ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-53
“Kyai Sidhi Kawasa, bantu aku...!” Aki Somad berkata kepada kawannya sambil melompat ke belakang. Kemudian, dibantu Kyai Sidhi Kawasa yang juga mengerahkan ilmu sihirnya, Aki Somad mengerahkan Aji Gineng Soka Weda.
Tiba-tiba saja udara menjadi gelap diliputi halimun tebal. Jaka Bintara yang sudah terdesak cepat menggunakan kesempatan ini untuk mundur dan berdiri di dekat dua orang datuk itu.
Dari kegelapan itu terdengar bermacam suara yang menyeramkan, ada suara menggereng, merintih, tertawa dan sebagainya. Suasana sungguh menyeramkan, seperti diliputi suara setan-setan gentayangan dan muncullah berbagai macam bentuk mengerikan. tengkorak-tengkorak, ada pula kepala banaspati yang mulutnya menyemburkan api. Bahkan Muryani dan Sulastri, dua orang wanita sakti itu merasa seram dan mereka cepat-cepat mendekati Parmadi.
Parmadi segera meniup seruling gadingnya. Terdengar suara seruling yang melengking dan mendayu-dayu. Pemandangan yang amat menyeramkan itu, tengkorak, kepala setan dan lain-lain itu seperti terpental dan terserang oleh suara seruling yang melengking. Gerengan-gerengan, tawa dan suara-suara mengerikan itu pun kini berubah menjadi suara tangis dan ketakutan, makin lama semakin perlahan dan semua pemandangan aneh itu pun menjadi kabur. Kabut yang menggelapkan sekitar pekarangan itu juga perlahan-lahan menipis dan akhirnya hilang.
Namun ketika Muryani, Sulastri, Neneng Salmah, juga Ki Subali dan istrinya yang muncul di ambang pintu dengan ketakutan memandang, ternyata ketiga orang tadi sudah hilang. Agaknya mereka merasa kewalahan lalu menggunakan kesempatan dalam kegelapan itu untuk melarikan diri meninggalkan pekarangan rumah Ki Subali.
Parmadi menghentikan tiupan sulingnya, lalu menghela napas dan berkata, “Sungguh jahat dan berbahaya mereka itu. sekarang sudah aman, mereka sudah pergi...”
Nyi Subali menghampiri Sulastri lalu merangkul anaknya. “Sulastri, engkau sudah waras, sekarang ingatanmu sudah pulih! Terima kasih kepada Gusti Allah!”
Sulastri balas merangkul ibunya dan merasa bahagia sekali. Dia menoleh kepada Parmadi lalu berkata. ”Ibu, kita harus berterima kasih kepada Kakang-mas Parmadi dan Mbakayu Muryati, Kakang-mas Parmadi telah memulihkan ingatanku dengan seruling gadingnya!”
“Engkau keliru, Adi Sulastri, dan ibumulah yang benar. Kita harus berterima kasih kepada Gusti Allah karena sebenarnya sang Maha Penyembuh itu hanya Gusti Allah! Gusti Allah yang menyembuhkanmu dengan perantaraan aku dan serulingku,” kata Parmadi.
“Akan tetapi aku tetap harus berterima kasih kepadamu, Kakang-mas Parmadi, Mbakayu Muryani dan Eulis... eh, Sulastri. Karena kalau tidak ada andika bertiga yang mengusir tiga orang jahat tadi, entah bagaimana dengan nasibku. Pasti mereka sudah menawanku dan membawaku pergi,” kata Neneng Salmah dengan terharu.
“Itu sama saja, Neneng.” kata Muryani. “Engkau juga wajib bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah yang sudah mengatur sedemikian rupa sehingga ketika hal itu terjadi, kebetulan sekali kami berdua berada di sini dan Sulastri sudah sembuh.”
Pada saat itu Ki Salmun datang berlarian. Ketika sedang bekerja di ladang, dia mendengar dari seorang tetangga bahwa di pekarangan rumah Ki Subali terjadi perkelahian. Dia cepat pulang dan mendapatkan Ki Subali sekeluarga sedang bercakap-cakap di serambi rumah dengan dua orang tamunya. Dia segera mendengar semua yang telah terjadi dari Neneng Salmah dan kini Ki Salmun merasa lega karena puterinya terlepas dari ancaman bahaya, bahkan ingatan Sulastri juga sudah sembuh dan pulih!
“Mari kita semua masuk dan ngobrol di dalam. Lastri, Neneng, cepat buat hidangan untuk menghormti kedua orang tamu kita. Sembelih dua ekor ayam!” perintah Ki Subali dengan gembira.
