ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-49


Dia segera mendekat dan merangkul leher yang berkulit mulus itu. “Neneng, jangan putus harapan. Aku yakin bahwa Kakang-mas Lindu Aji pasti suka kepadamu, kalau tidak, tentu dia tidak akan minta kepada ayah untuk menampung engkau dan ayahmu.”

“Memang dia juga mengatakan bahwa dia suka kepadaku, tetapi dia tidak dapat menerima cintaku.”

“Bukan tidak dapat, melainkan belum, Neneng. Tentu engkau sangat ingin untuk menjadi istrinya, bukan?”

“Tentu saja, Eulis. Jangankan menjadi istrinya, bahkan menjadi hambanya pun aku akan merasa bahagia sekali, asal aku bisa selalu hidup dekat dengannya, melayaninya dengan penuh kasih sayang.”

Ucapan yang penuh keyakinan dan kelembutan ini menyentuh perasaan Eulis dan dia pun mencium pipi Neneng Salmah. Tiba-tiba Eulis menjadi lincah kembali.

“Wah, sekarang aku tahu bedanya antara suka dan cinta!” teriaknya sambil mengguncang kedua pundak temannya. Karena girangnya dia lupa untuk mengendalikan kekuatannya.

“Aeh-aeh...! Kau mau mengoyak-ngoyak pundakku?” teriak Neneng Salmah dan Eulis lalu merangkulnya.

“Aduh maaf! Aku sampai lupa. Sekarang aku telah mengerti dan dapat melihat perbedaan antara suka dan cinta.”

“Benarkah? Hayo katakan, apa perbedaannya itu,” desak Neneng Salmah.

“Kakang-mas Jatmika mencintaku dan ingin berjodoh denganku, demikian pula engkau, Neneng. Engkau mencinta Kakang-mas Lindu Aji dan engkau ingin menjadi istrinya. Itulah cinta! Cinta membuat orang ingin mengikatkan diri dalam perjodohan! Sebaliknya Kakang-mas Lindu Aji suka padamu dan hanya ingin bersahabat, demikian pula aku suka Kakang-mas Jatmika dan ingin menjadi sahabat baiknya. Itulah rasa suka! Suka pada seseorang membuat orang ingin mengikat persahabatan dengan orang yang disukai. Itulah bedanya antara suka dan cinta!”

Neneng Salmah termenung. Eulis juga termenung.

Dua orang gadis itu seperti lupa bahwa mereka sedang mandi. Mereka duduk di atas batu sambil termenung. Mereka tenggelam dalam lamunannya masing-masing.

Mendadak terdengar suara wanita, “Aeh, kalian berdua ini mencuci pakaian atau berjemur diri?”

Dua orang gadis itu sadar dari lamunan dan ternyata Nyi Subali sudah berdiri di belakang mereka. Mereka berdua tertawa dan baru teringat bahwa sejak tadi mereka hanya duduk melamun, tidak sadar bahwa matahari mulai naik tinggi.

“Wah, Neneng, kita keenakan melamun di sini. Bukankah hari ini engkau sudah berjanji akan mengajarkan sebuah tarian kepadaku?”

“Benar, Eulis. dan sore nanti engkau akan mengajarkan aku gerakan silat agar aku dapat membela diri dari tangan-tangan usil.”

Keduanya lalu mengangkat keranjang pakaian yang sudah dicuci dan bersama Nyi Subali mereka kembali ke rumah.

Demikianlah kedua orang gadis itu bergaul akrab sekali. Eulis mulai belajar menembang dan menari, akan tetapi karena pada dasarnya dia seorang yang sejak kecil mempelajari ilmu silat dan tubuhnya sudah terbiasa dengan gerakan tangkas, maka akhirnya dia pandai menari dengan tarian yang sifatnya berubah menjadi tangkas. Keindahan gerak tari yang mengandung ketangkasan dan kegagahan.

Sebaliknya Neneng Salmah yang sudah terbiasa dengan gerak tari yang lembut dan indah mulai bisa menguasai ilmu pencak silat yang sifatnya lembut dan gerakannya indah sekali. Setelah mempelajari tembang ternyata suara Eulis cukup merdu juga.....

