ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-50
“Karen, engkau adalah seorang gadis yang amat menarik, engkau cantik dan manis, walau pun kecantikanmu agak asing bagiku. Kecantikanmu berbeda dengan kecantikan Sulastri, akan tetapi engkau juga cantik sekali sehingga sukar bagiku untuk membandingkan antara engkau dan Sulastri.” Karen mengangguk-angguk dan tersenyum manis.
“Aji, tentunya engkau sangat mencintai Sulastri, bukan?” Mata kebiruan itu menatap wajah Aji penuh selidik.
Aji terkejut. Teringatlah dia pada Sulastri dan hatinya terasa tidak enak sekali. Dia teringat akan hubungan mesra antara Sulastri yang kehilangan ingatan dan merasa dirinya sebagai Eulis itu dengan Jatmika.
“Karen, bagaimana engkau dapat menduga begitu?”
“Mudah saja, Aji. Engkau membelanya mati-matian. Pada saat dia ditawan, engkau segera menyerahkan diri kepada musuh hanya untuk mencegah supaya Sulastri tidak dibunuh. Itu berarti engkau amat mencintainya dan siap membelanya dengan taruhan nyawa!”
Aji menghela napas panjang. “Sudah menjadi kewajiban seorang kesatria untuk membela dan menolong siapa saja, Karen. Bukankah tadi aku juga membelamu?”
“Kalau begitu, engkau... engkau tidak cinta kepadanya?” Gadis itu mendesak dengan mata berbinar-binar.
“Sulastri adalah sahabat baikku, Karen, bahkan dia masih terhitung adik seperguruanku. Tentu saja aku sangat suka kepadanya, akan tetapi tentang cinta... aku tidak tahu.”
Karen tersenyum, tampaknya girang sekali. “Sudahlah, sekarang lanjutkan ceritamu tadi. Bagaimana engkau dapat bertemu dengan Kapten De Vos, ayahku?”
“Setelah aku dan Sulastri tertawan oleh gerombolan mata-mata Kumpeni itu, kami dibawa ke rumah Ki Warga yang agaknya menjadi seorang pemimpin mata-mata Kumpeni...“
“Warga? Si keparat itu! Ibu dan aku benci sekali kepada pengkhianat bangsanya itu! Dia memang membantu ayahku. lalu bagaimana?”
“Kemudian kami dibawa ke sebuah kapal yang berlabuh di pantai Tegal dan di sana kami bertemu dengan Kapten De Vos.”
“Ahh, aku benci melihat pekerjaan ayahku! Kalau dia menjadi soldat (serdadu) di Belanda dan membela Negeri Belanda dari ancaman musuh, pasti aku akan merasa bangga. Tapi di sini dia membantu Kumpeni yang ingin menguasai tanah air bangsa lain! Bangsa ibuku. Bangsaku juga! Aku benci!”
“Hemm, yang bersalah adalah pemerintahnya, Karen. Ayahmu hanya melaksanakan tugas sebagai seorang prajurit yang harus tunduk kepada perintah atasannya.”
“Ya, ya! Akan tetapi aku tetap benci. Lalu bagaimana engkau yang telah menjadi tawanan dapat lolos dengan selamat?”
“Karena terancam maut maka terpaksa kami menggunakan akal. Dalam satu kesempatan aku berhasil menawan Kapten De Vos dan sesudah menyandera dia, maka kami berdua dapat memaksa dia untuk melarang anak buahnya bergerak. Kami membawanya dengan perahu dan melarikan diri ke pantai. Kami paksa Kapten De Vos untuk ikut dengan kami sebagai sandera. Sesudah jauh, aku lalu membebaskan Kapten De Vos dan kami berdua melarikan diri.”
“Ohh, Aji. Demikian luhur budimu. Demikian bijaksana. Engkau telah ditangkap oleh ayah, tapi sebaliknya engkau membebaskannya dan kini engkau malah menyelamatkan aku dari bencana yang mengerikan! Ah, Aji, sekarang biarlah aku menyatakan terima kasihku yang tak terhingga kepadamu!”
