PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-11


Di sana ada seorang wanita yang berada dalam kegelisahan dan kedukaan, yang butuh uluran tangan untuk menolongnya. Dia tidak mungkin tinggal diam saja! Maka, sesudah rombongan itu lewat, Retno Susilo lalu berbalik dan cepat dia mengejar, lalu mendahului rombongan itu dan setelah tiba di depan, ia pun membalikkan tubuh dan menghadang di tengah jalan.

"Berhenti!" serunya kepada lima orang pengawal yang bersenjata golok dan terlihat seram menakutkan itu.

Tentu saja lima orang pengawal dan semua anggota rombongan itu memandang dengan heran dan segera terdengar decak-decak kekaguman di antara para anggota rombongan pria sesudah melihat gadis yang menghentikan mereka itu. Kecantikkan luar biasa yang jarang mereka lihat. Bagaimana mereka berlima dapat bersikap galak terhadap seorang dara yang demikian ayu?

Mereka terdiri dari pria yang berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun dan seorang di antara mereka yang berkumis melintang dan menjadi pemimpin di antara mereka, segera melangkah maju. Sambil memasang aksi tersenyum segaya mungkin, dia pun berkata sambil melahap wajah ayu itu dengan pandang matanya.

"Nimas ayu, siapakah andika dan mengapa pula andika menghentikan perjalanan kami?" Pertanyaan itu terdengar lembut dan sama sekali tidak galak!

Karena orang bersikap lunak dan ramah, Retno Susilo menjadi tidak enak hati juga. Maka dia pun tersenyum, hanya sedetik saja, akan tetapi cukup membuat jantung hati si kumis melintang itu jungkir balik!

"Siapa adanya aku tidaklah penting dan aku sengaja menghentikan rombongan ini karena aku ingin bicara dengan mempelai wanita yang berada di dalam joli itu." Setelah berkata demikian ia menyusup ke dalam rombongan itu menghampiri joli yang dipikul empat orang itu.

"Turunkan joli ini!" kata Retno Susilo kepada empat orang itu.

Karena terpesona oleh kecantikan dara itu, empat orang pemikul joli juga tidak mampu menolak permintaan itu dan mereka lalu perlahan-lahan menurunkan joli di mana terdapat pengantin wanita yang masih menangis. Kini tangisnya makin jelas terdengar karena para penabuh gamelan menghentikan tabuhan mereka dan semua orang memandang kepada Retno Susilo yang membuka tirai joli.

Retno Susilo melihat seorang gadis remaja duduk di dalam joli dan ketika tirai joli dibuka, gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Air matanya bercucuran menuruni kedua pipinya.

Gadis itu masih sangat muda, paling banyak lima belas tahun usianya, berdandan seperti seorang pengantin. Cadar yang menutupi mukanya sudah dia singkapkan dan wajah yang manis itu nampak ketakutan dan berduka sekali. Dia memandang Retno Susilo dengan sepasang mata merah dan ketakutan seperti mata seekor kelinci yang ditangkap.

"Jangan takut, adik yang manis. Engkau menjadi pengantin, mengapa malah menangis di sepanjang jalan? Mengapa engkau tidak bergembira seperti kebiasaan pengantin lain dan menangis sedih?"

Ditanya demikian, gadis remaja yang masih kekanak-kanakan itu makin mengguguk saja dalam tangisnya tanpa bisa mengeluarkan kata-kata. Retno Susilo memegang pundaknya dan menghibur.

"Jangan takut, katakan saja kalau engkau tidak suka menjadi pengantin. Aku yang akan menolongmu."

"Saya... saya dipaksa... saya tidak suka," akhirnya gadis itu berkata.

"Siapa yang memaksamu? Orang tuamu?"

Gadis itu menggelengkan kepala dan menahan isaknya sehingga pundaknya bergoyang-goyang. "Tidak, ayah dan ibu malah dipaksa dan mereka ketakutan."

