Sambil menangis dia berkata. “Mas Aji... aku sudah mengambil keputusan untuk menghambakan diriku padamu, mas... aku mau menjadi apa saja, menjadi abdimu, menjadi hambamu, memasak, mencucikan pakaianmu dan melakukan semua pekerjaan untuk melayanimu asal andika sudi menerimaku, asal aku diperbolehkan ikut denganmu...”
Aji tersenyum dan menghela napas, lalu menggelengkan kepalanya. Rasa haru memenuhi hatinya. Terasa benar olehnya betapa gadis itu amat mencintainya, begitu pasrah, bahkan mau menjadi budaknya, menjadi abdinya!
“Nimas Neneng Salmah, jangan menuruti perasaanmu, tetapi pergunakanlah akal budimu. Sekarang bangkitlah dan marilah kita bicara secara baik-baik.” Suara Aji terdengar begitu penuh wibawa sehingga seolah-olah menyeret Neneng Salmah dari keadaan yang dipenuhi perasaan haru dan duka itu.
Perlahan-lahan Neneng Salmah bangkit sambil berusaha menghentikan isaknya. Mereka berdiri berhadapan, Aji, Neneng Salmah dan Ki Salmun.
“Nimas, pikirkan baik-baik. Aku ulangi sekali lagi. Penolakan ini sama sekali bukan berarti bahwa aku benci atau tidak suka padamu, tapi aku masih mempunyai banyak sekali tugas penting yang harus kuselesaikan dan pada saat ini aku sama sekali belum berniat untuk menikah. Bagaimana mungkin andika ikut denganku, nimas? Dalam menunaikan tugas ini hidupku penuh bahaya. Ancaman maut mengintai dari seluruh penjuru. Aku masih mampu membela dan melindungi diriku sendiri, Nimas Neneng Salmah, tapi bagaimana aku akan dapat melindungimu terus menerus? Engkau akan menyita banyak waktu dan perhatianku untuk melindungi dirimu, mendatangkan banyak kesulitan dan menghalangi terlaksananya semua tugasku. Apakah engkau menghendaki terjadinya hal seperti itu?”
“Aduh! Ampun Gusti! Ahh, tidak, tentu saja saya tidak...!” jerit Neneng Salmah.
“Nah, syukurlah kalau begitu. Andika berdua akan aman tinggal bersama Paman Subali di Dermayu. Dia adalah seorang yang bijaksana. Kelak kalau semua tugasku sudah selesai terlaksana barulah kita bisa membicarakan soal perjodohan dengan hati terbuka dan jujur. Bagaimana pendapatmu, Nimas?”
Neneng Salmah menyembah. “Aduh, Mas Aji. Andika membuka dan menyadarkan pikiran dan hatiku. Tadi aku terlalu hanyut oleh perasaanku dan hanya mementingkan diri sendiri. Aku patut malu. Andika benar, Mas Aji. Biarlah aku menaati semua petunjukmu. Semoga kelak Gusti Allah memberkahi dan mengabulkan pemohonan dan keinginanku dan semoga Gusti Allah selalu melindungi andika.”
“Amin, nimas. Nah, sekarang lanjutkanlah perjalanan kalian. Aku harus pergi!” Aji meloncat kemudian lenyap dari situ.
“Mas Aji...!” Neneng Salmah mengeluh, air matanya bercucuran. Rasanya semangatnya ikut terbang mengejar bayangan pemuda itu.
Salmun menyentuh pundaknya. “Sudahlah, Salmah. Ucapan Anakmas Lindu Aji tadi benar sekali dan tidak ada yang perlu ditangisi. Mari kita melanjutkan perjalanan sesuai dengan petunjuknya.” Dia lalu menggandeng lengan anaknya dan mengajaknya memasuki kereta kembali. Kereta segera melanjutkan perjalanan menuju ke Dermayu lewat Cirebon.