********************

Tidak seperti yang diduga semula, dengan mudah Aji bisa memasuki Jayakarta atau yang oleh Kumpeni Belanda disebut Batavia. Di pintu gapura kota tidak ada penjagaan ketat dan yang dijaga oleh serdadu Kumpeni Belanda hanyalah benteng Belanda yang dikelilingi oleh tembok tebal dan tinggi.

Memang ada patroli sepasukan serdadu Belanda yang membawa bedil, tapi mereka tidak mengganggu orang-orang yang keluar masuk gapura sambil membawa barang dagangan. Namun Aji dapat merasakan dan menduga bahwa tentu banyak sekali mata tersembunyi yang mengawasi gerak-gerik setiap orang yang memasuki pintu gapura, terutama sekali orang-orang yang tidak dikenal seperti dirinya.

Dia dapat menduga bahwa kumpeni tentu melakukan penjagaan dan pengawasan secara tersembunyi sambil menyebar telik sandi untuk melakukan pengawasan dan penyelidikan. Dan di dalam benteng besar itu tentu terdapat banyak sekali serdadu Belanda yang siap untuk menumpas setiap gerakan pemberontakan.

Selain itu kapal-kapal besar Belanda juga sudah siap siaga di pelabuhan dengan berbagai perlengkapannya. Di atas benteng besar itu pun tampak moncong meriam-meriam berjajar menyeramkan.

Belanda amat kuat, terutama sekali karena berita kekayaan dan kemakmuran semu yang disebarkan sehingga membuat banyak pemuka masyarakat menjadi mabok, menganggap Kumpeni Belanda sebagai penolong yang mendatangkan kesejeahteraan! Tanpa mereka sadari kekayaan hasil bumi rakyat disedot oleh Belanda dan menjadi barang dagangan yang mendatangkan keuntungan besar baginya.

Karena maklum bahwa dia berada di daerah musuh yang menjadi pusat kekuatan Belanda dan dapat menduga pula bahwa di sana terdapat banyak mata-mata Belanda, Aji bersikap waspada dan berhati-hati sekali. Dia menyembunyikan keris Kyai Nogo Welang pemberian Sultan Agung karena banyak orang yang mengetahui bahwa keris ini merupakan hadiah dari Sultan agung kepada para senopati yang dipercayainya. Pakaiannya yang sederhana membuat dia kelihatan seperti seorang pemuda petani dusun yang baru saja menjual hasil buminya dan sedang melihat-lihat keindahan kota itu.

Seperti yang dituturkan di bagian depan, tadinya Aji berniat untuk melakukan penyelidikan mengenai Raden Banuseta pembunuh ayahnya dan mengenai putera ayahnya atau kakak tirinya yang bernama Hasanudin. Kedua orang ini telah dijumpainya dalam perjalanannya. Juga tadinya dia hendak pergi ke Banten untuk mencari putera kandung Ki Tejobudi yang bernama Sudrajat, namun orang ini pun sudah dijumpainya, bahkan Ki Sudrajat meninggal dunia dalam rangkulannya.

Sekarang tugas pribadinya hanya menemukan Raden Banuseta, pembunuh ayahnya yang juga pembunuh Ki Sudrajat. Bahkan menjadi kaki tangan Kumpeni Belanda!

Raden Banuseta adalah orang jahat dan pengkhianat bangsa yang harus ditentangnya. Di samping itu dia juga harus menemukan kakak tirinya, Hasanudin, yang agaknya terkena bujukan Raden Banuseta sehingga ikut-ikutan menjadi antek Belanda, sama sekali tidak tahu bahwa justru Raden Banuseta yang telah membunuh ayah kandungnya.

Dia harus bisa menyadarkan Hasanudin, selain agar tahu bahwa Banuseta adalah musuh besarnya. Jjuga agar menyadari bahwa membantu Belanda melawan Mataram berarti telah mengkhianati bangsa dan tanah air.