Sesudah berkata begitu, saking haru dan gembiranya Karen menghampiri dan merangkul leher Aji, lalu dia mencium pemuda itu, Dua kali pada pipi kanan kiri dan sekali mengecup bibir pemuda yang saking kagetnya tidak mampu berbuat apa-apa itu. Sesudah bibir yang basah dan panas itu mencium bibirnya, barulah Aji terkejut dan dengan lembut dia bangkit berdiri dan melepaskan rangkulan Karen.
“Jangan begini, Karen.” katanya, wajahnya berubah merah sekali karena selama hidupnya belum pernah dia mengalami hal seperti yang dirasakannya tadi.
“Kenapa, Aji?”
“Ini... ini tidak baik dan tidak wajar...”
“Kenapa tidak baik? Aku berterima kasih padamu, Aji, dan aku... aku suka sekali padamu, kagum padamu, bahkan kalau aku diberi kesempatan, kiranya aku akan mudah jatuh cinta kepadamu.”
“Sudahlah, Karen, engkau membikin aku bingung. Mari kuantar engkau pulang.”
Karen memegang tangan Aji dan dengan bergandeng tangan mereka lalu berjalan menuju Batavia.
Aji membiarkan saja tangan kirinya digandeng. Dia maklum bahwa gadis ini bermaksud baik, biar pun kebaikan itu diwujudkan dengan cara yang terlalu mesra dan terlalu janggal baginya. Tangan gadis itu begitu lembut, begitu hangat hingga di sepanjang perjalanan Aji merasa jantungnya berdebar. Dia membayangkan betapa akan bahagia rasa hatinya kalau yang menggandengnya itu adalah Sulastri! Dan tiba-tiba saja sadarlah dia sekarang bahwa sesungguhnya dia memang mencinta Sulastri, seperti yang dikatakan Karen tadi.
Mereka berjalan tanpa berkata-kata, akan tetapi Aji merasa betapa telapak tangan Karen kadang-kadang memegang tangannya dengan erat dan terasa getaran keluar dari telapak tangan itu. Tanpa kata-kata, tapi semua itu, tekanan tangan, getaran telapak tangan, lalu pandang mata yang mengerling tajam kepadanya, senyum itu, semua itu menjadi isyarat yang jelas sekali bagi Aji. Gadis Belanda ini tidak berpura-pura ketika mengatakan bahwa dia sangat suka, kagum dan mungkin cinta kepadanya. Dan agaknya Karen juga berjalan lambat, enggan bercepat-cepat seolah hendak memperpanjang waktu berdua bersama Aji.
“Karen, dapatkah engkau menceritakan kepadaku mengenai keadaan di benteng Kumpeni itu? Bagaimana kekuatan Kumpeni dan bagaimana pula persenjataan mereka?”
“Oh, Aji. Ngeri aku kalau membayangkan engkau akan ikut pula dengan pasukan Mataram menyerbu dan berperang melawan pasukan Kumpeni Belanda. Tetapi tentu saja aku tidak ingin menjadi pengkhianat bangsa ayahku sendiri...”
Aji menghela napas panjang. Ucapan ini justru menambah kekagumannya terhadap Karen.
“Kalau engkau engkau tidak ingin menceritakan kepadaku, aku pun tak akan memaksamu untuk berkhianat kepada bangsamu, Karen.”
“Tetapi di dalam hati kecilku aku berpihak kepada bangsa ibuku. Baiklah, akan kuceritakan karena ceritaku ini juga tidak akan mempengaruhi keadaan dan apa yang kuketahui sedikit sekali, Aji. Dari ayah aku mendapat tahu bahwa pihak kumpeni sudah mengetahui rencana Mataram untuk melakukan penyerbuan yang kedua kalinya terhadap benteng Belanda di Batavia. Karena itu pasukan Kumpeni telah membuat persiapan yang amat kuat. Meriam-meriam baru sudah didatangkan dan kini dibariskan di atas benteng, menghadap ke empat penjuru. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen sendiri yang mengatur barisan Kumpeni. Aku juga melihat pasukan-pasukan tambahan berdatangan, belum lagi kapal-kapal besar dengan pasukan dan meriam-meriamnya. Aku mendengar belum lama ini ada lima buah kapal besar datang untuk memperkuat dan sekarang sudah berjaga di lautan dekat pantai. Ahh, keadaan mereka kuat sekali, Aji. Laporkanlah kepada Sultan Agung agar berhati-hati, jangan sampai mengalami kehancuran yang kedua kalinya.”
