PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-06
“Apa itu?” Retno Susilo bertanya.
“Mari kita lihat!” kata Sutejo dan keduanya sudah berlompatan lalu lari keluar dari taman itu. Biar pun dia berpakaian wanita, namun Retno Susilo masih dapat bergerak dan berlari dengan cepat, yaitu dengan menyingkap kainnya karena dia mengenakan celana sebatas betisnya.
Saat mereka tiba di luar, ternyata Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo telah berhadapan dengan tiga orang laki-laki.
“Yang tinggi kurus itulah Mahesa Meta,” kata Retno Susilo.
Sutejo memandang penuh perhatian sambil menghampiri. Mahesa Meta adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan wajahnya membayangkan kecongkakan. Kepalanya dikedikkan, sepasang matanya memancarkan sinar kejam dan mulutnya juga tertarik membentuk senyum mengejek dan memandang rendah semua orang. Wajahnya yang kurus tinggal kulit membungkus tulang sehingga dari jauh dia tampak seperti tengkorak.
“Mahesa Meta!” seru Ki Munidngsosro dengan suara lantang. “Kiranya andika datang membawa kawan!”
Mahesa Meta tersenyum lebar dan sinar matanya menyambar ke arah Retno Susilo dan seolah melahap gadis itu. Agaknya dia heran melihat dara yang cantik jelita itu berada di situ. Terhadap Sutejo dia sama sekali tidak mempedulikan dan menganggap pemuda itu hanya seorang anggota Sardula Cemen biasa saja.
“Dua orang kawanku ini hanya datang sebagai saksi bahwa kalian tidak akan melakukan pengeroyokan atas diriku. Kita mempunyai perhitungan dan permusuhan, kini marilah kita selesaikan satu lawan satu atau kalian boleh maju berbareng!” tantangnya. “Akan tetapi kalau semua anak buahmu maju mengeroyok, terpaksa dua orang kawanku ini akan turun tangan. Sardula Cemeng, hari ini aku Mahesa Meta akan membasmi kalian, kecuali kalau kalian semua menakluk dan menjadi anak buahku.”
“Dan membiarkan andika memimpin kami untuk menjadi perampok dan penjahat? Lebih baik mati dari pada mempunyai seorang pemimpin macam andika, Mahesa Meta!” kata Ki Mundingloyo dengan suara nyaring.
“Ha-ha-ha, memang yang membangkang akan mati di tanganku. Hanya yang menyerah saja akan dapat menjadi anak buahku. Sekarang siapakah di antara kalian berdua yang akan maju menandingiku? Ataukah kalian akan maju berdua mengeroyokku?” tantangnya sambil tertawa mengejek.
“Mahesa Meta, manusia sombong! Kami tak akan main keroyokan. Kami sudah memiliki seorang wakil yang akan menandingimu! Anak mas Sutejo, silakan!” Ki Mundingsosro berkata sambil melangkah mundur.
Sutejo maju dengan langkah tenang menghadapi Mahesa Meta. Melihat yang maju hanya seorang pemuda yang tubuhnya tidak berapa besar, bahkan sikapnya sangat sederhana, Mahesa Meta tertawa bergelak. Juga dua kawannya yang semua bertubuh tinggi besar itu tertawa mengejek.
“Hua-ha-ha-ha-ha! Yang begini kalian ajukan sebagai jago? Suruh dia pulang ke pangkuan ibunya dan ajukan lawan yang lebih tangguh lagi. Kalian hendak menghinaku dengan mengajukan jagoan seperti ini, Mundingsosro?” Mahesa Meta tertawa sampai tubuhnya bergoyang-goyang.
“Mahesa Meta, tadinya aku masih sangsi untuk percaya apakah engkau betul orang jahat. Akan tetapi setelah melihat sikapmu dan mendengar omonganmu, baru aku yakin bahwa engkau memang seorang penjahat besar yang berwatak sombong. Sumbarmu seakan-akan dapat meruntuhkan puncak gunung! Ketahuilah, aku sudah berjanji kepada Sardula Cemeng untuk menandingimu dan mengalahkanmu. Apakah engkau merasa gentar dan takut melawan aku?”
