Kemelut Blambangan Jilid 05


"HEMM, jelas sekarang!" kata Ki Cangak Awu. "Mereka memiliki kepandaian tinggi, terutama wanita berpakaian putih itu."

"Baik Arya Bratadewa maupun Candra Dewi adalah tokoh-tokoh dari Banten, Paman. Ni Chandra Dewi terkenal dengan julukan Iblis Betina dari Banten."

"Hemm, bukankah iblis betina itu kalau tidak salah bernama Maya Dewi yang dulu menjadi telik sandi Kumpeni?"

"Bukan, Bibi. Candra Dewi adalah Kakak tiri Maya Dewi. Akan tetapi sekarang Maya Dewi telah berubah. Ia bukan lagi seorang antek Kumpeni, bahkan ia memusuhi Kumpeni dan ia bukan lagi seorang tokoh sesat dan jahat. Sebaliknya, ia kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang perkasa dan baik budi, menentang segala kejahatan."

"Bagaimana mungkin?" kata Pusposari ragu. "Dahulu ia jahat bukan main, jahat dan kejam bagaikan iblis!"

"Benar, Bibi. Hal ini pun diakuinya. Ia dahulu memang sakit berat, yang sakit adalah jiwanya, batinnya. Akan tetapi seperti juga segala macam penyakit jasmani yang diderita manusia, kalau Gusti Allah menghendaki, betapapun berat penyakit itu, dapat juga disembuhkan, bukan? Demikian pula dengan penyakit yang diderita Maya Dewi. Ia kini telah sembuh sepenuhnya, telah bertobat dan menjadi seorang yang mengenal dan taat kepada Gusti Allah."

"Bagaimana engkau dapat mengetahui demikian pasti tentang Maya Dewi, Bagus?" tanya nyi Pusposari.

"Bibi, telah lama saya bersama Maya Dewi menjadi sahabat, sama-sama mempelajari ilmu sehingga dapat dikatakan bahwa ia dan saya adalah saudara seperguruan."

"Ohh....!" Suami isteri itu terkejut, akan tetapi tidak mau bertanya lebih jauh karena khawatir kalau-kalau menyinggung hati pemuda itu. Akan tetapi diam-diam Pusposari merasa heran bagaimana tanggapan Kakak angkatnya, Ki Tejomanik dan terutama sekali Kakak iparnya, Retno Susilo kalau mendengar bahwa putera mereka menjadi saudara seperguruan iblis betina Maya Dewi!

Setelah mereka selesai makan minum dan pindah ke ruangan depan untuk bercakap-cakap, Ki Cangak Awu bicara tentang gerakan yang terjadi di Blambangan.

"Mendengar tentang gerakan pemberontakan yang dilakukan Blambangan, kami akan bersiap-siap dan sewaktu-waktu kami akan membantu Mataram sebagai sukarelawan. Bagaimana dengan kalian, Bagus dan Joko?"

"Paman. memenuhi pesan ayah, setelah bertemu Paman sekeluarga di sini, saya akan pergi mengunjungi Eyang Ki Mundingloyo, pimpinan perkumpulan Sardula Cemeng di hutan Kebonjambe di kaki Pegunungan Kelud."

"Ki Mundingsosro adalah ayah Mbakayu Retno Susilo, Bagus. Tentu dia sudah tua sekali sekarang, dan aku mendengar bahwa ibu kandung Mbakayu Retno Susilo telah meninggal dunia. Benar sekali, engkau harus mengunjungi mereka, keluarga Ibumu itu! Kalau bertemu dengan mereka, sampaikan salam hormatku." kata Nyi Pusposari.

"baik, Kanjeng Bibi. Akan saya perhatikan pesan Bibi."

"apakah engkau tidak ada niat untuk membantu Mataram menghadapi pemberontakan Blambangan?" tanya Ki Cangak Awu.

"Tentu saja, Paman. Setelah mengunjungi Eyang di perkumpulan Sardula Cemeng, saya akan merantau ke Blambangan dan melihat-lihat keadaan untuk membela Mataram dan menentang musuh."

Ki Cangak Awu lalu menatap tajam wajah Joko Darmono. "Dan bagaimana dengan Andika, Anakmas Joko Darmono? Setelah dari sini, apa yang hendak Andia lakukan dan ke mana andika hendak pergi?"

Joko Darmono memandang kepada Bagus Sajiwo dan berkata, "Saya memang sedang merantau tanpa tujuan tertentu. Oleh karena itu, saya ingin ikut dengan Bagus yang hendak mengunjungi Kakeknya di Gunung Kelud. Tentu saja kalau Bagus tidak keberatan melakukan perjalanan bersama saya."

Bagus balas memandang dan tersenyum. "Keberatan? Mengapa aku harus merasa keberatan Aku malah merasa gembira kalau engkau mau ikut dengan aku, Joko!"

"Akan tetapi bagaimana sikap Andika tenang perang yang akan terjadi antara Blambangan dan Mataram kalau Blambangan jadi melakukan pemberontakan terhadap Mataram? Andika akan berdiri di fihak mana?" Ki Cangak Awu yang ingin mengetahui isi hati pemuda yang diharapkannya menjadi jodoh puterinya kelak itu, mengejar.

"Ah, itu?" Joko Darmono memperlebar senyumnya. "Paman, saya tidak akan membantu Blambangan kalau mereka memulai peperangan dan menyerbu daerah Mataram. Saya tidak akan berdiri di fihak manapun. Saya tidak mau terlibat dalam perang. Akan tetapi saya selalu akan berfihak kepada mereka yang benar namun tertindas dan selalu menentang yang kuat namun jahat dan sewenang- wenang, tidak peduli bahwa dia itu kawula Blambangan ataupun kawula Mataram."

Ucapan ini dikeluarkan dengan sungguh-sungguh dan diam-diam Ki Cangak Awu dan Nyi Pusposari dapat menerimanya sebagai sebuah pendirian seorang pendekar yang gagah perkasa. Tidak mau membantu Blambangan karena kadipaten itu memberontak dan dianggap salah, akan tetapi juga tidak mau mengkhianati tanah tumpah darahnya itu.

"Pendirianmu itu patut kami hargai, Anakmas Joko Darmono." kata Ki Cangak Awu.

Dua orang pemuda itu tinggal di rumah keluarga ketua perguruan Jatokusumo selama satu malam. Untuk mereka berdua disediakan sebuah kamar yang cukup besar dengan dua buah pembaringan. Joko Darmono mengangkat pembaringannya menjauh dari pembaringan Bagus Sajiwo.

"Aku malam ini hendak berlatih, menghimpun hawa sakti, karena itu harus menyendiri. Maafkan aku, Bagus."

"Ah. tidak mengapa, Joko. Aku pun lelah dan perlu banyak istirahat malam ini." Bagus Sajiwo melihat betapa pemuda itu duduk bersila di atas pembaringannya, bersamadhi. Maka dia tidak ingin mengganggu dan langsung tidur pulas.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua orang pemuda itu sudah menunggang kuda mereka dan meninggalkan perkampungan Jatikusumo. Ketika mereka hendak berangkat, Nawangsih dan ayah ibunya mengantar sampai di pekarangan. Gadis remaja itu sebelum kedua orang pemuda naik ke atas punggung kuda, memegang tangan mereka dengan kedua tangannya.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Aku akan merindukan kalian, Kakang Bagus Sajiwo dan Kakang Joko Darmono. Kapan aku dapat bertemu lagi dengan kalian?"

Joko Darmono tertawa. "Heh-heh, aku akan bertemu denganmu setiap malam, Nawangsih."

"Setiap malam?" Nawangsih mengulang, bersamaan dengan Bagus Sajiwo yang juga memandang Joko Darmono dengan heran.

"Ya, setiap malam. Dalam mimpi!" Joko Darmono tertawa dan mereka semua juga tertawa.

"Ih, kalau engkau yang bermimpi bertemu aku, belum tentu aku dapat melihatmu, Kakang Joko!" kata Nawangsih.

