ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-51


“God verdomme! Hentikan perkelahian itu!” Kemudian menodongkan pistolnya.

Akan tetapi Hasanudin tidak mempedulikan teriakan ini, malah memperhebat serangannya dan gerakan kedua orang yang berkelahi itu sedemikian cepatnya, berputar-putar sehingga sulitlah bagi Kapten Van De Vos untuk menentukan sasarannya.

Tentu saja di dalam hatinya dia membela Raden Banuseta yang sudah lama menjadi kaki tangannya, sedangkan Hasanudin adalah orang baru. Tetapi sukarlah untuk membidikkan pistolnya ke arah tubuh Hasanudin yang bergerak sangat cepat itu. Jangan-jangan malah salah sasaran!

Hasanudin bernafsu sekali untuk membunuh musuh besarnya itu. Dia sadar benar bahwa dirinya sudah terseret ke dalam tindakan sesat tanpa mengetahui bahwa ‘sahabat baik’ itu justru musuh besarnya. Dan sesungguhnya Raden Banuseta juga sama sekali tidak tahu bahwa Udin adalah putera kandung Harun, musuh besarnya, Kalau dia mengetahui, tentu dia sudah turun tangan lebih dulu untuk membunuh putera musuhnya itu.

“Aji Tapak Geni! Aarrgghhhhh...!” Hasanudin mengeluarkan aji yang dipelajarinya dari Aki Somad itu.

Kedua tangannya yang digosok-gosokkan itu ditiup hingga menyala dan ketika dipukulkan ke depan, tampak api menyambar ke arah Banuseta. Orang ini kaget sekali dan mencoba untuk menghindar, namun terlambat. Pukulan berapi itu tepat mengenai dadanya dan dia pun terjengkang roboh. Bagaikan seekor harimau Hasanudin menerkam, mencengkeram dan mencekik lehernya. Banuseta mengeluarkan suara mengerikan dan matanya melotot, lidahnya keluar dan batang lehernya patah!

Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan dari luar gedung. “Kebakaran...! Kebakaran...!” Dan terdengar banyak orang berlari-larian.

Sekarang Kapten Van De Vos mendapat kesempatan. Pistol yang berisi peluru emas itu menyalak tiga kali.

“Dar-darr-darrrr...!”

Tubuh Hasanudin terpelanting. Namun dia masih sempat menyambar golok yang terlepas dari tangan Banuseta yang sudah tewas dan dalam keadaan terluka parah oleh tiga peluru emas itu, Hasanudin masih mampu mengerahkan tenaga terakhir, melontarkan golok itu ke arah Kapten Van De Vos.

“Singggg...! Capppp...!”

Van De Vos mengeluh perlahan ketika golok itu menancap di perutnya hingga menembus di punggungnya. Dia masih sempat melepaskan dua kali tembakan yang ngawur sebelum jatuh terjerembab di atas lantai, tewas bermandikan darahnya sendiri.

Sementara itu, begitu mendengar teriakan kebakaran, Karen Van De Vos dapat menduga bahwa kebakaran itu tentulah dilakukan oleh Aji. Maka dia pun cepat berlari melalui pintu belakang sambil membawa segulung pakaian. Dia tidak tahu apa yang terjadi di ruangan tamu. Dia hanya ingat akan keselamatan Aji. Dia harus menolongnya karena kalau tidak, tidak mungkin Aji dapat menyelamatkan diri.

Dugaan Karen memang tepat. Yang membuat kebakaran itu adalah Aji. Sesudah berhasil menyadarkan kakak tirinya, Aji yang telah merobohkan dua orang penjaga gudang ransum lantas menggunakan tenaga saktinya untuk mematahkan gembok yang berada pada pintu gudang. Dia membuka pintu dorong gudang itu dan mengambil dua buah lampu minyak gantung. Dilemparkannya dua buah lampu gantung itu sehingga gudang ransum itu pun terbakar.

Akan tetapi dia mendengar suara tembakan beruntun tiga kali, lalu dua kali lagi. Tembakan itu membuat dia maklum bahwa sebentar lagi tentu banyak serdadu datang ke tempat itu, apa lagi sudah terdengar teriakan ada kebakaran. Dia menjadi agak bingung juga karena tidak tahu ke mana harus melarikan diri. Dia menyelinap menjauhi gudang yang terbakar, lalu bersembunyi di tempat gelap.