“Terima kasih atas keteranganmu, Karen. Sekarang beri-tahukan padaku di mana adanya gudang ransum Kumpeni. Kalau kami dapat menguasai gudang ransum itu, tentu keadaan mereka akan menjadi lemah karena kehabisan ransum.”
“Setahuku, ransum untuk pasukan berada dalam tiga buah gudang ransum yang berada di benteng. Akan tetapi aku mendengar bahwa mereka juga mempunyai persediaan ransum yang mereka simpan di dalam kapal-kapal perang.”
Mendadak Aji mendapat sebuah pikiran yang dianggapnya baik sekali. Kalau saja dia bisa membakar gudang-gudang ransum Kumpeni! Setidaknya tentu akan dapat mengacaukan dan melemahkan pertahanan mereka, pikirnya.
“Karen, engkau sudah tahu bahwa aku adalah seorang telik sandi Mataram dan aku adalah utusan Sultan Agung untuk menentang Kumpeni. Maukah engkau menunjukkan kepadaku di mana adanya tiga buah gudang ransum itu berada?”
“Aji! Mau apa engkau menanyakan gudang-gudang itu?”
“Aku ingin membakarnya untuk melemahkan pertahanan Kumpeni,” kata Aji terus terang.
“Ohhh...!”
“Engkau tidak mau, Karen?”
“Bukan, bukan tidak mau. Akan tetapi hal itu benar-benar berbahaya, Aji. Apa bila engkau ketahuan, biar aku sendiri pun kiranya tidak akan mampu membela dan melindungimu dari hukuman mati!”
“Aku akan berhati-hati dan berusaha agar jangan sampai ketahuan atau tertangkap. Asal engkau dapat membawaku masuk ke dalam benteng.”
“Hmm, hal itu mudah akan tetapi berbahaya sekali. Aku harus menjaga agar engkau tidak dapat terlihat ayah dan para penbantunya yang pernah melihatmu. Kalau mereka melihat dan mengenalmu, tentu engkau akan langsung ditangkap.”
“Kukira mereka tidak akan berada di pintu gerbang, Karen. Para serdadu yang berjaga di pintu gerbang tidak akan mengenalku. Kita tunggu sampai lewat senja, barulah memasuki benteng agar di dalam kegelapan tidak mudah mengenal mukaku.”
“Baiklah, Aji, aku akan berdoa untuk keselamatanmu. Aku akan merasa sedih sekali kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, kalau sampai engkau tertimpa bencana.”
Mereka berjalan lagi dan menjelang senja tibalah mereka di kota. Mereka sengaja menanti sampai lewat senja dan cuaca menjadi remang-remang. Mereka berdiri di luar benteng, di tempat yang gelap.
“Bawa aku masuk ke benteng. Nanti kita berpisah sesudah kita dapat memasuki benteng dengan selamat,” bisik Aji.
“Hal itu mudah, jangan khawatir. Akan tetapi sesudah kita saling berpisah, aku... aku akan selalu gelisah sekali memikirkanmu.”
“Aku akan berhati-hati.”
Mereka lantas menuju ke pintu gerbang. Aji sudah menggunakan tanah untuk membedaki dahi, pipi, serta dagu sampai leher. Dua orang serdadu menyambut mereka dengan bedil ditodongkan. Akan tetapi begitu melihat Karen, mereka cepat berdiri tegak.
“Selamat malam. nona!” kata seorang dari mereka dalam bahasa Belanda.
“Selamat malam. Biarkan kami masuk.”
“Tetapi orang ini...?”
“Jangan khawatir. Dia yang menolong aku ketika keretaku dirampok. Aku akan membawa dia untuk menghadap ayah. Minggir dan jangan ganggu dia!”
“Siap, nona!” Dua orang serdadu itu memberi jalan sambil berdiri tegak, memberi hormat kepada puteri kapten itu.
Karen lalu mengajak Aji memasuki pintu gerbang dan Aji melihat betapa benteng itu luas sekali. Banyak bangunan terdapat di dalam benteng yang dikelilingi tembok tinggi. Di atas tembok tinggi yang lebar itu terdapat serdadu-serdadu yang berjaga dan tampak berjajar-jajar.