“Hua-ha-ha-ha! Takut melawanmu? Biar semacam andika ini ada sepuluh orang jumlahnya dan maju bersama, aku tidak akan takut! Akan tetapi orang muda, sebelum kuhancurkan kepalamu, katakan dulu siapa engkau?”
“Namaku Sutejo dan aku sudah siap untuk melawanmu, Mahesa Meta! Tapi andika harus berjanji bahwa kalau andika kalah melawanku, selama hidupmu andika harus menjauhkan diri dari Sardula Cemeng dan tidak boleh mengganggu daerah wilayah ini lagi.”
“Kalah olehmu? Hua-ha-ha-ha, jika aku sampai kalah olehmu, aku bersumpah tidak akan muncul lagi di dunia ramai!”
“Bagus! Kami semua mendengar sumpahmu, Mahesa Meta.”
“Akan tetapi kalau andika yang kalah, jangan mengeluh kepada Dewata, karena andika tentu akan mati di tanganku.”
“Seorang gagah sudah berani maju bersanding, kematian bukan berarti apa-apa, Mahesa Meta. Aku sudah siap, mulailah!” Sutejo melangkah maju dan tidak membuka pasangan kuda-kuda apa pun, hanya berdiri sederhana dengan dua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya.
“Haiiiittt...!” Mahesa Meta telah memasang kuda-kuda, kakinya terpentang lebar, tubuhnya merendah dan kedua tangannya dipasang di depan belakang dengan dua jari menunjuk ke atas. Gayanya kelihatan gagah sekali sehingga diam-diam Retno Susilo mengerutkan alis dan menonton dengan hati berdebar penuh ketegangan.
Ki Mundingsosro bersama Ki Mundingloyo juga telah melangkah mundur untuk memberi tempat yang luas bagi kedua orang yang hendak bertanding itu.
“Majulah, Sutejo! Sekali terkena tendanganku, akan rontoklah igamu dan sekali terkena pukulanku, akan pecahlah kepalamu!” bentak Mahesa Meta dengan suara lantang penuh gertakan.
Sutejo tersenyum. Ia tahu bahwa orang ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi kesombongannya ini merupakan titik kelemahan yang akan mengurangi daya serangnya sendiri karena kesombongan itu sudah mengurangi kewaspadaan.
“Andika adalah tamu, Mahesa Meta, maka andika berhak menyerang lebih dahulu,” kata Sutejo. Baru saja Sutejo berhenti bicara, Mahesa Meta sudah menerjang dengan dahsyat.
“Syyyaattttt... Hehh!” Kakinya menendang dengan cepat dan ketika Sutejo mengelak ke samping, pukulan tangannya sudah menyusul, menyambar ke arah dada pemuda itu.
Sutejo menggunakan lengan kirinya untuk menangkis dan ia mengerahkan tenaga untuk menguji sampai di mana kekuatan lawan.
“Duukkk...!”
Dua lengan bertemu dan Mahesa Meta terhuyung, ada pun Sutejo hanya memindahkan langkah saja. Dari pertemuan tenaga tadi saja maklumlah Mahesa Meta bahwa pemuda sederhana yang menjadi lawannya itu ternyata memiliki tenaga yang amat kuat.
Dia menjadi penasaran sekali dan cepat dia menerjang lagi, kini dia mengerahkan seluruh tenaganya pada pukulan tangan kanannya yang mengarah kepala Sutejo, agaknya dia hendak membuktikan sumbarnya bahwa dia akan memukul pecah kepala Sutejo. Sutejo maklum akan datangnya serangan yang disertai tenaga sepenuhnya itu, maka dia pun mengerahkan Aji Gelap Musti dan menyambut pukulan itu dengan tangan terbuka.
“Wuuutttt...! Desss...!”
Tangan terbuka dan kepalan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Mahesa Meta lantas terguncang sampai gemetaran dan dia terhuyung-huyung ke belakang sedangkan Sutejo hanya melangkah dua kali ke belakang.
