PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-13
"Hendak lari ke mana kau, jahanam Prabowo?!" bentak Rento Susilo.
Prabowo memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Cepat dia memutar tubuh hendak melarikan diri, tapi kaki kiri Retno mencuat dan Prabowo tertendang pinggangnya sehingga roboh terpelanting.
Karena tak dapat melarikan diri, Prabowo lalu bangkit berlutut dan menyembah-nyembah ketakutan. "Ampun... ampunkan saya..." ratapnya.
"Enak saja minta ampun. Engkau selalu mempergunakan harta dan kekuasaanmu untuk bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang dusun yang miskin dan bodoh, engkau merampasi gadis-gadis untuk kau paksa menjadi setirmu. Orang macam engkau ini sudah sepatutnya dibasmi dari muka bumi!"
Retno Susilo mencabut pedangnya. Melihat hal ini Prabowo segera menangis dan saking takutnya dia sampai terkencing-kencing.
"Ampunkan saya... jangan bunuh saya..."
Pedang di tangan Retno Susilo cepat berkelebat menyambar dan putuslah sebagian bukit hidung Prabowo.
"Aduhh...!" Darah bercucuran dari hidung itu, sementara Prabowo mempergunakan kedua tangannya untuk mendekap mukanya.
"Sekali ini aku hanya memotong hidungmu agar menjadi pelajaran dan peringatan bagimu. Akan tetapi kalau lain kali aku lewat di sini dan mendapatkan bahwa engkau masih juga melakukan perbuatan sewenang-wenang, maka aku akan memotong lehermu!"
"Ampun... ampunkan saya..." Dengan suara sengau Prabowo menangis ketakutan dan kesakitan.
"Mulai sekarang engkau harus menjadi seorang hartawan yang dermawan. Pergunakan sebagian hartamu untuk menolong orang-orang miskin, bebaskan semua hutang-hutang para penduduk dusun dan jangan sekali-kali berani lagi memaksa seorang gadis menjadi selirmu!"
"Baik... baik...!" Prabowo berjanji sambil menyembah-nyembah saking takutnya. Saat dia mengangkat muka, dia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis perkasa itu telah lenyap dari depannya.
Sambil menutupi hidungnya yang berdarah dengan kedua tangannya, Prabowo lari masuk ke dalam rumah terus ke bagian depan untuk memanggil para tukang pukulnya. Namun dia terbelalak melihat betapa para tukang pukulnya dihajar habis-habisan oleh Priyadi dan Retno Susilo yang ternyata sudah tiba di depan rumah dan membantu Priyadi mengamuk.
Baru menghadapi Priyadi seorang saja para tukang pukul itu sudah kewalahan. Apa lagi kini muncul Retno yang mengamuk bagaikan seekor harimau betina. Akan tetapi kedua orang ini tidak membunuh para tukang pukul dan hal ini dapat terjadi karena Retno Susilo meneriaki Priyadi supaya jangan membunuh orang! Keganasan gadis ini memang sudah banyak berkurang setelah bergaul dengan Sutejo, kini tidak lagi suka membunuh orang dengan seenaknya.
Dengan tamparan dan tendangan, Retno dan Priyadi menghajar belasan orang tukang pukul itu sehingga mereka kocar kacir dan akhirnya para tukang pukul itu melarikan diri sambil terpincang-pincang dan dalam keadaan babak belur.
Melihat ini Prabowo menjadi makin ketakutan. Akan tetapi hatinya lega ketika dia melihat kedua orang itu pergi. Di dalam hatinya dia telah bertaubat dan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya yang memaksa pada gadis menjadi selirnya dengan kekuatan uangnya. Lagi pula gadis mana yang sudi menjadi selirnya? Hidungnya sudah terpotong dan dia akan menjadi seorang yang wajahnya mengerikan dan menjijikkan.....
********************
Mereka berhenti di bawah pohon yang lebat daunnya sehingga tempat di bawah pohon itu teduh sekali terlindung dari sengatan terik matahari. Mereka duduk di atas batu besar yang berada di bawah pohon itu. Priyadi mengangkat muka memandang Retno Susilo.
