PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-14
Para murid Nogo Dento kini sudah berkumpul di sana. Jumlah mereka ada tiga puluhan orang karena murid yang lainnya sedang bekerja di ladang sehingga tidak melihat adanya perkelahian itu. Tiga puluh lebih anak murid Nogo Dento itu sudah bersiap-siap, ada yang memegang tombak, ada yang memegang golok atau keris, siap untuk mengeroyok dua orang muda yang mengacau itu. Mereka telah mengepung tempat itu.
Priyadi melihat ini. Lawannya sangat tangguh, juga wanita yang dilawan Retno tangguh sekali sehingga gadis itu belum juga dapat mendesaknya. Kalau para murid Nogo Dento itu maju mengeroyok, tentu mereka berdua akan celaka. Oleh karena itu dia mengerahkan tenaga sakti dari Aji Gelap Musti, melancarkan pukulan itu sambil berteriak nyaring.
"Hyaaaaattt...!"
Harjodento amat terkejut. Pukulan itu sungguh dahsyat dan angin pukulannya saja terasa demikian kuat menghantamnya. Maklum bahwa dia menghadapi pukulan maut yang amat berbahaya, Harjodento cepat-cepat melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Priyadi untuk melompat ke dekat Retno, menangkap tangan kiri gadis itu dan ditariknya, diajak lari.
"Kita pergi, diajeng!" katanya sambil menarik.
Retno Susilo terpaksa mengikutinya karena tarikan tangan itu kuat sekali. Empat orang murid Nogo Dento yang menghadang di depan, mereka robohkan dengan tendangan kaki sehingga yang lain mundur dan hati jerih. Mereka berlompatan dan melarikan diri dari situ, tidak dikejar oleh Harjodento dan isterinya.
Harjodento berdiri bertolak pinggang melihat bayangan dua orang muda itu melarikan diri. Setelah kedua bayangan itu hilang dari penglihatannya, dia menghela napas panjang dan berkata, "Sungguh aneh. Dua orang muda yang berilmu tinggi. Datang untuk membunuh kita. Siapa gerangan Nyi Rukmo Petak yang mengutus mereka itu?"
Padmosari mengerutkan alisnya. "Tentu seorang di antara musuh-musuh kita. Akan tetapi selama ini tidak ada orang yang mengganggu kita. Sayang kita tidak dapat menangkap mereka untuk ditanyai lebih jelas lagi"
"Sepertinya aku mengenal pukulan sakti yang dilancarkan pemuda tadi kepadaku. Kalau melihat dia memutar pergelangan tangan sebelum mendorong, gerakan itu seperti pukulan sakti Gelap Musti."
"Gelap Musti?" tanya isterinya. "Pukulan sakti dari aliran mana itu?"
"Gelap Musti adalah aji pukulan dari perguruan Jatikusumo. Akan tetapi antara perguruan Jatikusumo dan perguruan kita tidak pernah terdapat keributan, tidak pernah bertentangan dan selama ini di antara kita terdapat tali persahabatan. Mengapa pula murid Jatikusumo memusuhiku? Rasanya tidak mungkin. Kalau ada ganjalan atau urusan, tentu Bhagawan Sindusakti yang menjadi pemimpin perguruan Jatikusumo akan langsung bertemu dengan aku dan membicarakan permasalahan itu, bukan menyuruh seorang dua orang muridnya untuk menyerangku."
"Apakah gadis itu pun murid perguruan Jatikusumo?"
"Entahlah, akan tetapi kurasa bukan. Gerakannya sama sekali berlainan dengan gerakan pemuda itu. Bahkan gerakannya benar-benar berbeda dengan Aji Gelap Musti ketika tadi ia melancarkan pukulan sakti dengan tangan kiri yang mendatangkan hawa panas. Entah dari aliran mana gadis itu."
Suami isteri itu merasa penasaran sekali. Mulai hari itu mereka memesan kepada pada murid untuk melakukan penjagaan lebih ketat dan memesan agar mereka tidak mencari keributan atau berkelahi di luaran.....
********************
Priyadi menggandeng dan menarik tangan Retno Susilo melarikan diri dari perkampungan Nogo Dento. Mereka lari di sepanjang bengawan dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh dari perkampungan itu, barulah dia melepaskan tangan Retno.
Retno berhenti berlari, diturut oleh Priyadi. Mereka duduk di atas batu di pinggir bengawan dan Retno memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut dan mulut cemberut.