Sepasang mata Mahesa Meta terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat. Dia yakin bahwa pukulannya tadi telah mengandung tenaga sepenuhnya namun pemuda itu mampu menangkisnya bahkan membuat dia terhuyung!
“Keparat!” makinya.
Dan kini dia menyerang lagi, cepat sekali karena dia hendak mempergunakan kecepatan gerakannya untuk memperoleh kemenangan. Tapi Sutejo dapat mengimbanginya dengan gerakan secepat burung walet. Raihan tangan Mahesa Meta untuk mencengkeram hanya dapat meraih angin dan semua pukulannya meleset karena dapat ditangkis atau berhasil dielakkan oleh Sutejo.
Sutejo bergerak dengan hati-hati karena dia maklum bahwa lawan ini cukup berbahaya. Dia lebih dulu memancing agar lawannya menghujankan serangan. Karena tiap serangan dilakukan dengan tenaga penuh, sedangkan ia lebih banyak mengelak, maka dengan cara begitu dia dapat memeras tenaga lawannya. Pukulan yang tidak mengenai sasaran akan menghamburkan tenaga dan amat melelahkan.
Terntara benar saja perhitungannya. Sesudah bertanding seperempat jam tanpa pernah menghentikan serangannya yang bersambung-sambungan, Mahesa Meta mulai memburu napasnya dan keringatnya sudah membasahi muka serta lehernya. Makin bernafsu dia, semakin banyak tenaga terhambur.
Sutejo tidak berniat mencelakai atau membunuh orang ini. Bukankah dia telah bersumpah bahwa bila kalah dia akan mengundurkan diri dan tidak menjadi penjahat lagi? Sebaiknya mengampuninya dan memberi kesempatan untuk bertobat.
Karena itu dia menunggu sampai lawannya yang sudah kelelahan itu menjadi lengah dan tiba-tiba kakinya menendang ke arah lutut kanan lawan. Tidak keras tendangan itu, akan tetapi karena tepat mengenai sambungan lutut, tak dapat dicegah lagi Mahesa meta jatuh berlutut dengan sebelah kakinya seperti orang menakluk!
Terdengar tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan ini adalah Retno Susilo yang segera berseru, “Baru sebegitu saja andika sudah bertekuk lutut minta ampun, Mahesa Meta? Sungguh tidak sepadan dengan sesumbarmu tadi!”
Wajah Mahesa Meta yang tadinya pucat kini berubah menjadi merah sekali karena malu. Ia menguatkan dirinya bangkit berdiri dan dengan napas terengah-engah dia meninggikan suaranya. “Aku masih belum kalah!”
Dan dia meloloskan sehelai sabuk rantai baja dari pinggangnya.
“Sutejo, keluarkan senjatamu dan mari kita bertanding menggunakan senjata!” tantangnya untuk menutupi rasa malunya karena tadi dia jatuh berlutut.
“Begitukah kehendakmu, Mahesa Meta? Baik, aku hanya menuruti kehendakmu!” Sutejo lalu melepaskan ikat kepalanya dan memegang ujung ikat kepala itu sambil menghadapi lawannya.
Mahesa Meta membelalakkan matanya. Dia yang bersenjata rantai baja yang amat keras dan kuat itu hendak dihadapi dengan kain pengikat kepala?
“Itukah senjatamu?” tanyanya ragu.
Sutejo memutar kain ikat kepalanya. “Inilah senjataku.”
“Masa bodoh, engkau yang memilih sendiri. Kali ini dadamu akan pecah, kepalamu akan hancur!” katanya dan dia mulai menyerang. Rantai baja itu menyambar, mengeluarkan suara berciutan saking cepat dan kuatnya.
Sutejo tetap menggunakan ilmu gerakan kijang, berlompatan dan mengelak, menyelinap di antara sambaran sinar rantai. Tadi ketika bermain silat dan menyerang dengan tangan kosong saja, Mahesa meta sudah kehabisan tenaga, apa lagi kini harus memainkan rantai baja yang sangat berat. Napasnya mulai ngos-ngosan lagi dan gerakan rantainya semakin mengendur.