“Sssttt... Aji...!” Tiba-tiba terdengar bisikan.

“Karen...!” Aji berbisik kembali. Dia segera mengenal suara itu dan merasa girang karena dia yakin bahwa kemunculan gadis itu pasti membawa kebaikan bagi dirinya.

“Sssttt... Aji kau dalam bahaya. cepat pakai ini, hayo cepat!” Karen muncul lalu masuk ke dalam bayangan gelap di mana Aji bersembunyi. Dengan cekatan gadis itu membantu Aji mengenakan gaun besar di luar pakaiannya, juga memakai syal (kain penutup pundak dan leher) lebar dan menutupi kepala Aji dengan selembar kain putih yang diikatkan di bawah dagu. Maka jadilah Aji seperti seorang nenek tua yang biasa memakai gaun!

“Hayo cepat, ikut aku!” bisik Karen dan dia mengait lengan Aji kemudian dibawanya berlari menuju ke bagian gelap benteng itu.

Mereka melihat para serdadu tengah berlarian dan sibuk memadamkan api. Ketika mereka tiba di pintu gerbang benteng, lima orang serdadu segera memberi hormat kepada Karen tanpa mempedulikan ‘nenek’ itu. Dengan leluasa Karen menyeret Aji keluar benteng dan di tempat gelap Karen berbisik,

“Cepat pergi keluar kota. Cepat, Aji...!”

Aji merasa begitu gembira dan berterima kasih kepada gadis itu sehingga sekarang dialah yang merangkul dan mencium bibir Karen untuk menyatakan terima kasihnya.

“Cepat... selamat jalan, Aji... Semoga Tuhan melindungimu...!” Karen mendorong tubuh Aji dan pemuda itu cepat melompat lalu berlari di antara banyak orang yang berdesakan ingin menonton kebakaran di dalam benteng.

Dengan menggunakan kesempatan selagi semua penduduk Batavia atau Jayakarta dalam keadaan panik, Aji berhasil lolos dari kota itu.....

********************

Seperti biasa, pada pagi hari itu Eulis (Sulastri) dan Neneng Salmah berada di pinggir anak sungai untuk mandi dan mencuci pakaian. Namun sekali ini mereka tidak segera mencuci pakaian, melainkan bercakap-cakap sambil duduk di atas batu.

“Eulis, sudah hampir setengah tahun aku berada di sini. Aku merasa sangat bahagia dapat hidup bersama ayahku, dengan engkau, Paman Subali serta bibi yang begitu baik kepada kami. Ah, sungguh aku merasa beruntung mendapatkan seorang saudara seperti engkau, Eulis.”

“Aeh, sudah berapa ratus kali engkau mengatakan hal itu, hampir setiap hari. Seharusnya akulah yang berterima kasih karena kehadiranmu mengurangi banyak sekali kesedihanku yang telah kehilangan ingatan. Bahkan aku dapat belajar menari dan bertembang darimu.”

“Suaramu juga indah dan merdu sekali, Eulis.”

“Dan ternyata engkau pun memiliki bakat bermain pencak silat.”

“Akan tetapi kau pernah bilang bahwa aku bermain pencak dengan gerakan terlalu indah seperti orang menari,” kata Neneng.

“Dan aku pun ketika menari seperti orang bersilat, seperti pria!” kata Eulis.

“Sudahlah, sebelum kita mandi, coba sekarang engkau berlatih tari terbaru yang kuajarkan kepadamu.”

“Tari Srimpi? Wah, sukar benar gerakannya.”

“Tidak sukar, hanya engkau kurang sabar, Eulis. Cobalah,” desak Neneng Salmah.

“Boleh, aku akan berlatih berjoget dan bertembang, akan tetapi sesudah itu engkau harus berlatih silat dengan Aji Sonya Hasta seperti yang kuajarkan.”

“Baik. Nah, mulailah!”

Eulis lalu bertembang. tembang Kinanti dan suaranya memang benar merdu dan lantang.

Kedua orang dara jelita ini sama sekali tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, bersembunyi di balik batu besar, semenjak tadi ada dua pasang mata manusia mengintai dan dua pasang telinga mendengarkan. Dua orang manusia itu memang telah berada di situ sebelum Eulis dan Neneng Salmah datang, maka Eulis yang peka itu pun tidak tahu tentang keberadaan mereka. Ketika Aji Sonya Hasta disebut, seorang dari mereka, seorang laki-laki terbelalak heran dan semakin memperhatikan.

Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya berukuran sedang dan wajahnya tampan berwibawa, dan wajah itu cerah karena mulutnya selalu tersenyum. Matanya lembut namun bersinar tajam dan hidungnya mancung,. Kumis tipis membuat dia tampak gagah.

Ada pun yang kedua adalah seorang wanita berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun, cantik jelita dan wajahnya yang lembut berbentuk bulat dengan dagu meruncing. Sepasang alisnya hitam dan sepasang matanya berbinar-binar seperti bintang kejora, bulu matanya lentik, hidung kecil mancung dan bibirnya menggairahkan. Sungguh merupakan sepasang manusia yang serasi, yang pria tampan gagah dan yang wanita cantik anggun.

Setelah selesai bertembang, Eulis lalu mulai menari. Tariannya memang indah sekali, tapi gerakannya kurang luwes bagi Tari Srimpi karena gerakannya mengandung kegagahan.

“Sekarang ganti engkau yang coba berlatih Aji Sonya Hasta!” kata Eulis setelah rampung berjoget.

Neneng Salmah juga tidak malu-malu lagi. Dia mulai bersilat dengan Aji Sonya Hasta yang diajarkan Eulis. Gerakannya indah dan luwes, sungguh seperti orang menari, namun gadis ini telah dapat memahami inti aji itu, yang tampaknya kosong namun berisi kekuatan yang dahsyat. Kosong tetapi berisi, yang berisi penuh malah kosong, itulah inti dari gerakan silat Sonya Hasta itu.

Pria yang mengintai menjadi semakin heran.

Begitu Neneng Salmah selesai berlatih, Eulis lalu merangkulnya. “Bagus! Hebat! Sekarang engkau tak perlu khawatir dengan gangguan laki-laki brengsek lagi, Neneng. Biar ada tiga empat orang laki-laki kasar, kalau mengganggumu pasti akan roboh semua di tanganmu.”

“Tapi mana bisa aku memukul orang, Eulis?”

“Tidak perlu memukul. Jentikan jari tanganmu dan tamparan tanganmu sudah cukup untuk membuat orang jahat terjungkal! Penyerangmu bisa mampus tanpa mengeluarkan darah!”

“Membunuh orang? Hiihh...!” Neneng Salmah bergidik ngeri. “Jangankan membunuh orang, membunuh seekor coro (kecoak) saja aku ngeri dan tidak tega!”

Pria dan wanita yang sedang mengintai itu saling pandang lalu tersenyum geli. Mendengar percakapan antara dua gadis jelita itu, mendengar Eulis bertembang dan melihat Neneng Salmah bermain pencak silat, mereka merasa kagum sekaligus juga geli. Sikap dan kata-kata kedua orang gadis itu lucu dan juga menyenangkan. Dari ucapan mereka berdua, dua orang pengintai itu maklum bahwa dua orang gadis itu adalah orang-orang yang berwatak periang dan baik.

“Tentu saja! Coro itu binatang yang tidak ada dosanya, tetapi di dunia ini banyak manusia yang sangat keji dan jauh lebih jahat dibandingkan coro atau binatang apa pun juga!” kata Eulis.

Neneng Salmah menghela napas panjang. “Engkau benar, Eulis. Kalau aku teringat akan pengalamanku yang lalu, sebagian besar lelaki yang ikut berjoget itu tidak sopan. Pandang mata, senyuman dan kata-kata mereka kurang ajar. apa lagi kalau teringat pangeran dari Banten itu, iihh, dia jahat sekali melebihi seekor harimau yang buas!”

Eulis tertawa. “Heh-heh, apa kau kira harimau itu buas?”

“Tentu saja. Harimau merobek-robek tubuh korbannya dengan kejam, kemudian memakan dagingnya dan minum darahnya!” kata Neneng Salmah.

“Habis, bagaimana? Apa engkau menyuruh harimau itu makan rumput dan daun-daunan? Atau menyuruh harimau itu menyembelih dahulu korbannya lalu memasaknya dan makan masakan daging korbannya seperti kita? Memang sudah kodratnya begitu, harimau tidak doyan sayur dan tidak pandai memasak daging, maka tentu saja dia makan binatang yang lebih lemah. Kalau tidak begitu maka dia akan mati kelaparan. Dia sama sekali tidak bisa dikatakan buas!”

