PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-07


Sutejo menghela napas. "Aku tidak kejam, Retno. Akan tetapi sungguh tidak mungkin aku mengajakmu pergi merantau. Banyak sekali tugas-tugas yang harus kuhadapi. Aku harus menghadap Bapa Guru di Gunung Kawi, kemudian pergi menghadap Eyang Guru di puncak Semeru. Setelah itu aku harus menghambakan diri kepada Sinuhun dan berbakti untuk nusa bangsa. Untuk memenuhi semua tugas itu aku harus menempuh perjalanan yang jauh dan berat. Bagainana mungkin aku dapat membawamu?"

"Akan tetapi aku tidak minta digendong, tidak minta dituntun. Aku berjalan dengan kakiku sendiri dan aku dapat menjaga diri dengan kaki tanganku sendiri. Engkau tak perlu repot-repot mengurusku, kakang, hanya mengijinkan aku mengikutimu ke mana engkau pergi."

"Ini hal yang tidak mungkin, Retno. Engkau seorang wanita, seorang gadis. Bagaimana dapat melakukan perjalanan bersamaku seorang pemuda? Benar-benar tidak pantas dan melanggar kesusilaan. Namamu adalah Retno Susilo, karena itu engkau harus tahu apa artinya kesusilaan itu. Seorang gadis melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang bukan apa-apanya merupakan pelanggaran susila yang besar."

"Akan tetapi aku menyamar sebagai seorang pemuda bernama Joko Susilo. Tidak akan ada yang tahu bahwa aku seorang gadis!" bantah Ratno Susilo.

"Rahasia itu tidak akan dapat dipertahankan untuk selamanya. Akhirnya orang akan tahu bahwa engkau seorang gadis dan habislah nama baik dan kehormatan kita. Bagiku masih tidak begitu buruk akibatnya karena aku seorang laki-laki, akan tetapi bagimu? Namamu sebagai seorang gadis akan menjadi rusak dan terhina. Tidak, aku benar-benar tidak bisa mengajakmu, Retno Susilo!"

"Aku tetap akan mengikutimu!"

"Dan aku tetap menolak untuk mengajakmu!" Sutejo sudah menjadi marah sekali. Gadis ini sungguh bandel dan tidak mau tahu urusan, hendak membawa keinginannya sendiri saja, hendak memaksakan kahendaknya.

"Kalau begitu engkau juga tidak boleh pergi begitu saja. Aku akan menghalangimu pergi!" Sesudah berkata demikian, Retno Susilo bergerak cepat sekali. Tubuhnya berkelebatan seperti terbang saja karena dia sudah mengerahkan aji meringankan tubuh yang disebut Kluwung Sakti. Cepat bukan main gerakan tubuhnya dan tiba-tiba saja ia telah menyerang Sutejo dengan tamparan tangan kirinya ke arah dada!

"Wuuuuuuttt...!"

Sutejo cepat mengelak. Pemuda ini pun merasa marah dan jengkel sekali menghadapi gadis yang liar dan binal ini. Dia mengelak sambil melangkah ke samping. Namun gerakan Retno Susilo amat cepatnya, tubuhnya sudah membuat gerakan berputar dan kembali tangannya sudah menyambar dengan tamparan yang lebih kuat lagi ke arah wajah Sutejo.

"Hemmm, kepala batu!" Sutejo mengomel dan dia cepat mengangkat lengannya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga.

"Wuutttt...! Dukk!"

Tangan itu tertangkis dan tubuh Retno Susilo terlempar sedikit saking kuatnya tangkisan itu. Akan tetapi dalam keadaan tubuhnya berputar itu, siku kanan Retno Susilo mencuat dan menyerang ke arah dada Sutejo!

"Desss...!"

Karena serangan ini tidak disangka-sangka, Sutejo kena disikut dadanya sehingga agak terhuyung ke belakang. Siku yang runcing itu cukup mendatangkan rasa nyeri karena dia tidak melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan. Dengan marah tangannya menyambar untuk menangkap pergelangan tangan gadis itu.

Namun gadis itu memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Cepat bukan main gerakannya dan ia telah dapat menarik tangannya sehingga luput dari cengkeraman Sutejo, bahkan kini ia menghujamkan serangan lagi dengan tangannya yang menyambar-nyambar, menampar dan menonjok. Cepat sekali gerakan sepasang tangannya sehingga seolah ia memiliki enam buah tangan, bukan hanya dua. Dan tubuhnya berkelebatan gesit seperti seekor burung walet.

Penasaran juga rasa hati Sutejo. Diam-diam dia harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat dalam hal kecepatan dan keringanan gerakan tubuh dibandingkan dara itu. Dia tahu bahwa kalau hanya mengadalkan kecepatan, tidak akan pernah dapat menundukkan gadis bandel ini. Karena itu dia mengubah siasat. Ketika kedua tangan gadis itu kembali menamparnya ke arah dada dan leber, diam-diam dia mengerahkan aji kekebalan Kawoco dan menerima pukulan itu dengan dada dan leher terbuka, sama sekali tidak dielakkan atau ditangkis.