Sutejo tahu bahwa tiba saatnya untuk mengalahkan lawan. Maka sekali dia membentak, kain ikat kepala menyambar, ujungnya mengenai leher di bawah telinga Mahesa Meta dan tubuh yang tinggi kurus itu terkulai roboh dalam keadaan pingsan!
Retno Susilo kembali bertepuk tangan sambil bersorak kegirangan melihat kemenangan Sutejo. Ketika itu dua orang laki-laki tinggi besar yang tadi datang bersama Mahesa Meta telah mencabut golok masing-masing dari punggung dan seperti dua ekor harimau marah mereka berdua melompat dan mengeroyok Sutejo.
“Hei, curang! Pengecut!” Retno Susilo berseru dan dara ini segera melompat ke depan, tangannya sudah memegang sebatang pedang dan dia pun menyambut seorang di antara mereka yang mengeroyok Sutejo.
Sutejo sendiri juga menggerakkan ikat kepalanya untuk menandingi lawan yang seorang lagi. Maka terjadilah perkelahian kedua yang berat sebelah.
Tingkat kepandaian dua orang rekan Mahesa Meta itu tidak setinggi Mahesa Meta, maka tentu saja yang melawan Sutejo menjadi kewalahan sekali. Bahkan yang ditandingi Retno Susilo juga menjadi pening kepalanya melihat gerakan gadis itu yang luar biasa cepatnya.
Retno Susilo bergerak dengan tangkas dan cepat sekali, dan baru belasan jurus saja dia sudah melukai paha orang itu dengan ujung pedangnya. Lawannya mengaduh dan roboh terguling. Pada saat itu Sutejo juga berhasil menendang lawannya sehingga terpental dan roboh.
Retno Susilo hendak mengirim serangan susulan, namun tiba-tiba ada yang menyentuh lengannya.
“Sudah cukup, nimas. Tak perlu membunuh mereka, berilah kesempatan kepada mereka untuk bertaubat.”
“Penjahat-penjahat macam mereka ini mana mungkin mau bertaubat, kakang? Kalau tidak dibasmi, kelak hanya akan menimbulkan bencana saja!” bantah Retno Susilo dan dengan pedangnya dia menyerang ke arah Mahesa Meta yang sudah mulai bergerak merangkak bangun.
“Plakk!”
Pedang itu ditangkis oleh tangan Sutejo, lalu lengan Retno Susilo ditarik oleh Sutejo.
“Jangan sembarangan membunuh orang, nimas. Hal itu amat tidak baik. Ampuni mereka,” kata Sutejo.
Ki Mundingsosro juga berkata dengan suara nyaring kepada puterinya. “Biarkan mereka pergi, Retno, karena mereka itu sudah jera untuk mengganggu kita lagi.”
Dengan bantuan dua orang kawannya yang lebih dulu bangkit, Mahesa Meta berdiri dan dipapah. Biar pun dia sudah terluka, namun sinar matanya masih penuh penasaran. Kini dia tidak lagi memusuhi Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo yang sudah dikalahkannya, akan tetapi dia memandang kepada Sutejo dengan sinar mata berapi.
“Sekali ini aku kalah olehmu, Sutejo, tetapi akan tiba saatnya aku membalas kekalahan ini.”
“Hemm, apa kukatakan tadi, kakang Sutejo. Orang macam ini mana bisa bertaubat dan menjadi orang baik?”
“Retno, jangan mencampuri,” kata ayahnya.
“Ayah aku hanya mengkhawatirkan kakang Sutejo. Dia mengampuni orang-orang macam itu, mengharapkan mereka bisa bertaubat, akan tetapi sesungguhnya dia hanya membuat musuh-musuh baru yang kelak akan mencoba untuk membalas dendam.”
“Biarlah, nimas Retno. Kalau dia masih merasa penasaran dan kelak hendak mencariku untuk membalas dendam, pasti akan kulayani,” kata Sutejo.
