PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-04




“Makanlah senjataku ini!” Bhagawan Jaladara sudah menyerang dengan tongkatnya.

Serangannya dahsyat bukan main, mendatangkan angin pukulan yang menyambar kuat. Namun Sutejo sudah siap siaga. Dia menggunakan kecepatan dan keringanan tubuhnya untuk mengelak dan dari bawah, ujung ikat kepalanya menyambar ke arah dada lawan. Biar pun hanya ikat kepala, akan tetapi karena sudah dialiri tenaga sakti, kain itu menjadi kaku dan kuat seperti sebatang tombak!

Bhagawan Jaladara juga maklum bahwa Sutejo adalah murid kakak seperguruannya yang berbakat dan tangguh, maka dia pun mengelak sambil memutar tongkatnya yang kini menyambar dari atas ke arah ubun-ubun kepala Sutejo! Serangan ini juga dahsyat sekali dan kalau ubun-ubun kepala itu terkena hantaman tongkat, tentu kepala itu akan pecah berserakan. Batu karang saja tidak akan kuat menerima hantaman tongkat ini, apa lagi kepala manusia.

Sutejo kembali mengelak. Dia melihat suatu keuntungan, yaitu bahwa dia dapat bergerak lebih cepat dan gesit dibandingkan paman gurunya. Maka dia mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk mengelak sambil berloncatan ke sana sini, menyelinap di antara sinar tongkat dan bila ada lowongan terbuka dia balas menyerang dengan ujung ikat kepalanya!

Pertandingan itu berjalan seru sekali tanpa ada yang menyaksikan. Namun tanpa setahu kedua orang itu, sesungguhnya ada sepasang mata tajam yang menonton pertandingan antara mereka, seorang yang bersembunyi di balik semak belukar menonton pertandingan itu dan matanya bersinar-sinar penuh perhatian dan ketegangan.

Memang pertandingan antara Bhagawan Jaladara melawan murid keponakannya itu berlangsung dengan sengit dan seru sekalii. Bhagawan Jaladara merasa amat penasaran karena sampai puluhan bahkan hampir seratus jurus belum juga dia mampu mengalahkan murid keponakannya. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaga pada tongkatnya, namun Sutejo lebih banyak mengelak dan jika sekali waktu dia menangkis dengan ikat kepalanya, maka ikat kepala itu mampu menandingi tenaga yang tersalur lewat tongkat!

Dan Bhagawan Jaladara juga diam-diam mengakui bahwa dalam hal kegesitan, dia telah kalah banyak! Dia tidak tahu bahwa pemuda itu telah memperoleh tenaga sakti dari eyang gurunya! Dan dia juga tidak mengira bahwa pemuda itu telah melatih diri dengan Aji Gelap Musti dan juga Patala Bajra!

Bagaimana pun juga, jika dua orang jagoan bertemu, maka faktor usia memegang peran penting dan cukup menentukan. Bhagawan Jaladara yang telah berusia enam puluh tahun itu mana dapat dibandingkan dengan Sutejo yang baru berusia dua puluh dua tahun! Tentu saja dia kalah dalam hal tenaga, kecepatan dan terutama pengaturan pernapasan. Sesudah lewat seratus jurus, tubuhnya sudah mandi keringat dan dari kepalanya sudah mengepul uap putih, napasnya mulai memburu sedangkan Sutejo masih segar bugar!

Sang Bhagawan Jaladara merasa penasaran dan marah sekali. Dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya dan menghatamkan tongkatnya ke arah kepala Sutejo. Melihat serangan yang nekat ini, Sutejo melompat ke samping dan ketika tongkat itu lewat, dia cepat-cepat menggerakkan ikat kepalanya menjadi lemas dan ujung ikat kepala itu melibat tongkat, dibarengi dengan pukulan tangan kirinya ke arah lengan kanan lawan.

“Dukkk...!” Ketika dia menarik, tongkatnya itu telah terlempar jauh sekali!