Mereka semua masuk ke dalam dan dua orang gadis itu dengan gembira segera sibuk di dalam dapur. Tetapi kadang-kadang Neneng Salmah melihat Sulastri seperti orang sedang melamun, terkadang mengerutkan alisnya seperti orang murung.
“Lastri, mengapa sejak tadi engkau melamun saja?” kata Neneng Salmah sambil menepuk pundaknya menggoda.
Sulastri menggelengkan kepala, lalu mencubit lengan Neneng Salmah. “Ihh, cerewet amat sih kamu! Nanti saja kita berbicara, sekarang bukan waktunya ngobrol, pekerjaan banyak. Hayo cepat sembelih dua ekor ayam itu!”
Neneng Salmah bergidik. “Wah, aku tidak tega, Lastri. selama hidupku belum pernah aku menyembelih ayam. Biasanya yang melakukan itu adalah bapaku. Aku mana berani?”
Sulastri tertawa. “Heh-heh-heh, engkau tidak menyadari bahwa kini engkau bukan Neneng Salmah sang waranggana yang lemah gemulai lagi! Engkau bahkan bisa membela diri dari serangan pangeran banten yang cukup digdaya tadi.”
“Wah, orang jahat itu!” dengus Neneng, akan tetapi segera disambungnya sambil tertawa. “Nah, sekarang malah engkau yang memperpanjang obrolan ini. Hayo kerja, engkau yang memotong ayam, nanti aku yang membersihkannya. Sekarang aku hendak memasak air, mengupas terong, memotong sayur dan menyiapkan bumbu!”
Dua orang gadis itu segera sibuk bekerja. namun diam-diam perasaan Sulastri mengalami goncangan hebat.
Dia telah teringat akan semua masa lalunya. Banyak hal yang membuat dia merasa risau, gelisah, duka, dan bingung. Pertama, tentu saja dia merasa amat berduka teringat bahwa Ki Ageng Pasisiran, kakek yang menjadi gurunya dan amat dia hormati dan kasihi itu telah tewas terbunuh orang. Tadinya sebelum dia teringat, mendengar hal itu dia hanya merasa kasihan saja. Akan tetapi sekarang dia ingat akan keadaan gurunya, wajahnya, wejangan-wejangannya serta hubungan akrab antara mereka sebagai guru dengan murid sehingga dia merasa berduka dan juga marah sekali kepada Hasanudin, seorang murid pula dari Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit yang baru satu kali pernah dijumpainya, juga kepada Raden Banuseta yang katanya membawa pasukan Kumpeni dan melakukan penyerbuan ke rumah Ki Ageng Pasisiran hingga menyebabkan tewasnya Ki Ageng Pasisiran berikut puteranya Ki Sudrajat.
Dia juga teringat kepada Jatmika, putera Ki Sudrajat yang menyatakan cinta kepadanya. Dia menjadi bingung kalau teringat kepada pemuda ini. Lalu dia teringat kepada Lindu Aji! Jantungnya berdebar ketika teringat kepada pemuda yang sejak remaja menjadi sahabat dekatnya, teringat betapa kini pemuda itu sudah menjadi seorang yang sakti mandraguna dan masih ada ikatan saudara seperguruan dengannya karena Lindu Aji menjadi murid Ki Tejo Budi yang menjadi adik seperguruan Ki Tejo Langit.
Tetapi begitu dia teringat akan pengakuan Neneng Salmah betapa gadis yang disayangnya bagaikan saudara sendiri itu jatuh cinta kepada Lindu Aji, dia menjadi gelisah, penasaran, duka dan bingung. Namun semua itu dipendamnya di dalam hati dan dia menyibukkan diri dengan pekerjaan dapur.
Ki Subali dan istrinya bersama Ki Salmun dan Neneng Salmah dengan sangat membujuk Parmadi dan Muryani supaya menginap di rumah mereka. Tadinya suami istri itu memang hendak melanjutkan perjalanan mereka, akan tetapi karena pihak tuan rumah sekeluarga menahan mereka dengan berbagai bujukan, akhirnya mereka mangalah juga dan bersedia menginap satu malam di rumah itu.
Ki Subali menyerahkan kamarnya kepada mereka. Dia sendiri kemudian tidur bersama Ki Salmun, sedangkan Nyi Subali mengungsi tidur di kamar Sulastri dan Neneng Salmah.
