PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-15


Pada waktu itu yang menjadi ketuanya adalah Ki Bargowo yang berusia lima puluh lima tahun. Dia hidup berdua dengan isterinya dan tidak mempunyai keturunan. Akan tetapi kehidupan kedua orang suami isteri ini tidak kesepian karena mereka mempunyai banyak murid dari anak-anak sampai dewasa sehingga mereka merasa seolah-olah mempunyai banyak anak. Para murid yang masih belajar dan tinggal di perkampungan Welut Ireng tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya.

Pada hari itu, sejak pagi sekali, para murid Welut Ireng sibuk menghias perkampungan mereka, terutama rumah besar tempat tinggal Ki Bargowo. Semua orang tampak sibuk dan gembira karena hari itu di perkampungan mereka akan diadakan pesta ulang tahun ke lima puluh dari perkumpulan Welut Ireng Di sepanjang lorong mulai dari pintu gapura serupai ke rumah Ki Bargowo dihiasi dengan janur kuning. Umbul-umbul, bunga dan kain beraneka warna menghias perkampungan itu sehingga tampak meriah sekali.

Mengapa perguruan silat itu memakai nama yang aneh seperti itu? Perguruan Welut Ireng (Belut Hitam) mengambil nama itu dari ilmu silat yang diajarkan di situ, yang berdasarkan dari Aji Welut Ireng. Ilmu silat ini mengandalkan kecepatan dan kelincahan gerakan yang dapat membuat pesilatnya licin bagaikan belut hingga sukar ditangkap atau pun diserang.

Sejak pagi suasana di depan rumah Ki Bargowo tampak meriah dan wajah-wajah para murid tampak gembira. Di depan rumah itu, di pekarangan yang luas didirikan tarub dan di tengah-tengah didirikan sebuah panggung. Bagian kiri panggung ditempati para penabuh gamelan berikut tiga orang waranggana (pesinden) yang cantik-cantik. Semenjak pagi gamelan itu sudah dimainkan para penabuhnya, perlahan dan lambat, belum mengiringi para pesinden yang belum mulai bertembang.

Sesudah matahari mulai menerangi tanah, mulailah para tamu berdatangan. Perguruan Welut Ireng adalah perguruan yang terpandang, dan surat undangan yang disebar cukup banyak, maka banyaklah tamu yang berdatangan. Selain para pamong praja di sekitar Madiun, juga para jagoan dan pendekar sama berdatangan, baik para pendekar golongan bersih mau pun para jago silat golongan kotor.

Gamelan ditabuh bertalu-talu untuk menyambut datangnya para tamu. Ki Bargowo sendiri bersama lima orang murid kepala menyambut di depan tarup, kemudian para murid lain mengantar para tamu menuju ke tempat duduk mereka yang sudah disediakan menurut kedudukan dan derajat mereka. Para pamong praja di suatu sisi panggung, para datuk persilatan dan para ketua perkumpulan silat yang besar di sisi yang lain, Sisanya untuk para tamu yang lain. Suasananya sangat ramai, karena suara gamelan itu bertumbuk dengan suara para tamu yang riuh rendah saling bersalam-salaman dalam pertemuan di tempat itu.

Setelah para tamu memenuhi tempat itu, KI Bargowo lalu naik ke atas panggung. Semua mata tamu menatapnya dan suasana menjadi tenang karena para tamu menghentikan pembicaraan mereka, juga para penabuh gamelan menghentikan permainan mereka.

Ki Bargowo tampak berwibawa ketika berdiri di tengah panggung itu. Tubuhnya tinggi kurus, berdiri tegak dan tampak masih kokoh kuat walau pun usianya sudah lima puluh lima tahun. Pada pinggangnya terselip sebatang keris dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Wajahnya berwibawa dengan sepasang mata yang tajam berpengaruh dan kumisnya yang melintang. Dengan suara lantang dia lalu berkata untuk menyambut kedatangan para tamu.

"Para pinisepuh, para datuk, para pendekar dan saudara sekalian yang kami hormati! Hari ini kami keluarga Welut Ireng merayakan ulang tahun yang ke lima puluh. Atas kunjungan andika sekalian yang sudah memenuhi undangan kami, kami ucapkan selamat datang, salam hormat dan terima kasih kami. Juga terima kasih kami ucapkan atas segala macam sumbangan yang diberikan kepada kami. Sekarang kami persilakan andika sekalian untuk bergembira bersama kami sambil menikmati sekedar hidangan yang kami suguhkan dan sebentar lagi akan diadakan tayuban untuk menggembirakan suasana. Sementara itu, bila terdapat kekurangan dalam sambutan dan pelayanan kami, kami mohon maaf sebesar-besarnya."