Bhagawan Jaladara yang telah kehilangan tongkatnya, menggereng marah seperti seekor harimau terluka, lalu tangan kanannya bergerak ke pinggang dan dia sudah melolos Pecut Sakti Bajrakirana dari pinggangnya.

“Tar-tar-tar...!” Dia memutar pecut itu di atas kepalanya sehingga pecut itu meledak-ledak dengan nyaring.

Sutejo terkejut karena jantungnya tergetar oleh suara pecut yang meledak-ledak. Akan tetapi ketika ujung pecut menyambar, dengan gesitnya dia mengelak. Gerakannya cepat sekali, bagaikan seekor burung walet keluar dari goa. Sia-sia belaka Bhagawan Jaladara menghujamkan pecutnya ke arah bayangan yang berkelebatan itu.

Sampai tiga puluh jurus Bhagawan Jaladara mengejar Sutejo dengan ayunan cambuknya, dan sekali-kali pemuda itu dapat membalas dengan sambaran ikat kepalanya yang tidak kalah dahsyatnya.

Karena merasa penasaran Bhagawan Jaladara lalu mengeluarkan Aji Gelap Musti! Ketika pecutnya menyambar dan dapat dielakkan oleh Sutejo ke kiri, tangan kirinya yang sudah siap dengan saluran tenaga Gelap Musti, tiba-tiba menampar dengan sambaran dahsyat!

Sutejo mengenal Aji pukulan ini maka dia pun menggerakkan tangan kirinya dengan aji yang sama dan menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya ke lengan kiri.

“Wuuutttt...! Desssss...!”

Dua tenaga raksasa bertemu di udara seolah kilat menyambar dan akibatnya tubuh Sang Bhagawan Jaladara terpelanting keras. Mendapat kesempatan ini, Sutejo menggerakkan ikat kepalanya, menjadi kaku dan menotok ke arah pergelangan tangan kanan lawannya.

“Tukk...!”

Tangan itu tergetar dan pecut yang dipegangnya terlepas. Bagaikan seekor burung sikatan Sutejo menyambar dan di lain saat pecut itu telah berada di tangan kirinya!

Bhagawan Jaladara berdiri dengan muka pucat pasi memandang pemuda itu. Mulutnya menyeringai seperti orang menangis dan dia membentak, “Kembalikan pecut itu!”

“Tidak, Paman Guru. Pecut ini harus kembali ke tangan Eyang Guru!” kata Sutejo dengan suara tegas.

“Keparat kau...!” Dengan nekat Bhagawan Jaladara lalu menyerang Sutejo dengan tangan kosong. Tubrukannya adalah tubrukan seorang yang sudah nekat untuk mengadu nyawa dan dia berhasil menyambar tubuh pecut yang berada di tangan Sutejo.

Sutejo mempertahankan. Kalau dia mau menyerang lawan tentu dengan mudah dia akan dapat membunuh Bhagawan Jaladara yang kini sudah bertangan kosong. Akan tetapi dia tidak menghendaki hal ini terjadi, maka tadi dia ragu dan lengah sehingga pecut itu dapat terpegang oleh tangan Bhagawan Jaladara. Mereka berkutetan, saling dorong dan saling betot. Ketika keduanya mengerahkan tenaga, dalam waktu yang berbarengan keduanya mengayunkan kaki kanan menendang.

“Desss...!”

Keduanya terlempar ke belakang, ada pun pecut yang dijadikan rebutan itu terlepas dari tangan mereka dan melayang jauh. Mendadak muncuk seorang pemuda remaja dari balik rumpun semak belukar dan tubuhnya menyambar ke arah pecut dengan kecepatan kilat, tahu-tahu pecut telah berada di tangannya dan dia pun melarikan diri sipat kuping dengan cepat sekali!

Sutejo mengenal bocah nakal yang pernah menggodanya pagi tadi. Dia segera meloncat sambil berseru, “Heii... berhenti kau...!”