"Plaakk! Plaakk!"

Dua kali tamparan tepat mengenai dada dan lehernya, akan tetapi akibatnya Retno Susilo menahan jeritnya karena merasa betapa kedua telapak tangannya terasa panas dan pedih seperti telah menampar dinding baja! Kedua tangannya itu terpental dan pemuda itu berdiri tenang saja, memasang tubuhnya untuk dipukul.

"Silakan pilih mana bagian yang paling lunak, Retno Susilo! Pukullah dengan tanganmu yang lunak seperti agar-agar itu!" Sutejo sengaja mengejek karena dia memang sudah mendongkol sekali melihat kebandelan gadis ini.

Mendengar ejekan bahwa tangannya lunak bagai agar-agar, Retno Susilo membelalakkan matanya dan menjadi marah bukan main. Tanpa mempedulikan kedua tanganaya yang terasa panas dan nyeri, dia memukul terus, dari depan, dari belakang, memukuli dengan ngawur saja asal kena.

Terdengar suara plak-plok dan bak-buk ketika tubuh Sutejo dihujani pukulan, akan tetapi semua pukulan itu membalik dan tangan yang memukul terpental. Sutejo baru mengelak atau menangkis kalau pukulan itu mengarah kepala atau mukanya, akan tetapi di bagian tubuh lainnya, dia menerima begitu saja.

Akhirnya Retno Susilo tidak tahan. Kedua tangannya sudah menjadi kemerahan dan nyeri sekali sedangkan hatinya demikian kesal dan gemasnya sehingga kedua matanya sudah basah air mata. Ia menangis tanpa suara.

"Keparat!" Ia memaki dan tiba-tiba ia mencabut sebatang pedang dari punggungnya.

Begitu dicabut, nampaklah sinar kehijauan. Itulah sebatang pedang pusaka pemberian gurunya. Pedang pusaka Nogo Wilis yang mengeluarkan sinar kehijauan. Begitu pedang Nogo Wilis berada di tangannya, Retno Susilo langsung menerjang dengan ganas dan dahsyat, tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Serangannya bertubi-tubi dan dahsyat sekali karena selain cepat juga mengandung tenaga sakti dan pedang itu sendiri mempunyai kandungan hawa yang amat berbahaya.

"Heeiiiittttt...!" Sutejo sudah waspada, maklum betapa besar bahayaa pedang pusaka di tangan gadis yang liar dan binal itu. Dia pun menggunakan kelincahannya untuk melompat dan mengelak.

Akan tetapi Retno Susilo terus mengejar dan tidak memberi kesempatan padanya untuk menjauh. Pedangnya menyambar-nyambar seperti seekor naga bermain-main di angkasa, di antara awan yang bergulung-gulung.

Repot juga Sutejo didesak oleh rangkaian serangan pedang yang dahsyat. Maklum bahwa kalau dia hanya menghadapinya dengan tangan kosong keadaaannya dapat berbahaya, dia lalu melolos kain pengikat rambutnya. Kain kepala itu cukup panjang dan lebar, dan sekali dikelebatkan, tampak gulungan sinar putih seperti awan yang menyambut gulungan sinar pedang yang kehijauan.

"Plak-plak! Cringgg...!" Kain yang lunak itu di tangan Sutejo dapat berubah menjadi keras dan kaku seperti terbuat dari logam dan beberapa kali pedang itu tertangkis dan terpental.

Akan tetapi Retno Susilo mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan semua tenaganya hingga gerakannya selain cepat juga trengginas, sehingga Sutejo lebih banyak mengelak dan menangkis dari pada menyerang. Karena sampai puluhan jurus belum juga dapat mengalahkan pemuda itu, Retno Susilo menjadi semakin penasaran.

“Hyaaaattt...!" tiba-tiba tubuhnya melayang dan pedangnya menyambar ganas. Bagaikan seekor burung garuda dara itu melompat dan mengirim serangan dari udara. Pedangnya menyambar ke arah kepala Sutejo secara dahsyat sekali.

Pemuda ini mengambil keputusan untuk menyudahi perkelahian itu sebelum perkelahian menjadi semakin berbahaya. Dia tidak ingin mencelakai Retno Susilo, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin kalah di tangan gadis bandel ini.

Melihat pedang itu menyambar dahsyat, dia mengelak, menyelinap di bawah sambaran pedang. Kemudian, ketika lengan yang memegang pedang itu lewat, dia menggunakan kain pengikat kepalanya untuk mengebut atau melecut ke arah pergelangan tangan Retno Susilo yang memegang pedang.

"Pssstttt...!"

