PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-12


Akan tetapi setelah semua orang berpamit dan pergi meninggalkan tempat pesta, bahkan para niyogo juga sudah mengangkati alat tabuhan mereka dan meninggalkan tempat itu, Mahesa Meta yang menemani Prabowo makan minum melihat seorang laki-laki tua masih duduk minum tuak seorang diri.

Lelaki itu sudah tua, usianya lebih dari lima puluh tahun, wajahnya penuh brewok seperti muka singa, pakaiannya longgar seperti pakaian seorang pertapa. Kedua orang itu, dan juga para tukang pukul yang masih berjaga di situ, merasa heran melihat orang ini.

Tak ada seorang pun yang mengenalnya dan agaknya tadi dia menyelinap di antara para tamu untuk menikmati hidangan. Seorang tamu yang tidak diundang dan mempergunakan kesempatan itu untuk makan minum sepuasnya! Bahkan sekarang pun, sesudah semua tamu pergi, orang itu masih minum minum seorang diri.

Melihat cara ia minum tuak, sungguh luar biasa. Ia minum terus menerus tanpa menjadi mabuk. Matanya yang lebar itu bersinar-sinar gembira, mulutnya yang tertutup kumis dan jenggot itu hanya kelihatan giginya ketika dia menyeringai. Sepintas dia melihat ke arah mereka yang sedang memandangnya dan dia mengangguk-angguk lalu berkata seorang diri.

"Bagus, bagus! Tuak yang baik, makanan yang enak, hari ini aku mendapat rejeki bagus, ha-ha-ha-ha!"

Prabowo mengerutkan kedua alisnya dan ketika Mahesa Meta memandang kepadanya, dia mengangguk dan berkata, “Kakang Mahesa Meta, minta dia meninggalkan tempat ini!”

“Baik, Raden,” kata Mahesa Meta dan dengan langkah lebar dia pun menghampiri orang itu.

“Ki sanak, pesta telah usai, para tamu sudah pulang semua. Kami harap andika juga suka meninggalkan tempat ini,” kata Mahesa Meta, mencoba bersikap lunak sebab bagaimana pun juga orang aneh itu adalah seorang tamu.

Orang itu memandang Mahesa Meta dan dengan tertawa dia berkata, “Ha-ha-ha, engkau ini lelaki macam apa berani mengusirku? Engkau telah mengeroyok seorang gadis remaja, mengerahkan belasan orang yang secara curang menangkapnya. Aku tidak akan pergi sebelum gadis yang ditawan itu diserahkan kepadaku, heh-heh!”

Maka marahlah Mahesa Meta. Dia masih marah karena tadi dihina oleh Retno Susilo, apa lagi penangkapan gadis itu tidak memuaskan hatinya karena bukan dia seorang diri yang menangkapnya. Hatinya masih merasa jengkel dan kini orang itu tiba-tiba menekankan hasil pengeroyokan itu dan menghinanya!

“Keparat! Engkau tamu kurang ajar! Hayo cepat pergi atau aku akan menghantam batok kepalamu dengan rantai ini sampai pecah berantakan!” Dia mengancam dan telah melolos rantai bajanya lalu memutar-mutar rantai itu.

Akan tetapi orang itu menyeringai dan minum tuaknya dulu sebelum menjawab, “Gleg-gleg-gleg! Batok kepala siapa yang akan pecah berantakan? Kepalamu yang akan pecah, bukan kepalaku!”

Ditantang begitu, Mahesa Meta menjadi semakin marah. Biar pun orang itu masih duduk di atas kursi sambil minum, dia tidak peduli lagi dan dia sudah menerjang dengan rantai baja yang menyambar dahsyat ke arah kepala orang itu.

“Wuuutttt...! Bresss...!”

Hancur berantakan kursi yang tadi menjadi tempat duduk orang itu, akan tetapi orangnya tidak terkena pukulan itu karena dengan gerakan yang ringan dan cepat sekali orang itu sudah melompat dari kursinya dan kini berdiri dalam jarak tiga meter dari Mahesa Meta.

Serangan yang luput ini membuat Mahesa Meta menjadi semakin penasaran dan marah. Kemarahan yang membuat dia lengah. Kalau dia tidak demikian marahnya, tentu dia akan dapat menyadari bahwa orang yang bisa mengelak ketika duduk di kursi dan diserangnya, tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sudah tidak peduli akan hal itu dan kemarahan seakan membutakan matanya sehingga dia menyerang lagi secara membabi buta.

