ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-48
Eulis menoleh dan dia melihat Nyi Subali mendatanginya perlahan-lahan. Eulis tersenyum. Dia merasa suka sekali pada wanita ini. Pandang matanya begitu lembut dan mengandung kasih sayang yang terasa sekali olehnya, juga wajahnya terlihat sangat cantik baginya.
“Bibi...!” katanya sambil balas merangkul ketika Nyi Subali merangkulnya.
“Bocah nakal!” kata Nyi Subali sambil mencium pipi gadis itu. “Kenapa masih memanggilku bibi? Bukankah kini engkau telah menjadi anakku? Anakku yang tersayang? Engkau telah menjadi anakku, Eulis, karena itu sebut aku ibu, jangan bibi!”
Eulis tersenyum, kemudian mereka bergandengan tangan memasuki rumah. “Ehh, maaf, aku lupa..., ibu.”
Nyi Subali menahan tangisnya. Suara itu! Masih suara Sulastri. Aneh mendengar anaknya sendiri menyebut ibu kepadanya dengan malu-malu. Padahal itulah suara Sulastri, seperti dahulu kalau menyebut ibu kepadanya, lembut dan manja! Sinar matanya membayangkan kebandelan.
“Anak nakal!” Nyi Subali mempererat gandengannya dan tertawa.
Eulis merasa dimanja dan dia pun tertawa senang.
Demikianlah, mulai hari itu Eulis tinggal di rumah Ki Subali dan istrinya. Dia bukan seorang gadis bodoh, sama sekali bukan. Bahkan dia seorang gadis yang cerdik sekali. Karena itu dia pun menemukan keanehan-keanehan dalam dirinya. Dia merasa sangat dekat dengan ‘orang tua angkatnya’, dia merasa akrab dengan segala sesuatu yang berada dalam rumah itu, pelatarannya, kebunnya, bahkan pohon-pohon yang tumbuh di sekitar rumah.
Apa lagi sesudah dia menemukan pakaian-pakaian di dalam sebuah kamar yang diberikan kepadanya, dan semua pakaian itu cocok dan pas bagi tubuhnya. Kamar tidur itu, berikut pembaringan serta meja kursinya, semua itu sama sekali tidak asing baginya. Akan tetapi dia sama sekali tidak ingat pernah bertemu dengan Ki Subali dan Nyi Subali.
Sesudah beberapa hari tinggal di situ, dekat dengan Ki Subali dan Nyi Subali, kecerdikan akalnya membuat dia yakin akan keadaan dirinya. Dia merasa yakin bahwa Ki Subali dan Nyi Subali adalah ayah ibunya dan dia adalah anak tunggal mereka yang bernama Sulastri.
Dia dapat menduga bahwa dia tentu telah kehilangan ingatannya dan menurut keterangan pemuda yang bernama Lindu Aji itu, seperti juga diceritakan Jatmika kepada Ki Subali dan istrinya, dia telah terjatuh dari tebing yang tinggi. Kenyataannya dia tidak mati, akan tetapi kehilangan ingatannya. Hal ini membuat dia menduga bahwa tentu kejatuhan dari tebing tinggi itulah yang telah membuat dia kehilangan ingatan!
Samar-samar dia dapat mengingat bahwa dia terjatuh ke tangan gerombolan penjahat, lalu melawan mereka dengan dibantu Jatmika. Itulah saat-saat bisa dia ingat dan sebelum itu, dia tidak ingat apa-apa. Kini dia percaya bahwa dia adalah Sulastri, anak tunggal Ki Subali dan istrinya.
Tapi semua itu hanya dugaan yang muncul dari penalaran. Ingatannya belum kembali dan dia belum dapat mengingat akan gurunya, Ki Ageng Pasisiran. Untung bahwa semua ilmu yang pernah dia pelajari sudah mendarah daging, sudah menyatu dengan dirinya sehingga walau pun dia tidak ingat akan teorinya tapi dia masih dapat memainkannya dengan baik.
Ki Subali dan Nyi Subali maklum akan keadaan diri puteri mereka itu. Suami istri ini adalah orang-orang yang bijaksana dan amat mengasihi anak tunggal mereka. Mereka juga dapat menduga bahwa anak mereka itu tentu mengalami cidera ketika terjatuh dari tebing curam sehingga kehilangan ingatannya.