Dia sudah diberi-tahu oleh Karen bahwa tiga buah gudang ransum itu berada di ujung barat benteng. Mereka lalu berjalan dan Karen mengajak Aji ke bawah sebuah pohon rindang sehingga mereka tertelan oleh kegelapan bayangan pohon.
“Di sanalah kita berpisah. Gudang itu berada di sana. Engkau dapat mencapainya dengan jalan menyusup di antara pohon-pohon itu.” Karen menunjuk.
“Baikah, aku dapat mencarinya sendiri. Kita berpisah di sini, Karen, dan sekali lagi terima kasih.”
Aji hendak melangkah, akan tetapi Karen cepat memegang tangannya.
“Aji...!”
“Ya...?”
“Hati-hatilah, Aji. aku tidak ingin kehilangan engkau...”
“Aku akan berhati-hati...”
“Aji...” Karen merangkul leher Aji, menariknya kemudian dia mencium dengan mesra, tidak peduli dengan muka pemuda itu yang kotor karena dilumuri tanah. Terpengaruh keharuan dan kemesraan dalam ciuman itu, Aji lalu membalas.
“Selamat tinggal, Karen.”
“Jangan selamat tinggal, selamat berpisah untuk sementara, Aji...”
Aji melepaskan rangkulan mereka, lalu tubuhnya berkelebat cepat dan menghilang dalam kegelapan malam. Sementara Karen bergegas menuju ke bangunan besar di mana orang tuanya tinggal dan ketika Karen muncul di ruang depan, Kapten Van De Vos yang sedang bercakap-cakap dengan Banuseta dan Hasanudin, bangkit dan mengerutkan alisnya.
“Karen! Ke mana saja engkau pergi? Dari tadi kami mencarimu dan engkau tidak berada di dalam kota!” Kapten De Vos yang bertubuh tinggi kurus itu memandang puterinya hingga dapat melihat pakaian Karen yang kusut dan agak kotor. “Apa yang terjadi denganmu?”
Agar tidak menimbulkan curiga dalam hati ayahnya, Karen lalu menghampiri ayahnya dan dengan manja merangkul pinggang ayahnya. “Ohh, ayah. Banyak yang terjadi denganku, bahkan aku hampir mati. Ohh, mengerikan sekali.”
Mendengar ini sang kapten terkejut sekali, demikian pula Banuseta dan Hasanudin. Raden Banuseta memang sudah lama menjadi telik sandi Kumpeni, dan dia berhasil membujuk Hasanudin untuk membantu pula.
Bagaimana mungkin Hasanudin yang sejak beberapa tahun yang lalu sudah menjadi murid seorang sakti seperti mendiang Ki Tejo Langit sekarang dapat menjadi seorang yang bisa terbujuk menjadi antek Belanda?
Hal ini sebenarnya tidaklah aneh. Sejak kecil Hasanudin adalah seorang yatim piatu yang kurang pendidikan orang tua dan terjerumus dalam pergaulan sesat. Bahkan kemudian dia menjadi murid Ki Somad, datuk yang condong memusuhi Mataram. Akan tetapi akhirnya, empat tahun yang silam, dia betemu Ki Tejo Langit dan menjadi muridnya sehingga selain ilmu kanuragan, dia pun menerima penggemblengan batin yang membuat dia kembali ke jalan benar dan meninggalkan kejahatan.
Namun pertahanan hati nuraninya ternyata masih lemah.
Banuseta mengambil cara yang cerdik. Maklum akan kelemahan Hasanudin, dia sengaja memperkenalkan Hasanudin kepada Karen, gadis jelita puteri Kapten Van De Vos. Begitu diperkenalkan Hasanudin lantas tergila-gila kepada dara itu dan tanpa banyak pikir lagi dia menerima ajakan Banuseta untuk membantu Kumpeni dan mendapat upah besar.
Demikianlah, dia lalu membantu Banuseta, bahkan dia menyaksikan betapa Banuseta dan pasukan Kumpeni membunuh Ki Sudrajat dan Ki Tejo Langit. Meski pun dalam hatinya dia tidak setuju menyaksikan pembunuhan atas diri dua orang itu, tetapi hal itu tidak membuat dia mundur dari pengabdiannya terhadap kumpeni. Semua ini karena dia sudah tergila-gila kepada Karen, juga karena dia menerima upah besar dan janji-janji muluk dari Banuseta yang dianggapnya sebagai seorang sahabat baik sejak dia masih tinggal di Dermayu.