"Tenanglah, adik yang manis. Ceritakan yang jelas, siapa namamu dan mengapa engkau dipaksa menikah? Siapa yang memaksamu?"

Pada saat itu lima orang tukang pukul sudah mendekati Retno Susilo. Si kumis melintang mengerutkan alis dan merasa tidak senang juga melihat kelancangan Retno Susilo yang bertanya-tanya kepada mempelai wanita. Mereka adalah para pengawal yang dikirim oleh mempelai pria untuk menjemput mempelai wanita, maka keamanan di perjalanan menjadi tanggung jawab mereka.

"Heii, nimas ayu, apa yang kau lakukan ini?!" bentaknya sambil mendekati Retno Susilo. "Engkau tidak boleh membuka tirai joli dan mengajak mempelai wanita bercakap-cakap!"

Retno Susilo memutar tubuh sehingga kini mereka saling berhadapan. "Hmm, siapa yang tidak memperbolehkan?"

"Kami berlima bertugas menjadi pengawal dan menjaga keamanan, kami yang melarang!" kata si kumis melintang garang.

Retno Susilo mengedikkan kepalanya dan membusungkan dadanya. "Jika aku tetap mau mengajaknya bicara, kalian mau apa? Dia dipaksa untuk menikah, dan aku malah akan membebaskannya, memulangkan dia ke desanya dan siapa pun juga tak boleh memaksa dia menikah!"

Lima orang pengawal itu amat terkejut mendengar ini dan biar pun yang bicara itu adalah seorang dara yang sangat cantik, tetap saja mereka menjadi marah sekali.

"Bocah perempuan lancang! Berani andika mengacau dan menentang kami?"

"Mengapa tidak berani? Ditambah seratus orang lagi macam kalian, aku tidak akan undur selangkah pun!"

"Babo-babo, bocah kurang ajar, andika tidak takut dihajar! Kawan-kawan, kita tangkap dia!" perintah si kumis melintang dan dia sendiri telah mendahului kawan-kawannya untuk menubruk ke arah Retno Susilo sambil mengembangkan kedua lengan untuk menangkap dara jelita itu. Empat orang kawannya juga segera bergerak dan seperti berebut hendak berlomba untuk menangkap dan merangkul dara yang menggemaskan tapi juga menarik hati itu.

"Bressss...!"

Lima orang itu saling bertubrukan karena ketika mereka menubruk ke arah satu sasaran, dan sasaran itu tiba-tiba saja seperti menghilang karena demikian cepatnya Retno Susilo bergerak menghindar, maka mereka pun saling bertubrukan.

Ketika mereka memutar tubuh sambil menggosok-gosok bagian muka yang berbenturan, mereka melihat Retno Susilo sudah berdiri sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada sambil tersenyum memandang mereka.

Lima orang itu menjadi penasaran dan mereka berlomba lagi untuk meraih tubuh dara itu, ada yang menyambar lengan, ada yang menangkap pundak dan ada pula yang menubruk seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor domba gemuk.

Akan tetapi yang disergap sudah melompat ke atas dan setelah tiba di atas, tubuh Retno Susilo lalu berjungkir balik. Lima orang itu menengadah dan ketika itu pula kedua tangan dara perkasa itu bergerak cepat bukan main, membagi tamparan pada wajah-wajah yang menengadah itu.

"Plak-plak-plak-plak-plak!"

Lima orang itu masing-masing terkena tamparan pada muka mereka, hanya sekali saja setiap orang akan tetapi yang sekali itu sudah cukup untuk membuat mereka terpelanting roboh dan ketika mereka merangkak bangun, pipi mereka sudah bengkak!

Bukan main marahnya lima orang pengawal itu. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah terkenal di daerah itu. selama bertahun-tahun tidak ada orang berani menentang mereka, dan kalau ada yang berani, tentu akan mereka hajar sampai babak belur. Tetapi sekali ini mereka ditampari sampai terpelanting jatuh oleh seorang dara di depan banyak orang lagi. Sungguh peristiwa yang membuat mereka merasa malu dan terhina, sekaligus menghancurkan nama mereka sebagai jagoan-jagoan yang ditakuti orang-orang.