Sesudah mengeluarkan kata-kata itu, Eulis teringat dan melamun. Dari mana dia mengerti tentang semua itu? Siapa yang mengajarnya? Dia bisa merasakan betul bahwa dia pernah mendengar ada orang yang mengajarkan semua itu kepadanya, yaitu pengertian tentang kasunyatan dalam kehidupan ini. Akan tetapi dia tidak ingat lagi siapa yang mengajarinya!

Tanpa sengaja tiba-tiba Eulis menoleh ke arah batu di balik mana dua orang itu mengintai. Hanya sekelebatan saja bayangan itu tampak, tetapi sudah cukup bagi Eulis untuk bereru nyaring.

“Heii! Siapa yang mengintai di sana? Hayo keluar!”

Dua orang yang semenjak tadi mengintai segera keluar dari balik batu-batu. Pria tampan yang wajahnya lembut dan cerah itu adalah seorang gagah perkasa yang pernah berjasa besar membantu Mataram ketika terjadi perang antara Mataram dan Madura. Dia juga ikut dalam pertempuran ketika pasukan Mataram menundukkan Surabaya dan Giri.

Akan tetapi dia tidak mau menerimanya ketika hendak dianugerahi pangkat senopati oleh Sultan Agung. Dia hanya memilih sebidang tanah di Pasuruan dan tinggal di sana seperti rakyat biasa. Pria itu bernama Parmadi. Ada pun wanita itu adalah istrinya yang bernama Muryani, juga seorang wanita yang sakti mandraguna.

Ketika membantu Mataram dengan sepak terjangnya yang gagah dan kesaktiannya yang tinggi, kadang-kadang Parmadi dibantu sebuah seruling yang dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh. Karena itu dia pun mendapat julukan ‘Seruling Gading’.

Mendengar seruan Eulis yang agaknya telah mengetahui tempat mereka mengintai, suami istri ini segera keluar dan semakin yakinlah mereka bahwa Eulis tentu seorang gadis yang sakti mandraguna sehingga dapat mengetahui bahwa mereka mengintai di balik batu-batu itu. Mereka lalu menghampiri dua orang gadis yang sudah bangkit berdiri dan memandang kepada mereka dengan alis berkerut itu.

Dengan tersenyum Parmadi merangkap kedua tangan memberi salam penghormatan, lalu berkata, “Maafkanlah kami, adik-adik yang manis. Sebenarnya kami berdua tidak berniat mengintai. Kami telah lama berada di sini sebelum andika berdua tiba. Tadi ketika melihat andika berdua bertembang, menari lalu bermain pencak silat, kami merasa tertarik sekali sehingga kami berdiam diri untuk menyaksikan. Saya bernama Parmadi dan dia ini adalah istriku, Muryani.”

Wanita cantik itu pun berkata menyambung ucapan Parmadi. “Memang suamiku berkata benar, adik-adik yang baik. Kami tidak bermaksud buruk, hanya teramat heran dan tertarik melihat adik ini tadi bermain silat yang katanya belajar darimu.”

Eulis mengerutkan alisnya, “Apa pun alasannya, perbuatan kalian berdua mengintai kami patut dicurigai! Hayo katakan apa maumu?” Pada dasarnya Eulis memang memiliki watak keras. Apa lagi sudah beberapa kali dia bertemu dengan orang-orang yang jahat seperti Mahesa Sura, Kolo Srenggi dan kelima Mahesa yang menjadi murid mereka, yang sudah dibasminya bersama Jatmika dan Lindu Aji. Tentu saja dia merasa curiga.

Parmadi bertukar pandang dengan istrinya. Dia memberi isyarat dengan kedipan matanya, kemudian dia menghadapi Eulis yang tampak galak menantang, ada pun Neneng Salmah hanya menonton saja dengan hati tegang.

“Kalau andika curiga kepada kami, seballiknya aku pun curiga padamu. Dari mana engkau mempelajari Aji Sonya Hasta?”

Ditanya demikian, Eulis menjadi marah. Dia sendiri memang tidak ingat lagi dari siapa dia mempelajari ilmu itu, biar pun dia masih ingat mengenai nama dan cara menggunakannya.