"Kakangmas Priyadi, kenapa engkau menarik aku dan mengajakku melarikan diri?" tanya gadis ini dengan penasaran.
Priyadi maklum dan melihat sikap Retno dia tahu bahwa gadis itu marah kepadanya. Dia berkata lembut sambil tersenyum, "Maafkan aku diajeng. Akan tetapi aku melihat bahaya besar mengancam kita. Selain suami isteri itu sangat tangguh, juga aku melihat puluhan orang anak buah mereka sudah siap untuk mengeroyok. Kalau memang terjadi demikian, bagaimana mungkin kita dapat menandingi mereka?"
"Itu kesalahanmu, kakangmas. Kalau engkau tidak datang membantuku dan mengeroyok Harjodento belum tentu mereka akan mengeroyok!"
"Sekali lagi maafkan aku, diajeng Retno. Aku bermaksud baik. Aku tahu siapa Paman Harjodento. Dia adalah ketua Nogo Dento dan seorang yang digdaya sekali. Karena aku khawatir engkau akan celaka atau terluka di tangannya, maka aku lancang turun tangan membantumu. Akan tetapi mengapa engkau memusuhi ketua Nogo Dento itu, diajeng? Setahuku dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, dihormati kawan disegani lawan. Mengapa engkau berkelahi dengannya? Apakah ini yang kau maksudkan dengan urusan pribadimu itu?"
Retno Susilo menjawab singkat. "Ini adalah urusan pribadi, kakangmas. Tak ada sangkut pautnya dengan orang lain."
"Akan tetapi aku bukan orang lain, diajeng! Bukankah kita telah bersahabat?"
Retno Susilo memandang kepada pemuda itu dengan kedua alis berkerut dan pandang mata tajam. "Jadi engkau membayangi aku sampai ke tempat ini kakangmas?"
"Maafkan aku. Terus terang saja, setelah kita berpisah, aku seperti kehilangan semangat hidup, kehidupan terasa hambar dan sunyi sepi. Aku tidak tahan lagi kemudian diam-diam membayangimu, diajeng. Maafkan aku. Ketika aku melihat engkau bertanding melawan Paman Harjodento, tadinya aku mendiamkannya saja karena aku merasa bimbang. Di satu pihak aku mendengar bahwa Paman Harjodento bukanlah orang jahat, di lain pihak tentu saja aku condong membantumu. Sesudah aku merasa yakin bahwa engkau dapat terancam bahaya, barulah aku membantumu karena kebetulan Paman Harjodento tidak mengenalku. Aku belum pernah bertemu dengannya, hanya mendengar namanya saja. Sekali lagi, diajeng, aku bukan orang lain. Karena itu, kalau sekiranya engkau mempunyai persoalan dengan Paman Harjodento, katakanlah kepadaku. Aku akan menghadap dia dan akan menyelesaikan masalah ini dengan cara damai."
"Engkau tidak perlu membantu aku, kakangmas. Aku tidak membutuhkan bantuanmu," kata pula Retno Susilo dengan ketus.
"Tetapi aku akan membantumu diajeng. Aku harus membantumu, meski pun untuk itu aku berkorban nyawa sekalipun!"
"Hemm, apakah engkau juga akan membantuku kalau aku hendak membunuh Harjodento dan isterinya?"
Priyadi membelalakkan matanya karena terkejut sekali. "Membunuh mereka? Akan tetapi mengapa?"
"Nah, engkau tentu mundur kalau aku hendak membunuh mereka, bukan?"
"Tidak diajeng. Aku tadi hanya heran bukan main mendengar engkau hendak membunuh mereka. Bahkan untuk itu pun aku akan membantumu! Akan tetapi engkau tentu tidak berkeberatan untuk menjelaskan mengapa engkau hendak membunuh mereka?"
"Sudahlah, kakangmas Priyadi. Ini adalah urusan pribadiku, kau tidak boleh mencampuri urusan ini. Aku telah gagal dalam tugasku. Selamat tinggal!" Retno Susilo lalu melompat dan melarikan diri.
"Diajeng...! Tunggu...!" Priyadi mengejar.
Mendadak Retno berhenti dan memutar tubuhnya menghadapi pemuda itu. "Kakangmas Priyadi. Hentikan pengejaranmu ini. Kalau engkau nekat membayangku, aku akan benci kepadamu!" Setelah berkata demikian Retno Susilo mengerahkan Aji Kluwung Sakti dan tubuhnya seperti diterbangkan angin, demikian cepat larinya.