Melihat bahwa pecut itu sudah diambil oleh seorang pemuda remaja, Bhagawan Jaladara juga melakukan pengejaran. Akan tetapi bocah itu bergerak sangat cepat, bahkan Sutejo sendiri yang mempergunakan Aji Harina Legawa tidak mampu menyusulnya. Tidak lama kemudian pemuda itu sudah menghilang di dalam hutan!

Melihat ini, Bhagawan Jaladara marah sekali pada Sutejo. Dia menerjang Sutejo dengan pukulan sambil memaki, “Bocah setan, engkau yang membikin pecut itu hilang!”

Serangannya ganas, tetapi sekali ini Sutejo juga sudah marah. Bahkan bukan dia yang membuat pecut itu hilang, melainkan kakek ini. Maka ketika melihat kakek itu memukul, dia cepat mengerahkan Aji Gelap Musti menyambut.

“Desss...!”

Kembali dua tenaga sakti bertemu di udara dan untuk kedua kalinya tubuh Bhagawan Jaladara terpelanting dan muntah darah. Dia telah terluka dalam dan merangkak bangun, tidak berani lagi menyerang. Sutejo tidak mempedulikannya, melainkan segera melompat ke dalam hutan untuk mencari pemuda remaja yang sudah membawa pergi Pecut Sakti Bajrakirana.

Sutejo berlari cepat sekali memasuki hutan itu, akan tetapi dia segera menjadi bingung karena hutan itu liar dan lebat sekali. Tidak tampak jalan setapak dan juga dia tidak dapat menemukan tapak kaki pemuda remaja yang melarikan Cemeti Sakti Bajrakirana. Ke mana dia harus mencarinya. Beberapa kali dia berteriak.

“Heii, anak nakal! Keluarlah dan mari kita bicara!”

Jika bocah itu keluar, dia akan bicara baik-baik, membujuknya agar mengembalikan pecut yang amat penting itu. Akan tetapi sampai suaranya serak memanggil-manggil, jangankan anak itu keluar, jawabannya pun tidak ada. Akhirnya Sutejo lari ke sebuah dataran tinggi di mana terdapat sebatang pohon randu alas raksasa. Dia meloncat dan memanjat pohon itu sampai puncaknya dan dari tempat tinggi itu dia memandang ke sekeliling.

Akhirnya dia melihat pemuda remaja itu. Jauh di sebelah timur, berjalan perlahan sambil mengayun-ayun pecut itu di atas kepalanya, seperti seorang kanak-kanak yang sedang bermain-main.

“Anak sialan!” Sutejo cepat turun kemudian berlari cepat menuju ke timur untuk mengejar.

Akhirnya dia keluar dari hutan itu dan sampai di tanah pegunungan yang sunyi. Tadi dia melihat anak itu berada di sisi dan akhirnya dia berhenti di pinggir sebatang sungai yang cukup lebar. Dia melihat bayangan anak itu di seberang sana, tetapi kiranya tak mungkin untuk melompati sungai itu!

“Hei... Kamu...! Berhenti dan kembalikan pecut itu!” Sutejo berteriak nyaring.

Anak muda itu memutar tubuhnya memandang Sutejo, lalu membunyikan pecut di atas kepalanya.

“Tar-tar-tar!” Setelah itu dia tertawa kemudian lari lagi ke depan dengan amat cepatnya!

“Bocah mendem (mabok)!” Sutejo memaki dan dia menjadi bingung bagaimana caranya untuk menyebrangi sungai itu.

Oleh karena di situ tidak ada perahu atau alat lain untuk menyebrang, sedangkan untuk berenang pakaiannya tentu akan basah semua, akhirnya tidak ada pilihan lain baginya kecuali menyebrang dengan berenang. Dia menanggalkan pakaiannya, hanya memakai sebuah celana dalam, menaruh buntalan pakaiannya di atas kepala dan terpaksa dia lalu berenang sedapatnya dengan satu tangan untuk menyebrang.

