PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-03


“Bagus! Kini engkau telah memiliki tenaga sakti yang kiranya takkan kalah dibandingkan tenaga Jaladara. Nah, sekarang marilah kita sarapan dulu, Sutejo.”

Ternyata Pungguk sudah menyediakan bakar jagung dan air teh di depan mereka. Sutejo tidak malu-malu lagi, lalu bersama Eyang Gurunya dia makan jagung bakar dan minum air teh sehingga terasa kenyang perutnya.

Begitu selesai bersantap Resi Limut Manik bertanya kepada Sutejo sambil menatap wajah pemuda itu. “Sekarang ke mana engkau akan mencari Jaladara dan apa yang akan kau lakukan terhadap dirinya kalau engkau sudah berjumpa dengannya, Sutejo?”

“Karena agaknya Paman Guru Jaladara menjadi utusan kabupaten Wirosobo, saya akan mencarinya ke sana, Eyang Guru. Kalau sudah berjumpa dengan dia, secara baik-baik saya akan minta pecut pusaka itu darinya untuk dikembalikan kepada Eyang Resi. Kalau dia tidak memperbolehkan, baru saya akan mencoba merampasnya dengan kekerasan.”

“Engkau akan membunuhnya?”

“Dijauhkan Sang Hyang Widhi saya dari keinginan itu, Eyang Resi. Saya takkan bertindak sekejam itu. Saya hanya akan merampas Pecut Sakti Bajrakirana, tidak ingin membunuh siapa pun.”

“Kemudian, pecut pusaka itu akan kau bawa ke mana?”

“Setelah berhasil saya akan langsung kembali ke sini dan menyerahkan kembali pusaka itu kepada Eyang Resi.”

Kakek itu tertawa sambil mengelus jenggotnya.

“Jagad Dewa Bathara! Senang hatiku memiliki cucu murid seperti engkau, Sutejo. Dengar baik-baik. Kini Mataram sedang terancam bahaya, terkepung oleh banyak musuh yang tadinya menjadi bawahan tetapi sekarang memberontak. Oleh karena itu, kalau engkau sudah berhasil merampas Pecut Sakti Bajrakirana, jangan kembalikan kepadaku. Pecut itu kuserahkan kepadamu dan boleh engkau pergunakan untuk membela Mataram. Akan tetapi hati-hati sebab ada pantangannya, yaitu bahwa Pecut Sakti Bajrakirana sama sekali tidak boleh untuk membunuh orang. Mengertikah engkau, Sutejo?”

Di dalam hatinya, pemuda ini merasa girang bukan kepalang. “Tentu saja saya mengerti Eyang Guru, dan saya akan menaati semua perintah Eyang. Sekarang bolehkah saya mengundurkan diri untuk melanjutkan perjalanan mencari Paman Guru Jaladara?”

“Baiklah. Engkau pergilah ke Wirosobo, mengambil jalan dari barat untuk memasuki kota kabupaten itu. Jangan mengambil jalan lainnya karena di sanalah engkau akan bertemu dengan paman gurumu yang sesat itu.”

“Sendika dawuh, Eyang Guru.” Sutejo menyembah dengan hormat, kemudian berangkat meninggalkan tempat itu.

Dia merasa betapa kedua kakinya amat ringan, dan ketika dia mempercepat langkahnya berlari, tubuhnya seperti terbang saja saking lajunya. Tentu saja Sutejo menjadi kaget dan juga girang.

Dia memang sudah mempelajari ilmu berlari cepat dari Bhagawan Sidik Paningal, yaitu aji Harina Legawa (Kecepatan Kijang) sehingga dia dapat berlari secepat kijang. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan sekarang ini, dia sudah memperoleh kemajuan pesat karena sekarang dia merasa tidak lagi berlari, melainkan seperti terbang! Tahulah bahwa semua ini tentu akibat dari tenaga sakti yang didapatnya dari Eyang gurunya.

“Terima kasih, Eyang Resi!” teriaknya gembira dan dia pun berlari semakin cepat hingga kedua telinganya mendengar suara angin menderu di kanan kirinya.