Malam itu sehabis makan mereka semua bercakap-cakap di ruang dalam. Banyak sekali cerita tentang pangeran dari Banten yang tadi datang bersama dua orang datuk. Neneng Salmah menceritakan asal mula pertemuannya dengan Raden Jaka Bintara di Sumedang dan betapa dia diculik oleh pangeran itu kemudian diselamatkan oleh Lindu Aji dan disuruh melarikan diri, mengungsi ke Dermayu, dan kini mondok di rumah Ki Subali.
Sulastri juga dihujani banyak pertanyaan tentang pengalamannya. Gadis ini lalu bercerita tentang perjalanannya bersama Lindu Aji, juga pengalamannya melawan para mata-mata Kumpeni Belanda hingga dia terjatuh ke bawah tebing yang curam. Kemudian dia bercerita pengalamannya bersama Jatmika. Semua orang merasa kagum akan semua pengalaman yang aneh, berbahaya dan hebat dari gadis perkasa itu.
“Sekarang kami harap Kakang Parmadi suka menceritakan riwayat kalian berdua sehingga sampai tiba di sini,” kata Sulastri.
Parmadi menghela napas. “Sesungguhnya kami tidak sengaja ke Dermayu. Tetapi ternyata beginilah jadinya. Semua ini sudah diatur oleh kekuasaan Gusti Allah sehingga kami dapat berjumpa denganmu, Adi Sulastri. Kami berdua tinggal di kadipaten Pasuruan dan kami mendengar bahwa Gusti Sultan Agung sudah mengadakan persiapan untuk mengirim bala tentara, hendak menyerang kembali Kumpeni Belanda di Jayakarta sebagai penyerangan kedua. Karena penyerangan kedua ini pun agaknya menghadapi pertahanan Belanda yang sangat kuat, maka kami berdua mengambil keputusan untuk membantu Mataram. Tetapi karena kami tidak masuk menjadi prajurit dan ingin membantu secara sukarela, maka kami mendahului pasukan Mataram. Kami menuju ke Jayakarta atau Batavia dan hari ini kebetulan sekali kami lewat di dermayu ini dan bertemu dengan Adi Sulastri.”
“Jadi sekarang Anakmas Parmadi hendak pergi ke Batavia untuk turut berjuang melawan Kumpeni?” tanya Ki Subali.
“Hemmm, sekarang aku ingat! Aki Somad, kakek bungkuk berpunuk yang tadi ikut datang menyerang ke sini adalah seorang antek Kumpeni Belanda pula! Pada waktu melakukan perjalanan bersama Mas Aji... eh, maksudku Lindu Aji, aku mendengar bahwa ternyata Aki Somad bersama Ki Harya Baka Wulung, Nyi Maya Dewi dan Banuseta itulah yang sudah membunuh Eyang Guru Tejo Langit!”
Muryani berkata marah. “Mereka itu memang orang-orang jahat yang menjadi antek-antek Kumpeni Belanda dan yang pantas kita basmi!”
Parmadi menyambung ucapan istrinya. “Sesudah mendengar akan kematian Paman Guru Ki Tejolangit dan puteranya di tangan Banuseta yang dibantu oleh Hasanudin, maka kami berdua juga hendak mencari mereka yang telah menjadi antek Kumpeni untuk membasmi mereka. Karena itu besok pagi kami akan melanjutkan perjalanan ke Jayakarta, paman,” kata Parmadi kepada Ki Subali.
“Bagus! Memang sudah menjadi kewajiban bagi setiap kawula untuk membela Negara dan bangsa yang terancam oleh siapa saja, terutama oleh bangsa lain!” kata Ki Subali dan Ki Salmun juga mengangguk-angguk membenarkan.
Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Parmadi dan Muryani meninggalkan rumah keluarga Ki Subali dan melanjutkan perjalanan mereka, diantar oleh seluruh anggota keluarga itu sampai ke depan pintu pekarangan.....
********************
Sejak mendapatkan kembali ingatannya tentang masa lalunya, Sulastri banyak melamun. Hal ini terutama sekali diketahui benar oleh Neneng Salmah yang setiap hari hampir selalu berdekatan dengannya, bahkan setiap malam tidur sekamar. Tetapi setiap kali ditanya dan didesak, Sulastri hanya menggelengkan kepala sambil menjawab bahwa dia baik-baik saja dan tidak ada apa-apa. Atau sering pula dia menggunakan alasan bahwa kematian Ki Tejo Langit yang membuat dia kadang-kadang melamun dan berduka. Padahal bukan hanya itu yang membuatnya gelisah, melainkan terutama sekali kalau dia teringat kepada Lindu Aji dan Jatmika!