Di dalam hatinya dia merasa gemas sekali dan kini dia berjanji kepada diri sendiri kalau sampai bisa mengejar pemuda remaja itu, dia akan menangkapnya, menelungkupkannya di atas kedua pahanya dan memukuli pantatnya sampai puas!

Biar pun dengan susah payah, dapat juga Sutejo menyebrang! Dia mengenakan kembali pakaiannya dan cepat berlari lagi mengejar ke depan. Dari dataran tinggi di situ dia dapat melihat sawah dan ladang yang luas dan tergarap rapi, tanda bahwa di tempat itu ada dusunnya. Dan benar saja, dari jauh dia melihat segerombolan pohon-pohon dan tampak genteng-genteng rumah orang. Tentu pemuda remaja itu tinggal di dusun itu, pikirnya.

Matahari telah naik tinggi dan tanpa mempedulikan tubuhnya yang amat lelah karena tadi bertempur hebat melawan Bhagawan Jaladara, dia pun berlari lagi menuju ke dusun yang tampak dari dataran tinggi itu.

Akhirnya dia sampai di luar dusun yang dikelilingi pagar bambu yang ketat itu. Dia tidak melihat jalan masuk kecuali sebuah gapura yang lebar dan juga tertutup. Heran juga dia melihat sebuah dusun yang serba tertutup ini, seolah menyimpan rahasia besar.

Dia tidak berani lancang masuk, melainkan berdiri di luar gapura dan dia mengetuk pintu gapura yang terbuat dari kayu itu, menggunakan sepotong batu.

“Tok-tok-tok! Kulonuwun...!” teriaknya berulang kali.

Tiba-tiba dia mendengar gerakan di belakangnya. Cepat dia menengok dan ternyata dia telah dikepung oleh belasan orang! Dan orang-orang itu amat aneh.

Pakaian mereka serba hitam, akan tetapi muka mereka dicoreng moreng dengan warna hitam dan putih, loreng-loreng bergaris panjang di seluruh muka sampai ke leher mereka sehingga sukarlah mengenal wajah yang semuanya dicoreng moreng itu. Dan di tangan mereka tergenggam bermacam-macam senjata, ada yang membawa keris, ada yang bersenjatakan tombak trisula, dan ada pula yang membawa perisai dan golok. Biar pun muka mereka coreng moreng namun cara mereka mengepung Sutejo amat teratur, tidak kacau seolah mereka merupakan barisan yang terlatih baik.

Biar pun terkejut dan heran, Sutejo tidak merasa gentar dan bersikap waspada. Dia cepat melangkah maju menghadapi seorang di antara mereka yang memegang keris panjang dan bertubuh tinggi besar, lalu berkata dengan sikap hormat.

“Maafkan saya. Saya adalah seorang pengembara yang tanpa disengaja tiba di dusun ini. Kalau boleh saya memasuki dusun ini...”

“Dia mata-mata musuh. Serang!” orang tinggi besar itu mendadak berseru dengan suara parau dan belasan orang itu, tak kurang dari lima belas orang banyaknya, telah menerjang dengan senjata mereka kepada Sutejo.

Sutejo merasa penasaran juga. Orang-orang ini menuduhnya mata-mata! Namun karena mereka semua sudah menggerakkan senjata untuk menyerangnya, dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk bicara. Sambil mengerahkan tenaga dia lalu menggerakkan kedua lengannya, diputar menangkis semua senjata itu dan para pengeroyoknya berpelantingan.

Dia segera melompat keluar dari kepungan dan kini orang tinggi besar yang memegang keris panjang sudah menyerangnya. Serangannya cukup hebat. Keris itu meluncur cepat ke arah perutnya. Sutejo miringkan tubuhnya dan sekali tangan kirinya memukul dengan tangan miring ke arah pergelangan tangan yang memegang keris, senjata itu pun terpukul lepas dan jatuh. Sutejo mendorong dengan tangan kanannya sehingga si tinggi besar itu terjengkang dan terbanting jatuh dengan kerasnya.

