PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-05


“Baiklah, aku terima dua syarat itu. Dan sekarang aku permisi untuk melewatkan malam di luar perkampungan ini!” Dia bangkit berdiri dan hendak pergi, akan tetapi Susilo segera menahannya.

“Ahh, mana boleh engkau pergi dari sini. Pertama, engkau adalah seorang tamu kami, bagaimana kami membiarkan engkau tidur di luar? Selain itu, kalau engkau tidur di luar perkampungan dan besok pagi tidak muncul, bukankah kami yang akan menanti-nanti dengan sia-sia? Engkau boleh bermalam di sini, kami mempunyai banyak kamar untuk kau pakai. Bukankah begitu, Ayah dan Paman?”

Kembali kedua orang laki-laki tinggi besar itu mengangguk-angguk. Bagaimana pun juga mereka berharap bahwa pemuda ini benar-benar sakti dan besok akan dapat membantu mereka menghadapi Mahesa Meta yang merupakan musuh besar dan ancaman bagi keselamatan perkumpulan Sardula Cemeng.

“Benar seperti yang tadi diucapkan anakku Joko Susilo. Engkau boleh bermalam di sini sebagai tamu kami, anak mas Sutejo, dan malam ini kami akan menjamu andika sebagai tamu yang terhormat,” kata Ki Mundingsosro.

Karena pihak tuan rumah bersikap ramah dan bersungguh-sungguh, Sutejo tidak menolak lagi. Akan tetapi hatinya masih gemas pada Susilo dan dia sudah mengambil keputusan tetap bahwa kalau besok dia menang dan mampu memenuhi syarat-syarat itu sehingga pecut dikembalikan kepadanya, dia pasti akan menelungkupkan tubuh anak itu di atas pangkuannya kemudian menampari pinggulnya sampai dia menjerit-jerit minta ampun!

Kau tunggu saja, bisik hatinya gemas, apa lagi ketika melihat betapa pemuda remaja itu memandangnya dengan cuping hidung kembang kempis dan mulut tersenyum mengejek.

Benar saja, malam itu Sutejo dijamu dengan royal oleh tuan rumah. Untuk keperluan itu tuan rumah menyembelih beberapa ekor ayam dan seekor domba, membuat bermacam masakan. Mereka duduk satu meja. Sutejo, Ki Munindingsosro, Ki Mundingloyo dan Joko Susilo.

Dalam perjamuan makan itu Joko Susilo tidak lagi menggoda dengan kerling mata dan senyum mengejek, melainkan ramah sekali bahkan dia yang terus-menerus menawarkan masakan ini itu kepada Sutejo. Akan tetapi keramahan ini tidak melunturkan kejengkelan hati Sutejo terhadap pemuda remaja itu. Kalau bukan karena ulahnya, tentu dia tidak akan bersusah payah berkunjung ke sini dan harus memenuhi dua syarat yang diajukan bocah nakal itu!

Sore itu Sutejo mandi di air pancuran yang segar sejuk, dan malamnya dia dapat tidur nyenyak di dalam sebuah kamar yang khusus disediakan untuknya. Dia tidur tanpa mimpi karena tubuhnya memang sudah lelah sekali. Pertandingan melawan Bhagawan Jaladara telah menguras tenaganya dan tidur nyenyak semalam itu banyak menolong memulihkan kembali tenaganya untuk menghadapi apa yang akan terjadi besok.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika Sutejo terbangun dari tidurnya dan mandi di air pancuran, dia melihat penduduk perkampungan itu sudah sibuk bekerja. Dia merasa heran karena tidak seorang pun di antara mereka memakai coreng moreng di mukanya, juga pakaian mereka bukan pakaian serba hitam! Tapi dia tidak melihat Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, juga tidak melihat Joko Susilo!

Melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun bermain-main seorang diri, Sutejo lalu menghampiri anak itu.

“Eh, adik yang baik, tahukah engkau ke mana perginya Ki Mundingsosro, Ki Mundingloyo dan Joko Susilo?”

Bocah itu memandang Sutejo dengan sepasang matanya yang bening, lalu menjawab, “Mungkin mereka sedang menggembala domba di padang rumput yang berada di lereng sebelah sana.” Dia menuding ke arah barat, di mana terdapat sebuah bukit hijau.

“Dan mengapa tidak ada orang yang mengenakan pakaian hitam dan mencoreng moreng mukanya?”