Ketika Kapten Van De Vos mendengar ucapan Karen yang manja, dia terkejut dan cepat bertanya. “Apa yang telah terjadi?”
“Ayah, ketika keretaku tiba di tepi kota yang sunyi, tiba-tiba kusir kereta terjungkal keluar kereta dan keretaku sudah dikuasai dua orang, lalu dilarikan keluar kota. Aku tidak mampu berteriak karena mulutku ditutup kain.”
“God verdoome! Siapa mereka itu?!” bentak kapten Van De Vos marah sekali.
“Aku tidak tahu, ayah. Mereka orang-orang kasar yang berusia sekitar empat puluh tahun. Ketika mereka saling bicara, yang seorang disebut Mang Kosim dan yang lainnya disebut Bang Sikun. Bang Sikun bertubuh sedang dan kumisnya panjang, sedangkan Mang Kosim gendut pendek. Agaknya mereka hendak membunuhku, tetapi untunglah aku ditolong oleh seorang petani dan dialah yang mengantar aku pulang, sedangkan keretanya dilarikan oleh dua orang perampok itu.”
“Ahh, begitukah? Siapa penolongmu itu dan di mana dia sekarang?” tanya Kapten Van de Vos.
“Dia mengantar aku sampai di luar pintu gerbang benteng, lalu pergi lagi, ayah.”
“Siapa namanya?”
“Aku tidak tahu, dia tidak mengaku, ayah. Ahh, aku lelah sekali karena ketika pulang aku harus berjalan kaki cukup jauh.” Gadis itu mengeluh.
“Kalau begitu pergilah menemui ibumu yang sejak tadi menangis saja memikirkanmu, dan istirahatlah.”
Setelah Karen pergi, kapten Van De Vos segera berkata kepada dua orang pembantunya itu, terutama kepada Raden Banuseta. “Kalian sudah mendengar sendiri cerita Karen tadi. Karena Maya Dewi dan para pembantu lain sedang pergi melaksanakan tugas lain, maka kalian berdua harus menyelidiki hal ini. Aku merasa curiga bahwa dua orang perampok yang menculik Noni Karen itu ada hubungannya dengan para mata-mata Mataram. Selidiki mereka dan tangkap atau bunuh saja mereka. Penolong itu juga harus kalian selidiki. Jika dia bukan orang Mataram, dia patut diberi hadiah yang cukup.”
“Baik, tuan.” kata Raden Banuseta dan bersama Hasanudin dia lalu keluar dari gedung itu.
“Lebih baik bila kita berpencar,” kata Banuseta sesudah mereka keluar dari gedung tempat tinggal Kapten Van De Vos. “Aku akan mengunjungi para anak buah penyelidik, kemudian menyebar-luaskan keterangan tentang Kosim dan Sikun itu, ada pun engkau coba selidiki penolong yang mengantar Nona Karen pulang. Mungkin ada yang melihat ketika mereka memasuki kota tadi.”
Hasanudin mengangguk dan mereka pun berpencar. Kalau Raden Banuseta pergi mencari para penyelidik yang disebar Kumpeni di kota Batavia untuk menjaga keamanan kota dari para telik sandi Mataram, Hasanudin langsung pergi ke pintu gerbang benteng. Dua orang serdadu yang berjaga di situ mengenalnya sebagai pembantu Kapten Van De Vos. Dengan bahasa Belanda sepatah-sepatah bercampur bahasa daerah, Hasanudin bertanya kepada mereka.
Dua orang serdadu itu mengangkat pundak lalu menggelengkan kepala. Dengan bahasa campuran pula seorang di antara mereka menjawab. “Kami tidak melihatnya. Kami baru saja menggantikan tugas jaga di sini, baru beberapa menit yang lalu.”
“Siapakah yang bertugas jaga sebelum kalian?” tanya Hasanudin.
“Karel dan Jansen,” jawab dua orang serdadu itu.
Setelah mendapat jawaban ini, Udin atau Hasanudin segera pergi ke tempat penampungan para serdadu. Pada saat itu Jansen masih tidur, maka setelah bertemu dengan Karel, dia segera bertanya apakah Karel melihat Karen memasuki pintu gerbang benteng.