Sesudah sampai di Cirebon, Ki Salmun segera melapor kepada perwira pengawal bahwa dia datang menghadap sebagai utusan Lindu Aji. Tanpa banyak kesulitan Ki Salmun dan puterinya diperkenankan menghadap Adipati Pangeran Ratu, penguasa Cirebon. Apa lagi perwira itu telah mengenal wajah Neneng Salmah karena ledek dari Sumedang yang amat terkenal itu pernah pula ditanggap di kadipaten Cirebon.
Setelah Adipati Cirebon menerima surat Aji, membaca laporan pemuda itu bahwa Adipati Sumedang bersikap bersahabat bahkan memanjakan dan membela pangeran dari Banten yang jahat, dia menjadi marah sekali. Pada hari itu juga Adipati Cirebon mengirim utusan ke Mataram untuk menyerahkan laporannya kepada Sultan Agung.
Peristiwa ini menyebabkan kemarahan Sultan Agung dan beberapa bulan kemudian Sultan Agung di Mataram memutuskan untuk memecat Pangeran Mas Gede. Sebagai gantinya ia mengangkat Adipati Ukur untuk mewakili Mataram dan menjadi penguasa di Sumedang, bahkan di seluruh Priangan.
Ki Salmun dan Neneng Salmah tidak lama berada di Cirebon. Mereka segera melanjutkan perjalanan ke Dermayu dan begitu memasuki daerah Dermayu mereka langsung mencari Ki Subali.....
********************
Belasan hari yang lalu Ki Subali dan istrinya mengalami peristiwa yang menggembirakan namun sekaligus juga mengejutkan dan mengkhawatirkan.
Pada suatu siang suami istri ini duduk di serambi depan, dan seperti biasa kalau mereka sedang duduk berdua tanpa kesibukan tertentu itu, tiada lain yang mereka bicarakan tentu perihal anak mereka, Sulastri. Sudah berbulan-bulan anak tunggal mereka meninggalkan mereka dan berita yang mereka dapati tentang anak mereka adalah berita yang membuat mereka berdua selalu merasa gelisah, yaitu ketika Lindu Aji datang berkunjung kemudian menceritakan bahwa Sulastri terjatuh ke dalam tebing yang amat curam.
Yang menghibur hati mereka adalah bahwa Lindu Aji tak pernah menemukan jenazahnya di bawah tebing, sebaliknya yang mengkhawatirkan hati mereka adalah tidak adanya berita dari anak mereka itu. Mereka tidak tahu bagaimana dengan nasib puteri mereka. Apa bila masih hidup di mana dia berada, kalau sudah mati di mana kuburnya.
Melihat wajah istrinya yang amat pucat dan muram, Ki Subali yang duduk di depan istrinya terhalang meja, menghibur, “Sudahlah, jangan terlalu membiarkan hati ditekan kesedihan. Hal ini sangat tidak baik bagi kesehatanmu.”
Nyi Subali memandang suaminya, menghela napas panjang dan akhirnya berkata, “Semua ini adalah kesalahanmu...”
“Ehh? Apa kesalahanku?”
“Kalau dulu engkau tidak membiarkan anak kita mempelajari ilmu silat dan tidak melatih aji kanuragan, tentu dia tak akan berani pergi merantau dan tidak terjadi mala petaka seperti ini. Dia akan menjadi seorang perawan yang alim, yang baik, membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah dan mungkin sekarang kita sudah mempunyai mantu, sudah menimang cucu...” Wanita itu menahan tangisnya.
Ki Subali menghela napas panjang. “Aku pun merasa menyesal kalau memikirkan hal itu. Engkau tahu sendiri bahwa aku adalah orang yang tidak suka akan kekerasan. Akan tetapi anak kita itu berhati keras dan dialah yang dahulu nekat untuk mempelajari aji kanuragan. Akan tetapi semuanya itu sudah terjadi dan tidak ada gunanya disesali lagi. Sekarang kita hanya dapat berdoa dan mohon kepada Gusti Allah semoga anak kita selamat kemudian pada suatu hari akan pulang ke sini.”