Priyadi termangu-mangu, tidak berani mengejar lagi sesudah gadis itu mengancam akan membencinya kalau dia tetap membayangi. Dia lalu menarik napas panjang dan memutar tubuhnya, pergi dari situ dengan lemas dan dia merasa kehilangan dan kesepian sekali.....
********************
Sutejo berjalan seorang diri di jalan raya itu. Di kanan kirinya terbentang sawah yang amat luas. Siang hari itu panasnya bukan main, dan ia melihat beberapa orang petani mengaso setelah semenjak pagi menggarap sawah. Mereka itu makan minum bawaan isteri mereka yang mengantarnya ke sawah. Mereka makan dengan lahap sambil bercakap-cakap, dan suasananya gembira sekali.
Orang-orang miskin itu tampak begitu bahagia, pikirnya. Mengapa dia tidak dapat seperti mereka? Menggarap sawah, ketika siang menerima kiriman nasi dengan lauk sekedarnya, kemudian berhenti bekerja untuk makan nasi sederhana dan minum air dari kendi yang terasa sejuk segar dan nikmat!
Tidak, dia harus memenuhi tugas kewajibannya yang masih banyak. Dia harus mencari ayah bundanya, mencari dan merampas kembali pecut Bajrakirana, menuntut balas atas kematian bapa guru serta eyang gurunya yang keduanya mati di tangan paman gurunya, yaitu Bhagawan Jaladara dan kawan-kawannya, terutama Tumenggung Janurmendo.
Kemudian, kewajibannya yang terakhir adalah menghambakan dirinya kepada Mataram untuk membantu Mataram menghadapi para adipati dan bupati yang memberontak. Tidak, belum waktunya untuk hidup penuh tenteram dan damai seperti para petani itu!
Setelah meninggalkan daerah persawahan itu, dia lalu memasuki sebuah hutan. Jalan itu memang melalui sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon raksasa. Jalan di dalam hutan itu teduh karena daun-daunan menjadi perisai terhadap sinar matahari yang terik.
Tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang sedang berkelahi dari arah kiri. Suara teriakan-teriakan bercampur dengan berdentingnya senjata yang beradu dan teriakan kesakitan. Ia merasa amat tertarik dan cepat menuju ke tempat dari mana datangnya suara perkelahian itu.
Dengan menggunakan kecepatannya dia berlari menyusup semak-semak hingga akhirnya tibalah dia di tempat terbuka, di mana terdapat dua orang sedang dikeroyok oleh belasan orang. Dia segera menonton dengan hati tertarik.
Dua orang yang dikeroyok itu adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluhan tahun dan seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun. Kedua orang itu memegang sebatang keris dan mereka sedang menghadapi pengeroyokan lima belas orang laki-laki kasar yang tampaknya bengis dan kuat.
Sutejo melihat bahwa kakek dan gadis itu keduanya dapat mempergunakan keris mereka dengan baik untuk menghadapi pengeroyokan belasan orang yang memegang golok itu, bahkan sudah melukai beberapa orang, tetapi tetap saja mereka terdesak hebat. Akhirnya kedua orang itu saling membelakangi untuk menghindarkan serangan dari belakang dan dengan repot sekali mereka menghalau semua serangan yang datang bagaikan hujan dari depan, kanan dan kiri.
Melihat segerombolan orang kasar Itu mengeroyok dan sikap mereka amat bengis seperti segerombolan srigala, Sutejo mengerutkan alisnya dan dia tidak perlu berpikir terlalu lama untuk berpihak yang mana. Akan tetapi sebelum dia turun tangan, tiba-tiba saja terdengar bentakan dari belakang gerombolan pengeroyok itu.
"Mundur semua!"
Mendengar bentakan ini, para pengeroyok itu berloncatan ke belakang dan menghentikan pengeroyokan mereka. Kini kakek dan gadis itu berhadapan dengan orang yang berseru tadi, yakni seorang laki-laki berusia empat puluh dua tahun yang bertubuh tinggi besar, sepasang matanya besar dan bulat, hidungnya pesek dan mulutnya lebar.
Raksasa ini memandang kepada kedua orang itu, kemudian pandang matanya berhenti dan seolah-olah mengerayangi tubuh gadis yang cantik manis itu. Kemudian dia tertawa bergelak sehingga tubuhnya terguncang semua, tangan kirinya mengurut kumisnya yang jarang dan pendek.
"Ha-ha-ha! Ki Sanak siapakah andika yang berani melawan pengeroyokan anak buahku?"