Bocah laki-laki itu tersenyum, “Untuk apa? Para Paman mencoreng-coreng mukanya dan mengenakan pakaian hitam kalau Sardula Cemeng hendak melakukan sesuatu upacara atau hendak menentang musuh. Kalau tidak ada apa-apa, mereka juga berpakaian biasa dan tidak mencoreng mukanya.”

Sutejo mengerti dan diam-diam dia merasa heran sekali. Kenapa dua orang pimpinan itu bersikap begitu aneh, mengharuskan anak buah mereka berpakaian hitam dan mencoreng moreng muka mereka bila menghadapi lawan? Sekarang dia tahu bahwa kedatangannya kemarin juga telah diketahui lebih dulu sehingga mereka menyambutnya dengan ‘Pakaian Dinas’ perkumpulan itu.

Dia pun tidak mempedulikan lagi. Ditinggalkannya perkampungan itu dan dia keluar dari situ menuju ke bawah bukit sebelah barat sambil berlari cepat. Hawa di pagi hari itu sejuk dan segar dan dia terus berlari hingga akhirnya tibalah dia di padang rumput. Dari jauh dia melihat Joko Susilo menggembala domba, tetapi dia memegang Pecut Sakti Bajrakirana, dibunyikan berdetak-detak untuk menggiring domba yang jumlahnya seratus ekor lebih!

Sialan, pikirnya. Pecut Sakti Bajrakirana, pecut pusaka yang begitu dihormati oleh Bapa Gurunya, kini digunakan oleh seseorang pemuda remaja kurang ajar untuk menggembala domba!

Dia mempercepat larinya dan sesudah tiba di dekat tempat menggembala domba itu, dia melihat Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo juga sudah berada di sana. Dan agaknya kedua orang pimpinan itu sudah siap siaga. Ki Mundingsosro sudah memegang sebatang golok terhunus, sedangkan Ki Mundingloyo memegang sebuah tombak trisula.

Sutejo segera menghampiri mereka dan memberi uluk salam.

“Selamat pagi, kedua paman!”

“Ahh, kiranya andika sudah datang, anak mas Sutejo. Lihat, kami juga sudah siap untuk mempertahankan pecut itu dari tanganmu!” Ki Mundingsosro berkata dengan sikap ramah. “Bila andika bisa menandingi tombak trisulaku dan golok Kakang Mundingsosro ditambah lagi kecepatan Susilo, maka engkau berhak memiliki pecut yang diperebutkan itu!” kata Ki Mundingloyo sambil memalangkan tombak trisula di depan dada.

Joko Susilo datang berlarian kemudian bergabung dengan ayah dan pamannya.

“Sepagi ini engkau telah datang? Bagus, pecut ini dapat menjadi senjata yang baik, maka aku akan menghadapimu dengan pecut ini. Coba kalahkan kami kalau engkau mampu, Sutejo!”

Sutejo memandang dengan mata bersinar marah.

“Andika adalah seorang bocah yang amat nakal, Susilo. Agaknya engkau memang pantas dihajar agar jera dan tidak mengganggu orang lain!”

“Coba kalau engkau mampu menghajarku!” Joko Susilo menantang.

“Anak mas Sutejo, kami bertiga sudah siap. Cobalah engkau merampas pecut itu kalau dapat. Akan tetapi senjata kami tidak bermata, jangan salahkan kami bila engkau sampai terluka oleh senjata kami!” kata Ki Munindingsosro.

“Saya mengerti, paman. Sebaliknya paman bertiga juga harus berhati-hati menghadapi senjata saya!”

“Apakah senjatamu? Keluarkan!” tantang Ki Mundingloyo.

Sutejo melepaskan ikatan kepalanya kemudian memegang ujung ikatan kepala itu dengan tangan kanannya.

“Inilah senjata saya!” katanya.

Joko Susilo berkata kepada ayahnya dan pamannya. ”Ayah dan paman, jangan pandang ringan senjatanya itu. Dengan senjata itu dia telah melawan pendeta yang sakti itu!”

“Bagus. Nah, mulailah, anak mas Sutejo!” kata lagi Ki Mundingsosro.

Sutejo juga tidak mau sungkan-sungkan lagi. “Lihat senjataku!” teriaknya dan dia sudah menerjang maju.