Orang itu ternyata amat lincah dan setiap sambaran rantai baja selalu dapat dielakkannya dengan cepat. Meja dan kursi di sekitar tempat itulah yang menjadi korban pengamukan rantai baja Mahesa Meta sehingga hancur dan terlempar berserakan.

Oleh karena orang itu hanya mengelak terus, Mahesa Meta membuat kesalahan dengan mengira bahwa orang itu jerih terhadapnya. Maka dia menyerang terus dengan ganasnya dan suatu saat rantai bajanya menyambar dari depan ke arah dada orang itu. Tapi sekali ini kakek itu tidak mengelak, melainkan menerima ujung rantai baja itu dengan tangan kanannya.

"Wuuuutttt...! Plakk!"

Ujung rantai baja itu dapat ditangkapnya, kemudian tiba-tiba saja orang itu menggerakkan tangan kanannya dan melepaskan ujung rantai baja. Senjata itu menyambar ke depan dan tak dapat dihindarkan lagi ujung rantai baja itu mengenai muka Mahesa Meta dengan keras sekali karena ketika melemparkannya, orang itu mengerahkan tenaga dalam yang amat kuat.

"Wuuuttt...! Desss...!"

Muka Mahesa Meta. dihantam ujung rantai bajanya sendiri dan begitu kerasnya hantaman itu hingga kepalanya seketika retak dan Mahesa Meta tak sempat mengeluarkan jeritan, tubuhnya terjengkang dan dia tewas seketika dengan muka hancur dan kepala retak!

Melihat ini Prabowo menjadi terkejut sekali. Dia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya tangannya saja yang memberi isyarat menuding-nuding ke arah kakek itu, mengerahkan semua tukang pukulnya untuk mengeroyok.

Dengan golok di tangan para tukang pukul itu telah maju mengepung dan tanpa komando lagi mereka yang berjumlah lima belas orang itu menyerang dari semua jurusan dengan golok mereka.

Sambil tertawa mengejek orang itu menyambut dengan gerakan kaki tangannya. Para pengeroyok itu seperti diserang badai. Mereka berpelantingan terkena tendangan atau tamparan sehingga dalam waktu singkat mereka telah roboh semua dan saking takutnya mereka tidak berani bangkit lagi.

Orang itu tidak mempedulikan mereka dan dia pun melangkah di antara tubuh-tubuh para tukang pukul yang bergelimpangan, menghampiri mayat Mahesa Meta, membungkuk dan mengambil Pedang Nogo Wilis milik Retno Susilo yang tadi dirampas perampok tunggal dari Gunung Kelud itu, kemudian menyelipkan pedang itu pada ikat pinggangnya lalu dia masuk ke dalam rumah besar. Dia juga tidak mempedulikan Prabowo yang melarikan diri tunggang langgang ke dalam rumah dan bersembunyi ketakutan.

Dimasukinya kamar pengantin itu dan dilihatnya Retno Susilo yang telentang di atas pembaringan dengan kedua kaki tangan terikat.

"Hemm, engkau terlalu berharga untuk terjatuh ke tangan jahanam-jahanam busuk itu!" katanya dan tangan kirinya meraih lalu dipondongnya tubuh Retno Susilo, dipanggulnya di pundak kiri dan dirangkul dengan lengan kiri lalu dia membawa tubuh gadis itu keluar dari rumah dengan langkah lebar. Ditinggalkannya rumah itu dan tidak ada seorang pun berani menghalanginya.

Para penduduk dusun hanya berani melihat dari jauh saja ketika kakek yang memanggul tubuh Retno Susilo itu keluar dari dusun dengan langkah lebar dan gerakan kaki cepat sekali.

Semenjak dibawa pergi dari rumah Prabowo, Retno Susilo dalam keadaan sadar bahwa ia dibawa pergi seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang pertapa dan mukanya amat menyeramkan seperti muka seekor singa jantan. Ia diam saja karena maklum bahwa baru saja ia terlepas dari ancaman bahaya yang mengerikan di tangan Prabowo yang telah menawannya.

Ia tidak tahu apa yang dikehendaki oleh kakek singa itu yang memanggulnya dan setelah keluar dari dusun lalu berlari dengan cepat sekali. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dan mencoba untuk membebaskan diri dari ikatan tangannya, namun tidak berhasil. Ternyata ikatan itu kuat sekali.

Ketika kakek itu membawanya ke dalam sebuah hutan yang lebat di lereng sebuah bukit, ia mulai merasa khawatir. Bila kakek ini memang bermaksud untuk menolongnya, kenapa ia dibiarkan terikat saja dan tidak dibebaskan?