Kini Mahesa Meta memandang kepada Retno Susilo dengan sinar mata berapi. “Engkau juga, gadis cilik. Kelak engkau akan tahu rasa!” Setelah berkata demikian Mahesa Meta mengajak dua orang kawannya meninggalkan tempat itu.
Sesudah tiga orang itu pergi, Ki Mundingsosro lalu berkata kepada Sutejo. “Kami bertiga menghaturkan banyak terima kasih kepadamu, anak mas Sutejo. Tanpa bantuanmu kami semua mungkin telah binasa di tangan orang jahat itu. Sekarang marilah kita kembali ke perkampungan. Ada satu hal yang ingin sekali saya bicarakan dengan andika.”
Sebetulnya Sutejo ingin melanjutkan perjalanannya tanpa singgah lagi ke perkampungan Sardula Cemeng, akan tetapi Retno Susilo tanpa malu-malu memegang tangannya.
“Kakang Sutejo, marilah singgah dulu di rumah kami. Sesudah engkau berhasil mengusir Mahesa Meta itu, engkau menjadi penolong dan tamu agung kami.” Dia menarik tangan Sutejo dan terpaksa Sutejo tidak dapat menolak lagi.
Sesudah tiba di rumah, Ki Mundingsosro berkata kepada Retno Susilo. “Retno Susilo, kau pergilah ke dapur dan aturlah agar disediakan hidangan siang untuk menjamu anakmas Sutejo.”
“Baik, ayah.” Retno Susilo pergi ke dapur dengan senang hati.
Kini Sutejo duduk bertiga dengan Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo.
“Urusan apakah yang hendak paman bicarakan dengan saya?” Sutejo bertanya setelah mereka duduk berhadapan.
“Anakmas, bolehkah kami mengetahui berapa usiamu sekarang?” tanya Ki Mundingsosro sambil menatap wajah yang tampan itu penuh selidik.
Sutejo tersenyum dan merasa heran, akan tetapi dia menjawab juga sejujurnya. “Saya berusia dua puluh tahun, paman.”
“Apakah anakmas sudah beristeri?” Atau sudah bertunangan?” tanya pula tuan rumah.
Sekali ini wajah Sutejo berubah kemerahan karena merasa tertegun dan rikuh mendengar pertanyaan tentang itu. Karena itu rasanya sukar baginya untuk menjawab dengan kata-kata, maka dia pun hanya menggeleng kepalanya saja.
Gelengan kepala itu rupanya telah cukup bagi Ki Mundingsosro karena wajahnya menjadi berseri, “Bolehkah kami bertanya, siapa orang tuamu yang terhormat, anakmas Sutejo?”
Ditanya tentang orang tuanya, wajah Sutejo yang biasanya cerah itu mendadak menjadi muram. Alisnya yang tebal berkerut dan sejenak dia memejamkan kedua matanya tanpa menjawab.
Akan tetapi Ki Mundingsosro menanti dengan sabar dan ketika Sutejo membuka matanya dan memandang kepadanya, dia terkejut. Ada sinar aneh mencorong dari mata pemuda itu. Dia menjadi terkejut sendiri dan khawatir kalau-kalau pemuda itu marah.
“Maafkan saya, anakmas. Kalau sekiranya anakmas tak mau menjawab pertanyaan saya tadi, tidak mengapalah.”
Sutejo menggeleng kepalanya. “Bukan tidak mau menjawab, Paman, melainkan tidak bisa menjawab karena saya sendiri tidak tahu siapa ayah bundaku!”
“Eh, bagaimana pula ini, anakmas?” Ki Mundingloyo yang sejak tadi hanya mendengarkan saja sekarang tidak dapat menahan keheranannya. Bagaimana mungkin seseorang tidak mengetahui siapa ayah bundanya?
“Sesungguhnyalah, paman. Sejak berusia tiga tahun saya ditemukan dan dirawat guru saya. Bahkan beliau juga tidak tahu siapa orang tua saya. Agaknya tidak ada orang di dunia ini yang mengetahui siapa sebetulnya ayah bunda saya.”
“Aneh, sungguh aneh!” kata Ki Mundingsosro. “Tetapi siapakah gurumu itu, anakmas?”