Gadis itu sedang mempergunakan sehelai sapu tangan untuk menyusut keringatnya yang membasahi leher dan muka. Mata yang tampak semringah kemerahan sehingga menjadi semakin ayu dan manis. Bibir yang bentuknya menggairahkan itu tersenyum ketika Retno juga memandang kepada pemuda itu sehingga mereka saling bertemu pandang.
"Hatiku sudah puas dapat menghajar Prabowo dan antek-anteknya! Mudah-mudahan dia sudah betul-betul bertaubat sekarang dan tak berani lagi mengganggu gadis-gadis dusun anak orang miskin," kata Retno dengan wajah berseri-seri dan sepasang matanya ikut tersenyum.
"Kau apakan dia, nimas Retno?" tanya Priyadi.
"Kubuntungi bukit hidungnya. Sekarang dia menjadi seorang laki-laki yang berwajah buruk dan menyeramkan. Bila tadinya dia seorang laki-laki hidung belang, sekarang dia menjadi setan hidung buntung!" Retno tersenyum senang. Dalam keadaan seperti itu dia tampak demikian jelitanya sehingga Priyadi memandang terpesona dan bengong.
Karena Priyadi diam saja tidak bersuara, Retno menatap wajahnya dan melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
"Ehh, kakangmas Priyadi, mengapa engkau memandangku seperti itu?" Retno menegur heran.
Priyadi tersadar dari pesona. "Eh... ohh... tidak apa-apa, nimas, tetapi engkau... hemm... engkau begini cantik jelita, amat mengagumkan hatiku..."
Retno Susilo tersenyum, wajahnya berubah menjadi makin kemerahan. "Ah, kakangmas Priyadi, engkau terlalu memuji."
"Tidak, nimas. Selama hidupku belum pernah aku melihat seorang wanita seperti engkau ini. Engkau gagah perkasa, digdaya, cantik jelita, agaknya semua kebaikan di dalam diri wanita kau borong semua. Engkau membuat aku terpesona, nimas, dan aku merasakan sesuatu dalam hatiku yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kukira beginilah yang dikatakan orang kalau jatuh cinta. Agaknya aku... aku telah jatuh cinta kepadamu, nimas Retno Susilo."
Retno tersenyum lebar. "Wah, kakangmas Priyadi. Jangan berkata begitu, kita baru saja saling jumpa dan berkenalan!"
"Tidak, nimas, bagiku engkau seakan-akan telah kukenal lama sekali. Engkaulah wanita seperti yang selalu kubayangkan, wanita yang memenuhi semua harapan dan seleraku. Selama ini aku tak pernah tertarik kepada wanita, akan tetapi setelah bertemu denganmu, seolah-olah aku telah bertemu dengan wanita yang selalu menjadi idaman hatiku, menjadi bunga-bunga mimpiku. Nimas Retno Susilo, sudikah engkau menerima uluran tanganku, memenuhi harapan hatiku? Sudikah engkau menerima cintaku?"
"Aku tidak tahu, kakangmas. Engkau kuanggap sebagai seorang sahabat baru yang baik dan yang telah menyelamatkan aku dari ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut. Aku berterima kasih kepadamu, akan tetapi mengenai cinta, aku belum memikirkan dan tidak sempat mempertimbangkan karena kita baru saja saling bertemu. Jangan bicarakan tentang itu, mas. Engkau membuat aku bingung."
"Maafkan aku, nimas. Baiklah, untuk sementara ini aku tidak akan membicarakan dan menyinggung soal perasaan hatiku padamu. Biarlah kita berkenalan lebih lama dan untuk memperdalam persahabatan kita, aku akan menemanimu dalam perjalananmu sehingga kita berkesempatan untuk saling mengenal lebih baik lagi. Engkau pernah mengatakan bahwa engkau sedang dalam perjalanan ke Ngawi, hendak ke manakah engkau nimas?"