Tanpa dikomando lima orang itu sudah mencabut golok masing-masing. Kini Retno Susilo tidak nampak sebagai seorang gadis ayu yang memikat hati lagi, tetapi nampak sebagai seorang musuh yang harus dibunuh!

"Bocah keparat!" si kumis melintang memaki dan bersama keempat orang kawannya dia mengepung Retno Susilo, kemudian mereka menyerang dengan golok mereka.

Semua orang yang menonton merasa ngeri karena mereka membayangkan betapa tubuh gadis cantik jelita yang mulus itu akan menjadi korban bacokan lima batang golok yang berkilauan saking tajamnya itu.

Akan tetapi Retno Susilo sudah siap siaga. Dia cepat mengelak menggunakan kecepatan gerakannya. Bagaikan seekor burung sikatan saja tubuhnya berkelebatan di antara sinar lima batang golok dan kedua tangannya seperti ular mematuk. Untuk kecepatan gerakan tubuhnya dia mengerahkan Aji Kluwung Sakti, dan tangannya diisi Aji Gelap Sewu ketika membagi-bagi pukulan.

"Des-des-des-des-dess!"

Lima kali tangannya menyambar dengan Aji Gelap Sewu, tetapi tentu saja dia membatasi tenaganya karena tidak ingin membunuh orang. Akan tetapi pukulan itu sungguh hebat. Lima orang itu sempoyongan seperti orang mabuk sebelum mereka terkulai lantas roboh seperti sehelai kain basah dengan mata menjadi juling dan bumi rasanya terputar-putar!

"Bagaimana? Apakah kalian masih ingin melarangku?" Retno Susilo bertanya kepada si kumis melintang.

"Ampuh... tobat... kami menyerah kepada raden ajeng..." Si kumis melintang berkata terengah-engah dan menyembah-nyembah, diikuti empat orang temannya.

Sekarang mereka betul-betul sudah takluk karena maklum bahwa dara itu adalah seorang yang sakti mandraguna. Baru tangannya saja sudah seampuh itu, apa lagi kalau gadis itu mencabut pedang yang tergantung pada punggungnya! Retno Susilo menghampiri joli di mana gadis cilik ini bersembunyi dengan wajah ketakutan.

"Jangan takut. Keluarlah engkau, adik kecil."

Sesudah menuntun gadis remaja itu keluar dari joli, dia lalu memandang ke sekeliling, ke arah rombongan orang-orang yang mengantar pengantin.

"Siapa di antara kalian yang menjadi keluarga pengantin wanita ini?"

Seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan menjawab. "Saya adalah pamannya, den ajeng."

"Bagus, sekarang aku serahkan adik ini kepadamu. Engkau harus membawanya pulang ke dusunnya dan menyerahkannya kembali kepada orang tuanya."

Laki-laki itu menjadi pucat dan tubuhnya gemetar. "Ampun, den ajeng. Akan tetapi saya... saya tidak berani... saya tentu akan dibunuh Raden Prabowo..."

"Hemm, siapakah Raden Prabowo itu?"

"Dia pengantin pria yang memboyong Sartumi.”

"Jangan takut. Aku akan menggantikan menjadi pengantin wanita. Bawalah ia pulang dan kalau ada apa-apa, akulah yang menanggung! Sartumi namamu, adik? Lepaskan hiasan kepalamu berikut cadar itu, akan kupakai!"

Retno Susilo membantu pengantin wanita itu melepaskan hiasan kepala lalu menyuruh ia cepat pergi bersama pamannya untuk kembali pulang ke rumah orang tuanya. Setelah itu Retno Susilo memasuki joli, memasang hiasan kepala berikut cadarnya kemudian berkata kepada empat orang pemikul.