“Guru saya adalah Bhagawan Sidik Paningal, pertapa di lereng Gunung Kawi.”
“Hemm, kami pernah mendengar nama besar gurumu, anakmas. Bukankah beliau adalah seorang tokoh besar dari perguruan Jatikusumo?” tanya Ki Mundingsosro.
Sutejo tidak heran mendengar ini. Memang dulu Resi Limut Manik amat terkenal dengan perguruannya, yaitu Jatikusumo. Ia mempunyai tiga orang murid yang terkenal di seluruh Mataram, yaitu Bhagawan Sindusakti, Bhagawan Sidik Paningal dan Bhagawan Jaladara. Akan tetapi setelah tiga orang murid itu meninggalkan puncak Semeru, perguruan itu pun bubar.
Dia sendiri belum pernah berhubungan dengan uwa dan paman gurunya, dan bertemu dengan Bhagawan Jaladara juga baru ketika sang Bhagawan itu mengunjungi gurunya dan memukulinya, kemudian dia berhasil merampas Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan paman gurunya itu. Dengan Sang Bhagawan Sindusakti ia bahkan belum pernah bertemu sama sekali.
“Kiranya benar demikian, Paman. Akan tetapi saya pun tidak banyak mengetahui tentang perguruan itu.”
“Kalau begitu kami masih memiliki harapan, anakmas. Sebetulnya niat kami adalah untuk mempererat hubungan di antara kita. Karena andika juga belum terikat pernikahan, maka kami bermaksud hendak menjodohkan anak kami Retno Susilo dengan anakmas. Dan untuk itu, kami akan menghubungi gurumu dan minta persetujuannya, atau tegasnya kami hendak mengusulkan perjodohan ini kepadanya. Tentu saja kalau anakmas menyetujui,” kata Ki Mundingsosro dengan ramah.
“Ha-ha-ha-ha, usul yang bagus sekali!” kata Ki Mundingloyo sambil tersenyum. “Retno itu bandelnya bukan main dan agaknya hanya andika saja yang mampu mengendalikannya. Sebenarnya dia anak baik dan pemberani, juga mengenai kecantikannya, agaknya jarang ada yang dapat menyainginya, anakmas.”
Wajah Sutejo berubah kemerahan. Sungguh sama sekali dia tak pernah menduga bahwa dua orang itu akan mengajukan usul perjodohan seperti itu. Retno Susilo! Dia menjadi salah tingkah.
Dia memang suka dan kagum kepada dara itu. Akan tetapi berjodoh dengannya? Sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya, sedikit pun tidak pernah. Dia sama sekali belum pernah memikirkan perjodohannya, dengan siapa pun juga. Masih jauh jalan yang harus dia lalui, masih luas pengalaman hidup yang harus ditempuhnya. Mana mungkin sekarang tiba-tiba mengikatkan diri dengan perjodohan? Hal itu berarti dia akan berhenti, berumah tangga membentuk keluarga! Padahal jangkauannya amat jauh, dia akan menghambakan dirinya kepada Sang Prabu Pandan Cokrokusumo atau Sultan Agung yang arif bijaksana, menghambakan diri kepada nusa dan bangsanya.
“Bagaimana pendapatmu dengan usul kami itu, anakmas? Kami melihat kalian berdua sangat serasi. Retno Susilo memiliki kepandaian yang melebihi kami, dengan bimbingan anakmas kelak ia akan menjadi seorang wanita yang hebat,” kata pula Ki Mundingsosro.
“Maaf, beribu maaf, paman berdua. Bukan sekali-kali saya menolak usul andika berdua. Bahkan saya menghaturkan terima kasih sekali atas kepercayaan yang besar itu. Akan tetapi terus terang saja, untuk waktu sekarang ini saya sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Saya ingin meluaskan pengalaman dan pengetahuan dan untuk itu saya harus hidup seorang diri. Bukan berarti saya menampik nimas Retno Susilo. Ia bahkan mungkin terlalu baik untuk saya. Akan tetapi terus terang saja, untuk saat ini saya tidak dapat menerima usul itu. Saya masih ingin hidup sebatang kara dan bebas merdeka tidak terikat oleh apa pun.”
