ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-52
“Dan siapa Neneng Salmah itu, Paman?” tanya Muryani.
“Ahh, dia bersama ayahnya datang dari Sumedang dan sekarang tinggal bersama kami di sini. Dia akrab sekali dengan Sulastri. Mereka seperti kakak beradik saja. Dahulu Neneng Salmah menjadi waranggana yang amat terkenal di Sumedang.”
Suami istri itu mengangguk-angguk. “Paman, sebagai kakak seperguruannya Sulastri saya merasa prihatin sekali melihat keadaannya. Oleh karena itu, bila paman mengijinkan, saya akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya dari keadaan hilang ingatan masa lalunya.”
Ki Subali dan istrinya gembira sekali mendengar itu.
“Ahh, sebelumnya kami ucapkan banyak terima kasih, anakmas! Tentu saja kami sangat setuju!”
Sambil menanti kepulangan Eulis, dua pasang suami isteri itu lalu bercakap-cakap dengan ramah tamah.....
********************
Sementara itu Neneng Salmah berlari-lari ke tepi sungai di mana Eulis sedang mandi. Dia sudah selesai mencuci pakaian, juga pakaian kotor Neneng Salmah telah dicucinya.
“Wah, cucianku sudah kau kerjakan, Eulis?”
“Sudah, hayo mandilah!” kata Eulis sambil menyiramkan air ke arah Neneng Salmah.
Sambil tertawa Neneng Salmah menanggalkan pakaian. Dengan hanya bertapih pinjung ia pun turun ke dalam air. Ketika mandi ia berkata gembira. “Eulis, Kakang-mas Parmadi itu benar-benar kakak seperguruanmu!”
“Hemm, bagaimana engkau bisa begitu yakin?”
“Tadi mereka bercakap-cakap dan aku ikut mendengarkan. Ketahuilah Eulis, Kakang-mas Parmadi, Kakang-mas Lindu Aji, Kakang-mas Jatmika yang kau ceritakan itu, dan engkau sendiri masih ada hubungan saudara sepeguruan. Guru-guru kalian adalah tiga bersaudara. Yang pertama adalah Resi Tejo Wening yang menjadi guru Kakang-mas Parmadi, lalu Ki Tejo Langit yang menjadi gurumu dan juga menjadi kakek dari Kakang-mas Jatmika, dan yang ketiga adalah Ki Tejo Budi yang menjadi guru Kakang-mas Lindu Aji. Mari kita cepat mandi, Eulis, engkau harus cepat pulang menemui Kakang-mas Parmadi dan istrinya.”
“Akan tetapi aku tidak ingat sama sekali tentang guruku. Wajahnya pun sudah tak kuingat lagi.”
“Eulis, Kakang-mas Parmadi sanggup mengobatimu. Marilah kita cepat pulang! Siapa tahu dia benar-benar dapat mengembalikan ingatan masa lalumu. Alangkah akan senangnya!”
“Jangan tergesa-gesa! Nanti dhangkalmu (debu yang menempel di kulit) tidak bersih!” Eulis menggoda.
“Ihh...! Memangnya dhangkalku berapa tebalnya sih?”
Mereka tertawa-tawa sambil saling menyiramkan air. Dua orang gadis itu memang akrab dan rukun sekali, saling menyayang. Sesudah mandi mereka pun berganti pakaian kering lalu bergegas pulang.
Setibanya di serambi rumah, Ki Subali segera menyambut anaknya sambil berkata. “Eulis, cepat memberi hormat kepada kakak seperguruanmu Anakmas Parmadi dan istrinya!”
Biar pun dia tidak ingat siapa gurunya, namun dari keterangan Lindu Aji, Jatmika, dan kini Parmadi yang sudah dia ketahui kesaktiannya dan jelas menguasai Aji Sonya Hasta serta Margopati, Eulis percaya bahwa kenyataan kalau Parmadi adalah kakak seperguruannya agaknya tidak dapat dibantah lagi. Maka dengan senyum malu-malu mengingat sikapnya yang keras tadi, ia pun menghampiri Parmadi dan Muryani, kemudian menyembah dengan merangkap kedua tangan di depan dada, agak membungkuk sambil berkata dengan suara lirih.