"Adik Nawangsih, masih banyak waktu bagi kita untuk dapat saling bertemu kembali kelak. Engkau belajarlah dengan tekun agar kelak dapat menjadi pendekar wanita yang gagah perkasa. Kita pasti akan dapat bertemu kembali kelak."

"Nawangsih, Bagus Sajiwo benar. Pula, setelah di hari ini datang berkunjung, pasti di antara kita akan dapat saling berjumpa lebih sering." kata Nyi Pusposari, menghibur puterinya yang tampak kecewa dan kehilangan mengantar kepergian dua orang pemuda itu.

Biarpun mulutnya masih cemberut, akan tetapi Nawangsih dapat menerima kenyataan dan dua orang pemuda itu lalu melompat ke atas punggung kuda mereka keluar dari perkampungan itu, di antara lambaian tangan Nawangsih dan ayah ibunya.

Perkumpulan Sardula Cemeng (harimau hitam) merupakan sebuah perkumpulan yang terkenal. Mereka membuat perkampungan di kaki Gunung Kelud dengan jumlah anggauta kurang lebih lima puluh orang. Sebagian besar dari mereka sudah berkeluarga dan anak isteri mereka tinggal pula di perkampungan yang cukup besar itu. Jumlah anggauta beserta keluarga mereka yang berada di perkampungan Sardula Cemeng tidak kurang dari seratus lima puluh orang.

Mereka memiliki sawah ladang yang cukup luas dan bekerja sebagai petani dan pemburu binatang. Juga apabila tenaga para anggauta diperlukan penduduk dusun atau kota di daerah itu untuk mengawal atau menghadapi gerombolan jahat, para anggauta Sardula Cemeng siap menolong dengan imbalan sepantasnya. Karena memiliki bermacam sumber penghasilan ini, maka kehidupan mereka dapat dibilang cukup makmur.

Perkumpulan ini merupakan perkumpulan yang sudah cukup tua. Didirikan lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Pendirinya adalah dua orang kakak beradik yang gagah perkasa, yaitu Mundingsosro dan Mundingloyo. Seperti kita ketahui, Ki Mundingsosro adalah ayah kandung Retno Susilo, isteri Ki Tejomanik, atau ibu kandung bagus Sajiwo.

Ketika mendirikan perkumpulan atau perguruan Sardula Cemeng, Ki Mundingsosro berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan adiknya Ki Mundingloyo berusia dua puluh lima tahun. Kedua orang gagah ini baru saja kembali ke Nusa Jawa setelah bertahun- tahun mereka bertualang di pedalaman Borneo (Kalimantan) dan berhasil diangkat menjadi kepala sekumpulan orang Dayak. Ketika mereka kembali ke Jawa-dwipa, di daerah Gunung Kelud mereka bertemu dengan belasan orang pelarian dari Blambangan. Mereka itu melarikan diri karena dipaksa oleh para pembesar Kadipaten Bambangan untuk menjadi tentara karena ketika itu Blambangan berperang melawan Bali.

Melihat bahwa para pelarian ini adalah orang-orang gagah, Ki Mundingsosro dan adiknya, Ki Mundingloyo menampung mereka dan berdirilah Perkumpulan Sardula Cemeng. Makin lama perkumpulan itu menjadi semakin besar karena para pelarian Blambangan itu memberi kabar kepada kawan-kawannya dan saudara-saudara mereka sehingga banyak yang berdatangan dan ikut menjadi anggauta Sardula Cemeng. Ki Mundingsosro dan Ki Mundiongloyo melatih mereka dengan aji kesaktian sehingga perkumpulan itu menjadi kuat.

Sementara Retno Susilo menikah dengan Sutejo dan pergi mengikuti suaminya, dua puluh tiga tahun telah lewat dan kini Ki Mundingsosro masih menjadi ketua Sardula Cemeng, dibantu adiknya, Ki Mundingloyo. Keduanya telah menjadi duda dan Ki Mundingsosro hanya mempunyai anak Retno susilo seorang, sedangkan Ki Mundingloyo tidak mempunyai keturunan. Karena Ki Mundingsosro kini telah tua, usianya sudah enam puluh sembilan tahun, maka biarpun dia masih menjadi ketua Sardula Cemeng, yang aktip melaksanakan tugas adalah adiknya, Ki Mundingloyo yang berusia enam puluh empat tahun.

Ada ciri khas pada para anggauta Sardula Cemeng kalau mereka sedang menghadapi musuh, yaitu wajah mereka itu dicoreng-moreng hitam seperti kebasaan suku Dayak pedalaman kalau sedang berperang. Peraturan ini diadakan oleh Ki Mundingsosro yang meniru kebiasaan suku Dayak ketika dia menjadi ketua. Coreng-moreng pada muka ini selain dapat menambah semangat, juga membuat orang luar tidak dapat membedakan para anggauta Sardula Cemeng dan tidak akan mengenal mereka kalau sedang berpakaian biasa.

Pagi hari itu, suasana di perkampungan Sardula Cemeng tampak meriah. Semua anggauta perkumpulan itu berada di perkampungan. Semua kegiatan sehari-hari dihentikan dan para anggauta bersama keluarganya sibuk dengan persiapan pesta yang akan diselenggarakan siang nanti. Ada yang sibuk menghias pintu gapura perkampungan dan rumah induk tempat tinggal ketua di mana perayaan akan dipusatkan. Ada yang sibuk memotong lembu, kambing dan ayam, ada pula yang sibuk di dapur. Semua orang bekerja mempersiapkan perayaan yang akan diadakan.

Perkumpulan itu hendak merayakan ulang tahun berdirinya Perkumpulan Sardula Cemeng yang ketiga puluh kalinya. Sudah tiga puluh tahun perkumpulan itu berdiri dan selama itu telah memperoleh kemajuan pesat. Pesta itu akan dirayakan secara meriah, akan tetapi dua orang pimpinan itu, Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, tidak mengundang orang luar kecuali beberapa orang pinisepuh dan pamong dari beberapa kelurahan dusun-dusun yang berada di sekitar kaki Gunung Kelud. Para anggautanya sendiri yang akan merayakannya dengan gembira dan bersemangat. Bahkan gamelan berikut tarian dan tetembangan akan dilakukan sendiri oleh para anggauta yang memang sudah terlatih.

Setelah matahari naik tinggi, persiapan itu selesai dan mulai terdengar bunyi gamelan berbunyi, suasana menjadi meriah sekali. Para anggauta, pria, wanita, tua muda, juga anak-anak, semua mengenakan pakaian mereka yang terbaru. Di pekarangan yang luas dari rumah induk tempat tinggal ketua telah dibangun sebuah bangunan tarub yang luas, dengan panggung yang kokoh dan lantai panggung ditilami tikar-tikar berkembang yang bersih dan diatur rapi. Mereka yang merayakan pesta itu, juga para pinisepuh dan pamong dusun yang diundang, juga dipersilakan duduk di atas lantai panggung.

Setelah perayaan dimulai, dipanggung telah duduk Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, dua orang kakak beradik pimpinan perkumpulan yang sudah menduda itu. Mereka duduk bersanding di atas sebuah bangku, berhadapan dengan para anggauta dan sedikit tamu yang sudah memenuhi panggung, duduk bersila dengan rapi. Di sudut kiri panggung terdapat para penabuh gamelan dan para penyanyi.

Ki Mundingsosro yang sudah berusia hampir tujuh puluh tahun itu tampak berwajah cerah. Tubuhnya yang tinggi besar masih tampak kokoh, kulit mukanya masih kemerahan tanda sehat dan kumisnya tang tebal telah berwarna dua. Sebagai seorang ketua dan seorang yang gagah perkasa, sebatang golok yang menjadi senjata dan pusaka andalannya, tidak pernah ditinggalkannya. Golok itu menempel di punggungnya, ronce kuning di gagang golok berjuntai sehingga biarpun sudah tua dia tampak masih gagah perkasa berwibawa.