Sebelum memasuki Batavia, Aji sudah menghubungi beberapa telik sandi Mataram yang bertugas melakukan penyelidikan dan berada di luar kota. Dengan adanya keris Kyai Nogo Welang, Aji diterima dengan hormat oleh para telik sandi itu. Dari mereka dia tahu bahwa para tokoh pengkhianat yang menjadi antek Kumpeni Belanda sekarang sudah berkumpul di Batavia dan di antara mereka adalah nama-nama yang sudah dikenalnya dengan baik, seperti Raden Banuseta, Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung, Kyai Sidhi Kawasa, Aki Somad, Ki Warga dan masih banyak lagi. Karena itu maka Aji bertindak hati-hati. Banyak tokoh antek Kumpeni yang telah mengenalnya sehingga kalau dia sampai ketahuan, tentu dia menghadapi bahaya besar.

Oleh karena itu, setelah merasa cukup melihat-lihat keadaan dalam kota Batavia, Aji mulai berjalan memasuki daerah sepi di pinggir kota. Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita di antara derap kaki kuda dan roda kereta, akan tetapi hanya satu kali jerit itu terdengar lalu sunyi.

Dia melihat kusir kereta terlempar dari atas kereta dan tak bergerak lagi. Dua orang sudah menguasai kereta itu. Orang yang tadi merobohkan kusir sekarang duduk di tempat kusir, sedangkan seorang lagi berada di dalam kereta.

Aji teringat akan pertemuannya dengan para telik sandi Mataram di luar kota. Mereka tentu sedang melaksanakan rencana mereka seperti yang pernah dia dengar, yaitu mengadakan kekacauan di dalam kota sebelum tentara Mataram yang kini sudah mulai meninggalkan Mataram tiba di situ. Salah satu rencana pengacauan itu adalah menculik puteri seorang perwira Belanda.

Sesungguhnya Aji merasa tidak setuju dengan tindakan yang dia anggap curang ini, tetapi karena dia seorang pendatang baru, dia pun merasa sungkan untuk mencela. Kini melihat ada orang yang membunuh kusir kereta yang agaknya adalah sebuah kereta bangsawan, dia menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi dia langsung mengerutkan alisnya setelah mendengar jerit wanita tadi,. Hatinya yang selalu condong untuk menolong siapa saja yang terancam bahaya dan menentang siapa saja yang melakukan kekerasan, terutama kepada kaum wanita yang lemah, membuat Aji tidak dapat menahan sepasang kakinya untuk tidak membayangi kereta yang dilarikan cepat menuju ke arah timur.

Ketika kereta tiba di dalam sebuah hutan, mendadak terdengar seruan dari dalam kereta yang tertutup. “Bang Sikun, berhenti dulu!”

Kusir yang berusia kira-kira empat puluh tahun dan berkumis panjang itu menahan kendali dua ekor kuda yang menarik kereta, Dua ekor kuda berhenti dan kusir itu melompat turun. Pintu kereta terbuka dan seorang laki-laki gendut pendek keluar dari kereta itu.

“Bagaimana dengan noni (nona) itu? Kau apakan dia? Kenapa tidak ada suaranya?” tanya si muka panjang yang bernama Sikun itu kepada si gendut pendek.

“Ahh, tidak kuapa-apakan. Tadi dia menjerit, maka kuikat kedua tangannya dan kuikatkan sapu tangannya di depan mulutnya supaya dia tidak berteriak lagi. Tanpa persetujuanmu, mana aku berani berbuat yang tidak-tidak!” kata si gendut sambil menyeringai.

“Awas, Mang Kosim, kalau engkau mengganggu gadis Belanda itu, akan kulaporkan dan engkau akan dihajar,” kata Sikun sambil membuka pintu kereta.

Aji yang mengintai tidak jauh dari sana melihat seorang gadis bule duduk di dalam kereta, Kedua tangannya terbelenggu, juga mulutnya tertutup kain yang diikatkan pada kepalanya, rambutnya awut-awutan dan matanya yang bundar lebar itu terbelalak ketakutan.

Pakaiannya kusut dan rambutnya yang panjang terurai. Rambut itu berwarna keemasan dan kulit yang putih kemerahan itu halus mulus. Wajah yang cantik itu masih muda, paling banyak tujuh belas tahun usianya.

Sikun memandang dan pandangan matanya berhenti agak lama pada belahan dada yang membusung dari balik gaun yang agak kusut tertarik ke bawah itu, lalu pandang mata itu seolah menggerayangi seluruh tubuh gadis Belanda itu dari kepala sampai kakinya yang bersepatu boot.