“Kakang-mas Parmadi, Mbakayu Muryani, maafkan sikapku tadi.”
Muryani segera menghampiri dan merangkulnya.
“Aihh, tidak perlu minta maaf. Kesalah-pahaman tadi sudah wajar karena kita belum saling mengenal.”
Eulis dapat merasakan keramahan Muryani, maka dia menjadi gembira sekali.
“Adi Sulastri, maaf jika aku memanggilmu Sulastri. Tentang salah paham itu di antara kita memang tak perlu minta maaf. Engkau adalah adik seperguruanku sendiri, oleh karena itu maukah engkau bila aku berusaha mengobatimu agar engkau sembuh dan bisa mengingat kembali masa lalumu?” tanya Parmadi sambil tersenyum.
Eulis atau Sulastri merasa heran mengapa hatinya tidak merasa marah atau tidak senang dengan sebutan nama yang asing baginya itu. Padahal dahulu dia tidak suka bila Jatmika menyebutnya Sulastri. Ada sesuatu dalam suara Parmadi yang mengandung wibawa amat kuat. Dia tersenyum dan mengangguk.
“Tentu saja aku akan senang sekali kalau dapat mengingat kembali masa laluku, Kakang Parmadi.” Dia tidak ragu-ragu menyebut pria itu kakang saja, sebutan akrab seorang adik terhadap kakaknya.
Setelah menikmati makan pagi yang dihidangkan oleh Eulis dan Neneng Salmah, Parmadi berkata kepada Eulis. “Adik Sulastri, apakah engkau sudah siap untuk memperkenankan aku mengobatimu?”
Eulis tersenyum. “Tentu saja aku siap, kakang. Sejak tadi aku sudah siap karena aku pun ingin sekali dapat segera mengingat semua masa laluku itu.”
“Nah, justru itulah pantangannya, adikku. Engkau telah menguasai Aji Sonya Hasta, tentu sudah tahu bagaimana harus mengosongkan diri, bukan? Jangan ada keinginan apa pun, harapan apa pun kecuali hanya menyerah sepenuhnya lahir batin kepada kekuasaan Gusti Allah karena hanya Gusti Allah yang akan mampu memperbaiki segala macam kerusakan. Engkau bersama aku, disaksikan diajeng Muryani dan Neneng Salmah yang juga pernah mempelajari cara mengosongkan diri dengan penyerahan mutlak, harus berada di dalam sebuah ruangan tertutup.” Lalu Parmadi menoleh kepada Ki Subali. “Paman, apakah dapat disediakan sebuah kamar di mana kami berempat dapat berdiam tanpa adanya gangguan dari luar?”
“Ohh, ada, anak-mas. Eulis, pergunakan kamarmu sendiri. Bukankah kamar kalian berdua cukup luas?” kata Ki Subali.
“Baik, ayah. Mari, Kakang Parmadi, Mbakayu Muryani, dan Neneng. Kita ke kamar!”
Mereka berempat lalu memasuki kamar di mana biasanya Eulis dan Neneng Salmah tidur. Sebuah kamar yang cukup luas. Sebelum menutup daun pintu kamar, Parmadi memesan kepada Ki Subali agar jangan ada yang mengganggu mereka yang berada di dalam kamar itu dan jangan heran atau kaget kalau dari dalam kamar terdengar suara alunan seruling.
Sesudah menutup daun pintu, Parmadi dan Muryani duduk bersila di atas sebuah amben (dipan) kayu yang biasa ditiduri Eulis. Parmadi minta kepada mereka untuk menenangkan diri, melepaskan semua ketegangan, membuat diri menjadi kosong lahir batin dan menanti apa yang akan terjadi tanpa penolakan.