Pada suatu malam, Neneng Salmah yang merasa rindu kepada Lindu Aji, mengungkapkan perasaan hatinya kepada Sulastri. “Lastri, di mana ya kira-kira sekarang ini Kakang-mas Lindu Aji?”
Mereka berdua sudah rebah di tempat tidur masing-masing yang ditempatkan berjajar di kamar itu. Mendengar pertanyaan ini, Sulastri lalu miringkan tubuhnya menghadap ke arah Neneng.
“Ahh, maksudmu Mas Aji? Agaknya engkau sudah sangat rindu kepadanya, ya?”
Neneng tersipu. Dia tersenyum dengan kedua pipinya berubah kemerahan. Sulastri harus mengaku dalam hatinya betapa ayu manis bekas waranggana dari Sumedang ini. Tidaklah mengherankan kalau Mas Aji jatuh cinta kepadanya, pikirnya.
“Ahh, Lastri... aku hanya teringat kepadanya. Sudah agak lama kami saling berpisah...“
Sulastri bangkit, lalu duduk bersila menghadap ke arah Neneng.
“Neng, kita sudah seperti saudara, bukan? Sekarang akuilah terus terang, apakah engkau benar-benar mencinta Mas Aji? Ingat, aku mengenal baik Mas Aji... sudah... sudah seperti saudara sendiri, bahkan dia masih saudara seperguruanku.”
Neneng Salmah juga bangkit kemudian duduk menghadapi Sulastri. Matanya yang indah kini menatap wajah Sulastri dan biar pun tampak malu-malu, namun wajahnya berseri dan sinar matanya cerah.
“Lastri, aku pernah mengaku kepadamu bahwa aku sungguh amat mencinta Kakang-mas Lindu Aji. Aku mencintanya, aku memujanya dan aku mengaguminya. Kalau saja dia sudi menerima, aku mau menjadi hambanya, menjadi budaknya untuk mencucikan pakaiannya, memasakkan makanannya. Aku... aku sangat memujanya, Lastri, aku ingin selalu dekat dengannya, selalu melayaninya, aku ingin membahagiakannya, aku... ah, aku... tetapi aku hanyalah seorang gadis hina, seorang ledek, sedangkan dia... ahh, dia seorang pendekar, seorang ksatria, seorang pahlawan. Aku begini rendah sementara dia begitu tinggi,” Gadis itu lalu menggunakan punggung tangannya untuk menyeka beberapa butir air mata yang menuruni pipinya.
Sulastri merasa hatinya bagaikan diremas-remas. Dia juga mencintai Lindu Aji. Sekarang hal ini teringat olehnya. Sejak remaja dulu dia telah jatuh hati kepada Lindu Aji. Akan tetapi sekarang, mendengar pengakuan Neneng Salmah yang mencinta Aji sedemikian rupa, dia menjadi terharu dan juga menjadi gelisah dan bingung.
Dia tidak bisa marah kepada Neneng, juga tidak dapat cemburu kepadanya. Dia terlampau menyayang gadis itu. Dan dia yakin benar bahwa Neneng adalah gadis yang hebat, baik budi pekertinya, bijaksana, cantik jelita dan lemah lembut. Seorang gadis pilihan, seorang seniwati tulen. Sudah sepantasnyalah kalau gadis sehebat ini menjadi calon istri Lindu Aji!
Sulastri merasa hatinya tertusuk, pedih dan perih yang membuat dia hampir saja menjerit menangis. Akan tetapi ditahannya dan untung baginya bahwa sinar lampu di atas meja itu tidak cukup terang sehingga wajahnya yang berubah pucat itu tidak nampak oleh Neneng Salmah.
“Hmm, engkau jangan berkata begitu, Neng. Mas Aji adalah seorang yang bijaksana, tidak mungkin dia memandang rendah pada pekerjaanmu. Memang banyak waranggana yang tersesat dan menyeleweng dari pada pekerjaannya sebagai seorang seniwati. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang bersusila dan berbudi. Dan aku yakin mas Aji juga mengetahuinya.”
Neneng Salmah menghela napas panjang. “Mudah-mudahan saja apa yang kau katakan itu benar, Lastri.”
Neneng lalu merebahkan diri kembali dan kini dialah yang melamun, melamunkan betapa akan bahagianya kalau pendapat Sulastri itu kelak menjadi kenyataan.