Adiknya, Ki Mundingloyo yang sudah berusia enam puluh empat tahun, juga masih tampak gagah. Dia yang menjadi wakil ketua, membantu kakaknya, juga bertubuh tinggi besar dan kokoh. Hanya bedanya kalau wajah kakaknya kemerahan, wajah Ki Mundingloyo ini agak kehitaman. Mukanya keren walaupun tanpa kumis atau jenggot, dan sepasang matanya bersinar tajam berwibawa. Di punggung wakil ketua ini juga tergantung senjata yang menjadi andalannya, yaitu sebatang tombak trisula yang telah mengangkat namanya menjadi seorang tokoh yang tangguh.

Setelah Ki Mundingsosro mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa pesta perayaan dapat dimulai, para anggauta yang bertugas menghidangkan makanan dan minuman segera bekerja. Bukan hanya para tamu undangan yang diberi hidangan, akan tetapi seluruh anggauta tidak terkecuali. Anak-anak pun ikut berpesta ria dan untuk mereka disediakan tempat tersendiri, disebelah kanan panggung di mana mereka berkumpul dan berpesta.

Selagi pesta berlangsung dengan gembira dan dua orang ketua itu juga sedang makan minum bersama semua anggauta dan tamu mereka, tiba-tiba dari luar terdengar suara anggauta yang bertugas jaga berseru lantang.

"Utusan Kadipaten Blambangan datang bertamu!"

Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo terkejut dan saling pandang. Ada apa utusan Kadipaten Blambangan datang berkunjung? Akan tetapi karena yang datang itu mengaku sebagai tamu seperti diumumkan anggauta penjaga tadi, sebagai tuan rumah yang baik mereka harus menerima dan menyambut tamu yang datang dengan ramah. Semua yang hadir menahan diri agar tidak membuat gaduh ketika mendengar pengumuman penjaga tadi. Mereka juga merasa heran dan ingin tahu siapa yang datang bertamu.

"Persilakan tamu dari Kadipaten Blambangan untuk masuk!" teriak Ki Mundingloyo dengan suara lantang.

Gamelan ditabuh perlahan, tidak sekuat tadi, agaknya hal ini dilakukan para penabuh gamelan yang kesemuanya anggauta Sardula Cemeng untuk tidak mengganggu kedua ketua mereka dalam menyambut tamu yang tidak diundang itu.

Tampak seorang anggauta penjaga mengiringkan dua orang laki-laki memasuki ruangan perayaan. Semua orang yang hadir memandang penuh perhatian dan karena sebagian besar anggauta berasal dari Blambangan, tentu saja mereka ingin sekali mengetahui siapa gerangan utusan dari Kadipaten Blambangan itu. Ketika melihat dua orang laki-laki itu, hanya sebagian saja dari mereka, yang sudah berusia lebih dari empat puluh tahun, yang mengenal dua orang itu dan mereka saling berbisik lirih dan tampak terheran dan terkejut.

Seorang dari dua orang tamu itu adalah seorang pria berusia sekitar enam puluh tiga tahun. Pakaiannya seperti seorang pendeta, sederhana bentuknya dan terbuat dari kain berwarna kuning. Rambutnya yang berwarna dua digelung ke atas dan diikat dengan kain kuning pula. Tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan. Di sabuk jubahnya terselip sebatang keris dengan warangka terukir dan tangan kirinya memegang seuntai tasbih dengan biji tasbih berwarna merah.

Mereka yang mengenalnya tahu bahwa laki-laki ini adalah Sang Resi Sapujagad, seorang pertapa dari Gunung Merapi yang terkenal dakti mandraguna dan memang sejak dulu dekat dengan keluarga Blambangan, apalagi dulu isterinya yang sudah meninggal masih terhitung sanak keluarga Adipati Santa Guna Alit dari Blambangan. Ada pun orang kedua adalah Bhagawan Dewokaton yang berusia lima puluh delapan tahun. Bhagawan Dewokaton ini juga dikenal oleh para anggauta Sardulo Cemeng yang tua karena pertapa Gunung Bromo ini pun merupakan seorang yang tidak asing di Kadipaten Blambangan.

Orang setengah tua ini bertubuh gendut dan mukanya yang bulat selalu menyeringai dan tertawa-tawa, pakaiannya serba putih, juga sorban yang menutupi kepalanya berwarna putih. Melihat dandanan dan sikapnya, dia memang tampak lembut, sabar dan suka tertawa. Akan tetapi, sebatang pedang yang tergantung di punggungnya sama sekali tidak cocok dengan penampilannya sebagai seorang pertapa. Pedang itu menunjukkan bahwa orang ini tidak pantang mempergunakan kekerasan dan dia tentu seorang yang sakti mandraguna.

Biarpun tidak mengenal dua orang itu, Ki Mundingloyo lalu bangkit dari tempat duduknya dan mewakili kakaknya untuk menyambut dua orang tamu itu. Dua orang tamu yang sudah cukup tua memiliki penampilan yang berwibawa, maka wakil ketua Sardulo Cemeng ini pun menyambutnya dengan hormat.

"Selamat datang di perkampungan kami yang sederhana. Ingin sekali kami mengetahui siapakah Andika berdua yang terhormat ini?" kata Ki Mundingloyo dengan sikap hormat.

"Heh-heh-ha-ha-ha!" Bhagawan Dewokaton tertawa tergelak. Matanya memandang ke arah para anggauta Sardulo Cemeng yang berkumpul di situ. "Bagus, bagus! Para jagoan dan orang gagah Kadipaten Blambangan telah berkumpul di sini. Siapakah yang menjadi ketua perkumpulan Sardulo Cemeng ini?"

Biarpun sikap pertapa Gunung Bromo ini angkuh, Ki Mundingloyo masih sabar. "Ketua Sardulo Cemeng adalah Ki Mundingsosro ini, dan aku adalah Adiknya, juga wakil ketua, bernama Ki Mundingloyo. Andika berdua siapakah, Ki sanak?"

"Sungguh keterlaluan sekali kalau kalian tidak mengenal kami." kata Resi utusan Sang Adipati Santa Guna Alit dari Blambangan. "Orang-orang Blambangan yang menjadi anggota Sardulo Cemeng, tentu mengenal kami. Aku adalah Resi Sapujagad pertapa Gunung Merapi dan ini adalah Adi Bhagawan Dewokaton pertapa Gunung Bromo."

Bukan main kagetnya hati dua orang pimpinan Sardulo Cemeng itu mendengar nama dua orang pertapa itu. Mereka memang belum mengenal dua orang pertapa itu, akan tetapi sudah lama mendengar nama mereka sebagai orang-orang yang sakti mandraguna. Ki Mundingsosro yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun itu kini bangkit berdiri dan merangkap kedua tangan di depan dada sebagai sembah penghormatan.

"Ah, kiranya Adi Sapujagad dan Adi Bhagawan Dewokaton yang terkenal itu yang datang berkunjung. Kami mendapat penghormatan besar sekali dengan kunjungan Andika berdua. Silakan, silakan duduk dan kami mengucapkan selamat datang kepada Andika berdua."

Melihat sambutan yang hormat dari ketua Sardulo Cemeng itu, dua orang utusan Kasipaten Blambangan tersenyum senang dan Bhagawan Dewokaton tertawa-tawa lalu bersama Resi Sapujagad mengambil tempat duduk di panggung kehormatan.

"Ha-ha-ha, terima kasih, Ki Mundingsosro. Biarlah kami menyampaikan salam dari Sang Adipati Blambangan untuk Andika berdua yang memimpin Sardulo Cemeng, karena bagaimanapun juga, para anggota Sardulo Cemeng sebagian besar adalah kawulo Blambangan."

"Terima kasih, Adi Bhagawan Dewokaton. Kalau Andika berdua nanti kembali ke Blambangan, sampaikan salam hormat kami kepada Sang Adipati." Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo mempersilahkan kedua orang tamu itu duduk lalu memerintahkan anak buah mereka untuk mengeluarkan hidangan.