Gadis itu menjerit kecil dan pedangnya terlepas dari pegangan, terlempar sampai jauh. Sejenak gadis itu terbelalak, lantas mukanya berubah menjadi merah sekali. Diserangnya Sutejo dengan kedua tangannya dan di lain saat dia sudah menghujankan pukulan dan tamparan kepada tubuh Sutejo.

Akan tetapi pemuda itu menerimanya sambil tersenyum. Karena semua pukulannya tidak mempan, akhirnya gadis itu menjatuhkan diri berlutut lalu manangis, menutupi mukanya dengan kedua tangannya!

Sutejo memandang pada gadis itu, kemudian perlahan-lahan dia membalikkan tubuhnya dan melompat pergi menuruni lereng bukit itu, tidak mempedulikan lagi kepada gadis berpakaian pria yang sedang menangis kesal dan marah itu.

Dua orang laki-laki gagah yang bertubuh tinggi besar perlahan-lahan menghampiri Retno Susilo yang sedang menangis itu. Mereka itu bukan lain adalah Ki Mundingsosro ketua Sardula Cemeng dan adiknya, Ki Munidngloyo. Mereka saling pandang lalu memandang kepada Retno Susilo sambil menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepala.

"Retno Susilo, engkau kenapa?" Mengapa engkau menangis di sini?" Ki Mundingsosro bertanya, pura.pura tidak tahu padahal tadi dia dan adiknya telah melihat dari jauh betapa puterinya itu bertanding melawan Sutejo dan dikalahkan oleh pemuda itu.

Mendengar suara ayahnya, Retno Susilo tidak menurunkan kedua tangannya dari depan wajahnya, bahkan menangis semakin mengguguk! Dengan suara halus ayah dan paman itu membujuknya agar tidak menangis lagi.

"Sudahlah, anakku. Kalau ada urusan sebaiknya dirundingkan dulu dengan kami, ditangisi saja tak akan ada gunanya. Lagi pula engkau adalah seorang gadis yang gagah perkasa, bagaimana masih dapat menangis seperti seorang anak perempuan yang lemah dan cengeng? Katakanlah, siapa yang telah berani menyakitimu? Kami tidak akan tinggal diam saja," kata pula Ki Mundingsosro.

Retno Susilo menghapus air matanya dan menghentikan tangisnya. Dia lalu mengambil pedangnya yang tadi terlempar jauh, kemudian berkata kepada ayahnya. "Bapa, aku mau pergi mencari guruku untuk memperdalam ilmu agar lain kali tidak sampai dihina orang!"

"Ehh, Siapa yang telah menghinamu, anakku?" tanya ayahnya.

"Kakang Sutejo! Aku ingin ikut dia mengembara, akan tetapi dia menolak, bahkan ketika aku memaksa, ia mengalahkan aku. Aku harus belajar lagi dari guruku Nyi Rukmo Petak, kemudian aku akan mencari Sutejo dan menantangnya lagi untuk menebus kekalahanku hari ini!"

Ki Mundingsosro saling pandang dengan Ki Mundingloyo kemudian keduanya tersenyum. Maklumlah Ki Mundingsosro akan isi hati puterinya. Tidak salah lagi, puterinya yang keras hati ini sudah jatuh hati kepada Sutejo dan hendak ikut pemuda itu merantau akan tetapi menjadi marah ketika ditolak kemudian menantang akan tetapi dapat dikalahkan.

"Baiklah, akan tetapi mari pulang dulu. Engkau harus pikirkan dahulu baik-baik dan juga berpamit kepada ibumu, bukan pergi secara tiba-tiba seperti ini," ayahnya dan pamannya membujuk dan akhirnya gadis bandel itu mau juga diajak pulang.

Akan tetapi sepekan kemudian Retno Susilo pergi meninggalkan perkampungan Sardulo Cemeng di hutan Kebon Jambe. Semua alasan yang diajarkan ayahnya dan pamannya, juga ibunya untuk mencegah kepergiannya, tidak mau didengarnya lagi sehingga akhirnya mereka terpaksa membiarkan gadis itu pergi.

Retno Susilo membawa bekal emas untuk biaya perjalanan dan dia tidak lagi menyamar sebagai seorang pemuda, melainkan berdandan seperti seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, dengan pakaian serba ringkas, tidak lupa Pedang Nogo Wilis tergantung di punggungnya.....

********************

Sang Adipati Wirosobo tampak marah sekali. Tubuhnya yang tinggi besar itu kelihatan semakin kokoh, wajahnya yang penuh brewok itu berubah kemerahan, matanya yang lebar terbelalak menonjol seolah hendak keluar dari pelupuknya, tangan kirinya memuntir kumisnya yang sekepal sebelah.

"Babo-babo keparat! Andika dikalahkan oleh murid Bhagawan Sidik Paningal, Paman Bhagawan Jaladara? Bahkan Pecut Sakti Bajrakirana sudah dirampas oleh pemuda itu? Siapa namanya? Sutejo?"