"Kakangmas Priyadi, aku mempunyai urusan pribadi yang tidak bisa dicampuri orang lain, karena itu tidak dapat kuceritakan kepadamu. Sebaiknya kita berpisah di sini saja dulu, kangmas. Mudah-mudahan kita akan dapat saling berjumpa lagi dan aku mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu."
"Nimas Retno Susilo, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Apakah kita tidak bisa melakukan perjalanan bersama selama beberapa hari sebelum kita saling berpisah?" desak Priyadi sambil memandang wajah dara itu penuh gairah.
Memang dia tidak berbohong, selama ini belum pernah dia tertarik kepada wanita. Akan tetapi entah mengapa, sekali ini dia seperti tergila-gila kepada dara ini. Seolah ada daya tarik yang luar biasa pada diri Retno Susilo yang membuat dia ingin terus berdekatan.
"Maaf, kakangmas Priyadi. Terpaksa kita harus berpisah dan aku harus segera berangkat pergi karena urusan pribadiku itu penting sekali. Sudahlah, selamat tinggal, Kakangmas!" Sesudah berkata demikian Retno Susilo segera memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya menjadi ringan sekali sehingga dia dapat berlari amat cepatnya.
Berulang kali Priyadi menghela napas panjang untuk menekan perasaan kecewanya. Dia merasa kehilangan bukan main ketika Retno Susilo berlari pergi. Akhirnya dia tidak dapat menahan desakan hatinya dan dia pun melompat cepat kemudian berlari mengejar dan membayangi Retno Susilo.....!
********************
Perguruan silat Nogo Dento berpusat di tepi Sungai Bengawan Solo tak jauh dari Ngawi. Perguruan Nogo Dento memilih tempat di lereng sebuah bukit, jauh dari dusun sehingga merupakan perkampungan tersendiri di mana para muridnya yang berjumlah kurang lebih lima puluh orang dan masih belajar tinggal di perkampungan itu. Mereka tinggal di pondok-pondok kecil yang berada di sebelah belakang sebuah rumah besar yang menjadi tempat tinggal guru atau ketua mereka.
Ketua perguruan silat Nogo Dento adalah seorang lelaki berusia empat puluh lima tahun, berwajah tampan dan gagah perkasa, bertubuh tinggi besar. Namanya adalah Harjodento dan dia terkenal sekali sebagai seorang pendekar besar yang ditakuti lawan disegani kawan. Dia tidak pernah mencampuri urusan orang-orang kalangan persilatan, namun dia disegani orang karena gagah perkasa, bijaksana dan terkenal sakti mandraguna.
Bukan banya Harjodento yang terkenal gagah perkasa, namun isterinya yang bernama Padmosari juga terkenal sebagai seorang wanita yang digdaya, biar pun kemampuannya tidak setinggi kemampuan suaminya. Namun suami isteri ini hanya hidup berdua tanpa anak dan mereka menganggap para murid sebagai anak-anak mereka sendiri.
Namun sayang, di antara sekian banyaknya murid, tidak ada seorang pun yang memiliki bakat besar sehingga tidak ada yang menonjol. Karena itu belum ada seorang pun yang dapat mewarisi aji-aji simpanan kedua suami isteri itu, melainkan hanya mempelajari ilmu-ilmu silat yang tingkatnya hanya pertengahan saja.
Walau pun demikan, para murid Nogo Dento juga disegani orang karena para murid itu rata-rata patuh terhadap guru mereka dan bersikap baik sekali di luaran, tidak pernah membuat ribut dan bersikap gagah menentang kejahatan. Karena itu para penduduk di dusun-dusun sekitarnya amat menghormati perkumpulan Nogo Dento, bahkan nama Nogo Dento terkenal sampai ke Ngawi, juga ke kadipaten-kadipaten lain sebagai perkumpulan orang orang yang pantas disebut pendekar.