“Adi Sulastri, apa pun yang kau terima, rasakan dan terima saja sebagai kekuasaan Gusti Allah dan apa pun yang terjadi para dirimu, serahkan sepenuhnya kepadaNya.”
“Baik, Kakang-mas Parmadi.”
Mereka berempat duduk dengan tenang dan santai. Setelah merasakan getaran memenuhi dirinya, dengan gerakan perlahan dan mata terpejam Parmadi mengambil seruling gading dari ikat pinggangnya, lantas meniup suling itu. Itulah yang oleh Resi Tejo Wening disebut Sunyatmaka (Berjiwa Bebas).
Terdengar suara suling yang sangat lembut dan mendayu-dayu penuh getaran aneh. Biar pun suara suling itu tidak melagukan tembang tertentu, tetapi bagi telinga Neneng Salmah terdengar demikian merdu dan indah sehingga tanpa dikehendakinya lagi kedua lengannya bergerak-gerak lembut, menari-nari!
Muryani yang sudah terbiasa dengan suara suling yang aneh ini, tanpa disengaja segera merangkap kedua tangan ke depan dahi dalam sembah dan seluruh dirinya terasa dibawa melayang-layang oleh suara itu.
Eulis atau Sulastri juga merasakan getaran hebat. Suara seruling itu seperti menyusup ke dalam dirinya, menjalari seluruh tubuhnya. Dia merasa ada denyutan-denyutan aneh yang awalnya terasa pada dua telinganya yang mula-mula menangkap suara itu, lalu perlahan-lahan ke seluruh tubuh, berdenyut-denyut terutama di kepalanya. Kini dirinya benar-benar kosong, sama sekali tidak ada ulah hati akal pikiran, yang ada hanya rasa menerima yang membuat dirinya sepeti pintu terbuka yang dapat menerima dengan pekanya.
Tiba-tiba Sulastri merasa seperti ada ledakan-ledakan kecil di kepalanya dan perasaannya menangkap bayangan-bayangan aneh. Dia seolah melihat dirinya disambar sebatang anak panah yang menancap pada pundak kirinya hingga terasa nyeri dan perih.
Akan tetapi yang membuat dia merasa ngeri adalah ketika melihat tubuhnya terjungkal dan jatuh ke dalam tebing yang amat curam, lalu kepalanya terbentur sesuatu yang keras dan segalanya lalu menjadi gelap! Eulis atau Sulastri terkulai di atas pembaringan dan pingsan!
Pada saat itu, yaitu beberapa detik sebelum gadis itu roboh pingsan, suara suling itu tiba-tiba berhenti karena daun pintu kamar itu terbuka keras oleh tenaga dari luar, berbareng dengan terdengarnya jerit Nyi Subali.
Oleh karena itu maka Parmadi terpaksa menghentikan tiupan sulingnya sebelum berhasil menyembuhkan Sulastri secara tuntas. Dia dan Muryani tahu bahwa sudah terjadi sesuatu yang tidak baik. Karena mengira ada bahaya mengancam Ki Subali dan istrinya, apa lagi daun pintu terbuka secara kasar dari luar, mereka berdua segera berkelebat cepat sekali keluar dari kamar itu.
Mereka melihat Ki Subali dan istrinya berlari masuk ke dalam rumah dan Ki Subali berkata gugup. “Di luar... ada tiga orang...”
Parmadi dan Muryani tidak menunggu keterangan lebih lanjut dan mereka berdua sudah cepat melompat ke luar rumah.
Sementara itu Ki Subali dan Nyi Subali segera memasuki kamar anaknya. Mereka melihat Sulastri terkulai sambil dirangkul Neneng Salmah yang mengguncang-guncang pundaknya dan mencoba menyadarkannya dengan memanggil-manggil namanya.
“Eulis...! Eulis...! Sadarlah, bangunlah...!”