"Paman yang baik, harap suka lepaskan aku," kata Retno Susilo dengan suara lembut. Ia belum tahu orang macam apakah kakek yang menolongnya.

"Heh-heh-heh-heh..." Kakek ini hanya terkekeh dan tidak menjawab, terus membawanya masuk lebih dalam ke hutan yang lebat itu.

Karena kakek itu tidak menjawab, hanya terkekeh saja, Retno Susilo merasa semakin khawatir. Jangan-jangan kakek yang membawanya pergi itu seorang yang tidak waras! Akan tetapi jelas bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Ketika ia dipanggul keluar rumah tadi ia melihat Mahesa Meta telah menggeletak menjadi mayat, sementara belasan orang tukang pukul masih mengaduh dan merintih dengan tubuh berserakan. Tentu kakek itu yang sudah merobohkan mereka lantas membawanya pergi. Ia menanti sampai beberapa lama, akan tetapi kakek itu tetap diam saja.

"Paman yang baik, aku hendak dibawa ke manakah?" tanyanya lagi.

Kembali kakek Itu terkekeh dan tidak menjawab. Tentu saja hati Retno Susilo menjadi semakin tegang dan gelisah. Jangan-jangan ia seperti terlepas dari mulut harimau terjatuh ke mulut srigala!

"Paman, tolonglah lepaskan ikatan kaki tanganku, dan aku akan berterima kasih sekali," kembali ia membujuk dengan suara lembut.

"Heh-heh belum waktunya, ha-ha-ha, belum saatnya..."

Walau pun kakek itu menolaknya, namun setidaknya dia sudah menjawab dan ini sedikit banyak melegakan hati Retno Susilo. Semakin besarlah dugaannya bahwa kakek ini tidak waras atau berotak miring. Ia harus dapat mengajaknya bercakap-cakap dan membujuk dia agar suka melepaskan ikatan tangan kakinya.

Karena ia dipanggul dengan kepala di depan, ia dapat melihat bahwa pedang pusakanya terselip di pinggang kakek itu, dan hal ini sangat menggirangkan hatinya. Kalau saja dia dapat terlepas dari ikatan dan dapat menguasai pedang itu.

Ia memutar otak mencari akal. Setiap orang tentu memiliki kelemahan, pikirnya. Kakek ini yang agaknya tidak waras adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mungkin ia lemah terhadap pujian, pikirnya.

"Paman, andika mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, sakti mandraguna. Paman pasti seorang tokoh besar dalam dunia ini, dengan nama yang sangat terkenal, dihormati kawan disegani lawan. Siapakah gerangan nama besar paman?

"Ha-ha-ha-ha! Dugaanmu itu benar sekali, anak manis. Aku adalah Ki Klabangkolo yang berkuasa sebagai bahurekso Pegunungan Ijen!"

Retno Susilo merasa senang bahwa perkiraannya tidak meleset. Kakek ini seorang yang gila hormat dan gila sanjungan!

"Ahh, Paman Klabangkolo, aku merasa girang dan bangga sekali mendapat pertolongan dari seorang yang gagah perkasa dan sakti mandraguna, juga sangat terkenal seperti paman! Harap lepaskan tali pengikat kaki tanganku, paman, agar aku bisa menghaturkan terima kasih dan sembah kepadamu." Retno membujuk.

"Hemm, melepaskanmu dan membiarkan engkau melarikan diri dariku? Tidak, kini belum saatnya aku melepaskanmu dari ikatan, anak manis!"

Kakek itu melangkah terus dengan cepatnya dan kembali Retno merasa gelisah. Biar pun gila hormat dan gila sanjungan, ternyata kakek ini cerdik dan tidak mudah dibujuk.

"Paman Klabangkolo, engkau hendak membawaku ke manakah?"

"Ha-ha-ha-ha, diam sajalah, sebentar lagi engkau akan mengetahuinya sendiri. Diam saja dan menurut sajalah, engkau pasti akan senangi" kata kakek itu.

Retno melihat bahwa mereka sampai di depan sebuah goa yang besar di tengah hutan belantara itu.

"Nah, inilah tempat tinggalku. Bagus, bukan?"

Kakek itu menurunkan tubuh Retno dari panggulan dan merebahkannya dengan lembut ke dalam goa di mana lantainya bertilamkan rumput kering dan tikar pandan. Retno yang rebah telentang memandang dengan mata terbelalak ketika kakek itu mencabut Pedang Nogo Wilis yang diselipkan di pinggangnya lalu mengangkat pedang itu ke atas seakan hendak dibacokkan kepadanya. Pedang itu menyambar turun.