Sutejo melakukan perjalanan cepat dan pada suatu sore sampailah dia di luar kabupaten Wirosobo (Mojoagung). Jalanan itu sunyi sekali, tidak tampak seorang pun manusia lain. Sutejo melangkah cepat dengan maksud untuk memasuki kabupaten Wirosobo sebelum gelap.

Tetapi tiba-tiba dia melihat dua orang menunggang kuda. Kuda mereka berjalan perlahan menuju ke selatan dan seorang di antara mereka memboncengkan seorang wanita yang dipangkunya di punggung kuda. Sebetulnya hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan dia dan merupakan hal yang lumrah saja. Akan tetapi dia mendengar isak tangis wanita itu! Tentu saja ini menarik perhatiannya maka dia pun memandang lebih seksama.

Dua orang penunggang kuda itu bertubuh tinggi besar. Orang yang pertama brewokan dan matanya sebesar telor ayam, tampak bengis dan kejam sekali, usianya sekitar empat puluh tahun. Orang kedua juga tinggi besar wajahnya tidak berkumis atau berjenggot, akan tetapi mukanya kehitaman bekas cacar sehingga muka itu tampak tak kalah bengis dan menyeramkan dibandingkan dengan sibrewok. Juga orang kedua ini berusia kurang lebih empat puluh tahun. Orang kedua inilah yang memangku wanita itu.

Sutejo memperhatikan wanita itu. Usianya kurang lebih dua puluh lima tahun, wajahnya cantik manis dan tubuhnya denok menggairahkan. Wanita ini terus meronta-ronta dalam pangkuan lelaki itu, menangis terisak-isak dan mengeluarkan kata-kata yang mengandung ketakutan.

“Lepaskan aku... Jangan bawa aku pergi... Ahh, kasihanilah aku, lepaskan aku...!”

Sedikit ucapan ini sudah cukup bagi Sutejo untuk bertindak. Jelas bahwa lelaki itu hendak memaksakan kehendaknya atas diri wanita yang dipangkunya! Mungkin wanita itu diculik dan dipaksa diajak pergi olehnya. Maka sekali melompat dia sudah tiba di depan dua ekor kuda itu dan memegang kendali kuda yang ditunggangi oleh pria dan wanita itu.

“Tahan dulu...!” bentak Sutejo.

Kuda itu terkejut dan mengangkat kedua kaki depannya. Karena gerakan ini, wanita yang tadinya dipangku pria bermuka hitam itu terlepas dari rangkulan lalu terbanting jatuh. Akan tetapi dengan sigapnya Sutejo cepat menyambar tubuh wanita itu dengan dua tangannya sehingga tubuh wanita itu tidak sempat terbanting.

Melihat ada orang yang mau menolongnya, wanita itu segera merangkul pinggang Sutejo dan berkata penuh permohonan, “Ki sanak, tolonglah aku... Aku diculik oleh mereka...”

“Mundurlah mbakyu, biar aku yang menghadapi mereka,” kata Sutejo sambil mendorong perlahan wanita itu agar jangan merangkul pinggangnya.

Dua orang laki-laki tinggi besar itu menjadi marah sekali, terutama yang tadi memangku wanita itu. Mereka berlompatan turun dari atas kuda dan laki-laki yang bermuka hitam itu memandang kepada wanita itu lalu menghardik, “Kesinilah engkau, Sarminten!”

Namun wanita yang bernama Sarminten itu menggeleng kepalanya dan sambil menangis dia berkata, “Tidak... Aku tidak mau...”

“Ki sanak sungguh memalukan kalau dua orang laki-laki gagah seperti andika berdua ini hendak memaksa seorang wanita. Bersikaplah gagah dan bebaskan wanita yang tidak mau ikut dengan kalian ini.”

“Bocah setan! Apa engkau sudah bosan hidup? Perempuan itu adalah isteriku! Engkau berani menghalangi aku membawa isteriku sendiri?”