Menurut keterangan Ki Subali yang sekarang menjadi ayahnya, biar pun dia masih belum ingat benar bahwa dia adalah ayah kandungnya, gurunya adalah Ki Ageng Pasisiran yang kini sudah meninggal. Akan tetapi dia tak peduli lagi dan menganggap pertanyaan Parmadi itu lancang dan hendak mencampuri urusan pribadinya.

“Peduli apa engkau dengan itu? Bukan urusanmu!” bentaknya.

Muryani mengerutkan alisnya. Dia sendiri di waktu mudanya juga lincah dan keras, akan tetapi sesudah menjadi istri Parmadi selama beberapa tahun, perangainya sudah berubah lembut.

“Adik yang baik, kami hanya ingin mengetahui, siapakah guru andika? Ketahuilah bahwa suamiku ini juga menguasai Aji Sonya Hasta.”

“Hemm, kalau begitu tentu dia yang telah mencuri aji itu! Lebih baik kalian yang mengaku dari mana mendapatkan aji iu! Siapa gurumu?” Eulis bertanya.

Parmadi tersenyum. Apa bila dia memberi tahu siapa gurunya, barang kali gadis itu akan mengenalnya dan tak akan bersikap begitu keras padanya. “Guruku adalah Eyang Ki Tejo Wening.”

Eulis mengerutkan keningnya. “Aku tidak mengenal nama itu! Tentu gurumu itu yang telah menjiplak atau mencuri ilmuku!”

“Hemm, kalau demikian aku ingin melihat apakah Aji Sonya Hasta yang kau miliki itu tulen ataukah palsu!” kata Parmadi yang telah memberi isyarat kepada istrinya.

Dia ingin menguji gadis galak ini karena kini dia curiga. Entah bagaimana caranya gadis ini telah mempelajari aji kesaktian itu dari orang yang mencurinya.

“Nah, sekarang tampaklah belangnya!” bentak Eulis. “Engkau pasti berniat buruk. Mari kita sama lihat, siapa yang mencuri dan mempunyai aji yang palsu!”

“Eulis, jangan berkelahi!” bujuk Neneng Salmah.

“Mundurlah, Neneng. Biarkan aku menghajar orang yang kurang ajar ini,” kata Eulis sambil mendorong mundur Neneng Salmah yang terpaksa mundur lantas menonton dengan hati gelisah.

Muryani juga mundur sambil tersenyum. Dia maklum bahwa suaminya hanya ingin melihat apakah gadis bernama Eulis itu benar-benar menguasai Aji Sonya Hasta yang asli. Maka dia menonton dengan tenang saja.

Eulis segera membuat gerakan pembukaan. Kedua tangannya melakukan sembah di atas kepalanya, kemudian kedua lutut ditekuk dan kedua tangan diturunkan sehingga menjadi sembah di depan dada, kemudian kedua lengannya dikembangkan ke kanan kiri, terbuka dengan sepasang telapak tangan menghadap ke arah depan. Pembukaan itu benar-benar melambangkan kekosongan, bahkan keadaan dirinya tebuka sama sekali.

“Mulailah!” bentak Eulis, matanya mencorong dan biar pun pembukaan itu tampak lemah sekali dan mudah dimasuki serangan lawan, namun sesungguhnya semua urat syarafnya sudah siap siaga dan menjadi peka sekali.

Parmadi tertegun. Gerakan pembukaan itu nyaris sempurna! Dia pun membuat gerakan yang sama sehingga diam-diam Eulis juga kaget, akan tetapi dia bersikap tidak acuh.

“Andika yang mulai, adik manis.” kata Parmadi ramah.

Eulis menganggap sebutan itu seperti ejekan yang kurang ajar, maka dia pun tak sungkan-sungkan lagi.

“Sambut ini...!” Tangannya bergerak dari samping, kedua tangannya membuat gerak yang arahnya berlawanan dan nampaknya sebagai tamparan lembut hampir seperti mengusap atau mengelus, namun di dalamnya tekandung hawa yang sangat kuat sehingga terdengar bunyi bersiut.

“Bagus!” Parmadi memuji karena gerakan gadis itu ketika menyerang memang benar dan tepat. Maka dia pun cepat mengelak dan balas menyerang.

Namun Eulis dapat menangkis tamparan itu dari samping lalu cepat membalas. Maka dua orang itu sudah bertanding seru, serang menyerang dan karena mereka memainkan ilmu silat yang sama, maka tampaknya seperti dua orang yang sedang latihan saja.