Setelah dua orang tamu itu minum, Ki Mundingsosoro bertanya dengan lembut, "Sekarang kami ingin sekali mengetahui kepentingan apakah yang Andika berdua bawa dari Blambangan? Andika mengaku sebagai utusan Sang Adipati Blambangan, lalu tugas apakah yang Andika berdua bawa ke sini?"

Bhagawan Dewokaton tertawa. "Heh-heh-heh-heh, Sang Adipati merasa girang mendengar bahwa Andika berdua menghimpun orang-orang gagah Sardulo Cemeng. Nah, kini ada tugas mulia di Blambangan, tentu Sardulo Cemeng siap membantuBlambangan, bukan?"

"Kami tidak menjadi kawula mana pun, dan pendirian kami adalah membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan asalkan yang kami bantu itu berada di pihak yang benar. Nah, bantuan macam apakah yang dikehendaki Sang Adipati Blambangan dari kami?" Kini Ki Mundingloyo yang mewakili kakaknya bertanya.

"Tentu saja Kadipaten Blambangan berada di pihakyang benar. Kami sedang bersiap-siap untuk menyerbu daerah Mataram, menghentikan keangkara-murkaan Mataram. Maka, Sang Adipati Blambangan mengajak Sardulo Cemeng untuk bergabung, memperkuat barisan dan menghancurkan Mataram. Mari kalian semua berkemaslah dan bersama kami sekarang juga berangkat ke Blambangan. Di sana telah dipersiapkan tempat penampungan yang enak dan menyenangkan untuk kalian."

Ki Mundingsosro mengerutkan alisnya dan dia menjawab, suaranya tegas. "Maaf, Adi Resi dan Adi Bhagawan! Kalau itu bantuan yang Andika maksudkan, kami tidak dapat membantu. Kami tidak ingin terlibat dalam perang yang tidak kami mengerti siapa yang salah dan siapa yang benar."

"Ki Mundingsosro!" Resi Sapujagad suaranya mulai keras dan ketus. "Andika tidak mengerti ataukah pura-pura tidak mengerti? Menentang Mataram merupakan perjuangan semua kawula Blambangan dan hal itu merupakan kewajiban bagi setiap orang gagah yang menjadi kawula Blambangan!"

"Maaf Adi Resi, akan tetapi gerakan Kadipaten Blambangan itu dapat juga dikatakan sebagai pemberontakan dan tentu saja hal ini tidak benar karena perang antara bangsa sendiri senusantara akan mendatangkan malapetaka dan berakibat jatuhnya banyak kosban. Kalau Kadipaten Blambangan, seperti kerajaan Mataram, berperang melawan Belanda, tentu kami siap sedia membantu dengan taruhan nyawa, untuk mempertahankan tanah air dan melindungi bangsa kita dari cengkeraman bangsa Belanda itu."

"Ki Mundingsosro!" kini Resi Sapujagad membentak sambil bangkit berdiri dari kursinya. "Musuh utama Blambangan bukan Kumpeni Belanda, melainkan Mataram! Kalau andika tidak mau membantu Blambangan menentang Mataram, berarti Andika hendak membela Mataram!"

Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo juga bangkit berdiri ketika melihat betapa Bhagawan Dewokaton juga berdiri seperti Resi Sapujagad dengan sikap marah dan menantang. "Resi Sapujagad, kata Ki Mundingsosro dengan sikap tenang dan suara tegas, "kalaupun kami membela Mataram, hal itu sudah semestinya. Kami termasuk kawula Mataram, bukan kawula Blambangan."

"Babo-babo! Jadi kalian ini membujuk para kawula Blambangan untuk berkhianat terhadap Blambangan dan menjadi antek Mataram? Heii, Saudara-saudara dari Blambangan. Apakah kalian sudi mengekor Mundingsosro dan Mundingloyo untuk mengkhianati Blambangan dan membantu musuh, yaitu Mataram yang angkara murka?鈥�

Para anggauta Sardula Cemeng itu memandang dua orang tamu yang marah itu dengan mata bersinar dan alis berkerut. Mereka kebanyakan adalah orang dari Blambangan yang memang melarikan diri dari Blambangan karena merasa ditekan oleh para pejabat Kadipaten Blambangan dan sebagai anggota Sardulo Cemeng mereka merasa memperoleh kehidupan yang lebih tenteram dan baik. Seorang di antara mereka yang usianya sudah lima puluh tahun dan merupakan anggota yang sudah belasan tahun dan mengenal siapa adanya dua orang utusan Kadipaten Blambangan itu tiba-tiba berkata lantang.

"Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton, kami mengenal siapa adanya Andika berdua yang sama sekali bukan kawula Blambangan melainkan pertapa dari Gunung Merapi dan Gunung Bromo. Mengapa kini membantu Blambangan dan menentang Mataram? Andika berdua inilah yang mengkhianati Mataram. Kami memang kawula Blambangan, namun kami tidak sudi diperalat Adipati Blambangan yang lalim, dibantu orang-orang jahat pula. Andika berdua jangan coba-coba membujuk kami..."

Tiba-tiba Resi Sapujagad menggerakkan tangan kanannya dan sinar merah meluncur ke arah orang yang bicara itu. Cepat sekali sinar merah itu menyambar dengan bunyi berkeritikan dan tahu-tahu untaian tasbeh merah itu sudah menghantam leher anggota Sardulo Cemeng ini tanpa yang diserang sempat mengelak atau menangkis sama sekali. Hebatnya, begitu menghantam leher orang itu, seuntai tasbeh warna merah itu sudah melayang kembali ke arah Resi Sapujagad dan diterima dengan tangan kirinya!

Anggauta Sardulo Cemeng yang berani mengeluarkan kata-kata bernada keras tadi roboh, menggelepar sebentar lalu tewas dengan leher penuh tanda menghitam seperti dibakar! Tentu saja keadaan mejadi gempar. Para anggota Sardulo Cemeng mencabut senjata masing-masing dan bersiap siaga untuk mengeroyok dua orang pengacau itu, menanti aba-aba dari kedua orang pimpinan mereka.

Melihat keadaan ini, yang cukup berbahaya bagi mereka kalau dikeroyok demikian banyaknya orang, dua orang pertapa utusan Blambangan itu lalu berlompatan keluar mencari ruangan yang luas, mereka berdua siap menghadapi pengeroyokan. Semua anggauta Sardulo Cemeng kini sudah membuat lingkaran lebar untuk mengepung dua orang itu. Akan tetapi tetap saja mereka tidak berani bergerak menyerang sebelum mendapat perintah dua orang ketua mereka.Akan tetapi Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo bukan orang-orang yang berjiwa pengecut.

Mereka tidak akan mengandalkan pengeroyokan anak buahmereka kalau mereka belum menghadapinya sendiri.Kalau keadaan terpaksa dan untuk membela diri barulah mereka akan mengerahkan anak buah mereka. Mereka tahu bahwa dua orang pertapa itu sakti mandraguna, akan tetapi kalau belum melawannya sendiri, satu lawan satu, mereka tidak merasa puas. Mereka pun sama sekali tidak merasa jerih. Dua orang ketua itu dengan langkah tenang lalu menyusul keluar.

Para anak buah mereka memberi jalan sehingga mereka berdua dapat memasuki lingkaran dan berhadapan dengan Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton. Dengan sikap tenang namun wajahnya keras dan suaranya penuh wibawa Ki Mundingsosro lalu berkata.

鈥淩esi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton, Andika berdua sudah mendengar jawaban kami. Kalau Andika berdua datang mengajak kami untuk membantu Blambangan menentang Mataram, Perkumpulan Sardulo Cemeng sama sekali tidak menerima ajakan itu. Kami tidak ingin terlibat pemberontakan. karena itu harap Andika berdua pulang dan laporkan kepada Adipati Blambangan bahwa kami tidak bersedia membantu."

"Ki Mundingsosro! Kami adalah utusan sang Adipati Blambangan dengan kekuasaan sepenuhnya untuk bertindak apabila perintah Sang Adipati itu kalian tolak!"