"Wuuuttt...! Cappp!"

Pedang itu tidak membacok Retno, melainkan menancap di atas lantai sampai amblas ke gagangnya!

"Ha-ha-ha, katakan, engkau senang tinggal di sini bersamaku, bukan? Katakan!" Kakek itu menghardik.

Retno Susilo menjadi makin panik. Kakek itu jelas gila dan kalau dia tidak menyenangkan hatinya dengan jawaban-jawabannya, bukan tidak mungkin dia akan dibunuhnya begitu saja!

"Senang, paman, senang! Tapi mengapa paman tidak melepaskan ikatan kaki tanganku? Apa yang akan paman lakukan terhadap diriku?"

“Apa yang akan aku lakukan? Ha-ha-ha, engkau adalah seorang wanita yang amat cantik dan gagah berani. Sudah belasan tahun aku hidup menyendiri di tempat ini sesudah aku pergi dari Pegunungan Ijen karena kehilangan isteriku. Engkaulah yang pantas menjadi penggantinya, menjadi isteriku. Engkau mau menjadi isteriku, bukan? Mau?"

Sekali ini Retno tidak menjawab. Wajahnya berubah pucat. Ia seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi kematian, Akan tetapi ia tengah menghadapi keadaan yang lebih mengerikan dari pada kematian! Ia akan diperisteri kakek ini yang tentu tak segan-segan menggunakan kekerasan. Ia akan diperkosa! Karena itu ia hanya memandang kakek itu dengan mata terbelalak dan tidak dapat menjawab.

"Ha-ha-ha, setelah engkau menjadi isterku malam ini, barulah ikatan kaki tanganmu akan kulepaskan. Setelah menjadi isteriku, engkau tentu takkan melarikan diri lagi. Kita harus merayakan pernikahan kita dengan pesta. Ya, aku akan menangkap seekor kijang muda. Kita berpesta makan daging kijang muda, kemudian kita menikah, ha-ha-ha! Tinggallah di sini dahulu, sayang, aku akan pergi menangkap kijang muda dan mencari buah-buahan untukmu!" Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah keluar dari goa sambil tertawa terkekeh-kekeh, agaknya dia girang sekali.

Sesudah kakek itu pergi, Retno berusaha melepaskan diri dari ikatan. Dia mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi ia tidak berhasil. Ikatan itu terlampau kuat. Sampai nyeri semua rasa kulit pergelangan tangan dan kakinya ketika ia meronta-ronta. Tali yang kuat itu menggigiti kulitnya.

Terdengar langkah kaki memasuki goa. Jantung Retno berdegup penuh ketegangan dan ketakutan. Kakek itu kembali dan ia akan diperkosa! Tidak dapat ia membayangkannya, maka ia memejamkan matanya yang mulai basah dengan air mata. Ingin ia menjerit dan menangis, akan tetapi keinginan ini ditahannya, ia takkan memperlihatkan kelemahannya kepada kakek gila itu!

Ia memang tidak berdaya. Ia merasa lebih baik mati dibunuh dari pada diperkosa. Akan tetapi ia tidak berdaya. Kalau sampai ia di perkosa, ia akan tetap bertahan hidup untuk dapat membalas kakek itu. Ia harus dapat membunuh kakek itu sebelum ia membunuh diri sendiri!

Ia mendengar langkah kaki itu berhenti di dekatnya, kemudian mendengar gerakan orang itu berjongkok. Jantungnya berdebar. Hampir ia pingsan saking merasa ngeri dan takut. Ketika ada jari-jari tangan menyentuh kakinya, dia demikian terkejut seperti dipagut ular sehingga dia terjingkat.

Akan tetapi apakah ini? Jari-jari tangan itu mulai melepaskan ikatan kakinya! Bagus! Jika begitu dia dapat melawan. Dia akan melawan mati-matian, mempertahankan diri sampai mati kalau mau diperkosa. Ia membuka matanya dan ia terbelalak memandang keheran-heranan kepada wajah itu.

Wajah itu tampan dan gagah sekali. Wajah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh enam tahun. Wajah tampan itu tersenyum. Tubuhnya sedang dan tegap. Sebatang keris terselip pada pinggangnya. Jari-jari tangan itu demikian kuatnya ketika melepaskan ikatan kakinya, kemudian ikatan tangannya.

"Tenanglah, nimas. Aku datang untuk membebaskanmu. Kebetulan sekali kakek jahat itu sedang pergi," kata pemuda itu, suaranya lembut dan sopan.