Semua orang terkejut melihat ini dan menahan serangan, hanya mengurung saja dengan pandangan mata ragu karena mereka sudah melihat kehebatan gerakan pemuda itu yang membuat mereka merasa jerih.

“Dengar, saudara sekalian! Aku bukan mata-mata, juga aku bukanlah seorang jahat. Aku ingin bicara dengan pimpinan kalian! Bawalah aku menghadap padanya!” ucapan Sutejo ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam sehingga terdengar sangat lantang dan juga berwibawa. Orang tinggi besar yang tadi memegang keris sudah mengambil kembali kerisnya dan agaknya dialah pemimpin belasan orang itu.

Mendadak pintu gerbang itu terbuka dan muncullah belasan orang lain sehingga jumlah mereka lebih dari tiga puluh orang yang mengepung Sutejo! Akan tetapi pemuda ini tidak gentar dan kembali dia berkata dengan lantang.

“Aku bernama Sutejo dan kedatanganku ini bukan membawa maksud buruk. Aku hanya ingin bertemu dan bicara dengan pemimpin kalian karena ada urusan penting sekali. Aku bukan mata-mata pihak mana pun juga, bukan pula musuh, sebab itu harap kalian jangan menyerangku!”

Si tinggi besar itu memandang dengan matanya yang lebar, kemudian mengangguk dan berkata kepada teman-temannya. “Kita bawa dia masuk menghadap pimpinan!”

“Mari masuk, akan tetapi awas, kalau engkau membuat ulah, kami akan mengeroyokmu!” kata pula si tinggi besar kepada Sutejo.

Pemuda itu merasa lega. Dia memang tidak ingin mencari permusuhan. Dia belum tahu siapa mereka yang mencoreng moreng muka mereka ini, dan dari perkumpulan macam apa. Karena sukar mengajak orang ini berbicara baik-baik, maka dia minta dipertemukan dengan pemimpin mereka supaya dia dapat bicara dengan baik, terutama menanyakan pemuda remaja yang telah membawa pergi Pecut Sakti Bajrakirana.

Ternyata perkampungan itu besar juga. Agaknya tidak kurang dari seratus orang laki-laki dan wanita serta anak-anak mereka tinggal di perkampungan ini. Yang berada di dalam perkampungan tidak memakai coreng moreng di mukanya dan hidup sebagai penduduk dusun biasa.

Tiga puluh lebih orang yang mukanya dicoreng moreng itu membawa dan mengawal dia ke sebuah rumah besar di tengah perkampungan yang dikelilingi oleh rumah-rumah yang lebih kecil. Rumah besar itu memiliki pendopo yang luas dan ke sanalah Sutejo di bawa mereka.

Setelah berada di pendopo. Sutejo melihat dua orang laki-laki tinggi besar duduk berjajar di sebuah bangku dan di belakang mereka berdiri si bocah nakal yang sudah melarikan pecutnya! Akan tetapi sekarang dia tidak membawa pecut itu dan memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek, bahkan mengedipkan mata kirinya seperti memberi isyarat atau memang sengaja menggodanya.

Kalau saja dia berada di situ bukan sebagai tamu atau bahkan orang tangkapan, tentu pemuda remaja nakal itu sudah dikejar dan ditangkapnya lalu dia pukuli pantatnya sampai bertaubat!

“Hayo berlutut dan menyembah!” kata orang tinggi besar yang berdiri di belakang Sutejo.

Sutejo menoleh dan memandang kepada si tinggi besar sambil tersenyum. Dia melihat betapa tiga puluh lebih orang itu kini sudah menjatuhkan diri dan duduk bersimpuh dengan sikap hormat terhadap dua orang pria tinggi besar itu.

“Ki sanak, aku bukanlah kawula di sini, maka tidak semestinya aku berlutut. Aku adalah seorang tamu dan datang dengan suka rela,” katanya dengan sikap ramah.

“Orang muda, kalau andika tidak mau duduk di bawah. Nah, ini duduklah di bangku ini!” kata seorang di antara kedua orang tinggi besar yang mukanya hitam dan matanya lebar. Dia menyambar sebuah bangku dan melemparkannya ke arah Sutejo.