Ki Mundingsosro tersenyum, 鈥淗emm, sikapmu itu jelas menyombongkan kedudukan dan sikap sewenang-wenang seorang yang diberi kekuasaan oleh junjungannya. Karena kami jelas menolak perintah itu, lalu Andika berdua hendak bertindak bagaimanakah terhadap kami?"

Resi Sapujagad memandang rendah kepada dua orang ketua Sardulo Cemeng itu, akan tetapi dia melihat para anggauta perkumpulan itu yang sudah mengepung dalam bentuk lingkaran luas, dia menjadi ragu-ragu juga. Tidak akan mudah menghadapi pengeroyokan demikian banyaknya orang, apalagi mereka itu sebagian besar adalah orang-orang Blambangan, berarti kawula sendiri. Maka dia lalu menoleh ke arah Bhagawan Dewokaton dan berkata dengan suara bernada mengejek seperti orang main-main.

"Eh, Adi Bhagawan dewokaton, bagaimana pendapatmu? Apa yang akan kita lakukan terhadap para pembangkang ini?"

"Ha-ha-heh-heh-heh, melakukan apalagi kalau tidak memberi jeweran kepada mereka? He, Ki Mundingsosro, apakah penolakanmu itu berarti bahwa Andika berdua menantang kami untuk mengadu kesaktian?"

"Kami tidak pernah mencari musuh, tidak menentang siapa-siapa, akan tetapi kalau ada orang hendak memaksakan kehendaknya kepada kami, tentu kami melawannya!"

"Ha-ha-ha, itu sama saja dengan menantang kami! Sekarang begini saja. Andika berdua boleh bertanding mengadu kesaktian dengan kami berdua. Kalau kami yang kalah dan masih hidup, kami akan kembali ke Blambangan, kalau kami mati, sudahlah. Akan tetapi kalau Andika berdua kalah, hidup atau mati, semua anggauta Sardulo Cemeng harus berangkat sekarang juga ke Blambangan dan memperkuat pasukan Blambangan untuk menghadapi Mataram. Heh-heh, bagaimana pendapat kalian? Sudah adil, bukan?"

"Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton, Andika berdua sungguh orang-orang sombong yang mau enaknya sendiri. Tanpa diundang kalian datang berkunjung, hendak memaksakan kehendak kalian kepada kami, bahkan telah membunuh seorang anggota kami. Dan sekarang kalian masih hendak mengadakan syarat dan peraturan sendiri! Kami berdua tidak dapat memaksa para anggauta kami. Kalau mereka hendak membantu Blambangan, silakan pergi. Kami tidak mau tahu akan usul kalian tadi. Sekarang kami yang menentukan. Kalian pergilah dan kami masih mau melupakan kematian anggota kami. Kalau kalian memaksa, kami terpaksa menggunakan kekerasan mengusir kalian!"

"Ha-ha-ha! Kiranya dua orang ketua Sardulo Cemeng hanya pengecut, beraninya main keroyokanmengandalkan banyaknya anggauta untuk mengeroyok kami yang hanya berdua. Huh, licik dan curang!" Bhagawan Dewokaton tertawa mengejek.

Pantang bagi laki-laki gagah untuk menerima sebutan pengecut curang. Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo marah sekali. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing. Ki Mundingsosro mencabut sebatang golok mengkilat dan Ki Mundingloyo mengeluarkan sebatang tombak trisula yang menjadi senjata andalannya.

"Minggatlah kalian! Kalau tidak, kami akan menyerang!" bentak Ki Mundingloyo sambil melintangkan tombak trisulanya di depan dada.

Dua orang utusan Blambangan itu merasa girang bahwa mereka berhasil memancing kemarahan dua orang ketua Sardulo Cemeng itu sehingga mereka ingin bertanding satu lawan satu karena tidak ingin disebut pengecut curang. Melihat dua orang itu sudah siap menyerang, Resi Sapujagad memutar tasbeh merahnya dengan tangan kanan sedangkan Bhagawan Dewokaton mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam.

"majulah, hendak kami lihat sampai di mana kehebatan dua orang ketua Sardulo Cemeng yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini menerjang" Setua itu, tokoh yang bertubuh tinggi besar bermuka merah itu ternyata masih gesit. sambaran goloknya mengeluarkan suara mengaungdan goloknya berubah menjadi sinar berkelebat menyilaukan mata. Gerakannya masih cepat dan kuat sehingga merupakan serangan yang cukup dahsyat.

"Bagus!" Resi Sapujagad memutar tasbehnya dengan cepat sehingga senjata istimewa itu berubah menjadi gulungan sinar merah. Sinar golok yang menyambar itu bertemu dengan sinar merah yang berputaran.

"Cring-cring, tranggg....!" Tampak bunga api berhampuran ketika dua senjata itu saling bertemu beberapa kali, menunjukkan bahwa dua senjata itu selain ampuh, juga didorong tenaga yang kuat. Dua kakek sakti itu segera terlibat dalam sebuah perkelahian yang seru. Maklum bahwa lawan memiliki kepandaian tinggi, mereka mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh mereka dalam usaha mereka untuk mencapai kemenangan.

Pertandingan itu menjadi perkelahian mati-matian, bukan sekedar mengadu kesaktian untuk melihat siapa yang lebih unggul. Serangan-serangan mereka, baik yang menggunakan pedang maupun yang menggunakan tasbeh merupakan sambaran tangan maut yang kalau mengenai sasaran dengan tepat pasti mendatangkan kematian. Melihat rekannya sudah bertanding melawan Ki Mundingsosro dan dia yakin bahwa rekannya pasti menang, Bhagawan Dewokaton menghampiri ki Mundingloyo dan tertawa bergela mengejeknya.

"Ha-ha-ha-ha-heh-heh, apakah engkau tidak berani melawan aku dan hanya menjadi penonton saja, Ki Mundingloyo?"

Ki Mundingloyo mengerutkan alis, memandang Bhagawan Dewokaton dengan marah lalu membentak. "Babi sombong, makan trisulaku!" Dia lalu menyerang dengan tombak trisulanya yang bergerak cepat seperti kilat menyambar.

"Singggg.... trang-trang-tranggg....!" Trisula bertemu dengan pedang hitam dan bunga api berpijar. Mereka lalu saling menyerang dengan tidak kalah dahsyatnya dibandingkan pertandingan pertama.

Pelataran rumah yang tadinya meriah dengan pesta yang gembira dan dirayakan seluruh penduduk perkampungan Sardulo Cemeng, kini berubah menjadi arena perkelahian empat orang itu. Suasana gembira berubah menjadi suasana yang menegangkan. Anak-anak dan para wanita sudah lari memasuki rumah dan semua anggauta Sardulo Cemeng kini berkumpul dipelataran itu. mereka kini telah menjadi pasukan yang wajahnya dicoreng moreng dengan arang sehingga tampak menyeramkan.

Memang inilah kebiasaan para anggauta Sardulo Cemeng. Begitu menghadapi kemungkinan bertempur, beberapa orang datang membawa bubuk arang dan mereka segera melumuri muka mereka dengan coreng moreng. Peraturan ini memang sejak dulu dikenakan oleh Ki Mundingsosro yang dahulu di waktu muda pernah menjadi kepala suku yang masih liar di pedalaman Borneo (Kalimantan) dan kebiasaan suku liar yang mencoreng moreng muka mereka kalau sedang berperang itu diterapkan kepada para anggauta Sardulo Cemeng dengan maksud untuk menambah semangat mereka dan agar wajah mereka tidak dapat dibedakan atau dikenal.

Akan tetapi setelah lewat sekitar lima puluh jurus, mulailah tampak bahwa tingkat kepandaian dua orang utusan Blambangan itu masih jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat dua orang ketua Sardulo Cemeng itu. Kakak beradik itu mulai terdesak dan terus mundur, sama sekali tidak sempat membalas serangan, hanya mampu mengelak dan menangkis saja. Kalau saja dua orang utusan Blambangan itu menghendaki, tentu tanpa banyak kesulitan mereka akan dapat membunuh dua orang ketua Sardulo Cemeng itu.