Maklum bahwa dia berhadapan dengan kepala gerombolan itu, kakek itu berdiri tegak dan menjawab dengan lantang. "Aku adalah Joyosudiro dari Kediri dan ini anakku bernama Jayanti. Kami berdua tidak melakukan kesalahan apa-apa, hanya kebetulan lewat di jalan dalam hutan ini, tetapi tiba-tiba saja kami dihadang belasan orang anak buahmu. Mereka minta agar kami meninggalkan semua barang bawaan berikut pakaian yang kami pakai. Tentu saja kami tidak menuruti permintaan mereka, lalu kami dikeroyok!"
"Hemm, hal itu sudah merupakan peraturan di sini. Siapa lewat di sini, harus membayar pajak kepada kami!"
"Peraturan siapa itu?" tanya Joyosudiro, sedikit pun tidak merasa gentar walau pun tadi dia dan puterinya sudah dikeroyok dan didesak.
"Ha-ha-ha, peraturanku! Maheso Kroda yang membuat peraturan itu dan siapa pun juga orangnya yang melewati jalan di dalam hutan ini harus menaatinya. Akan tetapi aku akan memberi kelonggaran kepadamu, Joyosudiro. Meski pun usiaku sudah empat puluh tahun lebih tapi aku belum beristeri, dan aku melihat puterimu ini begini ayu menarik. Maka kami tak akan mengganggumu, bahkan ingin menarikmu sebagai ayah mertuaku, dan puterimu menjadi isteriku!"
"Maheso Kroda, tutup mulutmu yang busuk itu! Aku tidak sudi menjadi isterimu!" tiba-tiba Jayanti berseru, suaranya juga lantang dan penuh keberanian.
"Ha-ha-ha, sekarang begini saja, Joyosudiro. Mari kita tentukan melalui pertandingan. Kita bertanding dan kalau aku kalah maka kalian boleh lewat tanpa gangguan, tapi jika engkau yang kalah, puterimu harus diberikan kepadaku untuk menjadi isteriku. Bagaimana?"
"Bapa, biar kuhajar mulut yang lancang itu!" Jayanti berseru sambil mengacungkan keris. Akan tetapi Joyosudiro melambaikan tangan menyuruh puterinya mundur.
"Engkau mundurlah dan jaga saja jangan sampai aku dikeroyok," kata Joyosudiro sambil menyarungkan kerisnya, lalu menghadapi Maheso Kroda. "Maheso Kroda, walau apa pun yang terjadi, puteriku tidak sudi menjadi isterimu. Terserah apa yang hendak kau lakukan, akan kulayani!"
"Babo-babo, engkau belum mengenal kehebatan Maheso Kroda! Marilah Joyosudiro, kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang!"
"Sesukamu, Maheso Kroda, aku tidak takut menandingimu!"
"Pecah dadamu!" bentak Maheso Kroda sambil menyerang dengan pukulan yang dahsyat ke arah dada Joyosudiro.
Pendekar dari Kediri ini melihat datangnya pukulan yang dahsyat, kuat dan cepat, maka dia pun cepat mengelak ke kiri lalu dari kiri ia membalas dengan hantaman menggunakan telapak tangannya ke arah lambung lawan. Melihat pukulan pertamanya luput, Maheso Kroda cepat menarik kembali tangannya dan ditekuk untuk menangkis serangan balasan Joyosudiro.
"Dukkk...!"
Dua lengan bertemu dengan kuatnya dan akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini, Joyosudiro terpental ke belakang! Akan tetapi dia tidak sampai terjatuh dan pada saat itu Maheso Kroda sudah menerjangnya lagi dengan tamparan ke arah kepala.
Joyosudiro maklum bahwa lawannya mempunyai tenaga yang amat besar, maka dia tidak berani menangkis dan mengadu tenaga, melainkan mengelak dengan cepat kemudian membalas dengan kaki kanan menyerampang kaki lawan. Maheso Kroda yang bertubuh tinggi besar itu ternyata mempunyai kegesitan juga. Dia cepat melompat ke atas sehingga serampangan kaki lawan lewat, lalu dari atas kembali lengannya yang panjang terjulur dan tangan kirinya menyambar dengan tamparan keras ke arah kepala lawan.
Terjadilah serang menyerang yang amat seru, akan tetapi karena Joyosudiro tidak berani mengadu tenaga, maka dia menjadi terdesak dan harus berloncatan ke sana sini untuk menghindarkan tamparan, pukulan serta tendangan Maheso Kroda yang datang secara bertubi-tubi. Dia terdesak mundur.