Dengan sabar dan telaten mereka menuntun ingatan Eulis untuk kembali ke masa lampau. Mereka menceritakan keadaan gadis itu pada waktu masih kecil, kenakalan-kenakalannya sampai dia tumbuh dewasa dan menjadi murid Ki Ageng Pasisiran.
Kini Eulis mulai hafal dengan cerita tentang pengalaman-pengalamannya sejak kecil. Akan tetapi hal ini tidak memulihkan ingatannya, dia hanya tahu tentang keadaan dirinya sendiri dari cerita kedua orang tua itu.
Betapa pun juga dia masih tetap ingin disebut Listyani atau Eulis. Nama ini sudah melekat di dalam hatinya, terutama sekali karena nama itu pemberian Jatmika, pemuda yang telah menolong dan menyelamatkannya.
Ki Subali serta istrinya yang bijaksana dan sabar itu pun tidak memaksakan nama Sulastri kepada anak mereka. Dengan hati tulus mereka menyebutnya Eulis, merasa seakan-akan puteri mereka itu kini telah berganti nama!
Belasan hari sudah berlalu. Ki Subali dan istrinya merasa lega dan bahagia. Meski Sulastri atau Eulis belum menemukan kembali ingatannya tetapi gadis itu tidak pernah kehilangan kelincahannya. Masih lincah genbira dan bandel nakal seperti dulu!
Pada suatu hari Sulastri duduk seorang diri di pendopo rumahnya. Dia duduk termenung. Tiba-tiba terdengar suara kucing.
“Meoooongggg...!”
Sulastri atau Eulis sadar dari lamunannya. Dia memandang ke bawah dan melihat seekor kucing mendekatinya lalu kucing itu dengan manja membelai-belai kaki Eulis dengan leher dan perutnya. Eulis tertawa, membungkuk dan mengangkat kucing itu lantas dipangkunya dan membelai kepala kucing dengan tangannya. Dengan manja kucing itu memejamkan mata dan menggeliatkan badannya.
“Candra, agaknya engkau masih mengenali aku. Ayah dan ibu menceritakan bahwa dulu engkau adalah kucing kesayanganku.” kata Eulis lirih dan kucing itu mengeong lirih pula.
Seekor kucing yang bulunya indah, bulu halus tiga warna. Menurut Nyi Subali, dulu kucing itu ditemukan Eulis di dalam hutan, lalu dibawa pulang dan diberi nama Candramawa.
Kucing ini memiliki wibawa seperti harimau. Bila dia lapar, dengan mengarahkan pandang matanya yang hijau mencorong ke arah seekor cecak yang sedang merayap pada dinding, maka cecak itu akan jatuh dan menjadi mangsanya. Demikian pula bila dia mengejar tikus, tikus itu akan demikian ketakutan sehingga tidak mampu lari lagi, tinggal tubruk saja! Eulis tidak ingat lagi akan semua itu, tetapi cerita ibunya membuat dia merasa sayang kepada kucing itu.
Suara derap kaki kuda dan roda kereta membuat Eulis mengangkat muka memandang ke arah jalan di depan rumahnya. Ia melihat sebuah kereta berhenti di tepi jalan raya di depan pekarangan. Dua orang turun dari atas kereta, seorang laki-laki setengah tua dan seorang wanita muda. Wanita itu cantik manis dengan tubuh yang luwes dan ramping.
Kedua orang itu lalu memasuki pekarangan. Eulis memandang penuh perhatian. Dia tidak merasa kenal dengan dua orang itu, tetapi karena mereka itu agaknya hendak berkunjung dan bertamu, maka Eulis lalu bangkit berdiri menyambut setelah melepaskan kucingnya di atas lantai.
“Puuuuunten...!” kata laki-laki itu, sementara gadis manis itu pun memberi hormat dengan membungkuk.
“Maaaangga!” jawab Eulis mempersilakan.