Nyi Subali merangkul puterinya dan menangis. “Anakku...! Eulis... engkau kenapa, nak?”
Neneng Salmah bertanya kepada Ki Subali sesudah menyerahkan Eulis dalam rangkulan Nyi Subali. “Paman. apa yang telah terjadi?”
“Di luar ada tiga orang yang dengan kasar minta supaya aku menyerahkan engkau kepada mereka, Neneng.” kata Ki Subali. “Tadi merekalah yang menyebabkan pintu-pintu di dalam rumah ini terbuka semua, mungkin dengan ilmu sihir mereka!”
Mendengar ini Neneng Salmah menjadi terkejut. “Dan di mana Kakang-mas Parmadi dan Mbakayu Muryani?”
“Mereka berdua sedang keluar untuk menghadapi tiga orang itu.”
Mendengar ini Neneng Salmah segera berlari keluar untuk melihat siapa adanya tiga orang yang minta agar Ki Subali menyerahkan dirinya kepada mereka.
Sementara itu Parmadi dan Muryani sudah sampai di luar rumah. Mereka melihat ada tiga orang berdiri di pekarangan, di depan serambi rumah. Mereka segera keluar dari serambi dan menghampiri tiga orang itu.
Mereka adalah seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian seperti seorang bangsawan, pesolek dan mewah, tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya tampan tapi sikapnya congkak sekali. Dia berdiri bertolak pinggang dengan kedua kaki terpentang. Di samping kanannya berdiri dua orang kakek.
Yang seorang berusia sekitar enam puluh tujuh tahun, kepalanya kecil botak dan di bagian sisi kepala itu ada sedikit rambut keriting yang sudah berwarna dua. Mukanya licin tanpa kumis atau jenggot, hidungnya pesek mulutnya kecil. Dua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kobra.
Ada pun kakek yang ke dua berusia kurang lebih enam puluh tahun. Tubuhnya yang juga tinggi kurus itu sedikit bungkuk dan punggungnya berpunuk, mukanya seperti muka kuda dan matanya sipit. Pakaiannya serba hitam, lehernya berkalung sarung, lengannya juga memakai akar bahar dan jari-jari tangannya penuh cincin-cincin bermata akik yang besar-besar. Kakek ini pun memegang sebatang tongkat dari seekor ular kering.
Dua orang kakek aneh ini memiliki sinar mata yang tajam dan berpengaruh sekali. Melihat dua orang kakek ini, Parmadi dan Muryani terkejut dan segera mengenal mereka. Kakek pertama yang berkepala botak itu adalah Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten. Ada pun kakek kedua yang bermuka kuda itu adalah Aki Somad, pertapa dari Nusakambangan.
Suami istri ini mengenal kedua orang itu sebagai tokoh-tokoh yang pada beberapa tahun silam membantu Madura dan Surabaya. Sesudah Madura, Surabaya dan Giri ditundukkan Mataram, mereka berhasil meloloskan diri. Parmadi tahu benar bahwa dua orang datuk ini adalah orang-orang yang membenci Mataram. Namun suami istri itu tidak mengenal orang muda yang berpakaian bangsawan itu.
“Hm. kiranya Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad yang datang! Apakah yang andika berdua kehendaki, datang berkunjung ke rumah orang tanpa sopan santun?” Parmadi menegur, walau pun suaranya terdengar lembut.
Dua orang datuk itu juga merasa kaget bukan kepalang ketika mereka mengenal Parmadi dan Muryani, dua orang yang beberapa tahun yang lalu membantu Mataram dalam perang melawan Madura, Surabaya dan Giri. Mereka sudah tahu bahwa Parmadi adalah seorang yang sakti mandraguna dan Muryani, walau pun kepandaiannya tidak setinggi suaminya, namun merupakan lawan yang cukup berbahaya.
Tetapi karena mereka datang berdua, bahkan masih ditemani pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Banten, Raden Jaka Bintara yang juga adalah murid Kyai Sidhi Kawasa, maka mereka berbesar hati dan tidak menjadi gentar.