Dua orang pria itu saling pandang dan mereka tampak kecewa. Akan tetapi karena alasan Sutejo kuat, mereka hanya dapat menghela napas dan Ki Mundingsosro berkata dengan lambat.
“Kami dapat mengerti pendirian andika, anakmas. Akan tetapi kalau sudah tiba saatnya bagi andika untuk memikirkan perjodohan, jangan lupakan Retno Susilo, jangan lupakan kami, anakmas. Kami masih selalu mengharapkanmu...”
“Ahh, saya tidak berani menjanjikan apa-apa, paman. Nimas Retno Susilo adalah seorang gadis yang cantik jelita dan pandai. Kalau memang ada seorang perjaka yang meminang dan nimas Retno Susilo setuju, jadikan saja perjodohan itu, jangan menunggu saya. Saya khawatir kalau-kalau paman akan menunggu dengan sia-sia. Siapa tahu selamanya saya tidak akan mengikatkan diri dengan perjodohan.”
Kembali Ki Mundingsosoro menghela napas panjang. “Biarlah, anakmas. Di antara kita tidak ada janji apa-apa, tidak ada ikatan apa-apa. Hanya kami harap anakmas tidak akan melupakan kami yang telah menjadi sahabat baik.”
Siang itu kembali Sutejo dijamu makan siang yang mewah. Retno Susilo ikut makan satu meja dan ia bersikap manis sekali terhadap Sutejo yang dikaguminya. Ia melayani Sutejo dengan ramah, mengambilkan dan menambahkan lauk pauk, mengisi cangkir minumnya setiap kali kosong.
“Kalau saja aku bisa mempunyai guru seperti andika, kakang Sutejo, maka akan puaslah hidupku. Aku ingin menjadi sakti mandraguna seperti andika.”
“Engkau sudah cukup digdaya sebagai seorang gadis, nimas. Pula aku tidak mempunyai waktu untuk menjadi seorang guru. Aku hendak berkelana, melaksanakan tugas sebagai seorang satria yang membela kebenaran dan keadilan, dan terutama sekali aku hendak mengabdi kepada Yang Mulia Sultan Agung di Mataram.”
“Ah, engkau akan berkelana, kakang Sutejo? Tidak tinggal dulu beberapa lamanya di sini menjadi tamu kami?”
“Tidak, nimas. Bahkan hari ini juga aku akan berangkat meninggalkan tempat ini.”
“Apa?” Retno Susilo bangkit dari tempat duduknya. “Hendak pergi sekarang juga? Ayah, aku boleh ikut kakang Sutejo pergi, bukan? Ikut berkelana? Boleh, ya, ayah?” dia sibuk membujuk ayahnya.
Ayahnya saling pandang dengan pamannya, kemudian menggerakkan kedua pundaknya dan berkata, “Tentu saja boleh kalau anakmas Sutejo tidak berkeberatan.”
“Kakang Sutejo tentu tidak berkeberatan ya, kakang? Aku boleh ikut merantau denganmu, bukan?”
Sutejo tersenyum dengan hati merasa tidak enak. “Tentu saja itu tidak mungkin, nimas. Dalam perantauanku aku banyak menempuh bahaya dan aku akan mengabdikan diriku kepada Yang Mulia Sultan Agung di Mataram menjadi prajurit. Bagaimana andika seorang gadis muda hendak ikut? Lagi pula bukankah akan tidak pantas sekali dilihat orang kalau seorang gadis muda melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pria?”
“Aku tidak takut menempuh bahaya, asal bersamamu, kakang! Dan siapa bilang tidak pantas? Aku bisa saja bilang bahwa aku adikmu atau aku akan menyamar menjadi Joko Susilo, siapa akan tahu kalau aku seorang wanita?”