“Maafkan kami, nona. Kami ingin bertanya, apakah benar di sini rumah Ki Subali?” tanya laki-laki itu yang bukan lain adalah Ki Salmun bersama anaknya Neneng Salmah.
Eulis mengangguk. “Benar, paman.”
Wajah Ki Salmun nampak gembira. akhirnya sampai juga dia ke tempat tujuan. “Dapatkah saya bertemu dan bicara dengan beliau, nona? Kami datang dari Sumedang dan menjadi utusan Anakmas Lindu Aji.”
Mendengar nama ini, Eulis menjadi girang sekali. Lindu Aji adalah pemuda sakti yang dulu telah menolong dia dan Jatmika, bahkan pemuda itu masih terhitung saudara seperguruan karena guru pemuda itu dan gurunya sendiri masih bersaudara.
“Ah, tentu saja, paman. Silakan andika berdua duduk menanti di sini, saya akan memberi-tahu bapa.” Setelah mempersilakan dua orang tamunya duduk, Eulis lalu masuk ke dalam rumah dan menemui ayahnya yang berada di bagian belakang rumah bersama ibunya.
“Bapa, di luar ada dua orang tamu yang mengaku sebagai utusan Kakang-mas Lindu Aji. Mereka seorang laki-laki setengah tua dan seorang gadis cantik dan mereka ingin bertemu dan bicara dengan bapa.”
Mendengar ini Ki Subali dan istrinya lalu bangkit dan menuju keluar, diikuti Eulis yang ingin tahu siapa dua orang yang mengaku diutus Lindu Aji itu. Sesudah mereka tiba di luar, dua orang tamu itu bangkit berdiri dan Ki Subali memandang heran karena dia tidak mengenal tamu itu.
Ki Salmun memberi hormat dan bertanya. “Apakah andika yang bernama Ki Subali?”
Ki Subali membalas penghormatan itu dan menjawab, “Benar, ki sanak. Saya bernama Ki Subali, ini istri saya dan ini anak saya Eulis Listyani.”
“Saya bernama Ki Salmun dan ini anak saya Neneng Salmah. Kami datang dari Sumedang dan menjadi utusan dari Anakmas Lindu Aji untuk menyerahkan surat ini kepada andika.” Setelah berkata demikian Ki Salmun mengambil surat dari balik bajunya dan menyerahkan kepada Ki Subali.
Ki Subali menerima surat itu, lalu berkata dengan ramah, “Silakan duduk, ki sanak. Hemm, puterimu ini bernama Neneng Salmah? Bukankah dia waranggana yang amat terkenal dari Sumedang itu?”
Ki Salmun dan Neneng Salmah duduk kembali, berhadapan dengan Ki Subali dan anak istrinya. Mendengar pertanyaan itu, Ki Salmun menghela napas panjang.
“Betul, dan justru karena dia menjadi waranggana itulah maka kini mendatangkan bencana atas diri kami!” Kembali Ki Salmun menghela napas panjang. “Untunglah bagi kami bahwa pada saat berbahaya muncul Anakmas Lindu Aji menyelamatkan anak saya.”
“Hemm, apakah yang telah terjadi, paman?” tiba-tiba Eulis bertanya.
“Nanti dulu, Eulis. Biarlah kubaca dulu surat dari Anakmas Aji ini, barang kali dia memberi penjelasan akan apa yang telah terjadi.” kata Ki Subali.
Eulis lalu berdiam diri, memandang ketika ayahnya membuka surat dan membacanya.
Sesudah membaca surat itu dengan seksama, Ki Subali mengangkat muka memandang kepada Ki Salmun dan berkata, “Ki sanak, di dalam suratnya ini anakmas Lindu Aji hanya memberi-tahu bahwa andika beserta puteri andika terancam bahaya besar sehingga harus meninggalkan Sumedang dan untuk sementara waktu menyingkir jauh dari Sumedang. Di samping itu dia minta kepada kami agar kami dapat menerima andika berdua tinggal di sini untuk sementara waktu.”