Melihat betapa Sikun melahap lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan itu, Kosim lalu mendekat dan terkekeh. “He-heh-heh, Bang Sikun, noni ini benar-benar bahenol, ya? Apa salahnya kalau kita bersenang-senang sejenak dengannya? Di sini sepi sekali, takkan ada orang lain melihatnya dan nanti dia masih bisa kita hadapkan kepada Bang Samiun dalam keadaan utuh.”

Sikun menelan ludah, kumisnya bergerak-gerak.

“Tetapi...” katanya ragu.

“Tetapi apa lagi, Bang Sikun? Hayolah, engkau kebagian lebih dulu, baru nanti aku,” desak si gendut Kosim.

“Tapi... engkau jaga baik-baik supaya jangan sampai ada orang melihatnya, ya?” Agaknya Sikun tak dapat menahan gairah nafsunya. “Hayo turun kau!”

Dia menjulurkan tangannya, menangkap tangan yang terikat itu lantas menarik wanita kulit putih itu keluar dari kereta. Gadis remaja itu terpaksa terseret keluar dan hampir saja jatuh ketika dia turun dari kereta. Sikun merenggut lepas sapu tangan yang menutupi mukanya.

“Jangan... jangan ganggu aku...!” Gadis Belanda itu meratap dan Aji merasa heran karena gadis itu dapat berbahasa daerah dengan jelas dan baik.

“Jangan banyak bicara kalau engkau tidak ingin aku menggunakan kekerasan!” kata Sikun dan sekali dorong, gadis Belanda itu terjengkang lalu jatuh telentang di atas rumput. Akan tetapi dia cepat bangkit duduk dengan sukar karena kedua tangannya masih terbelenggu.

“Dengar, ki sanak. Meski pun aku puteri Kapten De Vos, akan tetapi aku selalu menentang sikap ayahku. Aku tidak setuju dengan politik Kumpeni Belanda dan aku membela bangsa ibuku. Aku bukan musuh kalian.”

“Ha-ha-ha, Abang Sikun, siapa yang dapat percaya omongan gadis bule itu? Hayo cepat lakukan dan jangan dengarkan ocehannya!” kata si gendut Kosim.

Sikun menghampiri gadis itu yang menjadi semakin ketakutan.

“Jangan... demi Tuhan, jangan...” Dia mengeluh, sementara air matanya mulai mengalir di sepanjang kedua pipinya yang menjadi pucat.

Akan tetapi Sikun hanya menyeringai. Dia seperti sudah kemasukan iblis sehingga makin ketakutan gadis calon korbannya itu, semakin senang dan bangga rasa hatinya. Perlahan-lahan dia menghampiri dan hendak merenggut pakaian gadis itu.

Pada saat itu Aji tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia cepat melompat keluar dan membentak, “Ki sanak, apa yang kau lakukan ini adalah perbuatan yang sangat keji dan jahat!”

Si gendut Kosim yang bertugas jaga menjadi amat marah melihat ada orang mengganggu kesenangan mereka. “Bang Sikun, lanjutkan bersenang-senang, biar aku yang membunuh orang jahil ini!” katanya sambil mencabut sebatang parang dari pinggangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia segera melompat kemudian menerjang ke arah Aji, membacokkan parangnya dengan keyakinan bahwa sekali serangan dia akan dapat merobohkan pemuda yang menjadi penghalang itu.

“Wuuutttt...! Singgg...! Dessss!”

Bukan tubuh Aji yang terluka sambaran parang, melainkan tubuh Kosim yang terpelanting jatuh dan parangnya terlempar hingga jauh. Si gendut itu tidak dapat segera bangkit sebab pinggulnya terasa nyeri bukan main dan dadanya sesak!

Melihat ini Sikun yang tadinya hendak merenggut lepas pakaian gadis Belanda itu menjadi terkejut dan marah. Dia segera memutar tubuhnya lantas melompat ke depan, menghadapi Aji dengan mata melotot.

“Keparat! Siapa engkau yang berani mengganggu kami orang-orang Mataram?” bentaknya, menggunakan nama Mataram untuk menggertak. “Kami adalah pejuang-pejuang Mataram, tahukah engkau?!”