Melihat betapa ayahnya terdesak hebat, Jayanti mengerutkan alisnya dan dia mengikuti jalannya pertandingan dengan khawatir sekali. Kepala para perampok itu ternyata tangguh sekali sehingga ayahnya amat kewalahan. Untuk maju membantu ayahnya ia tak berani, karena kalau ia lakukan hai itu tentu belasan orang anak buah perampok itu akan maju mengeroyok pula sehingga keadaan ia dan ayahnya akan menjadi semakin berbahaya.
Ia bergidik ngeri apa bila teringat akan ucapan Maheso Kroda yang hendak mengambilnya sebagai isteri. Ia tidak sudi dan seandainya ayahnya kalah, ia tetap tak akan sudi diambil isteri, dan untuk itu ia bersiap untuk mempertahankan kehormatannya sampai titik darah terakhir! Berpikir demikian, dara itu meraba gagang kerisnya.
Sementara itu, ketika mendengar percakapan mereka tadi, Sutejo sudah menjadi marah. Dia tahu bahwa Maheso Kroda adalah seorang kepala perampok yang ingin memaksakan kehendaknya, ingin mengambil gadis yang ayu manis itu sebagai isterinya. Akan tetapi dia menahan diri karena ingin melihat bagaimana perkembangannya apakah Joyosudiro yang kelihatannya juga tangguh itu akan mampu menandingi Maheso Kroda.
Setelah pertandingan berlangsung dan melihat betapa Joyosudiro terdesak hebat, Sutejo lalu muncul keluar dari balik semak belukar di mana dia bersembunyi dan mengintai dan sekali meloncat dia sudah tiba di dekat dua orang yang sedang bertanding.
Pada saat itu Maheso Kroda melakukan serangan dahsyat, tubuhnya merendah dengan menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya didorongkan ke arah dada Joyosudiro. Dia mengeluarkan hantaman dahsyat ketika kedua tangan itu mendorong. Angin pukulan itu menyambar dengan kuatnya.
Joyosudiro terkejut, tidak sempat mengelak. Terpaksa dia pun menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya yang juga didorongkan dengan kedua telapak tangan terbuka.
"Wuuuuttt...! Desss...!"
Tubuh Joyosudiro terpental ke belakang dan tentu dia akan terpelanting roboh kalau tidak ada tangan yang menyambar lengannya sehingga dia tidak terjatuh. Dia merasa dadanya sesak, akan tetapi untunglah tidak sampai terluka parah. Ketika dia melihat bahwa yang menyambar tangannya itu seorang pemuda tampan yang entah kapan sudah berada di situ, dia menjadi heran.
"Paman, silakan mundur. Biarkan saya yang akan menandingi raksasa jahat ini."
Karena merasa bahwa dia memang telah kalah, Joyosudiro mengangguk dan mundur ke dekat puterinya yang juga memandang kepada Sutejo dengan heran, akan tetapi dengan pandang mata penuh harapan.
Maheso Kroda memandang kepada Sutejo dengan sinar mata penuh kemarahan, tadi dia sempat mendengar betapa pemuda itu menyebutnya ‘raksasa jahat.. Dia mengepal kedua tangannya dengan geram, memandang kepada Sutejo yang berdiri di depannya kemudian terdengar suaranya yang parau dan kaku.
"Heh, bocah cilik! Mau apa engkau maju menghadapiku? Siapakah engkau dan mau apa engkau mencampuri urusanku?"
"Maheso Kroda, andika adalah seorang kepala perampok yang suka mengganggu siapa saja yang lewat di tempat ini. Aku Sutejo, dan melihat kejahatan yang kau lakukan ini, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja. Hentikanlah perbuatan jahatmu ini, bubarkan anak buahmu dan bertaubatlah agar tidak sampai terpaksa aku menghajarmu!"
"Babo-babo, Sutejo keparat. Ubun-ubunmu masih bau kencur tetapi engkau sudah berani menantang Maheso Kroda? Agaknya engkau sudah bosan hidup!"
"Majulah, Maheso Kroda. Akulah lawanmu!"
"Keparat, kulumatkan kepalamu!" Maheso Kroda langsung menyerang dengan tamparan tangan kanannya yang lebar dan besar. Tamparan itu kuat bukan kepalang dan tangan itu terisi tenaga sakti yang mampu menghancurkan batu karang. Bukan tidak mungkin bahwa tangan itu akan melumatkan kepala orang yang kena dihantamnya.