Melihat ini Muryani juga merasa heran dan dia tidak ragu lagi bahwa antara suaminya dan gadis itu pasti ada hubungan persaudaraan seperguruan. Karena kedua orang itu selalu melakukan gerakan yang sama, Neneng Salmah juga menduga demikian. Bagaimana pun juga dia sendiri sudah mempelajari ilmu silat itu, maka dia berseru kepada Eulis.

“Eulis, hentikanlah! Dia benar, gerakanmu sama benar dengan gerakannya!”

Tetapi dasar Eulis seorang gadis yang keras hati, maka dia masih belum mau mengalah. Dia melompat ke belakang, lalu menggosok kedua telapak tangannya dan mendorongkan kedua tangannya itu ke arah Parmadi sambil mengerahkan tenaga saktinya.

Parmadi terbelalak dan cepat menghindarkan diri dengan melempar tubuh ke kiri sehingga serangan itu luput. Angin pukulan yang amat dahsyat menyambar lewat di samping tubuh Parmadi.

“Itu Aji Margopati...!” seru Parmadi.

Eulis menjadi penasaran sebab serangannya bisa dielakkan dengan mudah oleh lawannya. Maka dia pun mengerahkan tenaga sakti yang lebih besar lagi, lalu dia kembali menyerang dengan aji pukulan Margopati yang amat dahsyat itu.

Parmadi terpaksa memperlihatkan kesaktiannya. Kedua tangannya didorongkan ke depan untuk menyambut pukulan dahsyat itu, tetapi dia membatasi tenaganya karena tidak ingin melukai gadis yang pandai menggunakan Aji Sonya Hasta dan Aji Margopati itu.

“Wuuuttt...! Wessss!”

Eulis terkejut bukan main karena tenaga pukulannya itu seolah-olah bertemu dengan air. Tenaganya seperti tenggelam dan kehilangan daya serangnya. Namun dia adalah seorang gadis yang keras hati dan cerdik. Kini dia mengetahui benar bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang yang sakti mandraguna, yang kepandaiannya jauh melampaui tingkatnya sendiri, tetapi orang itu sama sekali tidak memiliki niat jahat sehingga tidak menggunakan kesaktiannya untuk mencelakakan dirinya. Hal ini terasa sekali dalam tangkisan laki-laki itu yang sama sekali tidak melawan melainkan membuat tenaga aji pukulan Margopati seperti punah dan lumpuh!”

Eulis melompat mundur sampai dekat Neneng Salmah, kemudian dengan mata terbelalak dia memandang kepada Parmadi sambil berkata gagap. “Sebenarnya siapakah... siapakah andika ini...?”

Parmadi dan Muryani melangkah maju mendatangi dua orang gadis itu. Sambil tersenyum Parmadi berkata lembut,

“Tadi sudah kami katakan bahwa kami bukanlah musuh, kami tidak mempunyai niat buruk hanya kami tertarik melihat Aji Sonya Hasta tadi. Sekarang aku melihat bahwa Aji Sonya Hasta yang andika mainkan itu benar-benar asli sehingga aku yakin bahwa di antara kita masih ada tali persaudaraan seperguruan! Tadi aku sudah memperkenalkan diri, namaku Parmadi dan ini istriku Muryani. Kami berasal dari jauh di timur, dari kadipaten Pasuruan. Siapakah andika berdua?”

Karena Eulis tidak juga menjawab disebabkan perasaan malu atas kekerasan sikapnya dan juga kekalahan yang diam-diam harus diakuinya itu, Neneng Salmah yang menjawab.

“Maafkan atas sikap saudaraku ini. Dia bernama Eulis dan saya sendiri bernama Neneng Salmah. Eulis tidak bisa menjawab pertanyaan andika karena dia telah kehilangan ingatan tentang masa lalunya, bahkan tidak ingat lagi akan ayah ibunya sendiri.”

“Neneng, kenapa hal itu kau ceritakan?” tegur Eulis.

“Eulis, mereka ini bukan musuh, melainkan orang-orang baik hati yang sakti mandraguna. Terlebih lagi jika melihat aji kesaktiannya yang sama dengan yang kau miliki, aku merasa yakin bahwa dia masih ada hubungan persaudaraan seperguruan denganmu.”