Sulastri juga ikut merebahkan diri telentang dan melamun lagi. Sekarang dia melamunkan kenangannya ketika dia melakukan perjalanan dengan Lindu Aji. Pengalaman dan bahaya yang mereka hadapi bersama. Betapa pemuda itu membela dan melindungi dirinya secara mati-matian. Juga kalau kini dia kenang kembali, dia bisa menangkap gerak-gerik pemuda itu, pandang matanya, senyumnya, kelembutan kata-katanya, semua itu membayangkan bahwa pemuda itu menyayanginya, mencintainya! Dan dia sendiri... dia harus mengaku di dalam hatinya bahwa dia juga sangat tertarik, kagum dan sayang kepada pemuda itu. Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada Lindu Aji!
Mereka telah saling mencinta, walau pun tidak pernah diucapkan dalam kata-kata. Hatinya terasa semakin perih rasa kalau dia teringat akan hal ini dan cepat-cepat dia mengalihkan perhatiannya serta lamunannya untuk mengenang Jatmika.
Jatmika sudah jelas mencinta dirinya, bahkan pemuda yang juga masih terhitung saudara sepeguruannya itu pernah terang-terangan menyatakan cintanya dan hendak melamarnya kalau tugasnya sudah selesai! Seperti juga Lindu Aji, Jatmika membela dan melindunginya dengan taruhan nyawa! Akan tetapi ketika dia mengamati hati sendiri, dia hanya memiliki perasaan kagum dan suka kepada Jatmika. Dia tidak yakin apakah hatinya juga mencinta Jatmika.
Kini Neneng Salmah sudah tidur pulas. Hal ini diketahui Sulastri dari pernapasannya yang teratur dan panjang. Dia menengok dan tersenyum.
Dia melihat gadis itu tidur miring menghadapinya dan mulutnya yang mungil itu tersenyum manis dalam tidurnya. Mungkin dia sedang mimpi bertemu dengan Lindu Aji yang dicinta dan dipujanya!
Sulastri kembali mengalihkan renungannya. Kemudian muncullah bayangan-bayangan itu. Terbunuhnya Ki Ageng Pasisiran! Lalu terbayang wajah para pembunuhnya.
Hasanudin yang pernah dijumpainya di pondok gurunya, dan wajah Banuseta yang pernah dilihatnya ketika dia dan Lindu Aji menjadi tawanan Nyi Maya Dewi dan teman-temannya. Kemudian dia teringat pada Lindu Aji, Jatmika, juga Parmadi dan Muryani. Mereka semua pergi untuk mencari para pembunuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, juga mereka hendak membantu Mataram dalam perjuangannya melawan Kumpeni Belanda.
Tiba-tiba saja dia menjadi bersemangat. Dia lalu bangkit duduk dan mengerutkan alisnya. Mengapa tidak? Bagaikan kilat sebuah gagasan memasuki benaknya. Mengapa dia hanya diam saja? Dia pun murid tersayang dari Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit!
Dan sejak melakukan pejalanan dengan Lindu Aji yang menjadi senopati muda Mataram, berarti dia pun sudah menjadi kawula Mataram yang membela negara dan bangsanya. Dia sudah berkali-kali bermusuhan dengan para antek Kumpeni! Mengapa dia tidak ikut seperti mereka, pergi ke barat dan membantu gerakan pasukan Mataram yang hendak menyerbu Jayakarta?
Dan dalam perjalanan yang searah itu besar sekali kemungkinan dia akan bertemu dengan Lindu Aji, Jatmika, juga dengan Parmadi dan Muryani. Bila mana sudah bertemu mereka, terutama bertemu Lindu Aji dan Jatmika, barulah dia dapat mengambil keputusan tentang cinta segi tiga antara Lindu Aji, Neneng Salmah dan dia sendiri!
“Aku harus pergi menyusul mereka, harus membantu Mataram. Harus...!” Dia berbisik dan mengepal tinju membulatkan tekadnya.
Akan tetapi mendadak dia tampak lesu dan kepalan tangannya terbuka lagi. Dia menghela napas panjang berulang kali. Dia teringat pada ibunya. Ibunya sudah pasti keberatan dan tidak akan mengijinkan kalau berpamit untuk pergi membantu Mataram. Ingatannya baru saja pulih. Baru saja ibunya seolah menemukan dia kembali, tapi baru beberapa hari saja dia telah berpamit hendak pergi lagi. Pasti ibunya akan melarangnya dan dia merasa tidak tega kalau membantah ibunya.
Sulastri menjadi bimbang. Akan tetapi mendadak matanya bersinar kembali dan wajahnya menjadi cerah ketika memandang kepada Neneng Salmah yang masih tidur pulas dengan senyum mengembang di bibirnya.