Tiba-tiba Nyi Subali menjulurkan tangannya di atas meja kemudian mencengkeram lengan tangan suaminya, matanya terbelalak memandang ke luar rumah.
“Ada apa, bune...?” Ki Subali berseru kaget melihat istrinya memandang keluar rumah. Dia pun menoleh dan memandang ke pekarangan.
Mereka berdua melihat dua orang memasuki pekarangan dan salah satu di antara mereka adalah seorang gadis yang bukan lain adalah Sulastri!
“Dia... dia... Sulastri anakku...!” Nyi Subali lalu bangkit dan berlari keluar diikuti suaminya.
Gadis itu tertegun ketika melihat suami istri itu berlari keluar, yang wanita berlarian sambil menangis. Terlebih lagi ketika wanita yang wajah dan bentuk tubuhnya tidak asing baginya akan tetapi tidak dikenal siapa adanya itu langsung merangkulnya sambil menangis. Eulis hanya bengong, membiarkan dirinya dirangkul dan diciumi hingga mukanya basah oleh air mata yang membanjir keluar dari mata wanita itu.
“Sulastri... anakku...!” Nyi Subali berkata dalam tangisnya.
Tapi dengan penuh kekagetan dan keheranan ibu ini segera bisa merasakan betapa gadis itu sama sekali tidak menanggapinya, tidak membalas rangkulan serta ciumannya namun hanya berdiri bagaikan patung! Maka dia pun segera melepaskan rangkulannya kemudian membelalakkan matanya yang masih basah agar dapat mengamati wajah anaknya dengan jelas.
“Engkau... engkau Lastri anakku... engkau kenapa...”
Eulis balas memandang sambil menggelengkan kepalanya. Dalam hatinya ada rasa suka terhadap wanita ini, akan tetapi tetap saja dia tidak mengenal siapa wanita yang mengaku sebagai ibunya itu.
“Saya tidak mengenal bibi. Nama saya Listyani, biasa dipanggil Eulis...”
“Lastri, apa maksudmu dengan kata-kata itu? Engkau Sulastri anak tunggal kami! Mustahil engkau tidak mengenal ayah dan ibumu sendiri!” Ki Subali membentak penasaran melihat sikap dan mendengar ucapan Sulastri.
Gadis itu memandang Ki Subali. Dia pun merasa suka melihat lelaki setengah tua itu, akan tetapi dia tidak tahu siapa lelaki itu. Maka dia menggelengkan kepala. “Saya... saya tidak mengenal andika...“
Selagi Ki Subali dan istrinya kebingungan, Jatmika melangkah maju lantas berkata. “Maaf, kanjeng paman dan kanjeng bibi, saya kira hal ini perlu saya jelaskan.”
Karena tadi seluruh perhatiannya tertuju kepada anaknya, maka baru sekarang Ki Subali memperhatikan pemuda itu. Dia mengerutkan keningnya, memandang pemuda itu dengan penuh kecurigaan seolah-olah dia hendak menyalahkan pemuda itu akan keadaan Sulastri yang aneh itu.
“Siapakah andika? Bagaimana andika dapat bersama dengan anak kami? Mengapa anak kami jadi begini?”
Jatmika cepat mengangkat dua tangannya ke atas untuk menyabarkan hati orang tua itu. “Harap paman dan bibi tenang dan sabar. Saya mengerti kegelisahan andika berdua. Saya dapat menceritakan keadaan Nimas Eulis dengan jelas. Apakah tidak sebaiknya kalau kita bicarakan masalah ini di dalam saja?”
Barulah Ki Subali teringat bahwa tadi dia bersikap kurang bijaksana terhadap pemuda ini, belum apa-apa sudah menyangka yang bukan-bukan.
“Ahh, maafkan kami... tadi kami bingung sekali... silakan, anakmas, silakan masuk. Bune, ajaklah Sulastri masuk.”