"Hayo cepat pikul aku dan semua rombongan bergerak menuju ke rumah Raden Prabowo! Bunyikan gamelan dan kalian lima orang pengawal, berjalanlah seperti biasa di sebelah depan. Jangan takut, aku seoranglah yang akan bertanggung jawab atas semua peristiwa ini!"

Sambil menundukkan kepala lima orang pengawal yang telah kehilangan nyali itu berjalan di depan dan rombongan itu pun bergerak maju melanjutkan perjalanan. Gamelan kembali ditabuh dan tampaknya seperti tidak pernah terjadi sesuatu.

Tentu saja di dalam hati semua anggota rombongan merasa tegang dan jantung mereka berdebar gelisah karena mereka tahu tentu akan terjadi hal-hal hebat setelah mereka tiba di rumah Raden Prabowo! Sementara itu Sartumi gadis remaja yang dipaksa menjadi pengantin itu, telah dibawa pergi pamannya pulang ke rumah orang tuanya.

Raden Prabowo adalah seorang laki-laki hartawan yang tinggal di dusun Sintren. Dia amat terkenal, ditakuti dan disegani orang sedusun, bahkan oleh para penghuni dusun-dusun di sekitarnya karena dia kaya raya, juga karena dia adik dari kepala dusun Sintren, memiliki banyak tukang pukul dan suka ‘menolong’ para penduduk dusun-dusun itu dengan uang pinjaman yang disertai bunga tinggi. Tak ada orang yang berani menentangnya. Dia minta disebut ‘raden’ walau pun dia sama sekali tidak mempunyai keturunan darah bangsawan.

Raden Prabowo adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus dengan muka kemerahan, berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dia sudah beristeri dan bahkan mempunyai selir sebanyak empat orang. Tapi dia masih selalu haus akan wanita muda dan sering kali dia mengganggu para wanita cantik di dusun-dusun itu, baik yang masih perawan mau pun yang sudah menjadi isteri orang.

Wanita mana pun yang ditaksirnya harus diperolehnya, baik secara halus mau pun kasar. Karena itulah banyak keluarga yang mempunyai anggota keluarga wanita cantik, pergi mengungsi dan pindah ke lain dusun. Tetapi kebanyakan dari mereka menyerah kepada nasib, bahkan ada yang senang kalau anak perempuannya dikehendaki Raden Prabowo karena dengan begitu maka mudah bagi mereka untuk mendapatkan uang dari hartawan itu.

Sartumi, gadis remaja dusun Sintren itu pun menarik perhatian Raden Prabowo dan dia menghendaki agar gadis yang baru berusia lima belas tahun itu menjadi selirnya yang nomor lima! Dengan jalan mengancam dan sekaligus membujuk dengan banyak uang kepada orang tua Sartumi, akhirnya dia berhasil mendapatkan gadis itu dan pada hari itu, dia akan merayakan pernikahannya dengan Sartumi.

Dia mengutus lima orang di antara para jagoannya untuk pergi ke dusun tempat tinggal Sartumi dan memboyong gadis itu ke rumahnya di mana dia sedang menunggu sebagai seorang pengantin pria dan di sana sudah berkumpul pula banyak tamu. Gamelan telah dibunyikan sejak pagi tadi.

"Pengantin datang! Pengantin datang! Anak-anak berteriak-teriak dengan gembira dan mereka berlari-larian menyambut iring-iringan pengantin yang datang menuju ke rumah besar yang sudah dirias dengan meriah itu.

Semua orang menyambut kedatangan rombongan itu dengan pandang mata mereka. Mereka melihat dengan jelas betapa semua anggota rombongan itu tampak seperti orang bingung dan tegang, bahkan lima orang pengawal yang biasanya tampak gagah itu kini kelihatan seperti orang-orang yang ketakutan. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat menduga apa yang telah terjadi.