Sang Bhagawan Jaladara menundukkan mukanya. "Sebenarnya tidak seharusnya saya kalah oleh Sutejo. anakmas Adipati. Bagaimana pun dia adalah murid keponakan saya sendiri dan ilmu kami sealiran. Akan tetapi agaknya dia sudah mendapat dukungan dari Bapa Guru Resi Limut Manik sehingga dia memiliki kekuatan yang luar biasa. Maafkan bahwa saya terpaksa tidak mampu mempertahankan Pecut Sakti Bajrakirana."

"Celaka!" Sang Adipati menggebrak meja di depannya sehingga ruangan itu tergetar.

Seorang pria berusia sepantar dengan Sang Adipati, yaitu kurang lebih empat puluh lima tahun, yang berwajah tampan, bersikap gagah dan tenang, yang ikut pula menghadap di situ bernama Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, mengangkat mukanya dan menyembah kepada Sang Adipati.

"Ampunkan hamba kalau berani mengajukan usul, Gusti Adipati. Hamba rasa sekarang belum terlambat. Karena yang merampas Pecut Sakti itu adalah murid Sang Bhagawan Sidik Paningal, tentu pecut itu dibawa ke Gunung Kawi oleh pemuda bernama Sutejo itu. Belum terlambat bagi kita untuk mengejarnya, menyusul dia dan merampasnya kembali, sekalian memberi hajaran kepada Bhagawan Sidik Paningal dan muridnya. Kalau hamba pergi dengan Paman Bhagawan Jaladara, Kakang Warok Petak dan Kakang Baka Kroda, mustahil kami tidak akan dapat mengalahkan mereka."

Sang Adipati mengangguk-angguk.

Pembicara itu adalah Tumanggung Janurmendo, jagoan nomor satu dari Wirosobo yang memiliki kesaktian tinggi dan dapat diandalkan. Kalau dia yang pergi, Sang Adipati yakin akan memperoleh hasil.

"Bagus sekali, Adi Tumenggung Janurmendo. Agaknya hanya andikalah yang menjadi tumpuan harapan kami untuk mendapatkan kembali Pecut Bajrakirana itu dan memberi pelajaran kepada Bhagawan Sidik Paningal. Dia tidak mau menuruti kehendak kami membantu Wirosobo, biar dia tahu bahwa Kadipaten Wirosobo tidak boleh dibuat main-main! Untuk memperkuat kedudukanmu, terimalah Keris Pusaka Jalu Sarpo ini. Pusaka ini menjadi milikmu dan gunakan sesuka hatimu untuk mengakhiri hidup Bhagawan Sidik Paninggal"

Tumenggung Janurmendo bergerak menghaturkan sembah dan menerima pusaka sambil menghaturkan terima kasih. Keris Jalu Sarpo adalah sebatang keris lurus yang ampuh sekali karena mengandung racun yang mematikan.

Sesudah mendapat restu dari Sang Adipati Wirosobo dan mengadakan persiapan, maka berangkatlah empat orang itu. Tumenggung Janurmendo, Bhagawan Jaladara, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda. Mereka menunggang empat ekor kuda pilihan dan mereka membalapkan kuda mereka menuju ke lereng Gunung Kawi.....

********************

Bhagawan Sidik Paningal menghela napas panjang. Sebagai seorang pertapa yang sudah tajam dan peka perasaannya, pada pagi hari itu dia merasa hatinya amat tidak tenang. Jantungnya berdebar tanpa sebab dan dia maklum bahwa hal ini merupakan tanda bahwa akan ada sesuatu yang tidak baik menimpa dirinya. Mukanya yang biasanya berseri itu kini tampak muram dan berulang kali dia menghela napas panjang. Diam-diam dia lalu membisikkan doa ke hadirat Illahi, menyerahkan diri sebulatnya kepada Kehendak Yang Maha Kuasa.

"Seorang manusia, siapa pun adanya dia, tidak dapat mengubah apa pun yang sudah dikehendaki Yang Maha Kuasa," pikirnya dan dengan pikiran ini dia pun menyerah dan hatinya menjadi tenang kembali.

Kini dia berada seorang diri di padepokannya. Dia tidak mempunyai seorang pun cantrik. Biasanya dia hidup berdua saja dengan muridnya yang telah dianggap sebagai puteranya sendiri, yaitu Sutejo. Semenjak Sutejo pergi, dia pun hidup seorang diri dan pagi hari itu dia melaksanakan tugas sehari-hari seperti biasa.

Setelah mengisi kolam air di tempat pemandian dan dapur, dia pun memasak air untuk membuat minuman air teh. Apakah muridnya hari ini akan pulang? Pikiran yang menjadi harapannya ini menyelinap dalam hatinya.