“Oho!” kata Kyai Sidhi Kawasa yang berkata dengan suaranya yang lembut. “Adi Somad, tentu andika masih mengenal orang-orang Mataram ini, bukan?”
“Heh-heh, tentu saja, Kakang Sidhi Kawasa. mereka adalah musuh kita. Kalau tidak salah ingat, namanya Parmadi dan yang perempuan ini... ehh... siapa lagi namanya...?”
“Muryani, namanya Muryani,” kata Kyai Sidhi Kawasa. Kemudian dia berkata pada suami istri itu. “Kalian disini? Kebetulan sekali, kini ada kesempatan bagi kami untuk membalas dendam. Tetapi karena sekarang sudah tidak ada perang lagi, juga kami tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, kami dapat memaafkan dan melepaskan kalian jika kalian cepat-cepat menyuruh Neneng Salmah keluar dan menemui kami!”
“Tidak semudah itu, Kyai Sidhi Kawasa! Apa urusannya maka andika menghendaki agar Neneng Salmah keluar menemuimu?”
Tiba-tiba Jaka Bintara membentak, “Tidak perlu andika mencampuri urusan pribadi kami!”
Memang Jaka Bintara berwatak sombong. Mungkin karena dia merasa sebagai seorang pangeran yang biasanya ditaati semua orang. Selain itu dia sama sekali belum mengenal nama Parmadi dan Muryani sehingga tentu saja memandang rendah seperti yang biasa dia lakukan. Apa lagi saat itu dia ditemani dua orang datuk yang sakti mandraguna, maka ketinggian hatinya meningkat.
Tiba-tiba Neneng Salmah muncul dari pintu dan melihat Pangeran Jaka Bintara, dia segera keluar dari serambi dan langsung menudingkan telunjuknya kepada pangeran dari Banten itu.
“Kakang-mas Parmadi dan Mbakayu Muryani, inilah Pangeran Jaka Bintara dari Banten yang jahat dan dulu pernah menculikku di Sumedang!”
Kiranya ketika dulu Neneng Salmah berhasil lolos dari Sumedang bersama ayahnya dalam kawalan Lindu Aji, Jaka Bintara tidak terima lantas melakukan penyelidikan bersama Kyai Sidhi Kawasa. Akhirnya mereka mendengar bahwa gadis itu sudah melarikan diri dengan kereta dikawal oleh Lindu Aji.
Mereka segera mencari kusir kereta itu dan memaksa dia mengaku ke mana gadis ledek yang membuat pangeran dari Sumedang itu tergila-gila pergi. Si kusir takut akan ancaman dan mengaku bahwa Neneng Salmah bersama ayahnya kini tinggal di rumah Ki Subali di Dermayu.
Jaka Bintara yang sudah tergila-gila dan merasa penasaran kalau belum mendapatkan diri Neneng Salmah kemudian membujuk gurunya untuk menyusul ke Dermayu. Namun Kyai Sidhi Kawasa agak gentar menghadapi Lindu Aji yang diperkirakan melindungi gadis itu, maka dia lalu mencari Aki Somad untuk diajak menemani mereka. Demikianlah, tiga orang itu akhirnya sampai di rumah Ki Subali, sama sekali tidak menyangka bahwa mereka akan bertemu dengan Parmadi dan Muryani, musuh lama mereka.
Mendengar teriakan Neneng, Raden Jaka Bintara memandang. Begitu melihat gadis yang denok ayu itu, dia girang sekali dan segera dia menghampiri dengan langkah lebar sambil tersenyum.
“Aduh, jantung hatiku, betapa rinduku padamu! Marilah ikut denganku, kuboyong engkau ke Banten dan hidup bahagia denganku di sana, cah ayu!” Sesudah berkata demikian dia segera menubruk hendak merangkul.