“Ya, aku melihat dia pulang.”
“Seorang diri?”
“Tidak, dia diantar seorang laki-laki petani yang kotor.”
“Dan kemana perginya petani itu?” tanya Hasanudin.
“Dia ikut memasuki benteng bersama Nona Karen. Menurut Nona Karen, orang itu sudah menolongnya ketika dia dirampok dan dia hendak menghadapkan orang itu kepada Kapten Van De Vos. Apakah yang terjadi?” tanya Karel.
“Tidak apa-apa, aku hanya mengecek saja atas perintah Tuan Kapten.” Hasanudin segera pergi dari situ.
Jantungnya berdebar tegang. Karen telah berbohong! Orang yang dikatakan penolongnya itu sudah menyelundup memasuki benteng dengan bantuan Karen. Dia harus menyelidiki! Bukan mustahil orang itu adalah telik sandi Mataram yang menyelundup masuk ke dalam benteng!
Akan tetapi mau apa dia? Apa yang dapat dilakukan satu orang saja dalam benteng yang dihuni oleh ribuan serdadu itu? Tiba-tiba dia teringat. Gudang mesiu atau gudang ransum! Agaknya ke sanalah orang itu pergi. Setelah berpikir demikian Hasanudin lalu menyelinap di antara pohon-pohon menuju bangunan gudang mesiu yang berada di belakang, sebelah barat dalam benteng.
Dia lalu menghampiri gedung mesiu. Dua orang serdadu yang berjaga di depan gedung itu masih duduk berjaga di situ, berarti keadaan di situ masih aman. Dia lalu pergi ke bagian belakang gedung itu di mana berdiri tiga buah gudang ransum yang sangat besar, berjajar dan sambung menyambung. Di depan pintu besar tiga buah gudang yang menjadi satu itu biasanya ada dua orang serdadu penjaga. Tetapi di bawah sinar lampu yang tergantung di atas pintu besar itu, kini tidak tampak adanya penjaga seorang pun.
Hasanudin menjadi curiga karena hal ini aneh sekali!
Dia melompat ke depan pintu dan melihat dua batang senapan menggeletak di situ, tetapi dua orang serdadunya tidak ada. Dia lalu mencari ke belakang dan setelah tiba di pinggir gudang, dia melihat dua orang serdadu itu telah menggeletak di bawah pohon yang gelap. Dia terkejut sekali dan pada saat itu ada angin menyambar dari samping.
Aji sudah berhasil merobohkan dua orang penjaga gudang dan menyeret tubuh mereka ke samping gudang. Akan tetapi tiba-tiba saja dia melihat bayangan seorang laki-laki di depan gudang, bahkan laki-laki itu mencari ke samping gudang dan menemukan tubuh dua orang penjaga. Melihat ini Aji menjadi terkejut dan kebetulan sekali laki-laki itu berdiri di bawah lampu yang tergantung di samping gedung.
Dia makin kaget ketika mengenal wajah laki-laki itu, Hasanudin! Udin kakak tirinya, orang yang dicari-carinya, yang sudah membantu Banuseta ketika jahanam itu menyerbu tempat tinggal Ki Tejo Langit di pantai Dermayu! Dia tahu bahwa Hasanudin amat membenci ayah kandungnya, ayah kandung mereka dan kalau dia hanya membujuk dan mengingatkannya begitu saja, tidak mungkin kakak tirinya itu mau mendengarnya. Bahkan mungkin dia akan dimusuhinya pula kalau Hasanudin tahu bahwa dia putera Harun Hambali. Oleh karena itu jalan satu-satunya hanyalah merobohkannya lebih dulu, baru membujuknya.
Setelah berpikir demikian Aji lalu menyerang dengan cepat.
Tapi Hasanudin bukan seorang yang lemah. Dia adalah murid Aki Somad yang kemudian memperdalam ilmunya pada Ki Tejo Langit. Begitu ada angin pukulan dahsyat menyambar dari samping, Udin atau Hasanudin segera melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan tamparan Aji itu pun luput. Udin cepat melompat berdiri dan begitu melihat Aji, meski muka pemuda itu berlumpur, dia masih ingat bahwa pemuda itu adalah orang yang dahulu pernah bertempur dengannya di tempat tinggal Ki Tejo Langit, seorang pemuda yang amat tangguh.