Perguruan silat Nogo Dento terletak di lereng bukit yang indah dan tanahnya subur. Setiap hari para murid yang tinggal mondok di perguruan itu bekerja sebagai petani atau kadang-kadang juga menjala ikan di bengawan, yaitu ketika musim kemarau di mana ikan-ikan berkumpul di kedung-kedung. Hasil pertanian itu cukup untuk biaya kehidupan mereka setiap hari dan sebagai sekadar bayaran mereka kepada guru mereka yang mengajarkan ilmu kanuragan.
Perkampungan itu cukup luas dan dikelilingi pagar bambu yang kokoh. Di bagan depan terdapat sebuah pintu gapura besar dan di atas gardu penjagaan di depan pintu gapura terdapat sebuah bendera berwarna hitam dengan lukisan seekor naga putih di tengahnya. Siang malam ada sedikitnya lima orang murid berjaga di gardu itu.
Tempat itu tampak sejuk menyenangkan karena perguruan yang sudah hampir dua puluh lima tahun berada di situ, telah menanam banyak pohon-pohon yang kini telah menjadi pohon besar. Banyak pohon buah-buahan sehingga selain dapat memberi kesejukan dan kesegaran, setiap musim buah juga dapat menghasilkan buah untuk dimakan sendiri dan selebihnya dijual.
Kehidupan di perkampungan perkumpulan Nogo Dento tampak tenteram dan sejahtera. Latihan-latihan silat yang dilakukan oleh para murid lebih dimaksudkan untuk menjaga kesehatan, sebagai olah raga dari pada untuk bekal berkelahi. Sudah bertahun-tahun lamanya tidak pernah ada di antara mereka yang berkelahi dengan pihak lain. Bahkan di sekitar perkampungan Nogo Dento tak pernah ada penjahat berani beraksi karena mereka merasa jerih akan nama besar Nogo Dento yang selalu menentang perbuatan jahat.
Pada suatu siang yang cerah, ketika matahari bersinar dengan teriknya, di depan pintu gapura perkampungan Nogo Dento muncul seorang wanita muda yang wajahnya cantik jelita. Melihat sebatang pedang tergantung di punggungnya, mudah diduga bahwa gadis itu adalah seorang wanita yang biasa merantau seorang diri dan memiliki ilmu kanuragan. Dugaan itu memang tepat karena gadis itu bukan lain adalah Retno Susilo.
Ketika baru saja berpisah dari Priyadi, Retno Susilo terkenang kepada pemuda itu. Di dalam hatinya ia mengakui bahwa pemuda itu ganteng, gagah perkasa dan sikapnya amat sopan dan menarik hati. Alangkah mudahnya untuk jatuh cinta kepada Priyadi. Namun di dalam hatinya telah dipenuhi dengan bayangan Sutejo. Kalau saja tidak ada Sutejo yang sudah membuat dia jatuh cinta, agaknya dia pun akan mudah menerima cinta pemuda seperti Priyadi!
Begitu ingat akan Sutejo, bayangan Priyadi segera menghilang dari lamunannya. Setelah beberapa hari lamanya berkeliaran di sekitar daerah Ngawi dan bertanya-tanya, akhirnya pada siang hari itu ia berhasil menemukan tempat yang dicari-carinya, yaitu tempat tinggal Harjodento, ketua dari perkumpulan Nogo Dento.
Empat orang pemuda yang berjaga di gardu, yang kini berdiri di samping pintu gerbang, memandang dengan heran dan keempatnya berdiri dari bangku yang mereka duduki.
Empat orang murid Nogo Dento ini adalah pemuda-pemuda gagah perkasa yang selalu menentang kejahatan. Mereka selalu bersikap sopan. Akan tetapi bagaimana pun juga mereka adalah orang-orang muda sedangkan Retno Susilo adalah seorang dara yang amat cantik jelita. Maka tidaklah mengherankan kalau empat orang pemuda itu kini berdiri melongo dan terpesona sehingga sejenak mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang dengan mata terbelalak.