Namun dengan gerakan ringan dan mudah saja Sutejo mengelak. Hanya sedikit saja dia membuat gerakan dengan kepalanya yang ditundukkan dan tamparan itu sudah lewat di atas kepalanya, Begitu tangan itu menyambar lewat, Sutejo menggerakkan tangan kirinya ke atas. jari-jari tangannya mengetuk lengan yang besar itu, tepat di bawah sikunya.
"Tuk...!" Dua jari tangan mengetuk bawah siku.
"Aduhh...!" Tanpa tertahankan lagi Maheso Kroda berteriak karena lengannya seketika itu pula menjadi lumpuh. Uratnya telah kena ditotok sehingga terasa nyeri bukan main.
Akan tetapi rasa nyeri dan kelumpuhan itu hanya sebentar saja. Dia sudah pulih kembali karena tubuhnya terlindung aji kekebalan yang cukup kuat. Maka marahlah dia, sambil menggereng seperti seekor singa, dia menerkam dengan kedua lengan dikembangkan.
Akan tetapi dia hanya menubruk angin karena pemuda itu sudah dapat menyelinap dan mengelak dengan lebih cepat dari pada terkamannya. Maheso Kroda yang sudah marah sekali melancarkan serangan secara bertubi-tubi, namun semua serangannya itu luput, dapat dielakkan oleh Sutejo yang bergerak lincah sekali. Tubuh Maheso Kroda sampai berputaran saking terlalu bernafsu untuk dapat merobohkan lawannya, namun ke mana pun dia menyerang, selalu dia menghantam atau menubruk tempat kosong.
Ketika kembali dia menubruk Sutejo yang berada di depannya, pemuda itu menggeser kaki ke samping sehingga tubrukan itu luput. Selagi tubuh Maheso Kroda masih condong ke depan karena daya tubrukannya tadi, kaki Sutejo sudah menendang lututnya.
"Aduhhh...!"
Sambungan lutut yang tertendang itu terasa nyeri sekali, maka tanpa dapat dicegah lagi tubuh yang tinggi besar itu roboh. Sutejo tidak menyusulkan serangan, melainkan berdiri memandang sambil tersenyum.
Bukan main kagumnya hati Joyosudiro dan Jayanti melihat betapa dengan mudahnya Sutejo mempermainkan dan merobohkan lawan. Sepasang mata Jayanti berbinar-binar takjub.
Akan tetapi Maheso Kroda sudah menjadi semakin marah. Dicabutnya senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang keris yang besar dan panjang.
"Sutejo, lihatlah apa yang kupegang. Engkau akan mampus dengan usus terburai!" dia membentak dengan sepasang mata berubah kemerahan.
"Hmm, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mengeluarkan pusaka. Majulah dengan kerismu itu, Maheso Kroda. Aku tidak takut menghadapi keris pemotong leher ayam itu!"
"Keparat, mampuslah kau!" Maheso Kroda membentak marah, kemudian memberi aba-aba, "Majuuu...!"
Semua anak buahnya bergerak maju dengan senjata masing-masing untuk mengeroyok Sutejo. Maheso Kroda sendiri sudah menubruk dan menyerang dengan tusukan kerisnya ke arah perut Sutejo. Pemuda ini mengelak cepat sehingga tusukan itu mengenal tempat kosong.
Melihat Maheso Kroda mengerahkan anak buahnya untuk mengeroyok, Joyosudiro dan Jayanti tidak tinggal diam, Mereka berdua segera berloncatan maju kemudian mengamuk di antara para anak buah perampok. Terjadilah pertempuran yang seru dan kacau.
Sutejo juga marah melihat kecurangan Maheso Kroda. Pada waktu kepala perampok itu menusukkan kerisnya lagi, dia menghindar ke samping dan ketika keris meluncur lewat, dia cepat menampar dengan Aji Gelap Musti.
"Wuuuttt...! Desss...!"
Biar pun tubuh kepala perampok itu kebal, namun ketika pundaknya dihajar pukulan itu, tubuhnya terpelanting berputar dan dia pun roboh! Dia merasa pundak kanannya seperti remuk dan kerisnya yang besar panjang itu telah terlempar entah ke mana.
Habislah semua nyali dalam hati perampok itu dan tanpa banyak cakap lagi, dia meloncat berdiri lalu melarikan diri, tidak mempedulikan lagi kepada anak buahnya.