“Hemm, ternyata engkau, telik sandi Mataram!” bentaknya dan dia pun balas menyerang dengan hebat karena dia sudah menggunakan Aji Margopati, pukulan yang mematikan.
Aji tidak mau membuang waktu lagi, maklum bahwa kakak tirinya ini juga bekas murid Ki Tejo Langit. Dia segera memainkan ilmu silat Wanara Sakti untuk mengelak dan secepat kilat dia sudah menggunakan jari-jari tangan yang dipenuhi tenaga Surya Candra, menotok ke arah iga kanan lawannya.
“Tukk!”
Iga kanan itu terkena totokan dan seketika tubuh Udin menjadi lemas. Aji cepat menubruk dan menelikung kedua tangan kakak tirinya ke belakang sehingga Udin tidak bisa bergerak lagi!
“Hm, aku sudah kalah, kalau hendak bunuh, lakukanlah. Aku tidak takut mati!” bentaknya. Diam-diam dia merasa penasaran dan malu sekali sebab hanya dalam satu gebrakan saja dia sudah dibuat tak berdaya oleh lawannya.
“Aku takkan membunuhmu sebab engkau adalah kakakku, Kakang Hasanudin. Ketahuilah bahwa aku adalah putera kandung ayah kita, Harun Hambali!”
“Bohong! Harun Hambali hanya memiliki satu orang anak saja, yaitu aku! Dan dia seorang pengecut jahat, aku akan membunuhnya!”
“Sabar dan tenanglah, Kakang Udin. Dengarkan ceritaku baik-baik. Sesudah Bapa Harun melarikan diri ke Mataram, di sana dia menikah lagi dengan ibuku kemudian lahirlah aku. Namaku Lindu Aji dan ayah kita telah tewas dibunuh oleh orang jahat.”
“Hmm, dia sendiri juga jahat, tidak bertanggung jawab, meninggalkan aku begitu saja. Jadi pantas saja kalau dia dibunuh orang pula!”
“Nanti dulu, kakang. Tahukah engkau mengapa ayah kita meninggalkanmu ketika engkau masih kecil dan menitipkanmu kepada Paman Ujang Karim?”
“Karena dia membunuh seorang menak dan pengecut itu segera melarikan diri ketakutan tanpa mempedulikan aku lagi.”
“Dan tahukah engkau kenapa ayah kita membunuh menak yang bernama Anom Bahrudin itu?”
“Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu!”
“Kakang Udin, engkau pasti tidak tahu mengapa ibu kandungmu meninggal dunia?”
“Apa...?!” Udin cepat menengok untuk memandang wajah Aji, matanya terbelalak. “Aku... aku tidak tahu. Kata paman Ujang, ibu meninggal karena sakit...”
“Paman Ujang Karim bohong karena dia ketakutan. Ibumu meninggal dunia akibat gantung diri setelah dia diculik dan diperkosa oleh seorang menak, Yaitu Aom Bahrudin! Karena itu Bapa Harun Hambali kemudian membunuh Aom Bahrudin itu. Karena dia khawatir dengan keselamatanmu, maka dia menitipkan engkau kepada Paman Ujang Karim dan dia sendiri lalu melarikan diri ke daerah Mataram.”
Mata itu terbelalak dan muka itu menjadi merah, “Be... benarkah itu...?”
Aji melepaskan ringkusannya dan memulihkan kembali tenaga Hasanudin sehingga orang itu mampu bangkit berdiri. Kini mereka berdiri berhadapan.
“Lindu Aji, benarkah apa yang kau ceritakan itu?”
“Mengapa aku harus berbohong? Mendiang bapa sendiri yang menceritakannya.”
“Mendiang...? Kau... kau maksudkan... ayah kita telah meninggal?”
“Sudah dibunuh orang! Bapa Harun Hambali dan juga Paman Ujang Karim sudah dibunuh orang dan tahukah engkau siapa yang membunuh mereka? Dia bukan lain adalah Raden Banuseta itu! Dia adalah putera Aom Bahrudin yang hendak membalas kematian ayahnya lalu mencari ayah kita sampai ke Mataram, kemudian membunuh ayah, juga membunuh Paman Ujang Karim yang kebetulan berada di sana.”
“Jahanam busuk!” Hasanudin mengepal tinjunya dan memaki.