Tentu saja yang diterjangnya adalah Joko Susilo karena dia ingin merampas pecut itu secepatnya. Akan tetapi dari kanan kiri kedua orang pimpinan Sardula Cemeng itu telah menggerakkan golok dan tombak trisula ke arahnya dengan serangan yang dahsyat. Sutejo mengelak, menggunakan kecepatan tubuhnya dan setelah berhasil mengelak dia menyerang lagi ke arah Joko Susilo dengan ikat kepalanya.

“Tar-tar-tarrrrrr...!”

Joko Susilo meledak-ledakkan pecut itu ke arah kepala Susilo dan berbareng dengan itu, ayah dan pamannya juga kembali menyerang Sutejo.

Hemm, mereka ini lumayan juga, pikir Sutejo. Dua orang pimpinan itu mempunyai tenaga yang kuat, sedangkan pemuda remaja itu ternyata memiliki gerakan yang ringan dan gesit bukan main, bahkan mungkin bisa mengimbangi kecepatannya sendiri. Dia merasa heran sekali karena ayah dan paman pemuda itu tidak segesit bocah itu. Tentu pemuda remaja itu telah mempelajari ilmu meringkan tubuh dari orang lain, pikirnya.

Namun Sutejo tidak memusingkan hal itu. Kalau dia hendak mendesak Joko Susilo, dia harus lebih dahulu membuat dua orang laki-laki itu tidak berdaya. Oleh karena itu dia lalu mengubah gerakan dan serangannya. Tidak lagi dia mendesak untuk merampas pecut dari tangan Joko Susilo. Sebaliknya dia mendesak Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo dengan gerakan ikat kepalanya.

Dan usahanya berhasil. Dua orang lelaki tinggi besar ini kalah jauh dalam hal kecepatan gerakan oleh Sutejo, maka begitu Sutejo mendesak, mereka menjadi kewalahan dan main mundur, mengelak atau menangkis sambaran ujung ikat kepala yang demikian cepatnya sehingga mereka tidak mampu membalas lagi!

Joko Susilo melihat pemuda itu kini mendesak ayah dan pamannya, lalu menerjang Sutejo dengan pecut itu.

“Tar-tarrr...!”

Pecut itu meledak di atas kepala Sutejo dan menyambar turun bagaikan seekor burung garuda mematuk ke arah ubun-ubun kepala Sutejo!

Hemm, hebat juga pemuda remaja ini, pikir Sutejo. Bahkan mungkin ilmu kepandaiannya melampaui ayah dan pamannya. Akan tetapi dia telah siap dan melihat pecut itu meledak dan menyambar ubun-ubun kepalanya, dia cepat menggerakkan tangan kirinya dan sekali sambar dia sudah dapat menangkap ujung pecut!

Terjadi tarik menarik dan karena takut kalau-kalau pecut itu akan putus, terpaksa Sutejo melepaskannya dan dia kini mendesak dengan hebat ke arah dua orang laki-laki itu.

Trisula yang menyambar ke arah dadanya dia sambut dengan ujung ikat kepalanya yang langsung melibat trisula dan sebelum Ki Mundingloyo dapat menarik kembali trisulanya, tangan kiri Sutejo sudah mendahului memukul ke depan dengan Aji Gelap Musti, namun tentu saja dengan pengerahan tenaga terbatas karena dia tidak ingin mencelakai orang.

“Wuuutttt...! Desss...!”

Tubuh Ki Mundingloyo terpental dan trisulanya terampas oleh Sutejo. Pada saat itu pula Ki Mundingsosro menyerangkan goloknya. Sutejo yang memegang trisula dengan tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Traanngggg...!”

Golok itu patah menjadi dua dan Ki Mundingsosro melompat ke belakang dengan kaget sekali. Jelas bahwa dia dan Ki Mundingloyo telah kalah dan kini Joko Susilo menghadapi Sutejo seorang diri. Akan tetapi pemuda remaja itu tidak merasa gentar walau pun ayah dan pamannya sudah tidak membantunya lagi.

“Berikan pecut itu!” kata Sutejo sambil mengejar Joko Susilo.

“Hemm, jika engkau dapat merebutnya, rebutlah!” tantang Joko Susilo sambil menyeringai mengejek.

Panas rasa hati Sutejo dan dia menubruk dengan cepat. Namun Joko Susilo mengelak dengan kecepatan bagaikan seekor burung sikatan sehingga tubrukan itu luput. Sutejo menjadi penasaran. Tentu saja dia tidak ingin memukul pemuda remaja itu, melainkan hanya ingin merebut pecutnya.