Sutejo tertegun juga mendengar ini. Isterinya? Dia cepat menoleh kepada wanita itu yang menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata tegas,

“Bukan, Aku bukan isterinya. Mereka memaksa aku pergi setelah merobohkan suamiku!”

Sutejo lebih percaya kepada wanita itu dan dia pun kembali memandang kepada si muka hitam. “Sobat, sudahlah. Jangan memaksakan kehendakmu yang tidak waras itu kepada seorang wanita. Tinggalkan dia pergi dengan aman.”

Si brewok sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi, “Heh, siapakah engkau berani mencampuri urusan kami? Apakah engkau belum pernah mendengar nama besar Klabang Lorek dan Klabang Belang? Kamilah Sepasang Kelabang itu dan jika engkau tidak cepat pergi dari sini, kami akan mencabik-cabik tubuhmu dan membiarkan mayatmu dimakan burung gagak di sini!”

Sutejo tersenyum. “Apa lagi kalau andika berdua sudah mempunyai nama sebagai orang-orang gagah, tidak semestinya menculik seorang wanita dari suaminya. Aku peringatkan kalian, lebih baik kalian yang cepat pergi dari sini sebelum terlambat.”

“Apa?!” seru si muka hitam. “Terlambat bagaimana?”

“Sebelum aku menghajar kalian berdua!” kata Sutejo.

Terdengar gerengan yang keluar dari mulut si brewok dan dia langsung menerjang seperti seekor harimau kelaparan yang menubruk seekor domba. Dua tangannya dipentang dan hendak mencekik leher Sutejo. Jari-jari tangan itu mengeluarkan bunyi berkerotokan dan otot-otot seperti kawat menonjol pada kedua tangannya.

Dengan tenang Sutejo menghadapi serangan ini. Serangan tubrukan dengan dua tangan hendak mencekik lehernya. Dia membuat gerakan mengelak ke kiri sambil memiringkan tubuhnya dan ketika tangan kanan lawan menyambar, dia mengetuk ke arah siku kanan lawan itu.

“Dukk!”

“Aduhh...!” Klabang Lorek, si brewok itu mengaduh dan memegangi lengan kanan yang seketika terasa lumpuh, tetapi hanya sebentar karena lengan itu dapat bergerak kembali dan sekali dia meraba ke belakang tubuhnya, dia sudah mengeluarkan sebatang klewang (golok) yang tampak berkilauan terkena sinar matahari senja. Dia memutar goloknya dan berseru, “Sekarang engkau mampus!”

“Suuttt...! Singgg...!”

Golok lewat dekat leher Sutejo yang mengelak, kemudian sambil memutar tubuh, kakinya mencuat mengenai pergelangan tangan yang memegang golok.

“Adduuhhh...!” Untuk kedua kalinya si brewok mengaduh dan sekali ini goloknya terlepas dari tangan dan terlempar jauh.

Pada saat itu si muka hitam sudah maju mengayun goloknya untuk membantu temannya mengeroyok Sutejo. Akan tetapi kedua orang kasar ini sama sekali bukan lawan Sutejo. Dengan mudah ia menghindar dari serangan si muka hitam dan kembali kakinya mencuat dalam sebuah tendangan memutar, tepat mengenai perut si muka hitam hingga tubuhnya yang tinggi besar terjengkang.

Dua orang jagoan itu hampir tidak percaya akan apa yang mereka alami. Mereka, dua jagoan yang ditakuti di daerah Wirosobo, sekarang roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan seorang pemuda yang bertangan kosong! Mereka benar-benar tak percaya dan dengan kemarahan meluap-luap keduanya bangkit lagi lalu menyerang dengan membabi buta, membacokkan golok mereka dengan kalap.

Sutejo tetap tenang. Dia mempergunakan keringanan tubuhnya yang sudah maju pesat itu untuk menyelinap di antara sinar golok dan pada suatu saat yang baik dia mendapat kesempatan mengayun kedua tangannya dengan berbareng, tepat mengenai kedua orang penggeroyoknya.

“Plak! Plak!”