Para anggota rombongan berhenti di pendopo dan atas isarat dari orang yang menyambut dan mengatur rombongan, empat orang pemikul joli disuruh masuk dan terus memikul joli itu membawanya ke ruangan tengah. Ruangan ini letaknya sangat tinggi sehingga tampak jelas oleh para tamu yang telah duduk di seputar ruangan yang disediakan untuk pertemuan dua orang pengantin itu.

Pengantin pria muncul. Dengan berpakaian serba indah Raden Prabowo yang bertubuh tinggi kurus dan berwajah cukup tampan itu sambil tersenyum lebar melangkah maju menyambut joli itu. Empat orang pemikul joli segera menurunkan joli itu di tengah ruangan dan disaksikan oleh ratusan pasang mata para tamu, Raden Prabowo menghampiri joli lalu menyingkap tirai joli. Joli kini terbuka dan semua orang melihat pengantin wanita yang duduk di dalam joli dengan muka tertutup cadar dan hiasan kepala.

Sambil tersenyum gembira Raden Prabowo mengulur tangan untuk membantu pengantin wanita keluar dari joli. Akan tetapi pengantin wanita tidak menerima uluran tangan itu dan melangkah sendiri keluar dari joli.

Setelah pengantin wanita berdiri di luar joli, baru terasalah oleh Raden Prabowo kelainan yang ada pada diri pengantin wanita, Wanita ini bukan Sartumi! Tubuhnya lebih tinggi dan lebih langsing, lebih matang dari pada tubuh Sartumi yang masih remaja!

"Eh, andika bukan Sartumi...!" kata Raden Prabowo sambil melangkah maju, tangannya menyambar cadar untuk dibukanya.

Akan tetapi Retno Susilo mundur selangkah dan sambaran tangan pada cadar itu luput. Dengan perlahan Retno Susilo membuka sendiri cadar yang menutupi mukanya sehingga kini wajahnya tampak jelas.

Raden Prabowo terbelalak sebentar, tetapi sepasang matanya kemudian mengeluarkan sinar berseri gembira karena dia melihat bahwa wanita ini jauh lebih cantik jelita dari pada Sartumi!

"Andika... bukan Sartumi... tetapi tidak mengapa...aku senang menerima andika sebagai selirku yang ke lima...!" Hatinya senang sekali walau pun dia terheran-heran. "Siapa nama andika dan dari mana andika datang, diajeng?"

Retno Susilo melepaskan hiasan kepalanya dan membantingnya ke atas lantai sehingga benda itu hancur berantakan. Kini tampaklah Retno Susilo yang asli, dengan rambutnya yang hitam panjang, matanya yang bersinar tajam seperti bintang kejora dan mulutnya yang tersenyum manis penuh daya tarik. Namun tampak pula pedang yang tergantung di punggungnya sehingga mendatangkan kesan gagah perkasa. Semua tamu memandang kepadanya dengan terheran-heran akan tetapi juga terkagum-kagum oleh kecantikannya.

Retno Susilo menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Raden Prabowo dan terdengar suaranya lantang.

"Apakah engkau yang bernama Raden Prabowo?"

Semua orang terkejut dan heran mendengar ‘pengantin wanita’ yang tampak marah itu membanting hiasan kepala lalu bertanya seperti itu kepada pengantin pria. Sementara itu lima orang pengawal tadi telah berbisik-bisik kepada para jagoan pengikut Raden Prabowo yang jumlahnya ada belasan orang.

Para jagoan itu terkejut mendengar laporan lima orang kawannya tentang Retno Susilo yang sekarang menyamar sebagai pengantin wanita. Mendengar bahwa wanita itu sudah membebaskan Sartumi dan telah memukul roboh lima orang pengawal, mereka menjadi marah dan kini belasan orang tukang pukul itu sudah mendekat dan mengepung Retno Susilo untuk melindungi Raden Prabowo.