Akan tetapi mereka tidak mau melakukan ini karena merasa khawatir kalau mereka membunuh dua orang pimpinan ini, para anggauta perkumpulan itu menjadi sakit hati dan tidak mau memenuhi permintaan Kadipaten Blambangan untuk membantu. Mereka hanya ingin merobohkan dua orang pimpinan itu tanpa membunuh, untuk memperlihatkan para anggauta bahwa mereka jauh lebih sakti sehingga mereka mau tunduk dan mengikuti mereka ke Blambangan. Apalagi melihat betapa kini wajah semua anggauta dicoreng moreng, dua orang pertapa itu menjadi ngeri juga.

Orang-orang seperti itu tentu akan menjadi nekat kalau sudah bertempur. Maka mereka lalu mengambil keputusan untuk segera mengakhiri pertandingan itu dan memperlihatkan kepada para anggauta Sardulo Cemeng bahwa mereka lebih sakti daripada dua orang ketua mereka.

"Hyaaaahhh....!" Resi Sapujagad membentak dan tubuh Ki Mundingsosro terjengkang roboh oleh sambaran kaki Sang Resi

"Haaaittt....!" Ki Mundingloyo juga terpelanting roboh terkena dorongan tangan kiri Bhagawan Dewokaton yang mengenai pundaknya. Dua orang ketua Sardulo Cemeng itu bangkit duduk sambil menyeringai menahan rasa nyeri. Pada saat itu, para anggauta Sardulo Cemeng yang tadi mengepung dan hanya menonton, begitu melihat dua orang pemimpin mereka roboh, serentak lalu menyerang dua orang utusan Blambangan itu dengan senjata mereka sambil berteriak-teriak seperti yang diajarkan oleh Ki Mundingsosro.

Bertempur dengan muka coreng-moreng dan berteriak-teriak seperti itu berpengaruh besar sekali untuk membikin gentar hati lawan. Dua orang utusan Blambangan itu terkejut sekali. Mereka segera menangkis serangan keroyokan itu dan membuat beberapa orang terpental.

"Heii!! Semua mundur....!!" Ki Mundingsosro membentak nyaring dan mendengar bentakan pemimpin mereka ini, para anggauta Sardulo Cemeng segera menghentikan serangan mereka dan mundur. Kedua orang ketua Sardulo Cemeng itu lalumelangkah maju menghampiri kedua orang lawamnnya.

"Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton, kami bukan pengecut yang main keroyokan. Mari kita lanjutkan pertandingan kita!" kata Ki Mundingsosro sambil melintangkan goloknya di depan dada.

"Akan tetapi kalian sudah kalah!" kata Resi Sapujagad.

"Kami baru mengaku kalah kalau kami sudah tidak mampu melakukan perlawanan lagi!" kini Ki Mundingloyo yang berkata dengan suara lantang dan tegas.

"Ha-ha-ha-heh-heh, dua orang keras kepala! Apakah kalian tidak tahu bahwa kami sengaja bersikap lunak kepada kalian? Apakah kalian ingin mampus?" kata Bhagawan Dewokaton sambil tertawa-tawa mengejek.

"Untuk membela diri dan mempertahankan kebenaran, kami tidak takut mati! Andika berdua pergilah dan jangan ganggu perkumpulan kami, Atau kalau Andika memaksa, kami akan melawan sampai mati!"

Mendengar ucapan Ki Mundingsosro ini, Resi Sapujagad yang wataknya keras itu menjadi marah."Hemm, daripada melihat orang-orang Blambangan membela Mataram dan menentang kadipaten sendiri, lebih baik kalian semua mati di tangan kami!"

Setelah berkata demikian, Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton lalu menerjang maju, disambut dengan nekat oleh dua orang ketua Sardulo Cemeng itu. akan tetapi karena mereka berdua memang kalah kuat dan kini dua orang pertapa itu menyerang dengan sungguh-sungguh, begitu senjata mereka bertemu, kedua orang ketua Sardulo Cemeng ini terdorong ke belakang sampai terhuyung. Mereka bukan hanya kalah dalam hal ilmu silat, namun juga tenaga mereka tidak mampu mengimbangi dua orang utusan Blambangan yang memperkuat tenaga sakti mereka dengan ilmu sihir yang mereka kuasai.

Para anggauta Sardulo Cemeng yang merasa berhutang budi kepada kedua orang pimpinannya dan sangat menghormati dan menyayang mereka, kembali bergerak hendak mengeroyok. Mereka tidak rela melihat dua orang pimpinan mereka terancam maut.

"Berhenti dan mundur semua!" tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan begitu berwibawa sehingga semua orang berhenti dan mundur. Suara itu lembut, namun mengandung wibawa yang memaksa mereka menaruh perhatian. Bahkan Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton sendiri pun terpengaruh dan menghentikan gerakan mereka lalu bersama para anggauta Sardulo Cemeng menoleh dan memandang ke arah datangnya suara tadi.

Juga Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo memutar tubuh memandang. Mereka melihat seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih melangkah dengan tenang memasuki pekarangan. Pemuda itu berpakaian tidak mewah namun pantas dan bersih. Tubuhnya tinggi tegap tampak kuat dan jantan. Rambutnya yang hitam agak keriting, dahinya lebar, alisnya hitam tebal. Sepasang mata yang lebar itu bersinar tajam sekali dan terkadang mencorong, namun lembut. Hidungnya besar mancung dan bibir yang lebih banyak terkatup itu membentuk sifat gagah bersemangat. Dagunya dihias lekukan di tengah.

Resi Sapujagad membentak pemuda itu setelah datang dekat dan disambut pandang mata heran oleh semua orang yang sama sekali tidak mengenalnya. "Hei! Siapakah engkau! Mau apa mencampuri urusan kami?"

Pemuda itu memandang ke sekelilingnya, sinar matanya mencari-cari lalu dia berkata, suara dan nadanya lembut. "Saya datang ke sini untuk bertemu dengan pimpinan Perkumpulan Sardulo Cemeng."

"Kami pimpinan Sardulo Cemeng!" kata Ki Mundingsosro tegas.

Pemuda itu memandang kepada ketua Sardulo Cemeng itu dengan sinar mata penuh perhatian dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum."Apakah Andika bernama Ki Mundingsosro?"

Ki Mundingsosro mengerutkan alisnya dan menatap wajah pemuda itu penuh perhatian, menduga-duga apakah pemuda ini datang sebagai kawan atau lawan."Benar, aku Ki Mundingsosro".

Di luar dugaan semua orang, tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ki Mundingsosro dan menyembah. "Eyang, terimalah sembah sungkem cucunda."

"Eh-eh, siapakah andika, orang muda?"

"Eyang, saya adalah putera Ibu Retno Susilo."

Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo terbelalak. Ki Mundingsosro lalu memegang kedua pundak pemuda itu dan mengangkatnya agar berdiri, lalu mengamati wajah pemuda itu."Ahh, engkau.... engkau.... Bagus Sajiwo yang hilang itu?"

"Benar, Eyang. Saya sudah kembali ke rumah Ayah dan Ibu di gunung kawi."

"Aih, bahagia sekali kami dapat kunjungan dari cucu kami, Bagus Sajiwo. Ini adalah Paman Kakekmu, Ki Mundingloyo."

Bagus Sajiwo lalu memberi hormat pula kepada Ki Mundingloyo. Sementara itu, Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton sudah tidak sabar menyaksikan adegan pertemuan yang bahagia dari kakek dan cucunya itu.

"Hei, Ki Mundingsosro dan ki Mundingloyo, tidak ada gunanya kalian mengulur-ulur waktu dan mengalihkan perhatian untuk urusan keluarga kalian! Hayo kita selesaikan urusan di antara kita! bentak Resi Sapujagad.

Ki Mundingsosro berkata kepada cucunya. "Bagus Sajiwo, engkau masuklah dulu dan menanti dalam rumah, kami harus menghadapi dulu dua orang utusan Blambangan ini."