Ahh, di sini ada Neneng, pikirnya. Dan dia tahu, Neneng adalah seorang gadis yang amat baik dan menyayang ibunya, juga disayang ibunya. Kalau dia pergi, setidaknya di situ ada Neneng yang menemani ibunya! Maka dengan gerakan perlahan Sulastri mulai berkemas agar jangan sampai menggugah Neneng Salmah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, pada saat terdengar keruyuk jago (ayam jantan) menyambut munculnya sinar fajar, seperti biasa Neneng Salmah terbangun dari tidurnya. Dia bangkit duduk, lalu menggeliat sambil menguap untuk mengusir sisa kantuknya, dan akhirnya dia bangkit berdiri.
Dia menoleh dan melihat pembaringan Sulastri kosong. Ahh, rajin benar, sepagi ini sudah keluar kamar, pikirnya sambil tersenyum. Kasihan Sulastri sibuk sendiri, mungkin sedang memasak air di dapur. Dia harus kubantu!
Neneng bergegas menuju dapur. Akan tetapi tidak ada Sulastri di situ, bahkan belum ada nyala api untuk memasak air. Apakah dia sedang menyapu pekarangan? Dia cepat keluar. akan tetapi di pekarangan juga tidak ada Sulastri, masih sunyi hanya terdengar suara sapu lidi membersihkan pekarangan di rumah tetangga. Apakah mandi sepagi ini? Tak mungkin sepagi ini pergi ke sungai. Mungkin sedang mencuci muka di belakang, di mana memang disediakan sebuah gentung air besar.
Dia segera berlari ke belakang lagi. Akan tetapi kamar mandi kecil itu pun kosong, Sulastri tidak berada di situ. Suasana masih sepi. Yang terdengar hanya keruyuk ayam jago dan suara sapi menguak dan kambing mengembik. Sulastri tidak ada dimana-mana.
Neneng Salmah terkejut sekali karena mendadak dia teringat betapa ketika tadi dia keluar dan melewati pintu samping yang menghubungkan rumah dengan pelataran samping, pintu itu tidak terkunci tetapi hanya ditutupkan begitu saja! Hal ini berarti bahwa sudah ada yang keluar dari dalam rumah sebelum dia keluar tadi.
Ke manakah perginya Sulastri sepagi ini? Pakaian kotor dalam keranjang masih tergeletak di ruangan belakang, ini berarti Sulastri belum pergi mencuci pakaian dan mandi di sungai. Dengan jantung mulai berdebar tegang, Neneng Salmah kembali ke kamarnya.
Kamar itu masih gelap, hanya remang-remang. Lampu di atas meja telah dipadamkan dan sinar matahari fajar masih terlampau lemah. Dia cepat-cepat menyalakan lampu kemudian memandang ke sekeliling kamar.
Pembaringan Sulastri tampak rapi dan tidak kusut, berarti memang sudah dirapikan. Tapi tidak tampak ada pakaian di gantungan pakaian, juga... sampai di sini jantungnya berdebar makin kencang. Pedang pusaka Nogo Wilis yang biasanya tergantung pada dinding, yaitu di atas pembaringan Sulastri, kini tidak tampak lagi!
Dengan cepat Neneng berlari menghampiri peti pakaian. Dibukanya dan dia pun terbelalak. Pakaian Sulastri tidak berada di situ! Ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Sulastri telah pergi. Neneng Salmah mencari-cari dengan pandang matanya dan dia melihat corat-coret di atas meja. Tadi dia tidak melihat coretan ini ketika menyalakan lampu. Dia segera menghampiri meja dan di situ jelas terdapat coretan-coretan pendek.
‘Aku pergi berjuang. Mintakan maaf kepada ibu!’
Neneng Salmah terbelalak. Tidak dapat diragukan lagi. Tentu Sulastri telah pergi mengejar Parmadi dan Muryani, yaitu untuk mencari pembunuh gurunya dan juga untuk membantu Mataram menghadapi Kumpeni! Dia segera berlari ke kamar Ki Subali lalu mengetuk daun pintu kamar itu.
“Tok-tok-tok!”
“Paman...! Bibi...! Bangunlah...!” Ia mengetuk lagi dan Nyi Subali yang membukakan daun pintu.
“Siapa itu? Ahh, Neneng, ada apakah?” Ki Subali juga menghampiri pintu.
“Paman, bibi, maafkan kalau saya mengganggu. Saya... saya...”
“Neneng, ada apakah? Kenapa engkau begini gugup? Apa yang terjadi?” tanya Nyi Subali sambil memegang lengan gadis itu.