“Engkau benar sekali, Neneng Salmah. Suamiku tentu masih ada pertalian persaudaraan seperguruan dengan Eulis ini, dan siapa tahu kalau Gusti Allah mengijinkan, suamiku bisa menyembuhkan Eulis dari penyakit kehilangan ingatan itu.”

Neneng Salmah terbelalak dan wajahnya berseri. “Ahh, benarkah? Kalau begitu, Kakang-mas Parmadi dan Mbakayu Muryani, kami persilakan andika berdua agar singgah di rumah kami dan bertemu ayah Eulis, yaitu Paman Subali yang akan dapat menceritakan segala tentang guru Eulis. Mari, Eulis, kita antar mereka agar singgah ke rumah.” Neneng Salmah mengajak Eulis.

Akan tetapi Eulis menggelengkan kepala. “Engkau sajalah yang mengantar, Neneng. Aku hendak mencuci pakaian dan mandi.”

Bagaimana pun juga hati Eulis masih agak penasaran karena dia tidak mampu menandingi Parmadi. Sementara itu Parmadi dan Muryani saling pandang, kemudian Parmadi berkata kepada Neneng Salmah.

“Baiklah, Nimas Neneng Salmah, kami akan menemui Paman Subali. Aku kasihan kepada Nimas Eulis yang tidak salah lagi tentu masih saudara seperguruanku sendiri. Marilah kita pergi.”

Suami istri itu lalu mengikuti Neneng Salmah menuju ke rumah Ki Subali yang berada tak begitu jauh dari situ. Setelah ditinggal pergi, Eulis termenung seorang diri.

Bagaimana pun juga jantungnya berdebar tegang. Benarkah orang yang bernama Parmadi itu mampu menyembuhkannya dan mengembalikan ingatannya tentang masa silam yang hilang?

Dia duduk melamun dan mencoba untuk mengerahkan ingatannya, namun selalu terbentur dan berhenti. Yang diingatnya hanyalah saat dia bertemu dengan Jatmika, mulai dari saat itu sampai sekarang. Bahkan dia tidak ingat masa lalunya bersama ibunya yang dianggap orang-orang yang baru dijumpainya dan dikenalnya sekarang.

Dia termangu-mangu dan jantungnya berdebar tegang. Apa saja yang kiranya akan dapat diingatnya kalau dia benar-benar dapat disembuhkan.....?

********************

Ki Subali dan istrinya merasa heran melihat Neneng Salmah pulang bersama seorang pria dan seorang wanita yang tidak mereka kenal. Ki Salmun yang baru muncul dari samping rumah sambil memanggul pacul juga merasa heran dan dia menegur anaknya.

“Neneng, kenapa engkau pulang sendiri? Di mana Eulis?”

“Ia masih berada di sungai. Saya pulang mengantarkan dua orang tamu ini. Paman Subali dan Bibi, ini adalah Kakang-mas Parmadi dan Mbakyu Muryani. Kakang-mas Parmadi ini adalah saudara seperguruan Eulis dan dia bersama istrinya ingin berbicara dengan paman tentang Eulis, bahkan dia akan berusaha mengobati Eulis agar ingatannya pulih kembali.”

Mendengar ini, Ki Subali dan istrinya menjadi girang sekali. “Ah, marilah anakmas berdua, silakan duduk!” Ki Subali mempersilakan kedua orang tamunya duduk di serambi.

Parmadi duduk dihadapi Ki Subali dan istrinya. Ki Salmun yang mendengar bahwa kedua orang itu adalah tamu Ki Subali, dengan sikap sopan mengangguk kemudian melanjutkan perjalanannya ke ladang untuk bekerja seperti biasa. Di sana Ki Subali memiliki sebidang tanah ladang di mana dipekerjakan beberapa orang buruh tani. Biasanya Ki Subali dan Ki Salmun juga membantu setiap kali mereka tidak mempunyai kesibukan lain.

Neneng Salmah duduk di atas bangku di sudut serambi, dia ingin mendengarkan apa yang dibicarakan para tamu itu. Dia ingin sekali melihat Eulis dapat disembuhkan dari penyakit ‘lupa’ itu.

“Betulkah Anakmas Parmadi masih sudara seperguruan anak kami Eulis?” tanya Ki Subali sambil memandang wajah Parmadi dengan kagum. Sekali pandang saja Ki Subali sudah dapat menilai bahwa pria di depannya ini adalah seorang yang ‘berisi’ dan berwatak baik.