“Ehhhh...?!” Jaka Bintara terkejut karena dengan lincahnya Neneng Salmah mengelak dan sudah terhindar dari tubrukannya. Dia cepat menubruk lagi ke kanan, kini bergerak cepat agar gadis itu tidak dapat meloloskan diri. Akan tetapi kembali dia kecelik karena gadis itu sekali lagi dapat mengelak dengan gerakan lincah dan ringan. Gerakannya demikian indah seperti kalau sedang menari, namun lincah sekali, bahkan ketika Jaka Bintara menubruk untuk ketiga kalinya, Neneng Salmah bukan hanya dapat mengelak, bahkan tangan kirinya menampar dan mengenai pipi laki-laki itu.
“Plakkk!”
Tapi sayang Neneng Salmah hanya baru menguasai kelincahan gerak silat Sonya Hasta, belum menguasai pengerahan tenaga saktinya sehingga tamparannya tidak terasa terlalu keras bagi Jaka Bintara yang memiliki tubuh yang kuat. Namun hal ini cukup mengejutkan Jaka Bintara disamping rasa penasaran. Maka dia berusaha sekuatnya untuk menangkap dan meringkus gadis itu.
Tentu saja Neneng Salmah mulai terdesak hebat menghadapi serangan Jaka Bintara yang digdaya itu. Ilmu silat yang dipelajarinya dari Eulis belum terlatih baik sehingga dia hanya mampu bergerak cepat ke sana sini untuk menghindarkan diri dari jangkauan kedua tagan pangeran dari Banten itu.
Tanpa banyak cakap lagi Kyai Sidhi Kawasa sudah menggerakkan tongkat ular kobranya untuk menyerang Parmadi, sementara Aki Somad juga sudah menggerakkan tongkat ular keringnya untuk menyerang Muryani.
Parmadi sudah mencabut seruling gadingnya untuk menyambut serangan. Muryani sudah mengerahkan Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya dapat bergerak laksana seekor burung walet dan dengan tangan kosong dia menyambut serangan Aki Somad. Terjadilah pertandingan yang sangat seru antara suami istri melawan dua orang datuk itu.
Sementara itu di dalam kamar Nyi Subali masih merangkul puterinya sambil menangis dan mengguncang-guncang pundak gadis itu. “Eulis... Eulis... sadarlah, anakku...!”
Ibu itu menangis dan air matanya menetes membasahi muka Eulis.
Sebenarnya, kalau saja tiupan seruling gading tadi tidak terganggu, tentu sekarang Eulis sudah sembuh dan sadar sepenuhnya. Akan tetapi gangguan munculnya tiga orang yang menyerang ke dalam dan membuka pintu-pintu itu membuat tiupan seruling gading terhenti dan gadis itu jatuh pingsan.
Kini tetesan air mata ibunya ditambah seruan suara ibunya memanggil-manggil namanya, agaknya sudah menyadarkan Eulis dari pingsannya. Dia membuka sepasang matanya dan seperti orang terkejut dia bangkit duduk. Nyi Subali dan Ki Subali menjadi girang.
“Eulis...!” Nyi Subali merangkul.
“Eulis, bagaimana perasaanmu? Baik-baik saja, bukan?” tanya si ayah.
“Eulis...?” Gadis itu berkata heran. “Oh... ya benar, belakangan ini aku diberi nama Eulis... oleh kakang-mas Jatmika... ahh... sekarang aku ingat semua... bapa... ibu... sekarang aku ingat semua!” Dia lalu memandang ke kanan kiri. “Ehh, di manakah Kakang-mas Parmadi, Mbakayu Muryani dan Neneng?” Tiba-tiba dia mendengar berdencingnya senjata beradu di luar rumah. “Suara apa itu? Siapa yang berkelahi?”
Nyi Subali merasa girang bukan main. “Sulastri...! Akhirnya engkau mendapatkan kembali ingatanmu!”