“Ki sanak, sebenarnya kami tidak mempunyai keluarga di luar Sumedang, maka kami tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Kami hanya menaati pesan Anakmas Aji yang menjadi penyelamat dan penolong kami, karena itu hari ini kami datang ke hadapan andika. Akan tetapi, ki sanak, harap andika tidak memaksakan diri menerima kami berdua hanya karena ada surat dari anakmas Aji. Katakan saja bila sekiranya andika sekalian merasa keberatan menampung kami. Kami tidak akan menyesal dan kami akan mencari tempat pemondokan sedapatnya.” Kata-kata ini dikeluarkan dengan suara menggetar namun penuh kejujuran seorang seniman.
Ki Subali sendiri adalah seorang dalang, sastrawan, seorang seniman. Dia pun menjawab sejujurnya. “Rumah kami cukup besar dan kami selalu siap untuk menolong orang yang patut ditolong. Mungkin karena itulah maka Anakmas Aji mengirim kalian berdua ke sini. Akan tetapi sebelum kami memutuskan apakah andika berdua pantas ditolong atau tidak, ceritakanlah terlebih dahulu apa yang telah dialami andika berdua di Sumedang.”
“Nanti dulu, paman!” tiba-tiba Eulis berkata kepada Ki Salmun. ”Jangan paman ceritakan dulu tentang itu, tunggu saya akan mengambilkan suguhan minum lebih dulu. Saya harus ikut mendengarkan!” Setelah berkata demikian Eulis bangkit dari duduknya.
Neneng Salmah ikut berdiri. “Bolehkah saya membantumu, Neng Eulis?” tanyanya dengan bahasa yang halus.
Eulis tersenyum. “Aeh, mengapa pakai sebutan neng (nona) segala? Sebut saja aku Eulis, Neneng Salmah.”
“Terima kasih, Eulis, Nah, aku boleh membantumu, bukan?”
Dengan bergandeng tangan dua orang gadis itu lalu menuju ke dapur di bagian belakang rumah. Tak lama kemudian mereka sudah keluar membawa minuman air teh. Sementara itu benar saja Ki Salmun tidak menceritakan tentang mala petaka yang menimpa dia dan puterinya, hanya menceritakan tentang keadaannya bahwa dia adalah seorang duda dan bahwa pekerjaannya adalah sebagai tukang kendang yang selalu menemani puterinya bila ditanggap.
Kini Neneng Salmah ditarik oleh Eulis dan duduk di sebelahnya, keduanya tampak akrab sekali. Tadi ketika menyiapkan minuman di dapur, keduanya saling bicara dan kini mereka mengetahui akan keahlian masing-masing yang membuat mereka saling merasa kagum.
Kemudian Ki Salmun bercerita, mulai dari ditanggapnya rombongan keseniannya di rumah Tumenggung Jayasiran. Dia menceritakan mengenai keributan yang terjadi karena adanya pertandingan dalam perebutan ledek sampai munculnya Raden Jaka Bintara dari Banten yang bengis, kejam dan sombong itu. Kemudian muncul Lindu Aji yang mengalahkan Jaka Bintara sehingga melegakan hati para penduduk Sumedang yang merasa tersinggung oleh ulah pemuda Banten yang sombong itu.
“Kami tidak mengira bahwa peristiwa itu berekor panjang dan mendatangkan mala petaka bagi kami. Malamnya datang pasukan pengawal Tumenggung Jayasiran yang memaksa Neneng Salmah untuk berkunjung ke tumenggungan. Karena yang memanggil adalah sang tumenggung, kami tidak berani membangkang dan Neneng Salmah dibawa ke sana.”
“Hmm, engkau dibawa dengan paksa ke rumah Tumenggung Jayasiran itu, Neneng? Lalu apa yang terjadi denganmu? Ceritakanlah kepadaku!” kata Eulis tak sabar.
Sepasang mata bening Neneng Salmah menjadi basah dan beberapa butir air mata menitik keluar ke atas pipinya.
“Sesudah tiba di sana aku dikeram dalam sebuah kamar dan tak lama kemudian muncul... pemuda bangsawan dari Banten yang kejam itu...”
“Hemm, yang namanya Bintara itu?” tanya Eulis. “Mau apa dia?”
“Dia... dia hendak... memaksa dan memperkosaku...”