Dua orang tinggi besar itu terjungkal roboh dan sekali ini sampai agak lama tidak mampu berdiri karena ketika mereka membuka mata, bumi seakan-akan berputar dan membuat mereka pusing. Setelah pusingnya mereda, mereka kini harus mengakui bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu kesaktian.

Mereka cepat merangkak bangun kemudian meninggalkan tempat itu, menghampiri kuda mereka. Akan tetapi setelah mereka melompat ke atas punggung kuda. Klabang Belang yang bermuka hitam itu berseru,

“Hem, orang muda. Kalau engkau memang ksatria, tinggalkan namamu!”

“Aku bukan ksatria, hanya orang biasa dan namaku Sutejo.”

Dua orang itu lalu membalikkan kuda mereka dan cepat meninggalkan tempat itu. Sutejo berdiri dan melihat ke arah mereka sambil menghela napas panjang.

Tiba-tiba ada dua lengan yang lunak dan lembut seperti dua ekor ular mengalungi lehernya dari samping. Sutejo terkejut dan ketika dia menengok, dia melihat wajah yang cantik dan manis itu sudah begitu dekat dengan wajahnya. Dia sudah dapat mencium bau sedap dari rambut wanita itu yang memandang kepadanya dengan sepasang mata yang sayu.

“Kakangmas... beribu terima kasih kuhaturkan kepadamu yang telah menyelamatkan aku dari dua orang jahat tadi.” Wajahnya itu disusupkan ke atas dadanya.

Bagai dipagut ular berbisa Sutejo segera melangkah mundur dan melepaskan rangkulan kedua lengan pada lehernya itu, “Apa... apa yang kau lakukan ini?” tanyanya gagap dan memandang kepada wanita itu dengan sepasang mata terbelalak, heran, kaget dan juga ngeri. Selamanya belum pernah dia berdekatan dengan wanita, dan wanita ini tadi sudah merangkulnya, membelainya bahkan hampir menciumnya!

Sarminten melangkah maju hendak merangkul Sutejo lagi. “Kakangmas, sesudah andika menyelamatkan aku, maka aku akan memasrahkan jiwa ragaku kepadamu.”

Sutejo kembali melangkah mundur. “Mbakyu, jangan begitu. Aku tidak menghendaki itu. Bukankah engkau telah bersuami? Bukankah katanya suamimu dipukul roboh oleh kedua orang itu kemudian engkau diculik?”

“Huh, suami macam apa itu! Dia tidak bisa melindungi isterinya. Tidak, mulai saat ini aku akan ikut bersamamu, kakangmas Sutejo! Indah dan gagah namamu, Sutejo. Aku akan ikut denganmu, biar aku yang mencarikan nafkah. Ketahuilah, aku adalah ledek (penari/ pesinden) yang kenamaan di Wirosobo. Kalau engkau mau menerimaku, engkau boleh tinggal enak-enak di rumah dan aku yang mencarikan uang. Terimalah, wong bagus, dan engkau akan hidup senang bersamaku.” Kembali wanita itu mendekati.

Sutejo habis kesabarannya. “Diam!” bentaknya. “Sungguh tidak pantas engkau berkata dan bersikap seperti ini, mbakyu Sarminten. Seorang isteri harus setia kepada suaminya. Bukan salah suamimu kalau dia tidak dapat melindungimu dari kedua orang jagoan tadi. Sekarang, kembalilah kepada suamimu. Aku tidak... sudi berdekatan denganmu!” Kalimat terakhir itu diucapkan dengan muak dan marah.

Pada saat itu, dalam keremangan senja muncul seorang laki-laki. Usianya tentu hampir empat puluh tahun, mukanya bengkak bekas pukulan, pakaiannya awut-awutan.

“Sarminten...! Sarminten isteriku, engkau di sini? Engkau selamat dari dua orang jagoan itu?” Kiranya dia adalah Karyo, suami Sarminten. Karyo adalah seorang penabuh gamelan dan dia menjadi suami Sarminten yang ledek terkenal dari Wirosono itu.