Raden Prabowo yang masih kegirangan dan merasa gembira mendapatkan seorang dara yang demikian cantik jelita seperti bidadari, masih dapat tersenyum dan memasang gaya.

"Benar sekali, diajeng. Aku yang bernama Raden Prabowo dan akulah yang akan menjadi suamimu!"

"Keparat jahanam! Engkau telah menggunakan kekayaanmu untuk memaksa dara remaja bernama Sartumi untuk menjadi selirmu! Aku sengaja membebaskan Sartumi dan datang ke sini untuk mengakhiri perbuatanmu yang sewenang-wenang!"

Baru terkejutlah hati Raden Prabowo melihat sikap dan mendengar bentakan Retno Susilo itu. Akan tetapi dia juga menjadi marah sekali. Dengan alis berkerut dan mata terbelalak dia memandang kepada gadis itu karena merasa dia dihina di hadapan para tamu yang banyak. Apa lagi hatinya menjadi besar dan tabah sesudah melihat belasan orang tukang pukulnya telah mengepung tempat itu,.

"Hei, perempuan asing! Siapakah namamu dan berani sekali engkau menghinaku!"

"Aku adalah Retno Susilo. Aku sengaja datang ke sini untuk memberi hajaran kepadamu, dan jika engkau tidak menghentikan kesewenang-wenanganmu, merampas wanita untuk dijadikan selir, aku tentu akan membunuhmu!"

Raden Prabowo bukan seorang yang lemah. Dia pernah mempelajari ilmu kanuragan.

"Kurang ajar! Engkaulah yang akan kutangkap dan kuberi pelajaran! Hyaaaaattt...!" Tiba-tiba Prabowo menubruk ke depan, maksudnya untuk meringkus tubuh yang bahenol itu.

Akan tetapi dia menubruk angin karena Retno Susilo telah mengelak ke kiri dan dari kiri kakinya mencuat dalam sebuah tendangan.

"Bukkk...!"

Perut Prabowo terkena tendangan yang keras, Tubuhnya terjengkang dan dia terbanting keras. Perutnya menjadi mulas karena tendangan itu dan pinggulnya menghantam lantai, membuat dia mengaduh-aduh, tangan kirinya memegangi perut, tangan kanan mengelus pinggul.

"Aduh... aduhhh... cepat tangkap dia...!" Ia mengaduh sambil memerintahkan para tukang pukulnya untuk mengeroyok Retno Susilo.

Akan tetapi empat orang tukang pukul yang lebih dulu maju, disambut tamparan-tamparan kedua tangan Retno Susilo dan empat orang itu berpelantingan ke kanan kiri sehingga para tukang pukul yang lain menjadi gentar dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat!

Pada saat itu pula, sebelum para tukang pukul menggunakan senjata untuk mengeroyok, terdengar suara nyaring berseru,

"Biarkan aku yang akan menangkapnya!"

Seorang laki-laki tinggi kurus yang tadi duduk di bagian tamu kehormatan telah melompat dan berdiri di depan Retno Susilo. Gadis itu memandangnya dan segera mengenal laki-laki berusia empat puiuh lima tahun, bertubuh tinggi kurus itu.

"Hmm, kiranya andika berada di sini, Mahesa Meta! Pantas saja Prabowo berani berbuat sewenang-wenang, kiranya andika adalah kawannya!" Retno Susilo berkata mengejek.

Ia masih mengenal baik perampok yang pernah memusuhi perkumpulan Sardulo Cemeng yang dipimpin ayahnya itu. Perampok ini pernah dikalahkan Sutejo namun tidak dibunuh, melainkan dilepas dan diampuni.

"Retno Susilo! Tadinya aku tidak mengenalmu, tetapi sesudah engkau memperkenalkan namamu, teringatlah aku bahwa engkau adalah gadis kurang ajar puteri Ki Mundingsosro! Bagus sekali, sekarang tibalah saatnya aku membalas dendam. Akan tetapi aku tak akan membunuhmu, melainkan menangkapmu untuk kuserahkan kepada anakmas Prabowo agar mempermainkanmu sepuasnya sebelum engkau dibunuh!"