Kembali dia menubruk, namun Joko Susilo sungguh gesit luar biasa. Sampai belasan kali Sutejo menubruk, semakin lama semakin cepat, namun tetap saja tidak berhasil, bahkan ketika Joko Susilo menggerakkan pecutnya, ujung pecut mengenai lengan Sutejo hingga kulit lengannya terdapat guratan merah. Marahlad dia!

“Anak kepala batu!” bentaknya dan kini dia menubruk. Pada saat Joko Susilo mengelak, tangan kirinya menyambar dengan pukulan Gelap Musti dengan tenaga terkendali ke arah kaki pemuda remaja itu.

Sekali ini Joko Susilo tidak dapat mengelak. Kakinya mendadak seperti lumpuh sehingga dia pun terguling jatuh dan di lain saat pecutnya telah berpindah ke tangan Sutejo!

Sutejo cepat melibatkan pecut itu di pinggangnya dan ketika melihat pemuda remaja itu merangkak hendak bangkit berdiri, dia lalu menyambar lengan kanannya dan mememuntir lengan itu. Tubuh Joko Susilo terpuntir sehingga dia berteriak kesakitan dan di lain saat tubuhnya sudah ditelungkupkan di atas kedua paha Sutejo yang kini telah duduk di atas tanah. Kemudian tangan kanan Sutejo mengempit sepasang tangan itu ke belakang dan tangan kirinya mulai menampari pinggul Joko Susilo.

“Plak plak plak plak!” Empat kali dia menampar bagian tubuh yang berdaging itu.

“Aduh-aduh-aduhhh... lepaskan aku... Huhuuh huhu...!” Joko Susilo berteriak-teriak sambil menangis mengguguk. Tubuhnya meronta sehingga pengikat rambutnya terlepas dan kini rambut yang panjang hitam itu terurai di sekitar pundak dan punggungnya.

Sutejo merasa tubuhnya seperti disengat ular berbisa! Dia melepaskan pegangannya dan melompat berdiri, matanya terbelalak keheranan memandang kepada Joko Susilo yang masih menangis sesegukan sambil kedua tangannya menggosok mata yang mengalirkan air mata! Dia merasa terkejut bukan main dan ada perasaan aneh menyelinap di hatinya.

“Kau... Kau...!” Dia berkata sambil menundingkan jari telunjuknya ke arah pemuda remaja yang kini rambutnya tergerai lepas. Baru sadarlah dia bahwa Joko Susilo itu sebenarnya adalah seorang wanita, seorang dara yang cantik jelita! Dan baru saja dia menampari pinggulnya, pinggul seorang gadis.

Ki Mundingsosro menghampiri anaknya lalu membantunya bangkit berdiri.

“Sudahlah, Retno. Tidak perlu menangis lagi karena engkau memang bersalah.”

“Akan tetapi dia... dia... memukuli pinggulku. Aku benci padanya, aku benci...!” Dan gadis itu lalu melarikan diri kembali ke perkampungan sambil menangis.

Sutejo menghadapi dua orang laki-laki itu dengan muka masih kemerahan dan jantung berdebar tegang.

“Paman, apa artinya ini? Siapakah Joko Susilo itu...?”

“Dia seorang gadis, anak mas Sutejo. Memang semenjak kecil dia suka berpakaian dan menyamar sebagai pria dan wataknya juga liar dan ugal-ugalan seperti seorang anak laki-laki. Karena itulah apa bila dia menyamar sebagai seorang pria, kami memanggilnya Joko Susilo. Sesungguhnya namanya adalah Retno Susilo. Ahh, anak itu memang nakal, akan tetapi dia cerdik sekali, anak mas. Buktinya dia telah dapat memancing engkau datang ke sini untuk membantu kami. Marilah kita bicara di perkampungan agar lebih leluasa. Adi Mundingloyo, karena Retno sudah pulang, maka tolong engkau yang menggiring domba-domba ini.”

“Baiklah, kakang Mundingsosro,” jawab Mundingloyo sambil tersenyum geli menyaksikan peristiwa itu.

Sutejo lalu kembali ke perkampungan Sardula Cemeng bersama Ki Mundingsosro dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di sebelah dalam rumah besar dan bercakap-cakap.