Tiba-tiba Sarminten mengubah sikapnya. Ia lari menghampiri suaminya dan jatuh dalam rangkulan Karyo. Ia menangis terisak-isak. “Aku dilarikan dua orang jahat itu dan... dan diperebutkan dengan orang ini. Dua orang jahat itu melarikan diri, akan tetapi orang ini tidak kalah jahatnya. Dia hendak memperkosa aku, kakang...!”

Karyo memandang marah dan merasa heran bahwa yang akan memperkosa isterinya itu seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah!

“Hei, ki sanak. Andika seorang yang masih muda dan gagah perkasa, mengapa hendak melakukan perbuatan yang tidak tahu malu itu, hendak memperkosa isteriku?”

Dapat dibayangkan betapa jengkelnya hati Sutejo. Wanita itu seperti ular berkepala dua, menggigit sana sini dengan bisanya yang berbahaya.

“Sudahlah, urus saja binimu yang liar ini. Aku tidak sudi berurusan dengan kalian berdua!” katanya dan dia pun melompat pergi, tidak jadi masuk ke dalam kabupaten Wirosobo.

Untuk apa malam-malam begini memasuki kabupaten itu? Ke mana dia hendak mencari Bhagawan Jaladara? Dia lalu ke selatan dan setelah menemukan sebuah gubuk di tengah sawah yang kosong, dia lalu masuk ke gubuk dan merebahkan dirinya terlentang.

Langit mulai gelap dan ribuan bintang gemerlapan. Dia termenung. Mengapa ada wanita yang demikian jahat dan palsunya? Apakah semua wanita demikian? Dia bergidik ngeri! Mempunyai seorang isteri seperti itu sama artinya dengan hidup bersama iblis betina yang berbahaya.

Dia menenangkan batinnya yang bergelora penuh amarah. Kalau tahu akan menemukan wanita seperti itu, lebih baik dia tidak menolong dan biar wanita itu dibawa Klabang Lorek dan Klabang Belang. Dua orang lelaki itu lebih pantas berteman wanita seperti Sarminten itu. Dan suaminya yang lemah itu tentu hanya menjadi boneka bagi Sarminten. Diam-diam dia merasa iba juga kepada suami wanita itu.

Pada keesokan harinya, mendengar bunyi kokok ayam jantan yang datang dari kabupaten Wirosobo, Sutejo terbangun dari tidurnya. Dia mencari air jernih dan mendapatkan sebuah anak sungai tidak jauh dari situ. Airnya jernih sekali dan karena tempat itu masih pagi dan sunyi sekali, Sutejo lalu menanggalkan semua pakaiannya karena dia ingin sekali mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan banyak batu-batunya itu.

Dia meletakkan pakaiannya menumpuk di atas sebuah batu dan segera masuk ke dalam air. Airnya sejuk bukan main, ketika dia menyelam dan kepalanya tenggelam di air, rasa sejuk seakan-akan masuk ke dalam kepalanya dan ke dalam seluruh tubuhnya. Sungguh segar dan sejuk!

Akan tetapi ketika dia muncul kembali ke permukaan air, di dekat pakaiannya itu di atas batu besar sudah duduk seorang pemuda remaja. Tampaknya seperti pemuda dusun bila dilihat dari pakaiannya yang sederhana dan longgar.

Pakaian itu terlampau besar untuk pemuda itu sehingga dia tampak lucu dan kedodoran. Rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan kain hitam. Walau pun pakaian pemuda remaja itu kedodoran dan sederhana sekali, namun Sutejo harus mengakui bahwa belum pernah dia melihat seorang pemuda yang setampan itu!

Sebagian mukanya memang kotor terkena debu, akan tetapi demikian halus. Rambutnya panjang hitam sekali sehingga meski pun digelung ke atas masih ada sisa ujung rambut yang terjuntai ke bawah. Dahinya halus dan alisnya hitam kecil. Dan sepasang matanya, seperti bintang kejora kembar, bersinar-sinar penuh gairah hidup!