“Jahanam busuk! Keparat! Jangan takut, Neneng. Aku akan pergi ke Sumedang mencari dia! Akan kuhancurkan kepala jahanam itu!” kata Eulis dengan marah sekali.
“Sabarlah, Eulis. Kita dengarkan dahulu cerita mereka.” kata Ki Subali untuk menyabarkan anaknya.
Eulis sadar akan sikapnya yang terburu nafsu. “Neneng, selanjutnya bagaimana?”
“Pada saat yang sangat berbahaya itu muncullah Kakang-mas Lindu Aji dan dialah yang menyelamatkan aku, menolongku dan mengalahkan Jaka Bintara dan gurunya. Kemudian Kakang-mas Lindu Aji mengantar aku pulang dan pada keesokan harinya dia mengusulkan supaya aku dan bapa melarikan diri dari Sumedang dengan berkereta. Dia mengantarkan kami sampai keadaan aman dan cukup jauh keluar dari Sumedang sambil menitipkan surat untuk Paman Subali.”
“Ya, begitulah keadaan kami, Saudara Subali. Kami menaati petunjuk Anakmas Aji karena kami memang tidak mempunyai keluarga di sini, tapi kami pun merasa sungkan dan tidak enak sekali kalau harus mengganggu andika sekeluarga.”
“Bapa, aku ingin agar Neneng Salmah tinggal bersama kita di sini. Aku ingin mempelajari tarian dan nyanyian darinya.” Mendadak Eulis berkata kepada ayahnya sambil merangkul pundak Neneng Salmah.
“Aku pun ingin sekali belajar aji kanuragan dari Eulis, Bapa,” kata Neneng Salmah kepada ayahnya.
Ki Subali tertawa dan menoleh kepada istrinya, “Bune, bagaimana pendapatmu?”
Nyi Subali adalah seorang wanita yang berwatak lembut, maka dia sudah menaruh hati iba sekali ketika mendengar peristiwa yang menimpa diri Neneng Salmah. Terlebih lagi melihat waranggana yang cantik manis itu begitu akrab dengan puterinya. “Aku sih tidak keberatan menampung mereka, kalau saja Neneng Salmah dan ayahnya sudi tinggal di rumah kita yang buruk ini.”
“Nah, kalian mendengar sendiri, Adi Salmun. sebaiknya aku memanggilmu adi saja karena bagaimana pun juga aku tentu lebih tua dari pada andika. Anak kami Eulis sudah setuju, ibunya juga sudah setuju dan aku akan sangat senang kalau andika berdua tinggal di sini. Kebetulan sekali aku sendiri senang akan kesenian. Dengan keahlianmu yang menguasai semua permainan gamelan dan puterimu yang ahli tembang dan tari, kita bisa membentuk sebuah kelompok seni kerawitan di Dermayu ini.”
“Ahh..., terima kasih banyak, Kakang Subali. Terima kasih, Mbakyu!” Ki Salmun memberi hormat dengan sembah yang dibalas oleh suami istri itu. Sedangkan Eulis menjadi girang sekali dan dia saling berpelukan dengan Neneng Salmah.
Mereka semua lalu mengatur tempat untuk Neneng Salmah dan ayahnya. Neneng Salmah tentu saja tinggal sekamar dengan Eulis, maka hanya perlu menyediakan sebuah kamar sederhana saja untuk ayahnya. Ki Salmun lalu memberi-tahu kusir kereta bahwa mereka sudah tiba di tempat yang dituju dan kusir kereta boleh kembali ke Sumedang.
Begitulah, mulai hari itu Neneng Salmah bersama ayahnya tinggal di rumah Ki Subali dan mereka berdua merasa bahagia sekali karena mereka diterima dan diperlakukan sebagai keluarga sendiri. Mereka pun tahu diri, tak mau tinggal menganggur melainkan membantu segala pekerjaan yang dilakukan keluarga tuan rumah.
Oleh karena kedua pihak dapat membawa diri, maka pergaulan mereka bertambah akrab, terutama sekali Eulis dan Neneng Salmah. Demikian akrabnya pergaulan antara Eulis dan Neneng Salmah sehingga dalam waktu singkat saja mereka sudah menceritakan keadaan diri dan hati masing-masing, membuka rahasia hati yang takkan diceritakan kepada orang lain.