Aji tersenyum. “Pejuang-pejuang Mataram takkan sudi melakukan perbuatan seperti yang hendak kau lakukan itu!”

Semenjak tadi gadis Belanda yang kedua tangannya masih terikat itu turut mendengarkan sambil duduk bersimpuh di atas rumput. Kini tiba-tiba dia berkata, “Tepat sekali apa yang kau katakan itu, sahabat. Ibuku juga selalu bilang bahwa pejuang Mataram adalah ksatria yang gagah perkasa dan berbudi luhur!”

Sikun marah sekali. Dia bertolak pinggang sambil memandang kepada Aji.

“Manusia lancang! Apakah engkau hendak membela seorang gadis Belanda, musuh besar bangsa kita? Apa bila engkau tidak memusuhinya, bahkan hendak membelanya, maka itu hanya berarti bahwa engkau adalah seorang antek Belanda!”

“Hmm, manusia yang sudah buta oleh nafsu! Musuh kita memang Kumpeni Belanda yang hendak mencengkeram tanah air kita, dan di dalam perang memang kita harus membunuh setiap orang serdadu Belanda. Tetapi semua itu kita lakukan demi mempertahankan tanah air dan membela bangsa. Kalau engkau diperintah atasanmu untuk menculik puteri perwira Belanda demi kepentingan perjuangan Mataram melawan Belanda, tentu saja hal itu masih dapat dimengerti dan diterima. Tetapi engkau menodai tugasmu sebagai pejuang dengan perbuatan hina! Engkau hendak memperkosa gadis ini dan itu sama sekali bukanlah tugas seorang pejuang, melainkan perbuatan keji seorang manusia jahat yang kemasukan iblis! Engkau justru mencemarkan kesucian perjuangan membela negara dan bangsa!”

“Jahanam keparat! Siapakah engkau yang berani lancang menghina kami pejuang-pejuang Mataram yang gagah?” bentak Sikun yang kehabisan akal karena ucapan Aji itu tidak bisa dibantahnya sehingga membuat dia merasa malu dan marah.

Dengan tenang Aji mengeluarkan keris pusaka Nogo Welang dari balik bajunya. “Lihatlah ini! Kalau engkau tidak mengenal ini, berarti engkau adalah seorang telik sandi Mataram yang palsu!” kata Aji sambil menghunus keris dan mengangkatnya ke atas.

Melihat keris pusaka itu, sepasang mata Sikun terbelalak dan mukanya berubah pucat.

“Keris pusaka Nogo Welang...! Jadi andika ut... utusan ... Kanjeng Gusti Sultan Agung...!” Sikun tergagap dan sikapnya berubah sama sekali. Kosim yang tadi tertendang roboh juga telah merangkak bangun kemudian berdiri di samping Sikun sambil membungkuk-bungkuk ketakutan.

“Ampuni kami, raden...” kata mereka hampir berbareng.

“Dalam tugas aku disebut Alap-alap Laut Kidul, jadi kalian tidak perlu menyebutku Raden. Sekarang ingatlah baik-baik. Para pejuang kawula Mataram yang melakukan perjuangan membela nusa bangsa menghadapi kumpeni yang angkara murka, adalah ksatria utama. Perjuangan membela nusa dan bangsa adalah tugas yang suci, maka sekali-kali tak boleh dicemarkan dengan perbuatan jahat yang mementingkan diri sendiri dan diperhamba oleh nafsu. Mengganggu wanita dari kalangan dan bangsa apa pun juga merupakan perbuatan biadab yang pantang dilakukan para ksatria, juga bertindak kejam dan merampok hak milik orang lain. Kalau pantangan ini dilanggar, maka perjuangan tak akan diridhoi dan diberkahi Gusti Allah dan dapat menjadi gagal. Gusti Sultan Agung sendiri pasti tidak suka melihat pebuatan jahat seperti itu. Kalau perbuatan kalian ini diketahui, kalian pasti akan dihukum berat!”

“Ampuni kami...”