“Bibi, Sulastri... dia... dia pergi malam tadi ketika aku sedang tidur...”
“Pergi? Ke mana?” tanya Ki Subali.
“Mana dia? Mana anakku Sulastri?” Nyi Subali mengguncang tangan Neneng.
“Tenanglah, paman dan bibi. Mari ikut saya ke kamar.” Neneng mengajak mereka.
“Tenanglah, bune, bagaimana pun juga Lastri bukan anak kecil dan kini ingatannya sudah sembuh,” Ki Subali menghibur istrinya yang mulai menangis.
Mereka mengikuti Neneng pergi ke kamar yang menjadi kamar tidur kedua orang gadis itu. Sebuah daun pintu terbuka dan Ki Salmun muncul. Dia sudah terbangun dan cepat keluar ketika mendengar suara ribut-ribut itu.
“Ada apakah?”
“Ssttt, bapa, mari ikut dan bapa akan mengerti.” kata Neneng perlahan.
Ki Salmun juga mengikutinya. Empat orang itu lalu memasuki kamar yang lampu mejanya masih menyala.
“Ketika bangun pagi-pagi tadi, saya tidak melihat Lastri. Sudah saya cari ke mana-mana tetapi tidak ada. Pakaiannya dan Pedang Nogo Wilis juga tidak ada dan saya menemukan tulisan ini di atas meja.” Neneng menunjuk ke arah coretan-coretan di meja yang agaknya dibuat dengan goresan pedang di atas meja itu.
Ki Subali mendekat lalu membaca agak keras supaya istrinya yang tidak pandai membaca itu dapat mendengarkan.
“Aku pergi berjuang. Mintakan maaf kepada ibu!” Ki Subali membaca dan begitu selesai membaca, segera terdengar tangis Nyi Subali.
“Aduh, anakku Sulastri... ke mana lagi engkau pergi...” ibu ini mengeluh.
Neneng Salmah merangkulnya dan menuntunnya duduk di atas pembaringan Sulastri.
“Bibi, harap bibi jangan khawatir. Tentu Sulastri pergi menyusul Kakang-mas Parmadi dan Mbakyu Muryani, juga dia tentu akan bertemu dengan Kakang-mas Lindu Aji dan Kakang-mas Jatmika, dan bersama mereka berjuang membantu Mataram menghadapi Kumpeni. Sulastri adalah seorang yang sakti mandraguna, bibi, harap bibi tenangkan hati,” Neneng Salmah menghibur.
“Apa yang dikatakan Neneng itu benar, bune. Sudahlah, jangan menangis. Anak kita ingin melakukan tugas yang suci, membela negara dan bangsa, Kita patut merasa bangga dan mari kita doakan saja agar Gusti Allah selalu melindunginya,“ kata Ki Subali.
Sesudah dihibur oleh suaminya dan terutama oleh Neneng Salmah yang sudah dianggap seperti anak sendiri, lambat laun Nyi Subali dapat merelakan kepergian Sulastri. Beberapa hari kemudian dia sudah tenang dan pulih kembali.....
********************
Sultan Agung di Mataram memang merasa penasaran sekali sesudah satu tahun yang lalu serangan pertamanya ke Batavia gagal hingga dia kehilangan banyak prajurit dan senopati. Karena itu setahun lebih setelah kekalahan itu, dia kembali menyusun kekuatan yang lebih besar untuk mengirim bala tentara ke Batavia dan menyerang benteng Kumpeni Belanda.
Sesungguhnya Belanda inilah yang menjadi sasaran utamanya untuk dimusuhi karena dia mengerti bahwa Kumpeni merupakan ancaman besar bagi negara dan bangsanya. Belanda memiliki kapal-kapal perang yang besar, lengkap dengan meriam-meriam besarnya. Meski pun pasukannya tidak berapa besar namun pasukan itu diperkuat dengan meriam-meriam, granat dan bahan peledak lainnya termasuk bedil-bedil yang dapat membunuh orang dari jarak jauh.
Untuk keperluan penyerbuan terhadap Kumpeni inilah Sultan Agung menyatukan seluruh daerah sebelah barat sampai ke timur Nusa Jawa, kalau perlu dengan kekerasan sehingga semua daerah tunduk dan dapat dipersatukan guna menghimpun pasukan besar.
Pada suatu hari Sultan Agung mengumpulkan seluruh senopati dan adipati. Ia mengangkat beberapa adipati dan senopati untuk memimpin bala tentara menyerang Batavia. Karena itu merupakan penyerangan kedua, Sultan Agung tidak ingin serangannya gagal sehingga dia mengangkat orang-orang yang sungguh-sungguh dapat dipercaya akan dapat memberi semangat kepada semua prajurit. Kemudian dia mengangkat tiga orang bangsawan untuk menjadi pimpinan.