Bangku itu cukup besar dan berat karena terbuat dari kayu jati, akan tetapi kini benda itu melayang dengan kecepatan luar biasa ke arah Sutejo. Tetapi dengan tenang saja Sutejo menjulurkan tangan kirinya dan menyambar bangku itu dengan seenaknya, lalu menaruh bangku itu dan duduk di atasnya.

“Terima kasih atas sambutan ini,” kata Sutejo sambil mengangguk kepada kedua orang itu sebagai tanda penghormatan.

Akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata pemuda remaja itu, matanya seperti mengeluarkan sinar berapi saking penasaran dan dongkolnya. Awas kau, pantatmu akan menjadi matang biru kutampar biar kapok, demikian kata hatinya. Apa lagi melihat pemuda remaja itu tersenyum-senyum menggodanya dan mengejeknya.

“Orang muda, siapakah andika dan ada urusan apakah andika datang ke perkumpulan Sardula Comeng (Macan Hitam) ini?”

Maka tahulah Sutejo bahwa dia berada di sarang perkumpulan yang menamakan dirinya Sardula Comeng. Pantas saja semua anak buahnya berpakaian hitam dan mencorengi mukanya loreng-loreng meniru bentuk macan loreng.

“Maafkan jika kedatangan saya mengganggu, Paman. Saya bernama Sutejo dan sedang melakukan perjalanan merantau untuk menambah pengalaman hidup. Akan tetapi dalam perjalanan ini saya kehilangan sebuah pusaka berupa sebatang pecut. Pecut itu diambil orang, maka saya melakukan pengejaran. Ternyata bahwa orang yang mengambil pecut itu melarikan diri ke sini, maka terpaksa saya mengejar sampai ke sini dan mengganggu paman.”

Orang tinggi besar yang bermuka merah dan berkumis tebal itu menepuk lengan kirinya. “Apa?! Kau berani menuduh bahwa orang kami ada yang mencuri pecut? Ketahulah hei orang muda bahwa perkumpulan Sardula Comeng adalah perkumpulan orang gagah yang pantang merampok atau mencuri! Aku Ki Mundingsosro dan adikku ini Ki Mundingjoyo tak dapat menerima begitu saja kalau kau katakan bahwa ada anak buah kami yang mencuri pecut! Apa lagi hanya sebatang pecut, apa artinya?” Agaknya Ki Mundingsosro sangat tersinggung oleh kata-kata Sutejo.

“Maafkan saya, paman. Akan tetapi saya bukan sekedar melempar fitnah, bahkan pencuri pecut itu sekarang pun berada di sini!”

“Hah?! Kini dia berada di sini?” tanya Ki Mundingsosro dan matanya terbelalak, kumisnya bergerak-gerak dan dia memandang ke kanan kiri. “Orang muda, yakin benarkah andika bahwa pencuri pecut itu berada di sini?”

Sutejo kini memandang kepada pemuda remaja yang nakal itu, akan tetapi sebelum dia menundingnya, pemuda remaja itu telah lebih dulu memegang pundak Ki Mundingsosro dari belakang dan berkata dengan suara manja,

“Ayah, yang mengambil pecut itu adalah aku!”

Semua orang memandang pemuda remaja itu dan Ki Mundingsosro menoleh ke belakang. “Susilo, kau mencuri pecut?” Tanyanya dengan suara keras dan tidak percaya. Anaknya mencuri pecut? Anaknya tidak pernah kekurangan sesuatu, mengapa mencuri? Dan pecut pula yang dicurinya! “Apakah sudah tidak waras lagi pikiranmu!”

“Ayah, sebenarnya aku sama sekali tidak mencuri atau merampas. Aku melihat dia ini berkelahi melawan seorang kakek sakti karena mereka memperebutkan sebatang pecut. Dalam perebutan itu pecut kemudian terlempar ke arahku, maka aku menyambarnya lalu melarikan diri. Aku tidak mencuri, pecut itu sendiri yang ingin ikut aku!”