Akan tetapi para anak buah perampok itu melihat betapa kepala perampok itu melarikan diri, maka seperti dikomando saja, mereka semua lari cerai berai dan tunggang langgang! Mereka meninggalkan teman-teman yang terluka.
Sutejo tidak mengejar Maheso Kroda. Pada saat Jayanti yang marah hendak melakukan pengejaran terhadap para perampok, Ki Joyosudiro cepat mencegahnya.
“Tidak perlu dikejar, biarkan saja mereka melarikan diri"
Para perampok yang terluka dan ditinggalkan lari teman-temannya kini merangkak bangkit kemudian berjalan terhuyung-huyung menyusul teman-teman mereka tanpa diganggu oleh Sutejo, Ki Joyosudiro dan Jayanti.
Ayah dan anak itu kini berdiri menghadapi Sutejo dengan pandang mata bersyukur dan kagum.
"Anakmas Sutejo, kami ayah dan anak benar-benar beruntung sekali mendapat bantuan andika sehingga kami terlepas dari ancaman bahaya di tangan para perampok itu. Kami sangat berterima kasih kepadamu, anakmas Sutejo," kata Joyosudiro sambil mengamati wajah yang tampan itu.
"Paman, harap jangan berterima kasih kepada saya. Kalau hendak mengucap syukur dan terima kasih, katakanlah itu kepada Allah Yang Maha Kasih, yang selalu melindungi orang yang melangkah di jalan yang benar."
"Engkau benar, anakmas Sutejo. Akan tetapi Allah Yang Maha Kuasa sudah memberi pertolonganNya lewat tenaga anakmas sehingga kami dapat tertolong dan selamat," kata pula Joyosudiro.
"Semua apa yang saya lakukan adalah kewajiban saya, paman. Melihat paman dan puteri paman diganggu penjahat, maka sudah menjadi kewajiban saya untuk turun tangan dan membantu paman berdua menentang penjahat."
"Lhadalah...! Bijaksana benar tindakan dan ucapanmu, anakmas Sutejo. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah orang tuamu dan siapa pula gurumu?
"Maafkan saya, paman Joyosudiro, sejak kecil saya sudah terpisah dari orang tua saya sehingga saya belum sempat mengenal nama dan wajah mereka. Sedangkan guru yang selama ini telah membimbing saya adalah mendiang Bapa Bhagawan Sidik Paningal dari Gunung Kawi."
"Bhagawan Sidik Paningal, tokoh dari Perguruan Jatikusumo itu? Ah, apakah beliau telah meninggal dunia?"
"Benar, paman, belum lama ini bapa guru telah meninggal dunia."
"Dan kalau boleh kami mengetahui, andika hendak pergi ke manakah, anakmas Sutejo? Kenapa kebetulan dapat lewat di sini?"
"Saya sedang merantau, paman." jawab Sutejo yang tentu saja tidak ingin menceritakan semua tugas kewajiban yang dipikulnya.
"Apakah andika hendak mengunjungi pesta ulang tahun Perguruan Welut Ireng yang berada di Pegunungan Wilis?"
"Perguruan Welut ireng? Saya tidak mengetahuinya, paman. Apakah paman berdua juga hendak pergi ke sana?"
Ki Joyosudiro tersenyum. "Ah, aku terus menghujanimu dengan pertanyaan sehingga lupa untuk menceritakan tentang diri kami sendiri. Ketahuilah, anakmas Sutejo. Aku bernama Joyosudiro, di daerah Kediri namaku setidaknya cukup dikenal sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan. Dan ini adalah anakku satu-satunya, bernama Jayanti. Kami berdua memang menerima undangan dari Perguruan Welut Ireng yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke lima puluh. Kami sengaja ke sana, selain untuk memenuhi undangan, juga dengan maksud lain, yaitu mencarikan... jodoh untuk puteriku Jayanti ini."
"Ihhh, bapa...!" Jayanti mencela dan wajahnya berubah kemerahan.
Akan tetapi Ki Joyosudiro tidak mempedulikan protes puterinya dan kembali melanjutkan, "Sebetulnya di Kediri terdapat banyak pemuda yang telah mengajukan pinangan terhadap puteriku, anakmas Sutejo. Tetapi di antara mereka tidak ada seorang pun yang memenuhi selera kami. Kami berdua, terutama aku, menghendaki agar Jayanti bisa berjodoh dengan seorang pendekar muda yang digdaya dan budiman. Dan setelah kami bertemu dengan anakmas, hemm... agaknya kami telah menemukan orangnya. Anakmas Sutejo, maafkan kelancanganku, akan tetapi, apakah anakmas sudah beristeri?"