“Paman, maafkan perlakuanku terhadap puterimu tadi. Sungguh saya tak pernah mengira bahwa dia adalah seorang wanita,” kata Sutejo dengan hati yang tulus karena dia benar-benar menyesali perbuatannya.

Apa bila dia tahu bahwa Joko Susilo sebenarnya adalah Retno Susilo, tentu saja dia tidak mungkin berani menelungkupkan tubuh gadis itu di atas pangkuannya sambil menampari pinggulnya!

Ki Mundingsosro tersenyum, “Tidak mengapa karena engkau memang benar tidak tahu akan hal itu. Boleh jadi malah kebetulan. Anak itu terlalu dimanja sehingga menjadi liar, dan agaknya sudah sejak dulu aku harus menampari pinggulnya biar dia kapok.”

Agak terhibur hati Sutejo mendengar ini.

“Ada suatu hal lagi yang membuat saya benar-benar tak mengerti, paman, yaitu tentang perkumpulan Sardula Cemeng. Perkumpulan apakah ini sebenarnya?”

“Perkumpulan kami terdiri dari pelarian para petugas Blambangan yang dipaksa menjadi tentara. Juga kami menentang kejahatan dan dengan bersatu kami merasa kuat. Tadinya perkumpulan kami hanya kecil saja dan bekerja sebagai petani di daerah ini, akan tetapi setelah ada pelatihan-pelatihan itu perkumpulan kami bertambah besar. Kami menentang kejahatan dan kami bekerja sebagai petani dan nelayan, juga peternak.”

Sutejo mengangguk-angguk. “Akan tetapi ada hal aneh yang tidak saya mengerti paman. Kenapa kemarin saya tidak melihat anak buah paman mengenakan pakaian hitam dan mencoreng moreng mukanya seperti itu? Apa artinya ini semua?”

Ki Mundingsosro tersenyum dan memuntir kumisnya yang tebal. “Semua itu selalu untuk menyesuaikan dengan nama perkumpulan kami, juga untuk mencegah agar muka para anggota kami tidak dikenal orang, agar kami tidak lagi menjadi pelarian. Pula, ada alasan kuat mengapa aku memerintahkan mereka mencoreng moreng muka mereka. Ketahuilah anak mas Sutejo. Sebelum tinggal di sini, belasan tahun yang lalu aku pernah tinggal di pedalaman Kalimantan dan kebetulan aku menjadi kepala dari suku Dayak di sana. Aku membawa kebiasaan suku Dayak di sana. Aku membawa kebiasaan suku Dayak itu ke sini, yaitu setiap kali hendak melakukan aksi atau hendak bertempur, kami mencoreng moreng muka kami seperti yang dilakukan oleh suku Dayak.”

“Dengan maksud?”

“Untuk menambah wibawa, memperbesar semangat dan itu tadi, supaya jangan dikenal orang.”

“Kemudian, bagaimana dengan Mahesa Meta itu Paman? Siapakah sebenarnya orang itu dan bagaimana pula sampai bermusuhan dengan Paman?”

“Sudah kuceritakan bahwa dia adalah seorang perampok tunggal yang sakti. Dia tidak mempunyai anak buah, akan tetapi di daerah pegunungan Kelud namanya terkenal sekali dan banyak penjahat yang tunduk kepadanya. Sesungguhnya tidak ada permusuhan di antara kami karena daerah Gunung Kelud bukan wilayah kami. Akan tetapi dua minggu yang lalu Mahesa Meta mengganggu penduduk dusun di daerah kami. Bukan saja dia menguras harta penduduk dusun itu, juga dia hendak menculik dua orang gadis kakak beradik. Mendengar ini kami lalu mendatanginya dan tak dapat dihindarkan lagi, terjadilah bentrokan antara kami dengan dia. Dia seorang yang benar-benar digdaya, dan mungkin pengeroyokan kami bertiga tidak akan dapat mengalahkannya. Karena para penduduk dusun memihak kami dan hendak melakukan penggeroyokan, ditambah pula anak buah kami, dia lalu mundur dan berjanji bahwa dua pekan setelah hari itu dia akan mendatangi perkampungan kami dan membinasakan semua orang. Jika dia datang seorang diri saja, kami bersama semua anak buah mungkin masih dapat mengusirnya, akan tetapi bila dia datang membawa pasukannya, bagaimana kami bisa melawannya? Itulah sebabnya maka Retno Susilo yang agaknya melihat kemampuanmu lantas memancingmu datang ke sini untuk membantu kami. Maafkan caranya yang kasar, anak mas Sutejo, akan tetapi anak saya itu sesungguhnya tidak bermaksud buruk, hanya sekedar ingin minta bantuanmu.”