Jantung dalam dada Retno berdebar saking gembiranya. "Harap cepat sedikit. Kalau dia datang kembali..."

"Kalau dia datang kembali, kita hadapi bersama. Tadi aku sudah melihat kegagahanmu. Jika kita berdua maju bersama, kurasa kita tidak usah takut menghadapi kakek gila itu."

Tak lama kemudian Retno sudah bebas. Digosok-gosoknya kedua pergelangan kaki dan tangannya, kemudian dicabutnya Pedang Nogo Wilis yang tertancap di atas lantai. Kini ia telah bangkit berdiri dan sudah siap. Dipandangnya pemuda yang berdiri di depannya itu penuh perhatian.

"Ki sanak, kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu ini. Bolehkah aku bertanya, siapa andika dan bagaimana andika dapat datang ke tempat ini dan menolongku?"

"Ha-ha-ha-ha-ha! Manis, aku datang membawa seekor kijang muda untukmu, ha-ha ha!" Suara lantang ini membuat pemuda itu tidak jadi menjawab pertanyaan Retno. Dia lalu menyambar lengan tangan dara itu dan ditariknya, diajak keluar.

"Mari kita keluar, menghadapinya di luar yang lebih luas."

Mereka berdua berloncatan keluar. Ternyata Ki Klabangkolo belum tampak dan ternyata suaranya tadi diteriakkan dari jauh. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebat ilmu kepandaian orang itu, bisa melontarkan suara dari jauh dengan dorongan tenaga saktinya.

Retno Susilo sudah siap dengan Pedang Nogo Wilis di tangannya sedangkan pemuda itu masih berdiri tenang namun sepasang matanya mencorong dan memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan karena dia tidak tahu dari arah mana pemilik suara tadi akan muncul.

Akhirnya muncullah orang yang dinanti-nanti itu. Kemunculannya sangat mengejutkan. Ki Klabangkolo tahu-tahu terjun ke depan mereka dalam jarak sepuluh meter sambil tertawa-tawa. Akan tetapi suara tawanya tiba-tiba terhenti ketika dia melihat Retno Susilo sudah berdiri di depan goa dengan pedang di tangan dan sepasang mata dara itu bersinar-sinar penuh kebencian memandangnya.

Akan tetapi Ki Klabangkolo segera maklum akan apa yang terjadi setelah dia menoleh dan memandang ke arah pemuda itu. Calon korbannya itu tentu ditolong dan dibebaskan oleh pemuda itu!

Mukanya berubah bengis. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api dan tiba-tiba dia mengangkat bangkai kijang yang tadi dipanggulnya dan melontarkannya ke arah pemuda itu. Bangkai kijaag itu cukup berat dan dilontarkan dengan tenaga yang dahsyat, maka tentu saja lontaran itu merupakan serangan yang amat berbahaya.

Namun, pemuda itu ternyata cekatan sekali. Dengan gerakan ringan dan cepat, mudah saja dia menghindarkan diri dengan elakan sehingga bangkai kijang itu meluncur lewat dan melayang sampai jauh.

Melihat betapa lontarannya tidak mengenai sasaran, Ki Klabangkolo semakin marah. Dia mengeluarkan gerengan-gerengan seperti seekor harimau marah, memandang kepada Retno dan pemuda itu bergantian, kemudian tiba-tiba dia menubruk ke arah Retno Susilo dengan kedua lengan dikembangkan. Tubrukannya itu datangnya cepat bukan main dan mendatangkan angin yang menyambar.

Retno meloncat ke samping untuk mengelak, dari samping pedangnya lantas menyambar ke arah leher Ki Klabangkolo. Kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan ujung lengan bajunya yang lebar itu menangkis pedang.

"Wuuuitt...! Tranggg...!"

Retno terkejut bukan main karena ia merasa betapa pedangnya seolah bertemu dengan benda keras dan pedang itu terpental. Namun dia masih dapat mempertahankan sehingga pedangnya tidak sampai terlepas dari pegangan tangannya. Ki Klabangkolo menggunakan kesempatan itu untuk menubruk lagi ke samping.

"Plakk!"

Tangannya terbentur dengan sebuah tangan lain yang kuat sehingga dia terdorong ke belakang. Ketika dilihatnya bahwa pemuda tampan itu yang menangkis tangannya, dia menjadi semakin marah. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan kini dia menerjang kepada pemuda itu dengan tamparan tangan yang mengandung hawa panas!