“Sudah, kalian pergilah dan laporkan kepada atasan kalian bahwa aku tidak setuju dengan tindakannya menculik kaum wanita. Hal ini hanya akan membuat kumpeni menjadi marah dan mereka akan lebih siap siaga sehingga akibatnya malah merugikan kita sendiri.”

“Baik, kami menaati perintah. Akan tetapi nona ini...“

“Dia akan kuantarkan kembali ke rumahnya,” kata Aji.

Dua orang itu saling pandang dengan bingung, akan tetapi mereka tak berani membantah.

Aji merasa bahwa jika dia dan gadis Belanda itu naik kereta, pasti akan menarik perhatian para petugas Kumpeni, maka dia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Kepada dua orang itu dia berkata. “Kalian boleh membawa kereta berikut kudanya. Serahkan kepada atasan kalian agar dapat dimanfaatkan.”

Dua orang itu tampak kegirangan sekali. Mereka membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Akan tetapi sebelum mereka menghampiri kereta, Aji berkata kepada mereka dengan suara membentak.

“Lihat ini!”

Dua orang itu terkejut dan menoleh, memandang kepada Aji yang menghampiri sebatang pohon cemara yang besarnya sama dengan pinggang orang dewasa. Dia mengayunkan tangan kanannya ke arah batang pohon itu.

“Wuuuttt...! Krakkkk!”

Pohon cemara itu tumbang dengan suara gaduh.

“Nah, jika kelak aku mendengar kalian masih suka mengganggu wanita dan memperkosa, kaki kalian akan kupatahkan seperti batang pohon ini!”

Dua orang itu terbelalak, wajah mereka pucat dan tubuh mereka menggigil.

“Kami tidak berani... tidak berani...” kata mereka tanpa berani melangkahkan kaki mereka.

“Nah, pergilah!” bentak Aji.

Barulah mereka berani naik ke kereta lalu membalapkan kereta meninggalkan tempat itu.

Aji mendengar suara orang bergerak di sebelah kirinya dan dia melihat gadis Belanda itu mencoba untuk bangkit bediri, akan tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang tubuhnya, maka gerakan bangkit berdiri ini agak sukar. Melihat ini Aji cepat menghampiri.

Gadis itu terbelalak, lalu dengan masih bersimpuh dia mencoba untuk bergerak menjauh. “Tidak...! Jangan... jangan sentuh aku...!”

Aji tersenyum, “Jangan takut, nona. Aku tidak ingin mengganggumu, tetapi hanya hendak membebaskanmu dari ikatan tangan itu.” Aji mendekat dan sekali tangannya bergerak, tali yang mengikat pergelangan kedua tangan gadis itu terlepas.

Gadis itu bangkit berdiri, menggosok-gosok pergelangan kedua tangannya sambil menatap kepada Aji dengan pandangan ragu dan takut.

“Nona, sekali lagi, jangan takut, aku takkan mengganggumu, bahkan aku ingin mengantar engkau pulang ke Jayakarta.”

Melihat Aji benar-benar tidak mengganggunya dan bersikap sopan, gadis Balanda itu mulai percaya. Apa lagi dia tadi melihat sendiri betapa pemuda itu mengalahkan dan mengusir dua orang penculik yang tadi hendak memperkosanya.

“Sobat, kalau engkau benar hendak mengantar aku pulang, mengapa engkau memberikan kereta itu kepada mereka?” tanya gadis itu dengan hati-hati. “Mereka jahat sekali, kenapa malah diberi hadiah kereta?”

“Nona, ketahuilah bahwa perbuatan kedua orang tadi memang sungguh jahat. Akan tetapi bagaimana pun juga mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk membela tanah air dan bangsa.” Meski pun merasa rikuh mengingat akan perbuatan dua orang tadi, Aji tetap membela mereka terhadap gadis Belanda ini. “Aku sengaja menyerahkan kereta dan kuda kepada mereka agar bisa dipergunakan untuk keperluan perjuangan. Lagi pula aku hanya dapat mengantarmu pulang ke Jayakarta apa bila kita berjalan kaki. Kalau kita naik kereta, tentu akan ditangkap oleh pasukan Belanda.”

“Sobat, benarkah engkau seorang utusan Mataram? Engkau seorang panglima Mataram?” Sekarang gadis itu memandang dengan penuh perhatian, sepasang mata yang kebiruan itu memancarkan kekaguman.