Sutejo mengangguk-angguk. “Ia telah berhasil membuat aku berjanji, maka tentu saja aku tidak akan mengingkari janji, Paman. Kalau Mahesa Meta datang hendak membikin ribut di sini, biarlah aku yang menghadapi dia. Akan kuminta dia mundur dengan baik-baik, tapi kalau dia memaksa tentu akan kutandingi. Akan tetapi, kapankah waktu yang ditentukan itu?”

“Menurut perhitungan kami, besok pagi tentu dia sudah datang.”

“Baik, aku akan menginap semalam lagi, menanti sampai dia muncul,“ kata Sutejo.

Pada sore hari itu, setelah mandi dan bertukar pakaian, Sutejo berjalan-jalan dalam taman yang berada di belakang rumah indah perkumpulan Sardula Cemeng itu. Sebuah taman yang indah karena teratur baik dan tercium bau mawar dan melati bercampur keharuman bunga tanjung dan kantil. Ada pula bunga harum dalu dan sedap malam, menambah semaraknya taman itu sehingga merupakan pesta bagi hidung dan mata.

Sutejo merasa segar dan senang berada di dalam taman itu. Pada saat dia tiba di tengah taman di mana terdapat tempat peristirahatan beratap tanpa dinding yang besarnya tidak lebih dari tiga meter persegi, dia melihat ada seseorang sedang duduk di sana. Orang itu duduk seorang diri, tidak bergerak-gerak. Karena dia adalah seorang wanita, maka dilihat dari samping ia seperti sebuah arca yang indah.

Sutejo merasa tidak pantas untuk mendekatinya, akan tetapi entah kenapa, ada sesuatu yang aneh menariknya untuk menghampiri tempat peristirahatan itu. Tempat itu terbuka, maka apa salahnya untuk mendekati tempat itu?

Akhirnya tibalah dia di belakang wanita itu. Wanita itu mendengar suara jejak kakinya, lalu memutar duduknya dan Sutejo terpesona. Alangkah cantik jelitanya gadis itu.

Wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai dan dihias bunga serta hiasan rambut dari emas permata. Anak rambut berjuntai nakal di dahi dan pelipisnya. Alisnya hitam panjang dan sepasang mata itu! Bersinar-sinar laksana sepasang bintang kejora, dihias bulu mata yang panjang lentik. Hidungnya kecil mancung, ujungnya agak berjungat ke atas sehingga tampak lucu sekali. Dan mulutnya! Demikian manis menggairahkan dengan sepasang bibir berbentuk gendewa terpentang.

Sutejo terpesona! Tanpa berkedip ia mengamati wajah itu dan bentuk tubuh yang langsing padat itu dan dia merasa bagaikan di dalam mimpi. Mata dan mulut itu dikenalnya benar. Sama sekali tidak asing baginya. Akan tetapi kapan dan di manakah dia pernah bertemu dengan dewi ini?

Ketika memutar tubuh dan memandangnya, tiba-tiba saja kedua mata itu menjadi basah dan dua titik air mata menuruni sepasang pipi yang halus dan berbentuk sempurna itu.

“Andika sungguh cantik jelita,” terucap kata-kata dari mulutnya yang langsung keluar dari hatinya, yang tidak sempat dicegahnya. “Akan tetapi mengapa andika menangis?”

Gadis itu berdiri perlahan-lahan sehingga nampaklah tubuhnya yang ramping dan padat dengan pinggang kecil dan dada membusung. Tangan kirinya bergerak perlahan, diangkat dan ditudingkan ke arah muka Sutejo.

“Andika manusia kurang ajar! Mau apa engkau datang ke sini? Apakah mau menghina aku lagi?” suara itu terdengar mengandung isak.

Suara itu! Sutejo segera mengenalnya. “Andika... Joko... ehh, Retno Susilo?!”

“Mau apa andika datang ke sini? Pergi!” Retno Susilo berteriak sambil menudingkan jari telunjuknya mengusir Sutejo, mulutnya cemberut dan sepasang matanya bersinar marah.