Merah wajah Retno Susilo mendengar kata-kata yang sangat menghinanya itu. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka Mahesa Meta dan ia membentak.

"Keparat Mahesa Meta! Lupakah engkau ketika dulu kau diampuni oleh Kakang Sutejo? Kiranya engkau masih saja mengumbar nafsu kejahatanmu dan sekarang aku tidak akan mengampuni mu lagi!"

Mahesa Meta maklum bahwa Retno Susilo adalah seorang dara perkasa yang pernah mengalahkan kawannya ketika dia mengadu ilmu dengan pihak Sardulo Cemeng. Akan tetapi dia menganggap bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak akan mampu menandingi dirinya, maka dia memandang rendah. Sama sekali dia tidak mengira bahwa dahulu pun sebelum dia diberi ilmu simpanan oleh Nyi Rukmo Petak, tingkat ilmu kepandaian Retno Susilo sudah tidak akan tertandingi olehnya. Apa lagi sekarang, sesudah Retno Susilo mempelajari dua ilmu baru yang amat ampuh!

"Bocah sombong, rasakan pembalasanku sekarang!" bentak Mahesa Meta.

Retno Susilo memandang sambil tersenyum mengejek. "Sebagai seorang manusia yang curang dan licik, engkau tentu akan menggunakan pengeroyokan. Akan tetapi aku tidak takut menghadapi pengeroyokanmu!"

Ucapan itu memanaskan hati Mahesa Meta. Dia merupakan tamu kehormatan Prabowo yang pernah menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat darinya. Para tamu juga sudah tahu bahwa dia merupakan tamu kehormatan karena tempat duduknya di sebelah kanan tempat duduk pengantin. Dan kini dia menerima ucapan yang dianggapnya sangat memandang rendah dan menghina, dari seorang wanita muda, seorang gadis yang baru menjelang dewasa.

Saking marahnya dia melolos rantai baja yang dibelitkan di pinggang sebagai sabuk. Lupa dia akan niatnya tadi untuk menangkap dara itu dan diserahkan kepada Prabowo. Dengan sabuk rantai baja di tangan, tentu saja niatnya hanya satu, yakni merobohkan gadis itu, mungkin membunuhnya! Sambil memutar-mutar rantai bajanya dia pun melangkah maju menghampiri Retno Susilo.

Para tamu yang merasa tidak setuju, diam-diam lalu meninggalkan tempat itu, tidak tega melihat dara perkasa yang berani menentang Prabowo itu celaka di tangan para tukang pukul. Mereka tidak suka dengan tindakan yang dilakukan Prabowo, akan tetapi mereka adalah orang-orang dusun yang tidak berani menentang.

Akan tetapi mereka yang menjadi teman-teman Prabowo menonton dengan senang hati. Mereka hendak melihat bagaimana tamu Prabowo yang dihormati itu menundukkan gadis yang mereka anggap terlalu kurang ajar itu.

"Wirrrr...! Syuuuuttt...!”

Rantai baja itu menyambar ke arah kepala Retno Susilo. Akan tetapi dara itu dengan lincahnya mengelak dengan menekuk lututnya sehingga kepalanya merendah. Rantai baja meluncur lewat di atas kepalanya dan sekali tangan kanannya bergerak, gadis itu sudah mencabut sebatang pedang. Sinar kehijauan menyilaukan mata ketika Pedang Pusaka Nogo Wilis tercabut dan sinar hijau itu meluncur ke arah dada Mahesa Meta.

Orang ini terkejut bukan main dan cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang itu, kemudian dia memutar rantai bajanya menyerang lagi. Sekali ini Retno Susilo tidak mengelak melainkan menggerakkan pedangnya menangkis.

"Trangggg...!"