Nyi Subali merangkul gadis itu. “Lastri, mari masuk ke dalam rumah, nak.”
“Bibi, nama saya Listyani, panggil saja Eulis,” bantah Eulis dengan suara lembut karena dia merasa hormat dan suka kepada wanita itu.
“Baiklah... Eulis... mari kita masuk dan bicara di dalam...” kata ibu itu dengan hati tersayat keharuan. Eulis menurut saja ketika dia dirangkul dan diajak masuk.
Mereka berempat lalu masuk ke ruangan dalam dan mengambil tempat duduk. Nyi Subali duduk di dekat Eulis dan tidak pernah melepaskan gadis itu dari rangkulannya.
“Begini, paman dan bibi. Sebelum saya menceritakan tentang Nimas Eulis, terlebih dahulu saya ingin memperkenalkan diri. Nama saya Jatmika dan saya adalah cucu dari Eyang Ki Ageng Pasisiran yang tentu paman telah mengenalnya.”
“Ahh, maksudmu... guru Sulastri di pantai itu?”
“Benar, paman dan bibi. Menurut cerita yang kudengar dari Adimas Lindu Aji, mula-mula Nimas Eulis yang tadinya bernama Sulastri ini terjatuh dari atas tebing yang curam ketika dia bersama Adimas Lindu Aji melawan gerombolan perampok.”
“Hal itu sudah pernah kami dengar dari anakmas Lindu Aji sendiri, Anakmas Jatmika. Dia menceritakan bahwa Sulastri jatuh dari atas tebing. Tapi sesudah mencari-cari selama dua hari, Anakmas Aji tidak dapat menemukan Sulastri di bawah tebing. Hal itu mendatangkan harapan bagi kami bahwa anak kami masih hidup. Sayangnya cerita anakmas Aji tentang Sulastri hanya sampai di sana saja. Selanjutnya kami tidak tahu apa yang terjadi dengan anak kami itu dan sekarang tahu-tahu dia muncul bersama andika dalam keadaan seperti ini, tidak ingat kepada kami orang tuanya.”
“Ahh, kiranya Adimas Aji sudah datang kepada paman berdua? Sekarang saya yang akan melanjutkan ceritanya, paman. Saya bertemu dengan Nimas Sulastri...”
“Kangmas Jatmika, aku lebih senang disebut Eulis!” Sulastri atau Eulis mencela.
Jatmika tersenyum. “Baiklah, Nimas. akan tetapi aku harus menceritakan kenyataan yang sesungguhnya kepada Paman dan Bibi Subali. “
Eulis diam saja, hanya memandang wajah Nyi Subali yang masih merangkul pinggangnya.
“Saya berjumpa kemudian berkenalan dengan Nimas Eulis ketika kami berdua bertempur melawan gerombolan jahat.”
“Kangmas Jatmika inilah yang telah menolong saya pada saat saya dikeroyok oleh orang-orang jahat.” kata Eulis.
Peristiwa itu tidak dapat dia lupakan karena sejak saat itulah ingatannya mulai bekerja lagi. Hanya sejak saat itu sampai sekarang saja yang bisa diingatnya dan sebelum itu dia tidak ingat apa-apa.
“Setelah kami berdua membasmi gerombolan jahat itu, kami lalu berkenalan dan ketika itu Nimas Eulis tidak ingat apa-apa, tidak tahu siapa dirinya dan apa yang telah terjadi dengan dirinya sebelumnya. Karena itulah saya lalu memilihkan nama Listyani atau disingkat Eulis kepadanya.”
“Itu memang namaku! Aku suka disebut Eulis!” kata pula gadis itu.
Setelah mendengar keterangan Jatmika bahwa puterinya memang kehilangan ingatannya, dengan penuh pengertian Nyi Subali merangkul leher Eulis dan mencium pipinya. “Baiklah, anakku, kalau engkau menyukai nama itu biarlah mulai sekarang aku akan menyebutmu Eulis,” katanya lembut.