"Eyang, perkenankanlah saya mewakili Eyang berdua menghadapi mereka." kata Bagus Sajiwo dan dia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah maju menghampiri dua orang itu.

Sejenak dia saling berpandangan dengan dua orang utusan Blambangan itu. Bagus Sajiwo segera mengenal dua orang itu.Kurang lebih empat tahun yang lalu, dia bersama Maya Dewi pergi ke muara Sungai Lorog dan di pondok itu berkumpul banyak tokoh yang bermaksud mencari Jamur Dwipa Suddhi dan Maya Dewi memberitahu kepadanya, menyebut nama para tokoh itu satu demu satu.

Bagus Sajiwo mempunyai ingatan yang amat kuat dan tajam. Sekali diperkenalkan, dia tidak mudah lupa wajah dan nama orang. Maka begitu melihat dua orang itu, dia tahu bahwa mereka adalah Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton. Dia juga ingat bahwa dua orang itu tidak ikut mengeroyok Maya Dewi dan ketika terjadi keributan di pondok Raden Jaka Bintara Pangeran Banten di dekat muara Sungai Lorog itu.

Akan tetapi sebaliknya, dua orang utusan Blambangan itu tidak mengenal Bagus Sajiwo. Kalau mereka berdua yang sudah tua tidak mengalami perubahan jasmani mereka, sebaliknya keadaan tubuh dan wajah Bagus Sajiwo selama empat tahun ini tentu saja banyak berubah, dari remaja menjadi dewasa. Ketika mereka melihatnya bersama Maya Dewi, usia Bagus Sajiwo baru enam belas tahun dan sekarang dia sudah berusia dua puluh tahun lebih.

Setelah beberapa saat lamanya saling berpandangan, Bagus Sajiwo lalu berkata dengan suara lembut. "Andika berdua adalah pendeta, pertapa yang menjauhi urusan duniawi dan membersihkan batin di pegunungan yang sunyi, mengapa andika berdua kini datang ke sini dan saya melihat Andika berdua membuat keributan? Apakah yang Andika kehendaki sebenarnya?"

"Ha-ha-ha, bocah masih ingusan, jangan lancang! Mundurlah dan biarkan Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo menghadapi kami. Ini urusan orang tua, anak kecil tidak boleh mencampuri!"

"Saya mewakili kedua Eyang Mundingsosro dan Mundingloyo untuk menghadapi Andika berdua. Sang Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton, kalau ada urusan dengan kedua Eyang saya, bicarakan dengan saya yang menjadi wakil mereka."

Dua orang utusan Blambangan itu saling pandang dan membelalakkan kedua mata mereka. "He, bocah! Engkau telah mengenal kami? Siapakah namamu?"

"Nama saya Bagus Sajiwo. Nah, katakan, apakah yang menyebabkan Andika berdua membuat keributan di sini?"

Tiba-tiba Bhagawan Dewokaton tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha!" Suara tawanya itu mengandung getaran kuat sekali sehingga terasa dan mengejutkan semua anggota Sardulo Cemeng. kemudian, Bhagawan Dewokaton yang bertubuh gendut itu mengeluarkan perintah yang amat berwibawa, yang datang bagaikan gelombang menerpa batin Bagus Sajiwo.

"Bagus Sajiwo, Andika berhadapan dengan kami yang sepenuhnya Andika hormati! Hayo berlutut dan menyembahlah, beri hormat kepada kami seperti seorang anak yang baik!"

Ketika tertawa dan mengeluarkan ucapan ini, Bhagawan Dewokaton telah menggunakan ilmu sihir yang dia kerahkan sekuat tenaga, maka tidak mengherankan bahwa suaranya mengandung getaran wibawa yang kuat sekali. Demikian kuatnya mengaruh perintahnya itu sehingga walaupun yang diperintahnya itu Bagus Sajiwo, namun ada beberapa orang anggota Sardulo Cemeng yang tidak kuat dan otomatis mereka bertekuk lutut menyembah!

Akan tetapi Bagus Sajiwo sama sekali tidak terpengaruh. Gelombang yang menyerangnya itu seolah merupakan angin lalu saja yang lewat tanpa meninggalkan bekas.

Melihat ini, Resi Sapujagad menjadi penasaran dan dia segera membantu rekannya, mengerahkan kekuatan sihir dan dia menuding ke arah Bagus Sajiwo sambil berseru, "Bagus Sajiwo, dengar dan taati perintah Bhagawan Dewokaton tadi. Berlutut dan menyembahlah engkau kepada kami!"

Kini kedua orang kakek itu menyatukan tenaga sakti mereka dan mengerahkan kekuatan sihir untuk mempengaruhi Bagus Sajiwo karena begitu pemuda itu terpengaruh dan menaati perintah mereka, maka selanjutnya mereka akan dapat membuat pemuda itu tunduk dan taat kepada mereka berdua. Akan tetapi, biarpun kini lebih banyak lagi anggauta Sardulo Cemeng yang berlutut terpengaruh sihir mereka, bahkan kedua orang ketua Sardulo Cemeng berdiri memejamkan mata mengerahkan kekuatan batin agar tidak jatuh berlutut dan menyembah, Bagus Sajiwo tetap berdiri tegak dan tersenyum.

Semula tidak akan berbuat sesuatu dan membiarkan saja serangan ilmu sihir yang tidak mempengaruhinya itu. Akan tetapi ketika dia menoleh dan melihat banyak anggota Sardulo Cemeng berlutut menyembah, bahkan kedua orang kakeknya juga bersusah payah bertahan agar tidak terpengaruh, dia lalu memandang ke arah dua orang utusan Blambangan itu dan berkata dengan suara lembut.

"Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton, kalian berdua mempunyai kaki sendiri, mengapa menyuruh orang lain berlutut? Kalian berlututlah sendiri!"

Sungguh luar biasa. Dua orang kakek sakti itu tiba-tiba saja bertekuk lutut karena kekuatan sihir mereka seolah membalik dan memaksa mereka sendiri untuk berlutut! Akan tetapi begitu bertekuk lutut, mereka sadar akan keadaan yang berlawanan dengan yang mereka kehendaki itu dan mereka cepat mengerahkan tenaga sakti, berseru keras dan melompat berdiri.

"Aaaaghhh....!" Pada saat itu, para anggauta Sardulo Cemeng yng tadinya terkejut juga sadar dan mereka bangkit berdiri dan dengan penuh perhatian, mereka memandang ke arah Bagus Sajiwo yang menghadapi dua orang kakek sakti itu. Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo yang tadinya mengkhawatirkan keselamatan Bagus Sajiwo, kini mengerti bahwa cucu mereka ini cukup tangguh sehingga mampu melawan dan mengalahkan sihir dua orang lawannya.

Maka mereka juga kini memandang dengan kagum dan penuh harapan akan dapat tertolong oleh pemuda itu. Diam-diam Ki Mundingsosro merasa terharu dalam hatinya yang selama bertahun-tahun telah menjadi keras itu. Dia baru dua tiga kali melihat cucunya ini, itupun ketika cucunya masih kecil. Kemudian cucunya ini diculik orang dan hilang sejak berusia enam tahun. Kini, telah menjadi dewasa dan begitu muncul telah berusaha menyelamatkan dia dan perkumpulannya dari ancaman dua orang utusan Blambangan yang amat sakti itu. Dia tahu bahwa kalau tidak muncul Bagus Sajiwo, bukan mustahil sekarang dia dan Ki Mundingloyo telah tewas oleh musuh.

Dua orang pertapa itu kini maklum bahwa pemuda yang tadinya mereka pandang remeh itu ternyata mampu membuat serangan mereka membalik sehingga mengenai diri mereka sendiri! Kini mereka berdua berdiri dan memandang wajah Bagus Sajiwodengan penuh perhatian.