Setelah kemudian mereka sadar, empat orang itu lalu menjadi salah tingkah dan masing-masing berusaha untuk bergaya agar dapat menarik perhatian! Yang berkumis mengelus kumisnya, ada pula yang merapikan rambutnya, ada yang membusungkan dadanya yang bidang dan ada pula yang merapikan pakaiannya.
Kemudian seperti berlomba mereka keluar dari gardu untuk menyambut Retno Susilo, sambil memasang senyum semanis mungkin dengan langkah yang segagah mungkin. Sikap ini sama sekali tidak berarti bahwa mereka adalah pemuda-pemuda yang kurang ajar, melainkan sudah lajim dirasakan oleh pemuda yang mana pun juga. Mereka tertarik, terpesona dan berusaha untuk menarik hati gadis itu.
"Selamat siang nona. Dapatkah saya membantu nona?" tanya mereka dengan suara saling sahutan.
Retno Susilo sudah terbiasa menghadapi sikap para pria yang bertemu dengannya, maka Ia pun menganggap hal itu biasa saja. Ia memandang ke arah bendera yang bergambar seekor naga putih itu lalu bertanya.
"Apakah di sini tempat perkumpulan Nogo Dento?"
"Benar sekali, nona," jawab yang berkumis, "Ini adalah perkampungan Nogo Dento."
"Apakah ketuanya bernama Harjodento?" tanya pula Retna Susilo.
"Kembali dugaanmu benar, nona. Ada keperluan apakah nona datang berkunjung?"
"Aku ingin bertemu dengan Harjodento, harap kalian suka laporkan kepadanya dan minta dia menemuiku."
"Akan tetapi apakah keperluan nona?" tanya si kumis melintang.
Retno Susilo mengerutkan alisnya. "Engkau tidak perlu tahu!"
"Akan tetapi, agar kami dapat memberi laporan yang lengkap kepada bapa guru, harap nona memberi-tahukan kepada kami apa keperluan nona."
"Katakan saja bahwa aku hendak bertemu dan bicara dengan dia. Urusannya akan aku bicarakan sendiri dengan dia, kalian tak perlu tahu!" kata pula Retno Susilo dan suaranya terdengar ketus. Melihat sikap yang kaku ini, si kumis tidak berani membantah lagi.
"Baiklah, silakan duduk menanti di sini, nona. Aku hendak melaporkan kepada bapa guru di dalam." Si kumis lalu melangkah memasuki pintu gapura.
Tiga orang murid yang lain dengan ramah dan sopan lalu mempersilakan Retno duduk menunggu di atas bangku yang terdapat dalam gardu penjagaan. Karena melihat sikap mereka ramah dan sopan. Retno juga tidak menolak dan duduklah ia menanti di situ.
Murid Nogo Dento yang berkumis itu melaporkan kepada Harjodento yang sedang duduk bercakap-cakap dengan isterinya. Harjodento adalah seorang lelaki berusia enam puluh lima tahun yang gagah perkasa, ada pun isterinya berusia jauh lebih muda, kurang lebih empat puluh lima tahun, cantik dan gerak geriknya menakjubkan bahwa ia seorang wanita yang tangkas.
Mendengar laporan muridnya bahwa di luar pintu gapura datang seorang gadis cantik yang ingin bertemu dan bicara dengannya, Harjodento mengerutkan alisnya yang tebal dan dia menegur muridnya. "Apa keperluannya?"
"Sudah saya tanyakan tetapi dia tidak mau mengaku, bapa guru. Dia hanya mengatakan bahwa dia ingin bertemu dan bicara sendiri dengan, bapa guru. Dan tampaknya dia bukan seorang gadis biasa, karena dia membawa sebatang pedang di punggungnya."
"Hemmm, aneh dan mencurigakan benar," Harjodento bergumam. "Siapakah dia?"
"Dari pada menduga-duga lebih baik kita keluar dan melihat siapa adanya gadis itu," kata Padmosari.
Suaminya mengangguk. Mereka bangkit berdiri dan keluar dari rumah, didahului oleh si kumis.