Sutejo menundukkan mukanya. “Aku tahu... aku sudah bersalah kepadamu, aku sudah berbuat kurang ajar. Akan tetapi aku tidak tahu bahwa andika seorang dara...”

“Tak perlu membela diri. Engkau sudah melakukan hal yang tidak pantas terhadap diriku. Perbuatanmu tidak mungkin dapat kumaafkan sebelum aku membalas padamu!”

“Begitukah, nimas? Hmm, baiklah. Jika andika baru dapat memaafkan aku setelah andika membalas perbuatanku itu, nah, lakukanlah! Pukullah aku dan aku tak akan melawan, biar puas rasa hatimu!”

Sutejo melangkah maju mendekat sambil menundukkan mukanya dan membiarkan kedua lengannya tergantung di kanan kiri tubuhhnya.

Retno Susilo mengepal kedua tangannya, siap untuk memukul. Matanya menatap tajam penuh dendam. Apa bila dia teringat betapa pinggulnya ditampari sampai empat kali, dan hingga saat itu masih terasa pedasnya, ingin dia memukuli pemuda di depannya ini untuk melampiaskan dendamnya dan untuk meredakan kemarahannya.

Tiba-tiba saja dia mendapat suatu pikiran. Dia teringat bahwa tangan kiri pemuda ini yang memukuli pinggulnya. Maka ditangkapnya lengan kiri Sutejo, ditariknya mendekat dan... digigitnya lengan tangan kiri itu sekuatnya!

“Aduhh-aduhh...!” Sutejo berseru kesakitan.

Dia tak mau menggunakan aji kekebalannya, takut kalau gigi dara itu menjadi rusak. Bila dia menggunakan kekebalannya dan mengerahkan tenaga, tentu kulit lengannya akan berubah keras seperti baja. Maka dia pun menyimpan tenaganya dan membiarkan lengan kirinya digigit. Akan tetapi gigitan itu kuat sekali sampai kulit dan dagingnya tertembus gigi dan robek.

Setelah merasa kulit lengan itu robek dan ada rasa asin di mulutnya tanda bahwa luka itu berdarah, barulah Retno Susilo melepaskan giginya. Dia memandang terbelalak kepada lengan yang terluka dan berdarah itu, seperti orang tertegun.

Sutejo menjulurkan dua lengannya ke depan. “Kalau andika belum puas membalas, nimas Retno, silakan memilih lagi yang mana dan boleh kau gigit sampai penuh luka.”

Retno Susilo memandang lengan Sutejo yang terluka dan berkata lirih, “Lenganmu... luka berdarah...! Nyerikah...?”

“Tentu saja nyeri.”

“Biar kuberi obat agar lukanya tidak semakin parah.”

Dara itu segera menghampiri tanaman-tanaman obat yang terletak di sepetak tanah yang dipagari, kemudian dengan cekatan dan cepat dia mengumpulkan beberapa macam daun terutama widoro upes, diremas-remasnya dengan jari tangannya dan setelah lembut dan mengeluarkan air lalu ditutupkan pada luka di lengan kiri Sutejo, kemudian dia membalut luka itu dengan sehelai sapu tangan sutera putih.

Selama pengobatan ini Sutejo mengamati wajah itu dan jantungnya berdebar kencang. Alangkah cantik jelitanya dara ini. Jari-jari tangannya dengan cekatan merawat lukanya sehingga sebelum diobati pun Sutejo sudah merasakan kelembutan jari-jari tangan itu yang mempunyai daya menyembuhkan dan menghilangkan rasa nyeri.

“Nah, sekarang lukamu tidak berbahaya lagi,” kata Retno Susilo.

“Terima kasih, nimas. Ternyata engkau adalah orang yang berbudi. Padahal aku pernah berbuat kurang ajar padamu, akan tetapi andika membalasnya dengan baik budi. Sekali lagi terima kasih dan sekali lagi maafkanlah aku atas perbuatanku tadi kepadamu.”

“Kalau aku tidak memaafkanmu, tentu aku akan membunuhmu!” kata dara itu cemberut. “Aku tidak mau membunuhmu karena kami membutuhkan bantuanmu untuk menghadapi Mahesa Meta.”

“Andika memang pintar sekali menyamar, membuat aku sama sekali tidak mengira bahwa andika seorang dara.”