“Lastri, Anakmas Parmadi bersama istrinya dan Neneng Salmah kini sedang berada di luar menghadapi tiga orang aneh yang kelihatannya tidak berniat baik terhadap Neneng...“
“Apa?” Sulastri yang sudah mendapatkan kembali ingatannya itu melompat turun dari atas pembaringan dan cepat dia mengambil pedang pusakanya, yaitu Pedang Nogo Wilis yang dulu oleh Lindu Aji dikembalikan kepada Ki Subali dan ketika Sulastri pulang, Ki Subali lalu menyerahkan pedang pusaka itu kepada anaknya. Meski pun Sulastri tidak ingat lagi akan pedang pusakanya itu, tetapi dia senang memilikinya dan merasa cocok.
Dengan pedang pusaka Nogo Wilis terhunus di tangan, Sulastri melompat dan tubuhnya berkelebat cepat keluar dari rumah. Dengan perasaan khawatir Ki Subali dan Nyi Subali mengikuti keluar rumah.
Setelah tiba di pekarangan Sulastri melihat Parmadi sedang bertanding melawan seorang kakek kurus botak yang tak dikenalnya. Akan tetapi ketika dia melihat kakek yang dilawan Muryani, dia langsung mengenali kakek bungkuk berpunuk itu yang bukan lain adalah Aki Somad yang dulu pernah memusuhi pamannya, yaitu Ki Sumali yang tinggal di Loano.
Pada saat itu Aki Somad kewalahan melawan Lindu Aji dan kini kakek itu harus melawan Muryani yang memiliki ilmu silat sangat ganas. Melihat ini dia hendak membantu Muryani, akan tetapi ketika menoleh dia melihat Neneng Salmah sedang kewalahan karena didesak oleh seorang laki-laki berpakaian bangsawan yang gagah.
Jaka Bintara semakin penasaran karena belum juga mampu meringkus gadis yang sudah membuatnya tergila-gila itu. Akan tetapi setelah tahu bahwa Neneng Salmah hanya pandai mengelak saja namun tenaganya sangat lemah, dia merasa yakin bahwa sebentar lagi dia akan mampu mendekap dan memondong tubuh yang denok itu.
“Neneng Salmah, manisku, mari biarkan dirimu kupondong. Aku telah rindu sekali padamu, sayang.” katanya sambil menubruk lagi.
Neneng Salmah mengelak, akan tetapi ujung bajunya dapat tertangkap.
“Bretttt...!”
Baju itu robek dan Neneng Salmah menjerit, sementara Jaka Bintara tertawa bergelak.
“Wuuutttt...! Dessss...!”
Jaka Bintara cepat menangkis datangnya tamparan itu, tetapi dia terpaksa membuang diri ke belakang lalu bergulingan karena tamparan yang ditangkisnya itu ternyata mengandung tenaga yang kuat sekali. Ketika melompat bangun ternyata dia sudah berhadapan dengan seorang gadis yang cantik jelita namun sepasang matanya mencorong marah dan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang bersinar kehijauan!
Melihat betapa penyerangnya ternyata hanyalah seorang gadis cantik, watak Jaka Bintara yang congkak itu muncul lagi. Dia tersenyum sambil memandang dengan mata nakal.
“Aihh, manis, apakah engkau hendak menemani Neneng Salmah ikut bersenang-senang dengan aku ke Banten? Mari-mari...!”
“Eulis, inilah jahanam pangeran dari Banten itu!” Neneng Salmah berseru.
“Neneng, sekarang namaku Sulastri. Aku sudah ingat semuanya. Jangan khawatir, akulah yang akan membasmi jahanam busuk ini!” Begitu selesai berkata, Sulastri telah menerjang dengan cepat sekali. Tampak gulungan sinar hijau yang menyambar-nyambar bagai kilat ke arah tubuh Raden Jaka Bintara, pangeran dari Banten itu.