Sutejo mengerutkan alisnya. Dia harus berani berkeras hati menghadapi gadis manja ini. Dia menggeleng kepalanya dan suaranya terdengar tegas. “Tak mungkin, nimas. Maafkan aku, terpaksa aku menolak keinginanmu. Aku tak bisa melakukan perjalanan bersamamu, karena masih banyak yang harus kuurus dan kuselesaikan. Keikutanmu akan merupakan hambatan bagiku. Sekali lagi maaf, aku harus pergi seorang diri saja.”
Retno Susilo mengerutkan alis kemudian duduk kembali, cemberut dan kedua matanya basah. Dia tidak mau makan lagi.
“Sudahlah, Retno, anakmas Sutejo mempunyai banyak urusan yang harus dilaksanakan. Kalau dia tidak mengijinkan engkau ikut maka engkau tidak boleh memaksanya,” kata Ki Mundingsosro menghibur anaknya.
“Siapa yang memaksa?” kata Retno Susilo galak dan dia pun bangkit berdiri kemudian meninggalkan ruangan makan itu.
Sutejo menghela napas, merasa tidak enak sekali. “Maafkan, paman Mundingsosro, aku telah membuat nimas Retno marah.”
“Ahh, tidak mengapa anakmas. Anak itu memang amat manja, segala kemauannya selalu harus dituruti.”
Jamuan makan itu pun selesai dan Sutejo segera berkemas-kemas untuk meninggalkan perkampungan Sardulo Cemeng. Kemudian dia berpamit kepada Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo.
Seluruh keluarga tuan rumah ikut mengantar tamu kehormatan mereka hingga keluar dari perkampungan. Hanya Retno Susilo yang tidak tampak. Ki Mundingsosro sudah mencari anak perempuannya itu, tetapi tidak berhasil. Gadis itu tetap tidak tampak sampai Sutejo meninggalkan perkampungan.
Setelah melewati Hutan Kolojambe di luar perkampungan itu, tibalah dia di lereng bukit.
“Kakang Sutejo!” Dia mendengar panggilan. Suara Retno Susilo!
Akan tetapi ketika dia menengok ke belakang dan ke sekelilingnya, tidak tampak gadis itu. Akhirnya dia melihat gadis itu berada di depan, duduk di atas cabang pohon dengan dua kaki ongkang-ongkang. Gadis itu telah mengenakan pakaian sebagai pemuda remaja!
“Ehh, engkau nimas Retno!”
Dengan gerakan yang amat gesit, gadis itu berjungkir balik beberapa kali kemudian turun di depan Sutejo. “Aku bukan Retno. Aku adalah Joko Susilo!” katanya tegas. “Dan tidak ada seorang pun di dunia ini dapat melarang seorang pemuda remaja seperti aku untuk merantau ke mana saja aku suka!”
Sutejo menghela napas panjang. “Tidak ada yang melarangmu merantau, hanya aku tidak mungkin mengajakmu, nimas. Betapa pun juga aku tahu bahwa andika seorang wanita, dan ini sungguh tidak baik. Apa akan kata orang kalau melihat aku melakukan perjalanan dengan seorang gadis? Dan aku masih punya banyak tugas yang harus kuselesaikan.”
“Tidak peduli! Aku akan ikut denganmu, dan kalau engkau melarang, engkau harus dapat menggunakan kekerasan. Selama kedua kakiku dapat digerakkan, aku akan ikut engkau, kakang!” kata Retno Susilo dengan suara mengandung tangis.
Sebenarnya Sutejo merasa kasihan sekali kepada gadis ini, akan tetapi dia juga jengkel menghadapi kekerasan hatinya. Seorang gadis yang berkepala batu! Segala kehendaknya harus dituruti!
“Aku tetap tidak mau membawamu. Aku akan pergi!” Sesudah berkata demikian Sutejo hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan lereng bukit itu.
Akan tetapi dengan sebuah lompatan yang sigap tubuh Retno Susilo telah mendahuluinya dan kini ia berdiri di depan Sutejo, matanya yang lebar dan bening itu bersinar-sinar penuh penasaran dan kemarahan, kedua pipi yang bentuknya indah itu merah sekali, napasnya agak memburu ketika ia bertolak pinggang menghadang di depan Sutejo.....
Komentar
Posting Komentar