Sesudah tiba di luar pintu gapura, Harjodento dan Padmosari memandang Retno Susilo yang sudah keluar dari gardu penjagaan. Mereka menjadi semakin heran karena merasa tak pernah mengenal gadis cantik jelita itu. Sebaliknya Retno Susilo memandang kepada suami isteri itu dengan sinar mata penuh selidik. Kemudian Retno Susilo melangkah maju menghampiri mereka dan dengan lantang bertanya,
"Apakah andika yang bernama Harjodento, dan dia itu bernama Padmosari?"
Walau pun sikapnya dibuat kaku karena kedatangannya adalah untuk membunuh kedua orang itu, namun di lubuk hatinya Retno merasa tidak enak sekali. Dua orang itu tampak demikian gagah dan anggun, sama sekali bukan macam orang-orang jahat dan ia harus membunuh mereka! Akan tetapi ini adalah tugas yang diberikan oleh gurunya dan ia harus mengakui bahwa ia telah berhutang banyak budi dari Nyi Rukmo Petak.
"Benar sekali, nona. Andika ini siapakah dan ada keperluan apakah datang berkunjung?" tanya Harjodento dengan heran sambil mengamati wajah yang ayu itu.
"Aku bernama Retno Susilo dan kedatanganku ini adalah untuk menantang kalian!" kata Retno Susilo secara langsung dan terus terang.
Suami isteri itu terbelalak, lalu saling pandang dan Padmosari juga menggeleng kepala kepada suaminya sebagai pernyataan bahwa ia pun tidak mengerti.
"Nona, agaknya ada kesalah-pahaman di sini. Marilah kita masuk ke dalam rumah kami dan di sana kita dapat bicara dengan baik," kata Padmosari untuk mendinginkan suasana.
Akan tetapi Retno Susilo menggelengkan kepalanya. "Tidak usah, di sini pun kita dapat bicara dan menyelesaikan persoalan di antara kita."
Harjodento mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, nona. Mengapa engkau datang-datang menantang kami?"
"Karena aku harus membunuh kalian berdua," jawab Retno dengan jujur. Hatinya merasa tidak enak dan dia ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya yang tidak menyenangkan hatinya ini.
Kembali suami isteri itu membelalakkan mata dan saling pandang, kemudian Padmosari menatap wajah Retno dengan alis berkerut. Wanita ini mulai panas hatinya. Bagaimana hatinya tidak akan panas mendengar dirinya ditantang dan akan dibunuh tanpa alasan sama sekali?
"Hei, gadis muda! Enak saja engkau membuka mulut hendak membunuh kami! Apakah engkau telah menjadi gila? Kalau tidak, tentu engkau mau menceritakan sebab-sebabnya mengapa engkau menantang dan hendak membunuh kami yang tidak mengenalmu sama sekali!"
"Aku juga tidak mengenal kalian dan baru kali ini aku bertemu dengan kalian," kata Retno tenang.
"Nona, siapakah yang sedang mimpi? Engkau ataukah kami? Jika engkau tidak mengenal kami, dan kami pun tidak mengenalmu, berarti di antara kita tidak terdapat persoalan apa pun. Bagaimana engkau kini datang-datang hendak membunuh kami? Apakah kesalahan kami terhadap dirimu? Harap jelaskan dahulu, nona. Sebelum engkau membunuh kami," kata Harjodento sambil tersenyum, akan tetapi nada suaranya bersungguh-sungguh tidak bermaksud mengejek.
"Aku memang tidak punya urusan dengan kalian, akan tetapi aku mendapat tugas dari guruku untuk membunuh kalian. Sudahlah, Harjodento dan Padmosari, bersiaplah kalian untuk menandingi aku dan tewas di tanganku." Sesudah berkata demikian, Retno Susilo mencabut pedang Nogo Wilis sehingga tampak sinar kehijauan berkelebat.
Tadinya Harjodento dan isterinya masih menganggap bahwa gadis itu tidak bicara serius dan hanya main-main saja. Akan tetapi melihat gadis itu mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan, mereka terkejut bukan main.