Keduanya adalah anak tunggal, maka mereka merasa seakan-akan menemukan seorang saudara. Eulis bercerita tentang keadaan dirinya yang kehilangan ingatan sehingga sampai kini belum juga ingat akan ayah ibunya sendiri. Biar pun dia amat mencinta mereka namun dia tetap menganggap mereka itu sebagai orang tua angkat karena dia masih belum dapat mengingat kembali masa lampaunya, sudah lupa sama sekali bahwa Ki Subali dan istrinya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri.
”Apakah engkau mengenal Kakang-mas Lindu Aji, Eulis?” tanya Neneng Salmah yang tak pernah dapat melupakan pemuda itu.
“Ahh, dia? Sepanjang ingatanku baru satu kali aku bertemu dia. Tetapi menurut ceritanya, aku dan dia pernah melakukan perjalanan bersama dan bersama-sama pula menghadapi para penjahat, kemudian aku terjatuh dari tebing yang curam. Akan tetapi semua itu sama sekali tidak kuingat lagi. Padahal menurut penuturannya, antara kami masih ada ikatan tali saudara seperguruan. Entahlah, aku sudah lupa sama sekali. Bagaimana dengan engkau, Neneng? Bagaimana hubunganmu dengan Kakang-mas Lindu Aji itu?”
Wajah Neneng Salmah menjadi merah dan sejenak dia menundukkan wajahnya. Mereka berdua sedang mandi pagi sekalian mencuci pakaian di anak sungai yang mengalir tidak jauh dari rumah mereka.
“Ahh, bagaimana, ya? Dia adalah penyelamatku, penolong kami...”
“Aih, engkau tidak bisa menyembunyikan kedua pipimu yang kemerahan, senyummu yang malu-malu dan kedua matamu yang bersinar-sinar ketika kita bicara tentang dia, Neneng. Hayo, mengaku sajalah!”
Dengan tangannya Eulis memercikkan air ke arah muka Neneng Salmah sambil tertawa. Neneng Salmah membalas dan memercikkan air ke arah muka Eulis.
“Hayo, mengaku saja! Engkau mencinta Kakang-mas Aji, bukan?” Eulis mendesak sambil memercikkan air makin gencar sehingga Neneng Salmah gelagapan.
“Baiklah, baiklah, aku mengaku. Memang aku memujanya, aku... aku...” Neneng Salmah tergagap karena malu.
“Aku apa? Hayo mengakulah saja! Engkau mencinta Kakang-mas Lindu Aji, bukan? Kalau tidak mau mengaku, akan kusirami air lagi!” Sambil tertawa Eulis mendesak.
Neneng Salmah juga ikut tertawa dan mukanya berubah kemerahan. “Ya, ya, memang aku mencintanya.” akhirnya dia mengaku, akan tetapi wajahnya menjadi muram.
Eulis melihat perubahan muka yang cantik itu, yang tadinya cerah gembira ketika bergurau dan kini tampak diliputi mendung kesedihan.
“Ehh, engkau kenapakah, Neneng? Mengapa engkau kelihatan bersedih setelah mengaku bahwa engkau mencinta Kakang-mas Lindu Aji?”
Ditanya demikian, Neneng Salmah mengusap dua titik air mata yang keluar dari pelupuk matanya, tidak ingat bahwa dalam keadaan basah karena siraman-siraman tadi, kalau pun dia mengeluarkan air mata juga tidak akan kentara.
“Ahh, Eulis, aku seperti seekor pungguk merindukan bulan,” katanya dengan suara sedih.
“Ehh?” Eulis memandang kawannya dengan heran.
“Apa maksudmu?”
“Eulis, aku mau berterus terang saja kepadamu karena aku merasa dekat dan akrab sekali denganmu, seolah engkau merupakan saudaraku sendiri.”
“Kita memang telah menjadi saudara, Neneng dan aku bahagia sekali mempunyai seorang saudara seperti engkau.”
“Terima kasih, Eulis. Dan tentang perasaanku terhadap Kakang-mas Lindu Aji, aku merasa seperti pungguk merindukan bulan.”