“Saya menilainya demikian karena aji kesaktiannya sama benar dengan yang pernah saya pelajari, paman. Saya ingin mengetahui, siapakah sebenarnya guru dari puteri paman itu?”

Ki Subali menghela napas panjang. “Anak kami itu sebenarnya bernama Sulastri. Di waktu remaja dia berguru kepada seorang pertapa yang bernama Ki Ageng Pasisiran yang tinggal dalam sebuah pondok di pantai laut utara daerah Dermayu ini.”

“Ki Ageng Pasisiran...?” Parmadi dan Muryani mengulang nama itu sambil mengerutkan kening sebab mereka tidak mengenal nama ini. “Tadinya saya mengira dia adalah murid Ki Tejo Budi, atau Ki Tejo Langit, atau bahkan Eyang Ki Tejo Wening!” kata Parmadi heran.

“Memang sesungguhnya demikian! Akhirnya kami mendengar bahwa Ki Ageng Pasisiran itu datang dari Banten dan dahulu bernama Ki Tejo Langit, anakmas.”

“Nah, benar dan tepat dugaanku! Ternyata dia adalah murid Paman Guru Ki Tejo Langit! Ketahuilah, paman, saya adalah murid Eyang Resi Tejo Wening, yaitu kakak seperguruan dari paman guru Tejo Langit. Jadi puteri paman itu adalah adik seperguruan saya sendiri seperti yang kuduga! Tapi bagaimana ceritanya sampai Nimas Eulis kehilangan ingatannya tentang masa lalunya? Dan mengapa pula namanya dari Sulastri berganti menjadi Eulis?”

Ki Subali menghela napas panjang. “Kami juga belum lama mendengar tentang anak kami itu. Mula-mula datang Anakmas Lindu Aji yang menuturkan bahwa ketika dia dan Sulastri menghadapi gerombolan penjahat, Sulastri terguling jatuh ke dalam tebing yang curam. Akan tetapi Anakmas Lindu Aji tidak menemukan jenazahnya, maka menduga bahwa dia masih hidup. Lama kami menunggu Anakmas Aji yang katanya hendak mencari Sulastri. Pada suatu hari tiba-tiba Sulastri muncul bersama Anakmas Jatmika dalam keadaan sehat dan selamat, hanya... dia lupa segala yang terjadi pada masa lalu, bahkan tidak mengenal kami ayah ibunya sendiri.”

“Nanti dulu, paman. Siapakah itu Lindu Aji, dan siapa pula itu Jatmika?”

“Menurut keterangan mereka, anakmas Lindu Aji adalah murid Ki Tejo Budi, sedangkan Anakmas Jatmika adalah cucu Ki Tejo Langit karena dia adalah putera Ki Sudrajat. Jadi mereka semua masih saudara seperguruan dari anak kami Sulastri.”

Parmadi mengangguk-angguk. “Ahh, ternyata aku bertemu dengan para murid keturunan Paman Tejo Budi dan Paman Tejo Langit. Tahukah paman, di mana Paman Tejo Budi dan Paman Tejo Langit itu?”

Ki Subali menghela napas panjang, “Menurut keterangan Anakmas Lindu Aji, Ki Tejo Budi sudah meninggal dunia. Ada pun menurut keterangan Anakmas Jatmika, Ki Tejo Langit atau Ki Ageng Pasisiran, juga Ki Sudrajat, tewas ditembak telik sandi Kumpeni Belanda,”

“Duh Gusti... kumpeni keparat!” kata Muryani penasaran.

Parmadi menghela napas panjang. “Semoga mereka mendapatkan tempat yang bahagia di alam baka. Lalu bagaimana ceritanya tentang Nimas Eulis... eh, Sulastri, paman?”

Pada saat itu Neneng Salmah bangkit berdiri, wajahnya berseri-seri dan ia berkata. “Harap maafkan saya, saya harus pergi menemui Eulis dan mengajaknya pulang!” Tanpa menanti jawaban, Neneng Salmah sudah berlari keluar.

Dia begitu gembira mendengar keterangan Parmadi tadi. Kini jelas sudah bahwa Parmadi adalah kakak seperguruan Eulis sendiri. Jika saja orang yang sakti mandraguna itu benar-benar dapat menyembuhkan Eulis, betapa akan bahagianya mereka semua.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)