"Nanti dulu, nona! Siapa nama gurumu dan mengapa dia menyuruh engkau membunuh kami?" tanya Harjodento.
"Guruku adalah Nyi Rukmo Petak dari Goa Tengkorak Bukit Ular pegunungan Anjasmoro. Ia mengutus aku untuk membunuh kalian karena kalian telah menyakiti hatinya.
"Akan tetapi kami tidak mengenal Nyi Rukmo Petak, apa lagi pernah menyakiti hatinya!" seru Harjodento.
Retno Susilo tertegun sejenak mendengar jawaban itu. Akan tetapi dia tidak peduli dan mengelebatkan pedangnya. "Masa bodoh, aku tidak tahu akan hal itu, aku hanya menaati perintah guruku. Sudahlah Harjodento dan Padmosari, bersiaplah kalian untuk menandingi aku!"
"Retno Susilo, engkau seorang gadis muda yang keras hati. Akan tetapi karena engkau memenuhi perintah gurumu, aku pun tidak menyalahkanmu. Aku tidak ingin bertanding dengan siapa pun. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku takut menandingi siapa pun juga. Engkau sudah menantangku, tentu saja akan kulayani kehendakmu. Kami tidak perlu maju berdua, biarlah aku saja yang menandingimu!"
Setelah berkata demikian Harjodento lalu mengambil sebatang di antara beberapa batang tombak yang berada di depan pondok dan bersandar pada bangku. Tombak itu diputar beberapa kali di antara kedua tangannya, kemudian dia berdiri dengan gagahnya, kakinya terpentang dan tombak itu didirikan di depannya, dipegang dengan tangan kiri.
"Nah, aku sudah siap, Retno Susilo!" katanya lantang.
"Bagus, sambutlah seranganku!” Retno berseru dan pedangnya berkelebat menyerang dengan dahsyatnya.
Ia sudah menduga bahwa lawan ini tentu tangguh sekali, hal ini dapat dilihat dari cara dia menggunakan dan memainkan tombak tadi. Karena itu, begitu menyerang Retno sudah menyerang dengan dahsyat. Gerakannya amat cepat dan ringan, sedangkan pedangnya didukung oleh tenaga sakti yang amat kuat.
Harjodento adalah seorang pendekar yang tangguh. Dia terkejut melihat serangan pedang Retno Susilo karena dia mengenal serangan yang sangat berbahaya. Tidak disangkanya seorang gadis yang masih demikian muda telah mempunyai ilmu pedang yang demikian hebat dan juga tenaga sakti yang membuat pedang itu menyambar-nyambar bagaikan kilat, berdesing dan mendengung!
Harjodento cepat melangkah mundur untuk mengelak, akan tetapi begitu pedang luput mengenai sasaran, dengan cepat sekali pedang itu sudah membalik dan menyerang lagi, kini membabat ke arah leher! Melihat ini, Harjodento tidak berani memandang ringan dan dia pun memutar tombaknya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Tranggg...!"
Bunga api berpijar ketika dua senjata bertemu. Retno merasakan tangan kanannya yang memegang pedang tergetar hebat, tapi Harjodento juga terkejut karena ujung tombaknya patah ketika bertemu dengan pedang kehijauan itu. Maka maklumlah dia bahwa lawannya menggunakan sebatang pedang pusaka.
Akan tetapi dia tidak menjadi gentar. Dari pertemuan senjata tadi dia tahu bahwa dalam hal tenaga sakti, dia masih lebih kuat. Maka dia pun tetap memainkan tombak yang telah buntung itu dengan cepat mengimbangi permainan pedang Retno.
Retno sendiri juga menyerang dengan hati-hati. Ia maklum akan kehebatan tenaga lawan, maka ia berjaga-jaga agar senjatanya tidak bertemu dengan senjata lawan, agar ia tidak usah mengadu tenaga. Hal ini pun dikehendaki oleh Harjodento yang tak ingin tombaknya terpotong lagi.