“Aku hanya seorang pejuang biasa saja.”

“Tetapi mengapa engkau menolongku? Engkau seorang pejuang Mataram, sedangkan aku adalah puteri dari seorang panglima Kumpeni Belanda. Bukankah aku adalah musuh yang harus kau bunuh?”

Aji tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Kalau engkau seorang perwira atau prajurit kumpeni Belanda, mungkin aku akan membantu mereka untuk menangkapmu. Tapi kulihat engkau seorang gadis biasa yang tidak ada sangkut pautnya dengan perang. Apa lagi aku mendengar tadi engkau mengatakan bahwa engkau dan ibumu tidak setuju dengan sikap kumpeni Belanda.”

“Ah, sobat. Engkau sungguh bijaksana, lain dengan orang-orang yang pernah kukenal dan kutemui. Kalau begitu, maukah engkau menjadi sahabatku, walau pun aku puteri seorang perwira tinggi Belanda?”

Bagaimana Aji dapat menolak ajakan seorang gadis untuk bersahabat? Biar pun gadis ini seorang asing, tetapi dia dapat bicara bahasa daerah dengan amat baiknya seperti gadis-gadis pribumi, dan ucapannya juga menunjukkan bahwa dia seorang gadis bijaksana. Oleh karena itu tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab. “Tentu saja aku mau menjadi sahabatmu.”

Gadis itu tersenyum lebar dan Aji melihat wajah yang manis itu tampak cerah dan begitu wajar seperti wajah kanak-kanak. “Engkau baik sekali. Nah, perkenalkan, namaku Karen, lengkapnya Karen Van De Vos. Dahulu aku tinggal di Cirebon dengan ayahku, Kapten Van De Vos. Ibuku adalah seorang wanita pribumi dari Tegal dan ibukulah yang menyadarkan aku bahwa kumpeni menjalankan politik yang jahat terhadap Nusa Jawa. Juga ibu sering kali mengatakan bahwa para pejuang yang membela Mataram adalah ksatria-ksatria yang gagah perkasa.”

Aji tersenyum mendengar gadis ini memperkenalkan diri dengan keterangan panjang lebar seperti air dari pancuran. Setelah gadis itu berhenti dan agaknya hendak disambung terus, dia cepat berkata untuk memperkenalkan diri.

“Aku bernama Lindu Aji. Ibumu benar, nona...”

“Panggil saja aku Karen,” potong Karen cepat.

“Baiklah, Karen. Ibumu benar. Kami berjuang membela Mataram berarti membela bangsa dan tanah air dengan taruhan nyawa. Namun bagaimana pun juga kami adalah manusia-manusia biasa yang tidak luput dari pada cacat. Oleh karena itu, kalau ada satu dua orang yang menyeleweng dari pada jalan yang benar seperti dua orang tadi, harap dimaklumi.”

“Tentu saja, aku sudah melupakan hal itu. Dengan adanya seorang ksatria seperti engkau yang sudah menolongku, maka mudah saja aku memaafkan dua orang tadi. Aku percaya bahwa mereka melakukan hal itu hanya karena aku adalah seorang gadis puteri panglima Belanda. Mereka menganggap bahwa berbuat keji terhadap anak musuh bukan perbuatan jahat.”

“Ahh, engkau memang seorang gadis yang bijaksana, Karen. Tadi kau mengatakan bahwa engkau tinggal di Cirebon bersama orang tuamu. Kenapa sekarang berada di Jayakarta?”

“Tadinya ayah bertugas di Cirebon, tetapi sekarang dia dipanggil oleh Gubernur Jenderal untuk bertugas di Batavia, mungkin karena ada berita bahwa Mataram hendak menyerang Batavia lagi. Kau tahu, ayahku adalah seorang panglima yang mengepalai para telik sandi yang disebar kumpeni di seluruh Nusa Jawa.”

“Aku sudah tahu...” Aji menahan kata-katanya yang sudah terlanjur keluar.

“Ahh, engkau sudah mengenal ayahku, Aji?” Gadis itu menatapnya tajam dengan matanya yang kebiruan.