Muridnya mempunyai tugas penting, yaitu merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Bhagawan Jaladara. Dia yakin bahwa kini Sutejo tidak akan kalah kalau melawan Bhagawan Jaladara karena muridnya itu telah dibekali Aji Gelap Musti. Dia mengharapkan mudah-mudahan muridnya itu sudah mampu merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana untuk dikembalikan kepada gurunya, Resi Limut Manik di puncak Gunung Semeru.

Bhagawan Sidik Paningal menuangkan air teh panas dari poci ke dalam cangkir. Tiba-tiba dia menghentikan gerakannya itu dan meletakkan kembali poci air teh ke atas meja di depannya. Matanya menatap ke arah depan pondoknya. Dia mendengar derap kaki kuda yang mendatangi pondoknya. Perasaannya menjadi semakin tak enak. Dia bangkit berdiri lalu melangkah menuju keluar.

Empat orang penunggang kuda itu berhenti di depan pondok. Mereka masih duduk pada punggung kuda masing-masing dan mereka semua memandang ke arah pintu pondok dari mana Bhagawan Sidik Paningal muncul.

Pendeta ini segera mengerutkan alisnya ketika mengenal siapa yang datang. Bhagawan Jaladara, Ki Warok Petak, Baka Kroda, dan seorang laki-laki gagah perkasa dan tampan berusia sekitar empat puluh lima tahun yang tidak dikenalnya.

"Adi Jaladara, ternyata andika yang datang lagi," tegur Bhagawan Sidik Paningal kepada adik seperguruannya itu.

"Kakang Sidik Paningal! Sudah kukatakan kepadamu bahwa aku akan datang lagi dan kalau sekarang andika masih juga belum menurut untuk meninggalkan Agama Islam dan membantu kadipaten Wirosobo, terpaksa aku akan membunuhmu."

Bhagawan Sidik Paningal memandang adik seperguruannya dengan sinar mata tajam tapi lembut, kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Apa pun yang terjadi, aku yang sedang mempelajari agama Islam tidak akan meninggalkan agama baru itu, dan aku tidak akan membantu Kadipaten Wirosobo jika kadipaten itu ingin memberontak terhadap Mataram. Tentang andika hendak membunuhku, nyawaku bukan berada di tanganmu, adi Jaladara, melainkan di tangan Hyang Widhi.”

"Babo-babo, kalau begitu kami akan mengantarkan nyawamu ke akhirat!" kata Bhagawan Jaladara sambil mengamangkan tongkat hitamnya.

Melihat ini Bhagawan Sidik Paningal melompat keluar karena dia tidak ingin menghadapi perkelahian di dalam pondoknya. Empat orang itu pun berloncatan turun dari kuda mereka dan menambatkan kuda mereka di batang pohon yang tumbuh di depan pondok itu.

"Kakang Sidik Paningal, bersiaplah untuk mampus!" bentak Bhagawan Jaladara dan dia menerjang ke depan dengan tongkat hitamnya.

Bhagawan Sidik Paningal merasa lega karena Bhagawan Jaladara tidak mengeluarkan Pecut Sakti Bajrakirana. Ke manakah pecut itu, pikirnya? Apakah Sutejo sudah berhasil merampasnya? Kalau pecut itu masih berada pada Bhagawan Jaladara, tentu sudah dia keluarkan untuk menundukkannya dan dia takkan berani melawan. Akan tetapi Bhagawan Jaladara tidak mengeluarkan pecut itu, sebaliknya menyerang dengan tongkat hitamnya.

Karena dia maklum betapa dahsyatnya tongkat itu, Bhagawan Sidik Paningal lalu melolos kain pengikat kapalanya yang berwarna kuning. Pada saat tongkat itu menyambar ke arah kepalanya, dia pun menangkis dengan kebutan kain kuning itu.

"Wuuuttt...! Desss...!"

Hebat bukan main pertemuan antara kedua senjata yang mengandung tenaga sakti itu. Akan tetapi karena memang Bhagawan Jaladara masih tidak mampu menandingi kakak seperguruannya, tubuhnya terdorong ke belakang dan terhuyung.

"Paman Bhagawan Jaladara, serahkan dia padaku!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Tumenggung Janurmendo telah melompat ke depan. Gerakannya tangkas sekali dan Tumenggung yang gagah perkasa itu sekarang telah berhadapan dengan Bhagawan Sidik Paningal.

Pertapa ini memandang dengan ragu karena ia belum mengenal orang ini. Karena merasa tidak semestinya berkelahi melawan orang yang sama sekali tidak dikenalnya, maka dia pun bertanya dengan suara tenang.

"Siapakah andika, Ki sanak dan mengapa mencampuri urusan antara dua orang kakak beradik yang tak ada sangkut pautnya denganmu?"

Tumenggung Janurmendo tersenyum dan menjawab dengan lantang,

"Bhagawan Sidik Paningal. aku adalah Tumenggung Janurmendo, utusan sang Adipati Wirosobo. Menyerahlah andika untuk kubawa menghadap Sang Adipati, dari pada aku terpaksa harus mempergunakan kekerasan terhadap dirimu!"