Pemuda itu maklum akan datangnya serangan yang berbahaya sekali, maka dia segera mempergunakan kegesitannya untuk mengelak sehingga tamparan itu hanya mengenai tempat kosong. Ketika kakek itu memutar tubuh dan mengejar, menerjang lagi kepada pemuda itu, Retno sudah menyerangnya dengan tusukan pedangnya dari belakang.

"Tingg...!"

Kakek itu cepat memutar tubuhnya mengelak dari tusukan pedang. Kini dia menyerang dan mendesak Retno dengan cengkeraman-cengkeraman sepasang tangannya. Kembali pemuda itu yang membantu Retno dengan pukulan tangan dari belakang. Pukulan tangan pemuda itu juga mengandung tenaga sakti yang kuat sehingga Ki Klabangkolo terpaksa membalik lagi dan menangkis.

Akan tetapi pemuda itu kini telah mencabut kerisnya dan menggunakan senjata itu untuk menyerang, membantu Retno Susilo yang juga menggunakan Pedang Nogo Wilis untuk menyerang. Dalam keadaan bertangan kosong kakek itu dikeroyok dua dan dihujani serangan pedang dan keris.

Akan tetapi Ki Klabangkolo memang tangguh sekali. Hanya dengan kedua ujung lengan baju dia mampu menangkis kedua senjata dua orang pengeroyok itu. Namun dia terdesak dan kurang leluasa untuk membalas.

Tiba-tiba dia melengking nyaring dan menubruk ke arah pemuda itu sambil melancarkan pukulan yang amat dahsyat dengan tangan kanannya. Pemuda itu terkejut dan melompat ke kiri. Ki Klabangkolo tak dapat menahan tangannya yang memukul dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Tangan itu terus meluncur ke depan dan mengenai sebatang pohon yang tadi berada di belakang pemuda itu.

"Dess...! Braaakkk...!"

Pohon sebesar paha orang itu terkena pukulan tangannya, langsung patah dan tumbang! Melihat ini Ki Klabangkolo menyambar batang pohon itu lalu mempergunakannya sebagai senjata untuk menyerang kedua pengeroyoknya!

Tentu saja Retno dan pemuda itu menjadi kalang kabut diserang batang pohon berikut cabang dan daun-daunnya itu. Mereka berlompatan ke sana sini untuk menghindarkan diri dari serangan itu. Retno berlaku sangat cerdik. Ia mulai menggerakkan pedangnya untuk membacoki cabang-cabang pohon yang menyambar nyambar.

"Crak! Crok!"

Terdengar bunyi ketika Pedang Nogo Wilis membabati cabang-cabang pohon itu sehingga terbabat putus semua. Setelah tinggal cabangnya yang dipegang kakek itu, ia pun mulai membabati cabang pohon itu.

Pedang Nogo Wilis adalah sebatang pedang yang ampuh dan tajam bukan main. Begitu bertemu dengan pedang itu, batang pohon yang dijadikan senjata Ki Klabangkolo terbabat putus. Sementara itu, pemuda yang memegang keris itu pun menyerang Ki Klabangkolo dengan tusukan-tusukan maut, diseling dengan tamparan tangan kirinya yang amat kuat. Kembali Ki Klabangkolo terdesak hebat.

"Wuuuttt...! Plakk!"

Tangan kiri pemuda itu berhasil menampar pundak kiri Ki Klabangkolo. Kakek itu segera terhuyung akan tetapi masih sempat memutar batang pohon yang tinggal pendek untuk melindungi tubuhnya. Pada saat itu pedang berkelebat membacok ke arah batang pohon yang kini menjadi tongkat yang panjangnya tinggal satu setengah meter lagi.

"Crakkk...!"

Kembali batang pohon itu terpotong dan pada saat itu kaki kanan Retno mencuat dengan amat cepatnya ke arah perut Ki Klabangkolo.

"Wuuuut...! Desss...!"

Tubuh Ki Klabangkolo terpental ke belakang. Akan tetapi ternyata dia kebal dan tidak roboh, hanya terhuyung dan agaknya dia kini menyadari bahwa dia tidak akan mampu menandingi dua orang pengeroyok yang tangguh itu. Maka sambil mengeluarkan suara teriakan yang mirip tawa juga mirip tangis, dia lalu melarikan diri meninggalkan tempat itu dengan cepat seperti terbang menuruni lereng.

Pemuda itu dan Retno Susilo tidak mengejar. Mereka terengah-engah dan mandi keringat. Kakek itu sungguh tangguh bukan main. Setelah mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga, barulah mereka dapat mengusir kakek itu.

"Berbahaya sekali...! Dia sungguh digdaya!" kata pemuda itu sambil mengusap keringat di kening dan lehernya.