Pertama-tama dia mengangkat Kyai Adipati Jumina untuk memimpin barisan yang datang menyerang dari arah barat. Orang kedua adalah Kyai Adipati Puger yang akan memimpin pasukan yang menyerang dari arah selatan. Dua bangsawan ini adalah pamannya sendiri, saudara dari mendiang Panembahan Seda Krapyak. Ada pun orang ketiga adalah adiknya sendiri, yaitu Adipati Purbaya.
Tentu saja tiga orang bangsawan ini hanya untuk memberi semangat kepada para prajurit, ada pun yang betul-betul memimpin pasukan adalah para pembantu mereka, yakni Adipati Jumina dibantu Tumenggung Singoranu dan Raden Arya Wira Natapada yang mengepalai beberapa orang Senopati muda Mataram. Sedangkan Adipati Puger dibantu oleh Adipati Singenep (Sumenep) dan Tumenggung Madiun.
Adipati Pubaya akan memimpin pasukan khusus yang menyerang dari arah timur, dibantu oleh beberapa orang Senopati. Di antara para panglima yang membantunya terdapat Dipati Ukur, adipati yang diangkat oleh Sultan Agung untuk menjadi wakilnya di Jawa Barat.
Banyak pasukan dari daerah-daerah yang memperkuat barisan Mataram, di antaranya dari Surabaya, Pasuruan, Kediri, Wonosobo, Ponorogo, Madiun dan Sampang, bahkan Dipati Ukur juga sudah siap membantu dengan pasukannya dari Sumedang yang sudah menanti di daerah itu untuk bergabung bila mana pasukan Mataram lewat.
Mataram mengerahkan segenap tenaganya. Meriam-meriam yang dulu didapatkan melalui perdagangan hasil bumi dari orang-orang Portugis dan dari Belanda sendiri juga diangkut untuk memperkuat pasukan Mataram. Banyak pula prajurit yang membawa bedil, biar pun senjata-senjata api itu model kuno dan jauh ketinggalan jaman kalau dibandingkan dengan persenjataan Kumpeni Belanda. Semangat para prajurit menggebu-gebu, terutama sekali karena kali ini mereka dipimpin oleh tiga orang keluarga dekat Sultan Agung sendiri!
Akan tetapi di jaman apa pun, dalam suatu perjuangan selain bermunculan para pendekar, pahlawan patriot bangsa, sebagai tandingannya muncul pula pengkhianat bangsa yang rela menjadi antek musuh. Belanda sangat pandai membujuk orang-orang pandai yang berjiwa lemah untuk menjadi telik sandi mereka, bahkan banyak pula yang rela membantu mereka melawan Mataram. Juga Belanda pandai menggunakan taktik mengadu domba, memecah belah, baik dengan omongan manis yang menjatuhkan hati mereka mau pun dengan harta, wanita, atau tahta (kedudukan).
Demikianlah jauh hari sebelum bala tentara Mataram bergerak ke barat untuk menyerang Batavia. Kumpeni sudah mendengar dari para telik sandi (mata-mata) mereka. Tentu saja mereka sudah membuat persiapan sebaiknya, memperkuat diri dan bukan itu saja, bahkan mereka juga telah mengetahui kelemahan-kelemahan Mataram. Kelemahan ini di samping dalam hal persenjataan, juga terutama sekali tentang penyediaan ransum.
Daerah-daerah sekeliling Jayakarta telah dipengaruhi oleh Kumpeni Belanda yang seolah-olah menyebar kemakmuran sehingga rakyatnya tidak acuh terhadap perjuangan Mataram mengusir Belanda. Mereka menganggap Belanda sebagai sahabat di dalam perdagangan yang menguntungkan rakyat.
Karena itu bala tentara Mataram jelas tidak mendapat dukungan penyediaan ransum dari rakyat sekitar daerah Jayakarta. Begitu pula kerajaan Banten tidak mendukung Mataram dan seolah tidak ingin mencampuri permusuhan antara Mataram melawan Kumpeni.
Langkah penting yang dilakukan Jenderal Jan Pieters Zoon Coen dalam melemahkan bala tentara yang mengancam itu adalah menghancurkan gudang-gudang ransum (beras dan padi) yang diadakan Mataram sebagai persediaan bagi bala tentaranya.....
********************
Komentar
Posting Komentar