Mengertilah kini Bhagawan Sidik Paningal bahwa dia berhadapan dengan seorang jagoan Wirosobo. "Hmmm, mengapa aku harus pergi menghadap Sang Adipati Wirosobo? Aku tidak mempunyai urusan dengan beliau!"

"Bhagawan Sidik Paningal. Ingatlah bahwa andika berasal dari daerah Wirosobo, berarti andika adalah kawula Wirosobo. Adipati berhak memanggil kawulanya yang mana pun juga, oleh karena itu sudah menjadi kewajibanmu sebagai kawula Wirosobo untuk datang menghadap apa bila dipanggil."

"Aku tahu bahwa aku dipanggil hanya untuk disuruh membantu Wirosobo yang hendak memberontak terhadap Mataram. Aku tidak mau terlibat dalam perang pemberontakan, sebab itu sekali lagi aku tegaskan bahwa aku tidak mau menghadap Kadipaten Wirosobo. Kalian mau apa?"

"Babo-babo! Ketahuilah, Bhagawan Sidik Paningal bahwa semua purbowasesonya sudah diserahkan ke dalam tanganku. Bila engkau membangkang, terpaksa kau akan kutangkap dan kuseret menghadap Sang Adipati!"

Bhagawan Sidik Paningal mengerutkan alisnya. Karena dia sudah yakin bahwa Bhagawan Jaladara tidak membawa Pecut Bajrakirana, maka timbul ketabahan dalam hatinya. Dia tidak takut menghadapi mereka semua.

"Tumenggung Janurmendo, cobalah kalau andika memang mampu menangkap aku!"

Tumenggung yang gagah perkasa itu lalu memasang kuda-kuda, dua kakinya terpentang lebar, yang kiri di depan, yang kanan di belakang agak ditekuk lulutnya, kedua lengannya dikembangkan, kemudian mulutnya berseru,

"Sambutlah...! Auurrrrhhhhh!"

Dua tangan itu lalu dirangkap menyembah di depan dada dan tiba-tiba tangan kanannya meluncur ke depan dibarengi kaki kanannya yang ikut melangkah lebar ke depan. Telapak tangan kanan didorongkan ke depan sehingga timbul angin dahsyat menyambar ganas ke arah tubuh Bhagawan Sidik Paningal.

Sang Bhagawan mengenal pukulan ampuh, maka dia pun cepat-cepat mengelak dengan gerakan kaki ke samping, tubuhnya condong ke kiri mengelak dan ketika pukulan itu lewat di samping tubuhnya, dia pun membalas dengan pukulan tangan yang terbuka ke arah lambung lawan.

Tetapi Sang Tumenggung Janurmendo ternyata begitu tangkas sekali. Begitu pukulannya luput, lengan kanan itu sudah ditekuknya dan membuang ke samping sebagai tangkisan sehingga ketika tangan kiri Bhagawan Sidik Paningal datang memukul, tangan itu segera tertangkis oleh tangan kanan Tumenggung Janurmendo.

“Dukk...!”

Keduanya terdorong mundur ketika dua tangan itu bertemu dengan kuatnya. Terjadilah perkelahian yang sembang.

Ternyata Tumenggung Janurmendo tidak mengecewakan menjadi jagoan nmor satu dari Wirosobo. Dia digdaya dan bertenaga besar, cekatan dan sakti mandraguna sehingga biar pun Sang Bhagawan Sidik Paningal sudah mengerahkan tenaga serta kepandaiannya, Tumenggung Janurmendo selalu dapat menandingi dan mengimbanginya.

Karena di situ masih terdapat tiga orang musuh, Bhagawan Sidik Paningal berpikir bahwa jika dia tidak segera dapat mengalahkan Tumenggung itu dan kemudian dikeroyok, tentu dia tidak akan mampu bertahan. Terpaksa dia lalu mengerahkan aji pamungkasnya, yaitu Aji Gelap Musti, sebuah aji pukulan yang amat dahsyat, yang menjadi intisari Perguruan Jatikusumo yang pernah didirikan oleh gurunya, Sang Resi Limut Manik.

“Sambutlah Aji Gelap Musti ini!” pekiknya sebelum menggunakan aji itu. Tubuhnya berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk rendah, kedua tangannya didorongkan ke depan dan Aji Gelap Musti menyerang bagaikan gelombang pasang ke arah Tumenggung Janurmendo!

Akan tetapi Tumenggung itu sudah siap. Dia pun memasang kedua kakinya di depan dan belakang, menekuk kedua lututnya lalu mendorongkan kedua tangannya ke depan sambil berseru, “Aji Wising Geni!”

Kemudian dari tangannya menyambar hawa panas yang amat dahsyat. Dua tenaga sakti bertemu di udara, di tengah-tengah di antara kedua orang itu.