Wajah Sutejo berubah kemerahan dan dia menggeleng kepalanya.
"Bagus sekali kalau begitu! Anakmas Sutejo, kami akan berbahagia sekali kalau anakmas mau menerima Jayanti menjadi jodohmu. Engkau tentu setuju, bukan, Jayanti?"
"Ah, bapa...!" Jayanti menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, akan tetapi dari senyum yang menghias mulutnya mudah diketahui bahwa gadis itu setuju sekali.
"Maafkan saya, paman. Bukan sekali-kali saya menolak maksud baik dari paman, akan tetapi saya masih ingin merantau meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan. Saya sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan. Karena itu maafkan kalau saya terpaksa tidak dapat menerima uluran tangan paman, namun saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati paman."
"Oh, tidak apa-apa, anakmas Sutejo. Ini hanya pernyataan yang jujur dan setulusnya dari hati kami. Tentu saja kami tidak memaksa. Bagaimana pun juga aku percaya akan takdir Ilahi, anakmas. Jodoh adalah takdir, maka kalau memang sudah berjodoh, kelak tentu akan dipertemukan juga. Untuk sementara itu, cukup kalau anakmas mengetahui bahwa kami akan selalu mengharapkan anakmas menerima uluran tangan kami."
"Terima kasih atas pengertian paman yang bijaksana. Sekarang saya mohon diri, paman, hendak melanjutkan perjalanan perantauan saya."
"Nanti dulu, anakmas Sutejo. Tadi andika mengatakan bahwa andika merantau untuk menambah pengalaman dan pengetahuan. Nah, sekarang adalah kesempatan baik sekali untuk menambah pengalaman dengan mengunjungi pesta ulang tahun Perkumpulan Welut Ireng di Pegunungan Wilis yang sudah tidak berapa jauh dari sini itu."
"Pengalaman dan pengetahuan apa yang bisa saya dapatkan di sana, paman?" tanya Sutejo yang memang kurang pengalaman.
"Wah, di sana andika akan bertemu dengan semua pendekar dari empat penjuru dan lebih dari itu, biasanya dalam pesta seperti itu ada saja pihak-pihak yang menggunakan kesempatan itu untuk mencari nama sehingga timbul persaingan, pertentangan dan adu kedigdayaan. Dengan demikian, bukankah hal itu menarik sekali dan menambah luasnya pengalamanmu? Juga biasanya golongan sesat menggunakan arena itu untuk mengukur kekuatan mereka berhadapan dengan pihak yang selalu menentang mereka, yaitu kaum pendekar."
"Hemm, kedengarannya sungguh menarik sekali," kata Sutejo tertarik. "Akan tetapi saya tidak mendapatkan undangan, bagaimana saya dapat berkunjung, paman?"
Tiba-tiba saja Jayanti berkata dengan suara agak malu-malu. "Undangan seperti itu tidak terbatas, kakangmas Sutejo. Kita boleh datang dalam rombongan berapa orang saja dan engkau dapat menjadi anggota rombongan kami yang hanya dua orang."
"Itu benar sekali, anakmas Sutejo. Marilah engkau ikut dengan kami," bujuk Ki Joyosudiro yang sebetulnya ingin menahan pemuda itu agar dapat lebih lama bersama mereka dan memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk mengenal Jayanti lebih baik.
Kalau pemuda itu bergaul lebih dekat dengan Jayanti dan persahabatan mereka menjadi akrab, mustahil kalau pemuda ini tidak jatuh hati kepada puterinya yang ayu manis itu. Bukankah cinta kasih tumbuh di atas pergaulan yang akrab?
Sutejo memang sudah tertarik sekali mendengar tentang pertemuan antara para pendekar itu, maka dia segera menyambut tawaran itu dengan gembira. "Baiklah, paman, asalkan saja tidak akan merepotkan paman dan diajeng Jayanti."
"Ah, merepotkan apa, kakangmas Sutejo? Bukankah engkau berjalan di atas dua kakimu sendiri?" kata Jayanti yang sudah mulai hilang rasa rikuhnya dan menjadi agak berani.
Mereka bertiga lalu meninggalkan hutan itu dan mulai melakukan perjalanan menuju ke perkampungan Welut Ireng di lereng Pegunungan Wilis.....
********************
Komentar
Posting Komentar