“Engkau seekor pungguk? Pungguk adalah semacam burung hantu, bukan? Aeh, engkau bukan burung hantu, bahkan sepatutnya engkau adalah seekor burung merak yang indah, Neneng.”
“Bagaimana mungkin aku bisa disejajarkan dengan Kakang-mas Lindu Aji? Dia terlampau tinggi bagi orang seperti aku. Dengarkan, Eulis!” Neneng menghentikan Eulis yang hendak membantah. “Siapakah Kakang-mas Lindu Aji itu? Dia adalah seorang pendekar, seorang pahlawan yang gagah perkasa, berbudi tinggi dan mulia! Dan aku, siapakah aku ini? Anak seorang penabuh gamelan, dan aku sendiri hanya seorang ledek yang dipandang hina dan rendah oleh semua orang, dianggap sebagai perusak pagar ayu! Jadi bagaimana mungkin seorang seperti aku berani mengharapkan balasan cinta kasih seorang yang begitu tinggi martabatnya seperti Kakang-mas Lindu Aji?”
“Wah-wah... engkau menyeret dirimu sendiri serendah-rengahnya, Neneng! Kalau engkau menjadi waranggana, itu menandakan bahwa engkau seorang seniwati ahli bertembang dan menari. Kepandaian itu nilainya sangat tinggi! Sekarang begini, coba jawab pertanyaanku dengan sejujurnya kalau memang engkau menganggap aku seperti saudara sendiri. Nah, aku bertanya kepadamu, apakah selama ini engkau pernah merusak pagar ayu? Pernah merayu dan mengadakan hubungan gelap dengan laki-laki, baik yang belum beristri atau pun yang telah berkeluarga? Hayo jawab sejujurnya walau pun aku sudah dapat menduga jawabanmu!”
Neneng Salmah menggeleng kepalanya yang indah itu kuat-kuat. “Demi Gusti Allah, Eulis. Tidak pernah aku melakukan perbuatan sehina itu! Semoga Gusti Allah selalu menjauhkan aku dari perbuatan rendah macam itu. Bapaku selalu menemani aku kalau aku ditanggap, dan selain aku sendiri tidak sudi berbuat seperti itu, bapaku juga tentu akan melarang dan mencegahnya. Walau pun kami orang rendah dan miskin akan tetapi kami masih menjaga kehormatan dan memiliki harga diri, Eulis!”
“Tepat, memang demikianlah dugaanku. Lalu mengapa engkau menganggap dirimu begitu rendah? Apa pedulimu dengan persangkaan orang lain? Yang terpenting, Gusti Allah dan engkau sendiri mengetahui bahwa engkau tidak melakukan perbuatan hina itu. Sangkaan orang sedunia pun tak ada urusannya denganmu. Yang jelas engkau adalah seorang gadis seniwati yang bersih dan terhormat, derajat serta martabatmu tidak lebih rendah dari pada siapa pun juga, dan tidak lebih rendah dari pada Kakang-mas Lindu Aji!”
“Ah, kalau saja semua orang mempunyai pandangan dan pendapat seperti itu, Eulis. Akan tetapi bila aku sudah berada di panggung, bernyanyi dan menari, agaknya semua laki-laki tergila-gila kepadaku sehingga semua orang, terutama para wanitanya, menyangka bahwa aku yang sengaja memikat mereka.”
“Hi-hi-hik-hik, para wanita itu iri, Neneng! Terutama mereka yang pacarnya atau suaminya tergila-gila kepadamu. Kalau banyak laki-laki tergila-gila kepada seorang wanita, mengapa wanitanya yang disalahkan? Mengapa bukan si laki-laki yang memang mata keranjang itu? Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita secantik engkau? Jika ada laki-laki yang tak suka melihat seorang gadis sebaik dan secantik engkau, maka hal itu berarti dia tidak waras atau pandang matanya sudah kurang awas!”
“Akan tetapi Mas Aji tidak cinta kepadaku...!” kata Neneng Salmah memelas.