Jaka Bintara terkejut bukan main, namun dia masih memandang ringan. Sambil mengelak ke sana-sini diam-diam dia mengerahkan Aji Hastanala dan sambil melompat ke samping untuk mengelak sambaran sinar hijau, ia mendorong dengan tangan kanan, menggunakan Aji Hastanala (Tangan Api) yang ampuh dan mengeluarkan hawa panas itu.
Tetapi Sulastri menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kirinya menggunakan Aji Margopati (Jalan Maut).
“Wuuuutttt...! Dessss...!”
Jaka Bintara terdorong ke belakang. Keduanya maklum akan ketangguhan lawan.
Kini Jaka Bintara tidak berani memandang ringan lagi dan dia telah mencabut pedangnya. Begitu dia memutar pedang itu, tampaklah sinar kehitaman bergulung-gulung. Sulastri juga tidak mau membuang waktu lagi.
“Haaiiitttt...!”
“Singgggg...!”
Sinar hijau berkelebat dan dia sudah menggerakkan pedangnya menyerang.
Jaka Bintara segera menggerakkan pedangnya untuk menangkis. Sinar hitam berkelebat menyambut sambaran sinar hijau.
“Singggg...! Trangggg...!”
Tampak bunga api berpijar.
Dua orang itu cepat melompat ke belakang untuk melihat pedang masing-masing. Ternyata pedang mereka tidak rusak. Mereka mejadi hati-hati karena maklum bahwa pedang lawan juga merupakan pedang yang ampuh. Sulastri sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya sehingga kedua orang itu sudah saling serang. Bayangan mereka lenyap terselubung dua gulungan sinar pedang hijau dan hitam. Hanya tampak kaki mereka saja yang berloncatan ke sana-sini.
Sementara itu pertandingan antara Parmadi dan Kyai Sidhi kawasa juga berlangsung seru. Beberapa kali Kyai Sidhi Kawasa mengeluarkan aji-aji kesaktiannya yang hebat seperti Aji Analabanu (Sinar Api) dan Aji Hastanala (Tangan Api), dengan diiringi bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Namun semuanya itu dapat ditandingi Parmadi. Bahkan daya serang permainan tongkat ular kobra yang sangat dahsyat itu menjadi hilang setelah bertemu dengan gerakan seruling gading yang lembut. Maka sekarang Kyai Sidhi Kawasa mulai terdesak mundur.
Aki Somad juga mengalami kesukaran untuk mendesak Muryani. Pada waktu pertapa dari Nusakambangan ini menggunakan Aji Tapak Geni, dua telapak tangannya mengeluarkan uap panas dan dia menyerang dengan kedua telapak tangan itu sambil berseru. “Aji Tapak Geni...!” Telapak tangannya bernyala!
Namun Muryani tidak menjadi gentar. Dia memiliki aji yang serupa, maka dia menyambut serangan lawan itu dengan teriakan nyaring. “Aji Brama Latu...!”
“Wuuuutttt...! Blaaaarrrrr...!”
Dua tenaga yang sama-sama mengandung hawa panas bertemu di udara dan akibatnya, baik Aki Somad mau pun Muryani terdorong ke belakang. Keduanya menahan pernapasan dan mengerahkan tenaga untuk menguasai tubuhnya yang terasa panas seperti dibakar. Namun keduanya tidak terluka.
Aki Somad menjadi penasaran dan marah. Ia lalu menggerakkan ular kering yang menjadi senjata tongkat untuk menyerang.
Muryani tidak suka mempergunakan senjata, namun dari mendiang Nyi Rukma Petak dia sudah memperoleh ilmu-ilmu yang hebat, antara lain Aji Wiso Sarpo yang membuat kedua telapak tangannya mengandung bisa ular yang sangat berbahaya, juga pukulan jarak jauh dengan Aji Gelap Sewu yang dahsyat sekali. Ilmu-ilmu pukulan ini bahkan lebih berbahaya dari senjata apa pun, dan kedua tangannya juga tidak takut menangkis tongkat ular kering yang beracun itu.....
Komentar
Posting Komentar