"Hemm, dia sungguh tangguh dan berbahaya, akan tetapi juga amat jahat!"

"Dia seperti seorang yang tidak waras pikirannya. Seperti orang gila," kata pemuda itu.

Retno Susilo menatap wajah yang tampan itu dan dia berkata, "Ki Sanak, tadi engkau belum menjawab pertanyaanku. Siapakan andika ini dan bagaimana dapat datang ke sini dan menolongku?"

Pemuda itu tersenyum dan wajahnya sungguh tampan kalau dia tersenyum.

"Namaku Priyadi. Aku seorang murid perguruan Jatikusumo yang berada di Pantai Laut Selatan di daerah Pacitan. Tadi secara kebetulan aku lewat di dusun di mana diadakan pesta pernikahan itu dan aku melihat keributan yang terjadi pada waktu engkau dikeroyok orang. Aku masih ragu untuk membantumu karena aku tidak tahu apa urusannya. Tetapi aku lalu melihat engkau ditawan oleh mereka dengan menggunakan jaring itu. Sewaktu aku hendak menolong, kakek itu telah turun tangan menolongmu bahkan telah membunuh orang tinggi kurus yang mempergunakan senjata rantai baja itu, juga merobohkan banyak pengeroyok. Melihat dia memasuki rumah lalu keluar kembali sambil memanggulmu yang berada dalam keadaan terikat kaki tanganmu, aku menjadi curiga terhadap kakek itu dan diam-diam aku membayangi dan mengikutinya masuk ke dalam hutan ini. Aku mendengar semua kata-katanya dan ketika dia meninggalkanmu di goa ini, aku segera datang untuk menolongmu."

Retno menghela napas panjang. "Untung engkau datang, kakangmas Priyadi. Kalau tidak, entah bagaimana dengan nasib diriku. Agaknya kakek itu memang tak waras pikirannya. Dia gila dan sangat mengerikan. Akan tetapi, pernahkah engkau mendengar akan nama Ki Klabangkolo yang mengaku sebagai bahurekso Pegunungan Ijen?"

Priyadi menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak pernah mendengarnya. Mungkin dia seorang tokoh sesat yang sudah lama menyembunyikan dirinya. Akan tetapi dia jahat dan berbahaya. Orang seperti itu sepatutnya dienyahkan dari muka bumi ini."

"Akan tetapi dia tangguh sekali, dia sakti mandraguna. Aku sendiri rasanya tidak akan mampu menandinginya," kata Retno.

"Aku pun akan sukar mengalahkannya. Akan tetapi kita berdua berhasil mengalahkannya dan mengusirnya. Kalau kita bekerja sama dan dia tidak melarikan diri, pasti kita dapat membunuhnya. Nimas, engkau belum menceritakan siapa namamu dan bagaimana kau sampai dikeroyok di rumah yang mengadakan pesta pernikahan itu."

"Namaku Retno Susilo, aku adalah puteri ayah yang menjadi ketua perkumpulan Sardulo Cemeng di Hutan Kebojambe. Aku sedang dalam perjalanan ke daerah Ngawi ketika aku melihat rombongan pengantin wanita yang hendak diboyong ke dusun tempat tinggal Prabowo, hartawan yang mengadakan pesta pernikahan itu. Karena mendengar pengantin wanita menangis dengan sedihnya, aku lalu menahan rombongan itu dan menghajar lima orang pengawalnya. Kemudian aku menanyai pengantin wanita yang mengaku bahwa ia hendak dipaksa menjadi selir yang ke lima. Dia tidak mau, akan tetapi terpaksa karena ayahnya sudah mempunyai banyak hutang kepada Raden Prabowo. Aku lalu menyuruh gadis itu pulang dan menggantikan kedudukannya dalam joli dan aku membiarkan diriku dibawa ke rumah yang sedang mengadakan pesta pernikahan itu. Di rumah itu aku lalu mengamuk akan tetapi dikeroyok kemudian ditangkap secara curang oleh mereka dengan menggunakan jaring. Aku lalu dibawa ke dalam kamar dan kaki tanganku diikat sampai muncul kakek itu yang membawaku pergi dengan memanggulku. Nah, selanjutnya engkau sudah mengetahui, kakangmas Priyadi."

"Nimas Retno Susilo aku melihat ketika engkau dikeroyok itu, dan ketika tadi engkau bersamaku menandingi Ki klabangkolo, ilmu pedangmu hebat dan dahsyat sekali. Apakah engkau mempelajari semua ilmu itu dari ayahmu? Tentu beliau memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali."