“Kemudian bagaimana, Anakmas Jatmika?” tanya Ki Subali.
“Kami berdua tertawan oleh orang-orang jahat yang bersekutu dengan seorang senopati Sumedang yang ingin memberontak terhadap Adipati Sumedang. Mereka memaksa kami untuk membantu mereka memberontak terhadap Pangeran Mas Gede, adipati Sumedang. Untung sekali kami bertemu dengan Adimas Lindu Aji yang melindungi sang adipati dan membasmi para pemberontak. Adimas Aji yang menganjurkan agar kami berdua datang ke sini, paman. Siapa tahu di sini Nimas Eulis akan dapat memulihkan ingatannya.”
Semenjak tadi Eulis mendengarkan. Sekarang dia menatap wajah Ki Subali dan Nyi Subali bergantian. Dua wajah yang menimbulkan rasa suka di hatinya, dua wajah yang terasa tak asing baginya akan tetapi dia sama sekali tidak ingat siapa adanya mereka.
“Kami akan berusaha mencarikan pengobatan untuk memulihkan ingatannya, anakmas,” kata Ki Subali.
“Jadi andika berdua ini adalah ayah dan ibu kandungku? Dan namaku sebenarnya adalah Sulastri?” tanya Eulis sambil mengerutkan alisnya. “Akan tetapi sungguh aku sama sekali tidak ingat, tidak merasa kenal dengan andika berdua tetapi hanya tahu dan ingat bahwa namaku Listyani atau Eulis, bukan Sulastri.”
Dengan penuh kesabaran Ki Subali yang bijaksana berkata, “Baiklah, nak. Mulai sekarang namamu adalah Listyani atau Eulis seperti yang kau kehendaki dan anggaplah kami suami istri sebagai pengganti ayah dan ibumu. Maukah engkau tinggal di sini bersama kami dan menjadi anak angkat kami?”
“Betul, Nimas Eulis. Sebaiknya untuk sementara ini engkau tinggal di sini bersama Paman Subali dan bibi. Mereka amat menyayangmu dan semoga engkau akan dapat menemukan ingatanmu kembali akan masa lalumu. Aku sendiri harus pergi untuk mengunjungi makam ayahku dan kakekku, kemudian aku akan mencari para pembunuh mereka!”
“Ah...! Apakah... Ki Ageng Pasisiran terbunuh, anakmas Jatmika?” tanya Ki Subali dengan terkejut dan heran.
Jatmika menarik napas panjang. “Saya mendengar berita mengejutkan dan menyedihkan ini dari Adimas Lindu Aji, paman. Ayah dan kakek terbunuh oleh penjahat yang bersekutu dengan para mata-mata kumpeni belanda.”
“Ahh, jahat sekali! Seorang yang sudah tua dan bijaksana seperti Ki Ageng Pasisiran juga dibunuhnya!” kata Ki Subali.
“Benar, paman, mereka itu jahat sekali. Selain kejam mereka juga menjadi antek Kumpeni Belanda yang mengkhianati tanah air dan bangsa sendiri. Karena itu saya harus mencari mereka dan membalas kematian ayah dan kakek saya. Nah, saya mohon diri, paman dan bibi. engkau juga, nimas, aku pergi sekarang.”
Jatmika cepat keluar dari rumah itu. Setelah dia sampai di luar, tiba-tiba Eulis bangkit dan berlari keluar, “Kakang-mas Jatmika, tunggu...!”
Nyi Subali bergerak hendak mengejar, tetapi suaminya segera memegang pundaknya dan mencegahnya. “Sstt... jangan kejar, biarkan saja mereka berdua bicara di luar. Tidakkah engkau melihat adanya hubungan batin yang lebih akrab di antara mereka?” kata Ki Subali lirih dan istrinya mengangguk, lalu menjatuhkan dirinya terduduk kembali. Ia masih merasa terpukul melihat anak tunggal yang dikasihinya itu kini tidak mengenalnya sebagai ibu lagi!