Bunga api berpijar ketika pedang bertemu rantai baja dan alangkah terkejut hati Mahesa Meta melihat betapa ujung rantai bajanya telah putus! Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah dan rantainya diputar menjadi segulungan sinar menerjang ke arah dara itu.

Retno Susilo juga mainkan pedangnya dan karena ia mengandalkan kecepatan geraknya dengan Aji Kluwung Sakti, maka gerakannya cepat seperti kilat hingga membingungkan Mahesa Meta yang hanya melihat bayangan berkelebat di seputar dirinya! Terpaksa dia memutar rantai bajanya untuk melindungi dirinya karena dia tidak tahu dari arah mana lawan akan menyerang dengan pedang pusakanya yang ampuh.

Prabowo menjadi tidak sabar melihat betapa Mahesa Meta tidak mampu mendesak gadis itu. Dia masih meringis kesakitan. Pinggulnya sudah tidak nyeri lagi, akan tetapi perutnya yang tertendang masih mulas. Agaknya isi perutnya sudah terguncang! Sambil meringis memegangi perutnya dengan mendongkol dia lalu memberi aba-aba kepada para tukang pukulnya untuk maju mengeroyok dara perkasa itu.

Prabowo adalah seorang yang cerdik dan licik. Dia tahu bahwa dara perkasa itu adalah seorang yang sangat tangguh sehingga akan sukar menangkapnya dalam keadaan hidup-hidup dan tidak terluka seperti yang dikehendakinya. Padahal ia ingin mendapatkan gadis itu dalam keadaan hidup untuk membalas penghinaan yang telah diterimanya!

"Pergunakan jaring!" perintahnya. "Tangkap dia hidup-hidup!"

Para tukang pukul itu mengerti akan maksud majikan mereka, maka beberapa orang lain berlari-larian mengambil jaring yang biasa mereka pakai menjala ikan di sungai. Tak lama kemudian belasan orang sudah mengepung Retno Susilo dan mereka membawa jaring-jaring ikan. Dengan jaring-jaring itulah mereka menyerang Retno Susilo.

Dara itu terkejut sekali. Serangan Mahesa Meta sendiri sudah berbahaya dan dia harus berhati-hati memainkan pedangnya untuk menghalau serangan itu. Tapi dia sudah mulai dapat mendesak lawan dan menunggu saat baik untuk menggunakan Aji pamungkasnya, yaitu Aji Gelap Sewu atau kalau perlu dia dapat mempergunakan Aji Wiso Sarpo untuk membunuh lawan itu.

Akan tetapi belasan orang yang mengeroyoknya itu menggunakan jaring yang membuat ia repot sekali. Sehelai jaring menyelimuti tubuhnya. Akan tetapi dia sempat menggerakkan pedangnya dan jaring itu robek semua membuat dia terbebas kembali. Akan tetapi jaring kedua, ketiga dan seterusnya datang seperti hujan dan ia pun tertutup jaring-jaring itu.

Retno Susilo meronta-ronta, berusaha menggerakkan pedangnya, namun tali-tali jaring itu membuat dia tak dapat bergerak leluasa dan sebelum dia mampu membebaskan dirinya, belasan tangan sudah meringkusnya dan dia segera diikat kaki tangannya sehingga tidak mampu bergerak lagi!

"Ha-ha-ha, bocah sombong! Sekarang engkau seperti seekor ikan emas terjaring, tinggal dipanggang dan dimakan saja!" Melihat hasil yang baik ini Prabowo melupakan nyeri pada perutnya dan dia tertawa-tawa, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengangkat Retno Susilo yang sudah dibelenggu kaki tangannya itu ke dalam kamarnya.

Dara itu ditelentangkan di atas pembaringan dalam kamar pengantin dan kaki tangannya diikat kuat-kuat sehingga tidak mampu bergerak. Pedangnya dirampas oleh Mahesa Meta dengan hati girang karena dia mendapatkan sebuah senjata pusaka yang ampuh.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)