“Semenjak kecil aku memang suka berpakaian sebagai anak laki-laki, membuat aku lebih leluasa bergerak dan pergi ke mana saja. Kakang Sutejo, begitu sakitkah hatimu, begitu marahkah andika karena godaan-godaanku maka andika menghajarku?”

“Maaf, nimas. Karena aku menyangka andika seorang pemuda remaja yang sangat nakal menggodaku, maka semenjak semula aku sudah mengambil keputusan untuk memukuli pinggulmu kalau andika sampai terjatuh ke tanganku. Kalau saja aku tahu bahwa andika seorang dara, sampai mati pun aku tentu tidak mau melakukannya.”

Sesudah menggigit lengan Sutejo sampai berdarah, agaknya Retno Susilo sudah merasa puas hati dan dia tidak lagi memperlihatkan kemarahannya. Dua titik air mata yang masih tinggal di bawah matanya seperti embun di ujung daun, menambah kemanisannya.

“Kakang Sutejo, sekarang aku menjadi khawatir sekali.” Ia duduk kembali di atas bangku panjang itu dan tangannya mempersilahkan Sutejo untuk duduk di ujung bangku yang lain sehingga mereka duduk berjejer.

“Apa yang kau khawatirkan, nimas Retno Susilo?”

“Mahesa Meta itu sakti mandraguna, dan aku telah melukai lengamu. Jangan-jangan luka di lenganmu akan menghalangi andika untuk memenangkan pertandingan melawannya.”

“Ahh, sama sekali tidak, nimas. Jangan khwatir. Luka di lenganku hanya kulit dan sedikit dagingnya saja, bahkan sesudah andika memberi obat sekarang rasanya sudah sembuh dan sama sekali tak terasa nyeri lagi. Dan tentang Mahesa Meta, kalau memang dia itu jahat, aku tentu akan berusaha untuk mengalahkannya sekuat tenagaku.”

Gadis itu menggangguk. “Aku percaya bahwa engkau tentu akan menang, kakang Sutejo. Engkau sudah dapat memenangkan pengeroyokan kami bertiga. Andika ini masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Siapakah guru andika, kakang?”

“Guruku adalah seorang pertapa, nimas.”

“Ah, mengagumkan. Jika begitu gurumu tentu seorang yang sakti mandraguna. Bolehkah aku mengetahui siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?”

“Guruku bernama Bhagawan Sidik Paningal. Beliau tinggal di lereng Gunung Kawi.”

“Hebat, kiranya engkau seorang satria, murid seorang bhagawan, kakang. Aku sungguh merasa girang sekarang dapat bertemu dan berkenalan denganmu.”

“Andika juga hebat, nimas. Seorang dara yang masih sangat muda...”

“Muda? Usiaku sudah delapan belas tahun, kakang!”

“Benarkah? Akan tetapi kalau andika berpakaian pria, tampaknya seperti bocah yang baru berusia empat belas tahun. Andika masih begini muda akan tetapi sudah mempunyai ilmu kepandaian yang sangat tinggi, bahkan kalau aku tidak keliru menilai, kepandaianmu lebih tinggi dari pada ayah dan pamanmu. Terutama sekali kepandaianmu dalam hal kecepatan gerakan. Dan andika demikian penuh keberanian dan ketabahan.”

Retno Susilo memandang dengan senang. “Pandang matamu tajam bukan main, kakang, dapat melihat dan membandingkan tingkat kepandaianku. Terus terang saja, di samping menerima gemblengan dari ayah sendiri, aku pun pernah selama beberapa tahun dijadikan murid seorang wanita sakti. Ia kebetulan merantau sampai ke daerah ini, bertemu dengan aku dan tertarik lalu memberi pelajaran aji kanurangan, terutama ilmu meringankan tubuh dan gerakan kilat.”

“Pantas saja ketika aku mengejar andika, aku tidak mampu menyusul. Bolehkah aku tahu, siapa nama gurumu yang mulia itu dan di mana tempat tinggalnya?”

“Sudah kukatakan dia seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Dia seorang nenek yang telah berusia enam puluh lima tahun dan nama julukannya adalah Nyi Rukmo Petak karena seluruh rambutnya sudah putih.”

Sutejo tidak pernah mendengar nama ini akan tetapi dapat menduga bahwa nenek yang menjadi guru Retno Susilo itu tentu seorang wanita yang sakti mandraguna.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)