Hidungnya kecil mancung dan lucu, ujungnya agak terangkat ke atas, dan mulutnya itu, mulut yang manis sekali dengan senyum mengejek tersungging di bibirnya. Dari mata dan bibir ini saja sudah diketahui bahwa dia seorang pemuda remaja yang nakal, lincah dan jenaka.

“Hei, adik yang baik. Mari temani aku mandi di sini! Airnya sejuk dan segar sekali. Marlah turun!” Ajak Sutejo yang merasa suka melihat pemuda remaja itu.

Akan tetapi pemuda remaja itu menggelengkan kepalanya. “Mandi bersamamu? Tak tahu malu! Sungguh engkau seorang yang tidak tahu malu, mandi telanjang di tempat umum!”

“Ini bukan tempat umum, dan tempat ini sepi, tidak ada orang lain!”

“Kau pikir aku ini bukan orang?!”

“Akan tetapi engkau juga seorang pria dan apa salahnya dua orang pria mandi telanjang bersama?”

“Tidak, aku tidak sudi. Tadi aku sudah mandi tadi. Lihat, sekarang pun rambutku masih basah.” Dia memperlihatkan ujung rambutnya yang memang masih basah.

“Wah agaknya kalau mandi engkau tidak membersihkan mukamu. Itu masih ada debu menempel. Hayo mandi lagi yang bersih bersamaku.”

“Aku tidak sudi!” Pemuda remaja itu melompat dari atas batu besar lalu melarikan diri.

“Heii...! Jangan bawa pakaianku! Tunggu, jangan bawa pakaianku! Bagaimana aku dapat keluar dari sini kalau engkau membawa pergi pakaianku!”

Akan tetapi walau pun Sutejo berteriak-teriak, pemuda remaja yang nakal itu tidak mau berhenti berlari.

“Celaka! Sialan anak itu!” Sutejo menjadi bingung dan marah. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Pakaiannya sudah dibawa anak itu, juga buntalan bekal pakaian!

Dia melihat ada beberapa batang pohon pisang tumbuh di dekat sungai. Wajahnya berseri gembira dan cepat dia keluar dari air dalam keadaan telanjang bulat. Dia lalu mengambil beberapa helai daun pisang yang lebar, menutupkan ke bawah perut dan diikat dengan tali dari kulit batang pisang. Setelah rapat benar, barulah dia berlari mengejar.

Dia sempat melihat bayangan pemuda itu berlari di sebelah depan. Sutejo mengerahkan tenaganya untuk berlari lebih cepat lagi, akan tetapi tiba-tiba saja pemuda itu lenyap dan buntalan pakaiannya tersangkut di dahan sebatang pohon!

Sutejo berhenti mengejar dan mengambil buntalannya. Anak sialan, pikirnya. Dia merasa seolah ada mata yang mengintainya, maka dia cepat membawa buntalan pakaiannya ke balik semak belukar dan di sana, tertutup oleh semak-semak ia mengenakan pakaiannya.

Setelah selesai berpakaian, sambil menggendong buntalan pakaiannya Sutejo keluar dari balik semak belukar dan memandang ke kanan kiri. Dia hendak mencari bocah itu untuk diberi hajaran. Bocah kurang ajar itu memerlukan penanganan yang keras. Usianya paling banyak baru lima belas tahun akan tetapi dia sudah nakal sekali, suka menggoda orang. Bayangkan saja kalau banyak orang melihat dia berpakaian daun pisang tadi! Akan tetapi sekelilingnya sunyi saja. Agaknya pemuda remaja tadi sudah ketakutan dan melarikan diri.

Sutejo melanjutkan langkah kakinya menuju Kabupaten Wirosobo. Baru beberapa langkah dia berjalan, dia melihat seorang laki-laki datang dari depan. Jantungnya berdegup penuh ketegangan ketika dia mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah Bhagawan Jaladara sendiri!