Karena sudah terlanjur bicara, maka Aji terpaksa mengaku. Gadis ini telah bersikap jujur, menceritakan keadaan yang sebenarnya. Juga sudah tahu bahwa dia seorang pembantu Sultan Agung. Mungkin dari gadis ini dia bisa mendapatkan keterangan penting mengenai keadaan di Batavia.

“Memang aku pernah bertemu dengan Kapten De Vos, yaitu ketika aku ditawan oleh para mata-mata Kumpeni.”

“Ohh...! Tetapi engkau masih hidup dan sehat! Aji, maukah engkau menceritakan peristiwa itu kepadaku? Aku ingin sekali mengetahui.”

Gadis itu segera duduk di atas batu dan Aji duduk pula di depannya. Tidak ada salahnya menuturkan peristiwa itu kepada Karen. Siapa tahu hal itu akan memperkuat kepercayaan Karen kepadanya sehingga gadis itu mau menceritakan hal-hal penting mengenai kumpeni kepadanya.

“Ketika itu aku dan Sulastri bertemu dengan gerombolan kaki tangan kumpeni, yaitu Maya Dewi...“

“Huh, perempuan genit tak tahu malu itu? Aku benci padanya! Ayah pun tidak suka, tetapi karena dia cerdik dan pandai, maka terpaksa ayah menjadikan dia sebagai pembantunya,” kata Karen.

“Ada pula Ki Harya Baka Wulung datuk dari Madura, Aki Somad tokoh Nusakambangan dan Banuseta. Kami berdua dikeroyok. Setelah Sulastri tertawan, terpaksa aku menyerah karena mereka mengancam akan membunuh gadis itu. Kami berdua menjadi tawanan...”

“Nanti dulu, Aji. Siapa gadis yang bernama Sulastri itu?”

“Sulastri? Ia seorang pendekar wanita muda dari Dermayu. Kami berkenalan ketika sama-sama membantu pamannya yang diserang orang-orang jahat, di antaranya Nyi Maya Dewi dan Aki Somad yang menjadi kaki tangan Kumpeni itu. Lalu kami melakukan perjalanan bersama dan seperti kuceritakan tadi, kami berdua ditawan oleh gerombolan kaki tangan Kumpeni.”

“Berapa usianya?” kembali Karen memotong dengan penuh keinginan tahu, dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan yang lain.

“Usia Sulastri atau usia siapa?”

“Naturlijk (tentu saja) usia Sulastri itu!” kata Karen tidak sabar.

Aji merasa heran mengapa gadis Belanda ini begitu memperhatikan Sulastri.

“Usianya? Hemm, kalau tidak salah kurang lebih delapan belas tahun.”

“Kalau begitu sebaya denganku, hanya selisih sedikit. Bagaimana wajahnya?”

“Wajahnya? Bagaimana, ya? Kalau tidak salah bulat... ehh, bulat telur mungkin, ahh... aku tidak dapat menggambarkan wajah orang.”

“Ben je zo dom, Aji? (begitu bodohkah kamu, Aji?)” saking jengkelnya, Karen sampai lupa dan berkata dalam bahasa Belanda.

“Hee, apa... apa yang kau katakan itu, Karen?”

“Oh, anu, Aji. Aku tidak minta engkau menggambarkan bagaimana bentuk wajah Sulastri. Aku hanya ingin tahu apakah dia cantik?”

“Oh, begitu? Kalau tentang cantik, ya, memang dia gadis yang cantik sekali,” kata Aji terus terang karena memang dia menganggap Sulastri adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia baginya.

“Oh, ya? Coba engkau pandang aku, Aji, dan katakan, siapa yang lebih cantik antara aku dengan Sulastri?”

Aji memandang wajah gadis Belanda itu. Rambutnya berwarna kuning emas, berombak dan panjang sampai ke punggungnya. Alisnya berwarna agak gelap kehitaman, sepasang matanya berwarna kebiruan dan indah sekali, hidungnya tidak semancung orang Belanda, juga bibirnya memiliki keindahan seperti bibir gadis pribumi. Kulitnya memang putih mulus, akan tetapi juga tidak bule seperti kulit orang Belanda. Gadis berayah Belanda dan beribu Jawa ini memang manis sekali.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)