"Hemm, Bagus Sajiwo, sebenarnya, siapakah Andika? Bagaimana andika dapat mengenal kami?" tanya Resi Sapujagad, kini tidak berani memandang rendah."Sudah saya katakan bahwa nama saya Bagus Sajiwo dan saya cucu Eyang Mundingsosro. Saya masih ingat kepada Andika berdua karena kita pernah saling bertemu, beberapa tahun yang lalu di dekat Muara Sungai Lorog, di pondok Raden Jaka Bintara."

"Muara Sungai Lorog....?" Resi Sapujagad mengingat-ingat."Aha, aku ingat sekarang! Di pondok Raden Jaka Bintara! Benar, Kakang Resi, dia ini adalah pemuda yang datang bersama Maya Dewi itu!"

"Ohh....!" Resi Sapujagad teringat sekarang. Ketika itu, banyak tokoh sakti berdatangan dan berkumpul di Muara Sungai Lorog tepi Laut Kidul untuk mencari dan memperebutkan Jamur Dwipa Suddhi yang kabarnya muncul di tempat itu. Mereka semua mendapat undangan dari Pangeran Banten yang bernama Raden Jaka Bintara dan paman gurunya, Kyai Gagak Mudra yang mendirikan sebuah pondok di tempat itu.

Kemudian terjadi keributan dan perkelahian ketika Maya Dewi muncul dan tokoh yang mereka semua kenal sebagai Iblis Betina itu membuat kejutan besar dengan tindakannya yang membantu Ki Sumali pendekar Loano yang oleh semua tokoh dituduh sebagai seorang telik sandi Mataram.Akan tetapi ketika semua orang mengeroyok Maya Dewi yang dibantu seorang pemuda remaja yang amat sakti, mereka berdua tidak mau ikut mengeroyok. Mereka berdua mengikuti sikap Wiku Menak Jelangger yang meninggalkan pondok dan mereka bersamadhi semalam di tepi Laut Kidul, kemudian mendapatkan wangsit (bisikan gaib) bahwa Jamur Dwipa Suddhi sudah tidak ada di tempat itu, maka mereka lalu pergi meninggalkan Muara Sungai Lorog dan kembali ke tempat tinggal masing-masing.

Sekarang, tanpa disangka-sangkanya mereka bertemu dengan Bagus Sajiwo, pemuda yang dulu masih remaja namun sudah sakti mandraguna itu! Akan tetapi pemuda itu kini membela Sardulo Cemeng, berarti menentang Blambangan yang mereka bela.

"Kiranya engkau pemuda yang dulu bersama Maya Dewi membuat keributan di Muara Sungai Lorog itu, Bagus Sajiwo!" kata Resi Sapujagad.

"Sang Resi dan Sang Bhagawan, dahulu itu saya melihat Andika berdua tidak ikut mengeroyok kami sehingga saya mendapatkan kesan baik terhadap Andika berdua. Akan tetapi mengapa Andika berdua kini membuat keributan di sini?"

"Bagus sajiwo, bukan kami yang membuat keributan. Ketahuilah bahwa kami adalah utusan Sang Adipati Blambangan untuk mengajak Sardulo Cemeng membantu Kadipaten Blambangan dalam perjuangannya melawan Mataram. Akan tetapi Sardulo Cemeng menolaknya. Kami sudah mendapat kekuasaan penuh dari sang adipati Blambangan untuk menindak Sardulo Cemeng yang menolak perintah itu."

"Sang Resi Sapujagad, Kanjeng Eyang bukanlah kawula Blambangan sudah jamak kalau dia menolak ajakan Kadipaten Blambangan itu."

"Akan tetapi hampir semua anggauta Sardulo Cemeng adalah kawula Blambangan sehingga kalau mereka tidak mau membela Blambangan dan membela Mataram merupakan pengkhianatan yang patut dihukum."

Bagus Sajiwo menoleh dan memandang Ki Mundingsosro. "Eyang, saya sudah mendengar dari Kanjeng Ibu bahwa kebanyakan anggota Sardulo Cemeng adalah kawula Blambangan. Kini ada panggilan dari Kadipaten Blambangan kepada para kawulanya, bagaimana pendapat Eyang tentang hal ini?"

"Bagus sajiwo, aku dan Paman Kakekmu Ki Mundingloyo tidak pernah memaksakan kehendak kami sendiri. Kami menyerahkan kepada para anggota yang menjadi kawula Blambangan untuk mengambil keputusan. Kalau mereka hendak membela Blambangan, kami sama sekali tidak melarangnya."

"Nah, Andika berdua sudah mendengar sendiri jawaban Eyang. Sekarang biar kita tanyakan saja kepada para anggauta Sardulo cemeng. Siapa di antara kalian yang ingin membela Blambangan dan menaati perintah Sang Adipati Blambangan, silakan angkat tangan!"

Mereka semua menunggu dan melihat, akan tetapi tidak ada seorang pun yang mengangkat tangannya ke atas!

"Sekarang harap Andika semua menjawab dengan jujur, hanya dengan kata ya atau tidak. Bersediakah Andika sekalian menaati perintah Sang Adipati Blambangan untuk membantu Blambangan menentang Mataram?"

Kini serentak terdengar jawaban dari mulut orang-orang yang mukanya penuh coreng-moreng itu. "Tidaaakkk....!!"

Bagus Sajiwo tersenyum memandang kepada dua orang pertapa itu. "Nah, Sang Resi dan Sang Bhagawan, Andika berdua sudah mendengar sendiri. Mereka semua tidak mau menerima permintaan atau anjuran Kadipaten Blambangan, mengapa Andika berdua hendak menggunakan paksaan?"

"Heh-heh, tentu saja karena mereka semua itu sudah makan hasutan kedua orang ketuanya!" kata Bhagawan Dewokaton sambil menyeringai.

"Tidak mungkin, Sang Bhagawan Dewokaton. Mereka bukanlah penjahat yang mudah dihasut. Mereka adalah orang-orang gagah yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Kalau kini mereka menolak ajakan Blambangan, tentu mereka melihat bahwa Blambangan berada dipihak yang tidak benar. Saya mendengar tadi bahwa Blambangan hendak menentang Mataram. Jelas bahwa hal ini tidaklah benar karena Mataram dan Blambangan masih sebangsa, senusantara. Musuh kita bersama adalah Kumpeni Belanda. Saya akan mencoba bertanya kepada mereka."

"Hei, Saudara-saudara anggota Sardula Cemeng, jawablah sejujurnya. Kalau Andika sekalian diajak untuk menentang Kumpeni Belanda, apakah kalian siap?"

Jawabannya juga riuh dan lantang. "Siap ....!!"

Bagus Sajiwo kini berkata dengan suara tegas, "Andika berdua sudah melihat dan mendengar semua. Sekarang, sebagai wakil Sardulo Cemeng saya minta kepada Andika berdua untuk meninggalkan kami dan menghentikan percobaan memaksa kami."

"Babo-babo, Bagus Sajiwo! seperti kami katakan tadi, kami adalah utusan Sang Adipati Santa Guna Alit di Blambangan dan kami telah diberi kekuasaan dan semua purbawisesa (keputusan tindakan) berada ditangan kami. Kami tidak akan mendahului keputusan Sang Adipati Blambangan. Oleh karena itu, kami terpaksa harus membawa dua orang ketua Sardulo Cemeng menghadap Sang Adipati yang akan memberi keputusan terakhir."

"Eyang Mudingsosro dan Eyang Mundingloyo, bersediakah Eyang berdua diajak kedua orang utusan Blambangan ini untuk pergi menghadap Sang Adipati di Blambangan?" Bagus Sajiwo menoleh kepada dua orang tua yang berdiri di belakangnya.

"Tidak! Kami tidak ada kesalahan apapun, dan kami bukan kawula Blambangan yang harus patuh kepada perintah Adipati Blambangan!" kata Ki Mundingsosro dengan tegas.

"Nah, Sang Resi dan Sang Bhagawan, Andika berdua sudah mendengar sendiri bahwa kedua Eyang saya tidak mau Andika ajak ke Blambangan."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)