Ahh, betapa kebetulan sekali. Kalau saja dia tidak bertemu dengan Sarminten kemudian berkelahi dengan Klabang Lorek dan Klabang Belang, juga andai kata pakaiannya tidak dilarikan pemuda remaja tadi, tentu dia tidak akan bertemu dengan Bhagawan Jaladara! Sepatutnya dia berterima kasih kepada pemuda remaja itu!

Begitu melihat paman gurunya itu, ia teringat bahwa waktu yang sebulan itu sudah tinggal beberapa hari lagi dan agaknya paman gurunya itu hendak pergi ke puncak Kawi untuk mencari gurunya dan menekannya dengan ancaman akan membunuhnya kalau sampai hari itu gurunya tetap tidak mau membantu kabupaten Wirosobo. Teringat akan hal ini, panas hatinya dan dia segera melompat lalu menghadang di jalan yang masih sunyi itu.

Agaknya Sang Bhagawan Jaladara berjalan sambil termenung, sebab itu dia agak terkejut ketika tiba-tiba muncul Sutejo di depannya. Akan tetapi dia segera tersenyum mengejek ketika dia mengenal siapa orangnya yang menghadang perjalanannya.

“Bukankah andika ini Sutejo, murid Kakang Sidik Paningal?” tanyanya sambil mengamati pemuda itu dari kepala sampai ke kakinya.

“Benar, paman Guru Jaladara. Saya adalah Sutejo dan saya mengucapkan salam kepada Paman Guru.”

“Ha-ha, baik juga sikapmu. Sekarang katakan apa maksudmu menghadang perjalananku? Apakah engkau diutus gurumu untuk memberi-tahu kepadaku bahwa dia telah mengambil keputusan untuk menaati pesanku?”

“Sama sekali tidak, paman. Bagaimana pun juga Bapa Guru adalah murid Eyang Resi Limut Manik yang taat, karena itu Bapa Guru tidak sudi membantu Kabupaten Wirosobo yang memberontak kepada Mataram.”

“Babo-babo! Kalau begitu gurumu itu pasti akan mati ditanganku!”

“Nanti dulu, paman. Akulah yang akan menghalangi paman datang ke Kawi. Ketahuilah bahwa aku Sutejo, diutus oleh Eyang Limut Manik untuk mengambil kembali Pecut Sakti Bajrakirana yang telah paman curi dari kamar Eyang Guru Resi. Oleh karena itu, paman, sebelum aku terpaksa melawan paman, serahkanlah Pecut Sakti Bajrakirana itu padaku.”

“Apa?! Engkau hendak mengambil pecut sakti dari tanganku? Sutejo, engkau anak kecil, jangan ikut campur. Pecut ini akan kukembalikan sendiri kepada Bapa Guru Resi Limut Manik setelah tugasku selesai membujuk Kakang Sidik Paningal. Sekarang pergilah dan jangan ganggu aku, Sutejo!”

“Tidak, Paman. Sebelum Pecut Sakti Bajrakirana paman serahkan kepadaku, aku tidak akan pergi dari depan paman.”

“Apa? Engkau anak kemarin sore yang ubun-ubunnya masih bau kencur ini berani menantangku?”

“Apa boleh buat, paman. Berat mengemban dawuh Eyang Resi kalau paman tidak mau mengembalikan Pecut pusaka itu, tentu aku akan menantang paman dan merampasnya dengan kekerasan!”

“Babo-babo! Apa yang kau andalkan maka berani melawan paman gurumu sendiri?”

“Andalanku adalah kebenaran dan restu dari Eyang Resi Limut Manik!”

“Hmm, kalau begitu akan kuhabisi nyawamu di sini juga!” kata Bhagawan Jaladara sambil memutar tongkat hitamnya.

Sutejo sudah maklum akan kedahsyatan senjata tongkat hitam itu, maka dia pun segera meloloskan ikat kepalanya yang berwarna biru, lalu memasng kuda-kuda ilmu silat Sinung Nila. Tangan kanan memegang ujung ikat kepala, tangan yang lain memegang ujung yang lain, tubuhnya merendah dengan kedua lutut ditekuk ke depan dan belakang, matanya tajam memandang gerakan lawan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)