Panas rasa perut Sutejo. Mana ada pecut ingin mengikuti seseorang?

“Paman, pecut itu adalah milikku, milik Eyang Guruku yang dicuri oleh kakek itu dan aku merampas darinya. Kalau pecut itu tidak diambil oleh pemuda ini, tentu sudah berada di tanganku.”

“Susilo, hayo kau kembalikan pecut itu! Bikin malu saja. Aku bisa memberi seribu batang pecut kepadamu kalau engkau membutuhkannya!”

“Tidak begitu mudah, ayah. Aku sudah bersusah payah melarikan pecut itu dan dikejar-kejarnya, sekarang suruh mengembalikan begitu saja? Tidak. Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum pecut itu dapat kembali kepadanya.”

Sutejo hilang kesabarannya. “Apa syarat-syarat itu? Pasti akan kupenuhi! Aku pun tidak takut bertanding denganmu!”

Pemuda remaja yang bernama Susilo ini tersenyum. “Mau bertanding ya bertanding, akan tetapi menurut aturanku. Besok aku akan menggembala domba di lapangan rumput lereng sana. Engkau boleh mencoba untuk merampas pecut itu dari tanganku. Ada pun syarat ke dua...”

“Baik, syarat pertama dengan senang hati akan kupenuhi!. Apakah syarat yang kedua?” tanya Sutejo dengan suara membentak.

“Syarat kedua, engkau harus membantu kami mengalahkan Mahesa Meta, musuh besar kami.”

“Akan tetapi aku tidak mengenal siapa itu Mahesa Meta, tidak punya urusan dengannya!” bantah Sutejo yang tidak mau diadu domba dengan orang yang tidak dikenalnya dan tidak diketahui kesalahannya. “Aku tidak mau membunuh atau mencelakakan orang yang sama sekali tidak kukenal dan tidak kuketahui kesalahannya!”

Kini Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo mengerti mengapa Susilo melarikan pecut dari pemuda itu. Kiranya Susilo hendak minta bantuan pemuda itu untuk menandingi Mahesa Meta. Tentu saja timbul harapan di dalam hati mereka dan Ki Mundingsosro berkata.

“Anak mas Sutejo. Ketahuilah bahwa Mahesa Meta itu adalah seorang perampok tunggal yang amat keji dan sakti. Kami pernah bentrok dengan dia ketika dia mengancam akan membinasakan Sardula Cemeng. Dia amat digdaya dan kiranya kami semua bukan lawan dia!”

Sutejo mengerutkan alisnya, masih merasa sangsi, “Baiklah, akan kupenuhi syarat yang kedua, akan tetapi dengan janji bahwa kalau ternyata Mahesa Meta bukan orang jahat, aku tidak mau menandinginya.”

“Bagus!” Pemuda remaja itu bertepuk tangan dengan girang. “Engkau sudah berjanji dan janji seorang gagah tidak akan diingkari. Besok pagi-pagi engkau boleh mencoba untuk merampas pecut itu, akan tetapi aku akan dibantu oleh ayah dan pamanku!”

“Hei, akal apa pula ini?” Sutejo membantah.

“Kami akan maju bertiga untuk menguji sampai di mana tingkat kesaktianmu. Bila engkau tidak dapat mengalahkan kami bertiga dan tidak dapat merampas pecut, mana mungkin engkau becus menandingi Mahesa Meta?” Pemuda remaja itu menekan pundak ayahnya.

“Betul tidak, Ayah dan Paman?”

Dan dua orang pria itu terpaksa mengangguk-angguk karena memang ujian itu penting sekali.

Apa artinya mereka minta bantuan pemuda ini kalau dia tidak memipunyai kemampuan yang besar? Kalau dia sanggup mengalahkan pengeroyokan mereka bertiga, barulah ada kemungkinan dia akan mampu menandingi Mahesa Meta yang sakti.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)