Sementara itu, begitu mendengar seruan Eulis, Jatmika berhenti dan memutar tubuhnya. Dia melihat Eulis mengejarnya keluar rumah dan kini mereka berdua berdiri berhadapan di pekarangan rumah itu.
“Nimas Eulis, ada apakah?” tanya Jatmika sambil tersenyum. Betapa cantiknya gadis ini, pikirnya dan hatinya dipenuhi rasa sayang.
“Kakang-mas Jatmika, kenapa engkau tidak mengajak aku?” Eulis bertanya dan di dalam suaranya terkandung teguran.
“Nimas, apakah engkau ingat bahwa Eyang Tejo Langit atau Ki Ageng Pasisiran itu adalah gurumu?”
Eulis menggeleng kepala dengan sedih. “Aku tidak ingat sama sekali, aku tidak tahu siapa guruku...”
“Nah, apakah engkau tidak ingin menemukan kembali ingatanmu yang sekarang hilang? Tinggallah di sini, di rumahmu sendiri, di rumah ayah ibumu yang sudah kau lupakan agar perlahan-lahan engkau bisa menemukan kembali ingatanmu. Percayalah, nimas. Inilah hal yang terbaik untukmu. Aku sendiri masih memiliki banyak tugas yang harus kuselesaikan. Aku berjanji pasti akan kembali ke sini kalau sudah menyelesaikan semua tugasku.”
“Benarkah, kakang-mas? Engkau akan kembali ke sini? Engkau takkan melupakan aku?” tanya Eulis dengan wajah memelas.
Jatmika tidak dapat menahan hatinya yang penuh kasih sayang. Dia maju dan memegang kedua tangan gadis itu.
“Betapa mungkin aku dapat melupakanmu, nimas? Aku akan selalu ingat padamu karena aku... aku... cinta padamu, nimas...”
“Engkau penolongku dan engkau merupakan orang yang paling baik bagiku. Kakang-mas Jatmika, aku... aku akan... merindukanmu, karena aku... jangan pergi terlalu lama...”
Jatmika menggenggam jari-jari tangan yang lembut dan hangat itu. “Aduh, nimas. Betapa bahagianya hatiku mendengar ucapanmu ini. Aku juga selalu akan merasa rindu padamu. Percayalah, aku pasti kembali lagi ke sini dan aku... aku akan melamarmu kepada Paman Subali untuk menjadi istriku.”
“Kangmas...”
Jatmika tidak ingin terseret gelombang gairah cintanya. Dia melepaskan tangan gadis itu. “Cukup, nimas. Selamat tinggal, selamat berpisah untuk sementara waktu. Pasti aku akan segera kembali.”
Dia lalu memutar tubuhnya karena dia merasa bahwa kalau dia membiarkan dirinya terlalu lama berdekatan dan berbincang-bincang dengan gadis itu, maka dia tidak akan sanggup memisahkan diri.
Eulis masih terus berdiri memandang sampai bayangan pemuda itu menghilang di sebuah tikungan. Dia masih tertegun dengan kata-kata pemuda itu dalam kalimat terakhir. Menjadi istrinya? Menjadi istri Jatmika? Hal ini sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya!
Memang dengan jujur harus dia akui bahwa dia merasa kagum dan suka kepada Jatmika yang selalu sopan, lembut dan halus budi. Apa lagi pemuda itu sering sekali menolongnya, bahkan untuk membelanya pemuda itu rela mempertaruhkan keselamatan nyawanya. Tapi dia sama sekali tidak pernah memikirkan lebih jauh dari itu, maka pernyataan Jatmika tadi bagaikan halilintar yang menyambar dan membuarnya sadar sepenuhnya bahwa pemuda itu mencintainya.....!
Komentar
Posting Komentar