Demikianlah, kedua orang itu bertanding dengan hebatnya, saling serang dengan cepat sekali sehingga para murid Nogo Dento yang kini berdatangan mengurung tempat itu dan menonton menjadi pening. Begitu cepat gerakan kedua orang itu sehingga yang nampak hanya dua bayangan berkelebatan di antara gulungan sinar kehijauan dan sinar tombak yang berwarna abu-abu.
Mereka merasa heran sekali kenapa guru mereka yang selama ini tidak pernah berkelahi, kini bertanding melawan seorang gadis cantik jelita dan lebih heran lagi melihat betapa gadis yang masih muda itu dapat mengimbangi kedigdayaan guru mereka.
Padmosari yang juga memiliki kedigdayaan dan ilmu kanuragan yang hanya kalah sedikit dari pada suaminya, juga merasa heran dan kagum melihat gadis yang masih muda itu mampu melawan suaminya. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir karena ia yakin bahwa suaminya pasti akan dapat mengalahkan gadis itu.
Dari sikap Retno yang selalu menghindarkan beradu tenaga, ia dapat maklum bahwa gadis itu jerih akan tenaga sakti suaminya dan biar pun gadis itu dapat bergerak dengan tangkas dan lincah seperti seekor burung walet, tetapi suaminya dapat mengimbanginya.
Dugaan Padmosari memang tepat karena setelah lewat lima puluh jurus mulailah Retno Susilo terdesak. Ketika pedangnya menyambar dari atas untuk membacok kepala lawan, Harjodento sengaja memalangkan tongkatnya, menerima bacokan itu pada tengah-tengah tongkatnya.
"Tranggg...!" Tongkat itu patah menjadi dua potong.
Memang hal ini yang dikehendaki oleh Harjodento. Kini dia memegang dua potong gagang tombak itu bagai seorang yang memainkan sepasang golok! Dan ternyata permainannya dengan sepasang senjata ini justru lebih hebat dari pada permainan tombaknya tadi. Dia menyerang dengan kedua senjatanya, memukul dan menusuk sehingga Retno Susilo kini sibuk menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan. Kini gadis itu terdesak dan main mundur.
Pada saat itu terdengar bentakan, "Diajeng Retno Susilo, jangan khawatir! Aku datang membantumu!"
Sesosok bayangan berkelebat dan seorang pemuda sudah terjun ke dalam gelanggang pertandingan. Pemuda itu bukan lain adalah Priyadi! Begitu kakinya menginjak tanah, pemuda itu sudah mencabut kerisnya dan menyerang Harjodento yang sedang mendesak Retno!
Harjodento terkejut bukan main. Tusukan itu bukan main dahsyatnya, sangat berbahaya, Terpaksa dia membuang diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali. Pada saat itu pula pedang Retno Susilo menyambar kemudian disusul tamparan tangan kiri gadis itu yang menggunakan Aji Gelap Sewu!
"Wuuuuttt...!"
Hawa panas menyambar ke arah muka Harjodento yang menjadi terkejut sekali. Dia mengenal pukulan sakti, maka dia pun mengelak lagi. Tetapi keris di tangan Priyadi sudah menyambutnya dan sekali ini Harjodento menangkis dengan potongan tombaknya.
"Tranggg...!"
Hebat bukan main pertemuan antara kedua senjata itu sehingga keduanya sama-sama terhuyung ke belakang.
Priyadi terkejut dan maklum akan kehebatan lawan, maka dia pun cepat menubruk dan menyerang lagi. Harjodento mengelak dan balas menyerang.
Di dalam hatinya Retno merasa tidak senang mengeroyok Harjodento, akan tetapi karena Priyadi sudah turun tangan dan bertanding melawan Harjodento, ia pun tidak dapat tinggal diam dan menggunakan pedangnya untuk menyerang lagi. Harjodento menjadi kewalahan dan dia terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya, memainkan sepasang potongan tombak untuk membela diri.....
Komentar
Posting Komentar