“Dan engkau sudah berhasil dibujuknya untuk membantu kumpeni Belanda, kakang. Ahh, kakang, apakah engkau tidak bisa melihat betapa jahat dan hinanya orang yang mengabdi kepada bangsa Belanda untuk memusuhi bangsanya sendiri? Banuseta sudah membunuh Paman Sudrajat, juga membunuh Eyang Tejo Langit gurumu sendiri! Dan sekarang engkau telah dipergunakannya untuk membantu dia mengabdi kepada Belanda. Sadarlah, kakang. Mendiang bapa kita adalah seorang ksatria sejati, sedangkan Banuseta itu adalah seorang pengkhianat bangsa, seorang putera bangsawan jahat yang memperkosa ibu kandungmu sendiri!”
“Keparat busuk Banuseta, matilah engkau di tanganku!” Hasanudin membentak dan sekali melompat dia pun lenyap dalam kegelapan malam.
Sesudah mendengar cerita Aji bahwa ibu kandungnya mati bunuh diri sesudah diculik dan diperkosa Aom Bahrudin, lalu ayah kandungnya dibunuh Banuseta putera Aom Bahrudin, Hasanudin marah bukan main. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Banuseta yang dikiranya seorang sahabat baik itu ternyata musuh besarnya.
Terlebiih lagi kalau dia ingat betapa Banuseta juga sudah membunuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, kemarahannya makin memuncak saja. Dia berlari bagaikan seorang yang sudah dimasuki iblis, tidak mempedulikan apa saja untuk mencari Banuseta.....
********************
Kebetulan sekali Banuseta juga sudah kembali dan kini sedang menghadap Kapten Van De Vos di ruangan tamu. Banuseta mendapat kabar bahwa Karen terlihat muncul di kota bersama seorang laki-laki, maka dia segera kembali untuk melapor atasannya.
“Betulkah laporanmu ini, Banuseta?” tanya Kapten van De Vos marah.
“Betul, tuan. Sudah beberapa orang yang mengatakan bahwa mereka melihat Nona Karen memasuki kota bersama seorang laki-laki pribumi dan mereka berdua memasuki benteng melalui pintu gerbang...”
Pada saat itu pula Hasanudin melompat masuk ke dalam ruangan tamu itu dan langsung menghampiri Banuseta. Sikapnya benar-benar menyeramkan, wajahnya beringas dan tidak mempedulikan sopan santun sehingga mengejutkan dan mengherankan hati sang kapten dan Banuseta.
“Banuseta, benarkah engkau sudah membunuh seorang bernama Harun Hambali?” tanya Hasanudin setelah berdiri di depan Banuseta.
Bangsawan muda itu merasa heran, akan tetapi dia bangkit berdiri juga dan menjawab.
“Memang benar, Udin karena jahanam itu telah membunuh ayahku. Aku hanya membalas dendam atas kematian ayahku.”
“Hemm, apakah ayahmu bernama Aom Bahrudin?”
“Benar.”
“Engkau tahu mengapa Harun Hambali membunuh Aom Bahrudin?”
“Aku tidak tahu, mungkin Harun itu orang jahat.”
“Ketahuilah, Aom Bahrudin sudah menculik dan memperkosa istri Harun Hambali sehingga wanita itu membunuh diri!”
“Ahh, aku tidak tahu dan aku tidak percaya.”
“Dan tahukah engkau siapa aku? Wanita yang diperkosa ayahmu dan mati membunuh diri itu adalah ibu kandungku dan Harun Hambali adalah ayah kandungku! Karena itu engkau harus mati di tanganku, Banuseta!” Hasanudin segera menampar dengan keras sekali.
Banuseta yang terkejut cepat menggerakkan tangan menangkis.
“Wuuuttt...! Dukkk !”
Dua lengan bertemu dan akbatnya tubuh Banuseta terdorong ke belakang, menabrak kursi sehingga dia roboh. Namun sebagai ketua cabang perguruan silat Dadali Sakti, dia cepat meloncat sambil mencabut goloknya yang bergagang emas. Ketika Hasanudin menyerang lagi, dia cepat menyambut dengan babatan goloknya. Hasanudin mengelak dan keduanya lalu berkelahi dengan serunya di dalam ruangan tamu itu.....
Komentar
Posting Komentar