“Wuuuttttt...! Dessss...!”

Kedua orang itu terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Ternyata dalam adu tenaga lewat aji yang dahsyat itu pun terbukti bahwa keduanya memiliki kekuatan yang seimbang dan keduanya sama-sama menderita luka parah.

Pada saat itu pula Bhagawan Jaladara sudah melompat maju dan tongkatnya langsung menyambar. Dua kali tongkatnya menyambar dengan totokan ke arah dada dan pundak Bhagawan Sidik Paningal.

“Tukk! Tukk!”

Bhagawan Sidik Paningal tidak mampu menghindarkan totokan itu dan tubuhnya langsung terpelanting roboh. Bhagawan Jaladara segera menambahkan tendangan yang mengenai dadanya dan Bhagawan Sidik Paningal mengeluh lirih lalu roboh pingsan!

“Cepat geledah ke dalam! Cari Pecut Bajrakirana!” kata Bhagawan Jaladara kepada dua orang pembantunya.

Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda cepat memasuki pondok dan mencari-cari, sementara itu Tumenggung Janurmendo sudah duduk bersila untuk menghimpun hawa murni sambil mengobati luka dalam yang dideritanya ketika mengadu tenaga sakti melawan Bhagawan Sidik Paningal tadi.

Akan tetapi tidak lama kemudian kedua orang pembantu itu keluar lagi dari dalam pondok dan melaporkan bahwa mereka tak dapat menemukan pecut yang dicari di dalam pondok itu. Bhagawan Jaladara membanting kakinya dengan jengkel.

“Keparat! Tentu masih dibawa bocah itu,” serunya marah.

Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri Sutejo dengan Pecut Sakti Bajrakirana di tangan. Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan dia berseru nyaring,

"Apa yang terjadi di sini? Apa yang kalian lakukan di sini?"

Melihat munculnya pemuda ini, Bhagawan Jaladara yang cerdik itu langsung memegang punggung baju Bhagawan Sidik Paningal dan membantu pendeta yang sudah lemah itu untuk berdiri.

"Sutejo, jangan bergerak dan cepat kau serahkan pecut itu kepadaku atau... aku akan membunuh Kakang Sidik Paningal lebih dulu!" Tongkat hitam di tangannya ditempelkan ke kepala Bhagawan Sidik Paningal.

Sutejo memandang dan terkejut bukan main, sebab sekali pandang saja tahulah dia akan keadaan gurunya yang tampak demikian lemah dan terluka parah, luka di sebelah dalam karena bagian luar tubuhnya tidak berdarah.

"Apa yang sudah kalian lakukan terhadap Bapa Guru...?" katanya dengan gelisah ketika dia melihat keadaan Bhagawan Sidik Paningal.

"Kami akan membunuhnya kalau engkau tidak segera menyerahkan pecut Bajrakirana kepadaku!" Kembali Bhagawan Jaladara membentak dan mengancam. "Cepat serahkan atau...!” Ia mengangkat tongkatnya, siap dipukulkan ke kepala Bhagawan Sidik Paningal.

Melihat ini Sutejo tidak mempunyai pilihan lain. Tentu saja ia memberatkan keselamatan gurunya dari pada Pecut Bajrakirana itu. Akan tetapi ia agak ragu. Ia tahu bahwa paman gurunya itu adalah seorang yang berwatak tidak baik, bagaimana kalau nanti menipunya, setelah menerima pecut lalu tidak mau membebaskan gurunya?

"Berjanjilah dahulu untuk membebaskan Bapa Guru sebelum aku menyerahkan Pecut ini!" katanya.

"Aku berjanji!" kata Bhagawan Jaladara dan dia memberi isyarat kepada Ki Warok Petak untuk menerima pecut itu.

Ki Warok Petak menghampiri Sutejo kemudian mengulurkan tangannya. Terpaksa Sutejo menyerahkan pecut yang segera diterima oleh Ki Warok Petak dan diserahkan kepada Bhagawan Jaladara. Sang Bhagawan senang sekali dan dia menerima sambil tertawa, kemudian didorongnya tubuh Bhagawan Sidik Paningal sehingga jatuh tersungkur.

"Bapa...!" Sutejo berlari menghampiri gurunya lalu merangkulnya.

"Sutejo... engkau telah keliru... tak seharusnya... engkau menyerahkan Pecut Bajrakirana kepadanya..." kata Bhagawan Sidik Paningal terengah-engah.

"Akan tetapi Bapa...”

"Rampaslah kembali...!" perintah Bhagawan Sidik Paningal sambil menahan rasa nyeri di dadanya.

Mendengar ketegasan dalam suara gurunya, Sutejo tidak berani membantah lagi. Dia pun segera bangkit berdiri perlahan-lahan dan memandang kepada Bhagawan Jaladara yang memegang tongkat di tangan kirinya dan Pecut Bajrakirana di tangan kanan.