Eulis tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Neneng, aku berani bertaruh apa pun juga bahwa biar Kakang-mas Lindu Aji sekali pun, dia pasti suka sekali padamu. Engkau adalah seorang gadis ayu merak ati, baik budi pula, tiada alasan untuk tidak menyukaimu. Tetapi, Neneng, kurasa suka itu belum tentu berarti cinta. Rasa cinta itu...” Eulis bingung sendiri. “Ah, bagaimana, ya? Aku pun tidak dapat mengatakan bedanya, akan tetapi aku yakin ada bedanya!”
Sekarang giliran Neneng Salmah yang tersenyum dan timbul kembali kegembiraannya. Ia memercikkan air ke muka Eulis.
“Lagaknya saja seperti ahli, tak tahunya diri sendiri juga tidak tahu! Atau, agaknya engkau sudah memiliki banyak pengalaman tentang hal ini, ya?”
“Mengalami cinta? Ah, belum pernah! Kalau mengalami suka sih sudah,” katanya singkat.
“Tapi siapa tahu engkau pernah jatuh cinta sebelum engkau melupakan masa lalumu?”
“Entahlah. Semua sudah tidak teringat lagi. Tetapi rasanya sih belum pernah,” jawab Eulis sambil mengerutkan alisnya.
“Hemm, kalau begitu aku juga berani bertaruh bahwa saat ini tentu ada seorang pria yang kau... sukai. Benarkah? Tapi engkau sendiri ragu apakah engkau hanya suka kepadanya ataukah mencintanya.”
“Ehh? Bagaimana kau bisa tahu... ehh, maksudku, bisa menyangka begitu?” Tanya Eulis sambil memandang heran. Memang, ketika bicara tentang suka atau cinta itu, otomatis dia teringat kepada Jatmika!
Neneng Salmah tersenyum manis sekali. “Mudah saja! Ketika engkau bicara tentang suka dan cinta, engkau tampak begitu sungguh-sungguh dan ini hanya bisa terjadi kalau hal itu menyangkut dirimu sendiri. Hayo, mengaku saja, Eulis, atau akan kusirami engkau sampai basah kuyup!” kembali Neneng Salmah mengancam sambil memasukkan dua tangannya ke dalam air.
Eulis tertawa. Gadis ini merasa suka dan cocok sekali dengan Neneng Salmah yang dapat menyesuaikan diri dengan wataknya yang centil, padahal dia tahu benar bahwa Neneng Salmah adalah seorang gadis yang berwatak amat lembut.
“Baiklah, baiklah! Aku mengaku, gusti puteri! Ada seorang pemuda bernama Jatmika...“
“Waduh, namanya saja begitu indah. Tentu orangnya juga amat jatmika (tenang, sopan dan waspada)!” puji Neneng Salmah.
“Memang dia amat sopan, baik budi, sakti mandraguna dan sudah sering menyelamatkan aku, menolongku ketika aku terancam bahaya di tangan orang-orang jahat.”
“Dan dia pun tentu seorang pemuda ganteng dan tampan!” tambah Neneng Salmah.
Eulis mengangguk. “Dia tampan, setampan Kakang-mas Lindu Aji.”
“Dan tentunya engkau amat mencintainya seperti dia juga amat mencintaimu, bukan?”
Eulis menghela napas, wajahnya yang biasa cerah penuh senyum itu menjadi serius.
“Itulah, Neneng. Seperti kukatakan tadi, tentu saja aku amat kagum dan suka kepadanya. Segalanya yang terbaik dari seorang pria ada dalam dirinya. Tetapi ketika dia menyatakan cintanya...“
“Nah, kelepasan nih! Ketahuan, ya bahwa dia mencintaimu?”
“Memang benar. Dia cinta padaku dan pernah menyatakan hal itu kepadaku.”
“Wah, kalau sudah begitu apa lagi persoalannya?”
“Persoalannya, aku tidak tahu apakah aku mencintanya, Neneng. Aku suka padanya, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mencintanya. Aku sering pusing jika memikirkan hal ini.”
Melihat Eulis telah kehilangan tawanya, Neneng Salmah teringat akan keadaan diri sendiri dan memang pada dasarnya dia tidak selincah Eulis. Dia pun menghela napas panjang.....
Komentar
Posting Komentar