"Selain mempelajari dari ayah sendiri, aku masih memiliki seorang guru lain, kakangmas. Guruku berjuluk Nyi Rukmo Petak yang tinggal di Bukit Ular pegunungan Anjasmoro."

Priyadi mengerutkan alisnya, mengingat-ingat kemudian menggeleng kepalanya. "Aku tak pernah mendengar nama julukan gurumu itu. Akan tetapi guruku tentu mengenalnya, atau para kakak seperguruanku."

"Siapakah gurumu yang menjadi ketua perguruan Jatikusumo itu, kakangmas Priyadi?"

"Guruku bernama Bhagawan Sindusakti."

"Tentu seorang pendeta yang sakti mandraguna," kata Retno.

"Sekarang engkau hendak ke mana, nimas?"

"Ketika tertawan, buntalan pakaianku ikut terampas, tentu masih berada di kamar rumah Prabowo itu. Aku hendak mengambilnya dan sekalian memberi hajaran kepada Prabowo dan anak buahnya. Sekarang aku sudah mengetahui tentang jaring-jaring itu, maka tidak akan dapat dicurangi lagi. Aku harus menghajar Prabowo yang jahat itu!"

"Aku akan menemanimu, nimas. Jika nanti ada bahaya menghadang, biarlah kita hadapi bersama."

"Baiklah, kakangmas Priyadi. Akan tetapi terhadap Prabowo biar aku sendiri yang akan menghajarnya. Hartawan mata keranjang itu harus kuhajar sampai taubat betul dan tidak berani lagi mempergunakan hartanya untuk memaksa seorang gadis menjadi selirnya."

"Baik, nimas Retno Susilo. Terserah kepadamu."

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan keluar dari dalam hutan menuju ke dusun di mana tinggal Raden Prabowo, adik lurah dusun Sintren. Ketika mereka sampai di depan rumah itu, keadaan di situ sunyi. Agaknya penduduk dusun itu masih panik oleh kejadian siang tadi di mana terjadi perkelahian di dalam tempat pesta.

Rumah Prabowo juga tampak sunyi, akan tetapi pada bagian depan dan di pekarangan terdapat belasan orang penjaga yang merupakan tukang-tukang pukul atau jagoan-jagoan Prabowo.

Setelah tiba d luar rumah itu, Retno berbisik kepada Priyadi.

"Kakangmas, harap engkau saja yang masuk pekarangan dan menghadapi para tukang pukul. Hajar saja mereka kalau mereka berani menyerangmu. Aku akan mengambil jalan memutar dari belakang karena aku khawatir kalau-kalau Prabowo akan melarikan diri lewat pintu belakang."

Priyadi mengangguk dan merasa kagum akan kecerdikan dara itu yang memperhitungkan segala kemungkinan. Maka, sesudah Retno menyelinap melalui jalan samping, dia pun memasuki pekarangan dan terus maju ke arah pendopo.

Belasan orang penjaga segera menghadangnya dan mereka tampak bengis. Mereka itu masih panik dengan peristiwa siang tadi, maka mereka bersikap bengis kepada orang-orang luar untuk menutupi rasa jerihnya

Melihat seorang pemuda tampan memasuki pekarangan dan menuju pendopo, seorang yang bermata juling, pemimpin para penjaga itu, segera melangkah maju menghadapinya dan menghardik.

"Ki Sanak, siapakah andika dan mau apa datang ke sini?"

"Aku bernama Priyadi dan ingin bertemu dengan Prabowo."

"Andika maksudkan Raden Prabowo? Mau apa ingin bertemu dengan Raden Prabowo?"

"Pendeknya aku ingin bertemu dengan dia, ingin menegur agar dia jangan lagi-lagi berani menggunakan harta kekayaannya untuk memaksa seorang gadis menjadi selir barunya!" Sengaja Priyadi mengeluarkan kata-kata itu dengan suara lantang agar terdengar oleh Prabowo yang dia yakin tentu berada di dalam rumah.

Para tukang pukul itu memang jerih terhadap Retno Susilo, akan tetapi pemuda ini tidak mereka kenal dan tentu saja mereka sama sekali tidak takut. Serentak mereka mencabut senjata golok dari pinggang mereka dan mengepung Priyadi.

Akan tetapi begitu tubuhnya bergerak, Priyadi telah menerjang mereka, mempergunakan kaki tangannya dan setiap kali kakinya atau tangannya menyambar, tentu ada seorang pengeroyok yang terpelanting jatuh.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)