"Sutejo, aku pemegang Pecut Sakti Bajrakirana! Sebagai murid perguruan Jatikusumo, berlututlah engkau!" bentak Bhagawan Jaladara sambil mengangkat pecut itu ke atas.

Akan tetapi Sutejo memandang dengan mata bersinar penuh kemarahan.

"Aku tidak pernah menjadi murid perguruan Jatikusumo!" katanya. "Bhagawan Jaladara, kembalikan pecut itu kepadaku!"

Akan tetapi Bhagawan Jaladara berdiri di antara tiga orang temannya dan empat orang itu telah siap dengan senjata masing-masing. Bhagawan Jaladara sendiri memegang Pecut Bajrakirana berikut tongkat hitamnya. Tumenggung Janurmendo juga sudah menghunus sebatang keris pemberian Adipati Wirosobo, yaitu pusaka Jalu Sarpo. Ki Warok Petak memegang sebatang golok besar dan Ki Baka Kroda memegang sebatang keris pula. Mereka siap untuk mengeroyok Sutejo.

Sutejo mengerti bahwa dia berhadapan dengan empat orang lawan yang tangguh. Akan tetapi dia sudah marah dan sama sekali tak merasa jeri. Cepat dia melolos kain pengikat kepalanya kemudian dengan pekik melengking tinggi dia sudah menerjang ke depan, kain pengikat kepala itu diputar berubah menjadi gulungan sinar biru dan dia langsung saja memainkan senjata itu dengan Aji Sihung Nila.

Hebat bukan main serangannya ini, mendatangkan angin bergelombang karena dia sudah mengerahkan tenaga sakti yang dia dapatkan dari kakek gurunya. Empat orang lawannya menggerakkan senjata menyambut, akan tetapi keempatnya terhuyung ke belakang oleh sergapan angin serangan yang sangat dahsyat itu. Empat orang itu terkejut bukan main dan Bhagawan Jaladara menjadi khawatir.

Pembantu yang dapat dia andalkan adalah Tumenggung Janurmendo. Tumenggung ini agaknya merupakan satu-satunya orang di antara mereka yang akan mampu menandingi Sutejo. Namun pada saat itu sang Tumenggung sudah menderita luka dalam akibat adu tenaga melawan Bhagawan Sidik Paningal tadi sehingga tentu saja gerakannya menjadi kurang kuat. Maka Bhagawan Jaladara lalu mengamuk, mempergunakan pecut pusaka di tangannya yang merupakan senjata ampuh sekali.

"Tar-tarr-tarrrr...!" Pecut Sakti Bajrakirana meledak-ledak di atas kepala Sutejo.

Pemuda itu tidak berani mempergunakan kekebalan Kawoco untuk menyambut pecut yang sangat ampuh itu. Terpaksa dia mengelak dan kadang menangkis dengan kebutan kain pengikat kepalanya. Akan tetapi setiap kali ujung kain bertemu ujung pecut, kain itu robek ujungnya! Ujung pecut Bajrakirana itu seolah mengeluarkan api atau kilat yang luar biasa panas dan tajamnya.

Sementara itu, biar pun sudah terluka dalam, ilmu silat Tumenggung Janormendo masih sangat kuat. Keris pusaka Jalu Serpo di tangannya jaga berbahaya bukan main karena keris ini mengandung racun yang ampuh sekali. Ki Warok Petak dan Baka Kroda juga merupakan dua orang lawan yang kuat.

Akan tetapi pada saat itu Sutejo sudah tidak memikirkan keselamatan diri sendiri, bahkan dia sudah melupakan Pecut Bajrakirana. Yang teringat olehnya hanyalah bahwa gurunya telah terluka parah oleh orang-orang ini dan dia bertekad untuk membalas. Maka sepak terjangnya menggiriskan dan amukannya seperti seekor naga terluka!

Kain pengikat kepala itu berubah menjadi segulungan sinar kebiruan yang dahsyat sekali. Baru angin pukulannya saja menyambar-nyambar ganas, didukung tenaga dalam yang diwarisi dari Resi Limut Manik, didorong oleh kecepatan gerak Aji Harina Legawa yang membuat tubuhnya berkelebatan seperti bayang-bayang!

"Trangg...! Trakk...!"

Ki Warok petak dan Ki Baka Kroda terhuyung ke belakang. Hampir saja golok dan keris mereka terlepas dari tangannya ketika bertemu dengan ujung kain, kemudian gelombang sinar hitam itu menyambar ke arah dada Bhagawan Jaladara dan sebatang kaki mencuat dan menendang ke arah perut Tumenggung Janurmendo!

Begitu hebat serangan ini sehinggga Bhagawan Jaladara cepat melompat ke belakang. Demikian pula Tumenggung Janurmendo membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik sehingga terbebas dari tendangan berputar itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)