Sambutan yang singkat dari ketua Welut Ireng ini disambut tepuk sorak oleh para tamu, terutama mereka yang duduk di bawah panggung, yang sebagian besar adalah orang-orang muda. Mereka yang duduk di tempat terhormat, di panggung sisi kanan dan kiri, hanya mengangguk-angguk.

Ketika Ki Joyosudiro, Jayanti dan Sutejo datang, mereka disambut dengan gembira oleh Ki Bargowo yang sudah mengenal Ki Joyosudiro dengan baik dan karena Ki Joyosudiro dianggap sebagai seorang pendekar ternama dari Kediri, maka mereka bertiga mendapat tempat terhormat di atas panggung. Dari tempat duduknya di atas itu Sutejo dapat melihat ke arah para tamu yang berada di bagian bawah, dan melihat pula siapa-siapa saja yang datang menjadi tamu.

Sesudah Ki Bargowo berbicara di atas panggung, maka yang bertugas menyambut tamu yang mungkin masih datang terlambat adalah para murid kepala. Ada pun Ki Bargowo sendiri juga duduk di atas panggung, melayani bicara dengan para pamong praja dan para datuk yang dihormati.

Tiba-tiba Sutejo terkejut melihat datangnya serombongan tamu. Mereka itu terdiri dari tiga orang. Yang pertama ialah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh enam tahun, pemuda tampan gagah yang tak dikenalnya. Akan tetapi dua orang lain segera dikenalnya karena mereka itu bukan lain adalah Maheso Seto beserta isterinya, Rahmini, dua orang murid perguruan Jatikusumo atau masih terhitung dua kakak seperguruannya yang amat galak itu.

Orang pertama yang tidak dikenal Sutejo itu bukan lain adalah Priyadi, pemuda gagah perkasa yang sudah kita kenal. Setelah kembali ke perguruan Jatikusumo di pantai Laut Kidul, kebetulan datang undangan dari Welut Ireng, maka Priyadi lalu menemani kedua kakak seperguruannya, Maheso Seto dan Rahmini, untuk mewakili perguruan Jatikusumo menghadiri pesta ulang tahun itu. Cangak Awu, saudara termuda mereka, tidak ikut dan bertugas melatih para murid tingkat rendahan.

Sutejo melihat betapa Maheso Seto dan Rahmini mengerutkan alisnya ketika para murid kepala Welut Ireng mempersilakan mereka bertiga duduk di bawah panggung bersama para tamu lain. Akan tetapi pemuda tampan yang datang bersama suami isteri itu hanya tersenyum saja.

Sutejo merasa senang bahwa dia duduk di atas panggung, jauh dari ketiga orang murid Jatikusumo itu. Kalau dia duduk di bawah dan terlihat oleh mereka, tentu dia akan merasa tidak enak sekali. Dia dapat menduga betapa tak senangnya rasa hati Maheso Seto dan Rahmini yang berwatak angkuh itu ketika diberi tempat duduk di bawah panggung.

Agaknya para murid kepala Welut Ireng tidak mengenal siapa mereka. Padahal perguruan Jatikusumo adalah sebuah perguruan yang besar dan terkenal sekali.

Sekali lagi Sutejo memandang penuh perhatian ketika dua orang tampak baru datang dan disambut para murid kepala Welut Ireng di pintu depan. Sutejo tidak mengenal dua orang itu, akan tetapi keadaan mereka sungguh menarik hati.

Yang pertama adalah seorang kakek berusia kurang lebih lima puluh tahun, mukanya penuh brewok seperti seekor singa, tubuhnya tinggi besar dan pakaiannya jubah seperti pakaian pertapa atau pendeta. Sepasang mata kakek itu mencorong penuh kekuatan dalam sehingga Sutejo dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki kesaktian.

Ada pun orang kedua yang datang bersamanya adalah seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun, berwajah cantik dan pesolek, tubuhnya padat menggairahkan dengan pinggang yang kecil sekali dan pinggul yang bulat menonjol besar seperti juga dadanya yang menonjol dan menantang. Pakaiannya pesolek, tetapi adanya sebatang pedang di punggungnya menunjukkan bahwa wanita ini bukan seorang yang lemah.

Kembali para murid kepala Welut Ireng yang tidak mengenal keduanya, mempersilakan mereka duduk di bawah panggung.

Bukan hanya Sutejo yang memperhatikan dua orang itu, akan tetapi juga Priyadi. Pemuda ini terkejut bukan main ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Ki Klabangkolo yang pernah ditandinginya ketika dia menolong Retno Susilo yang ditawan kakek itu. Akan tetapi dia tidak mengenal wanita cantik yang mata dan mulutnya amat genit itu. Mungkin ia murid atau anak Ki Klabangkolo?

Begitu kakek itu muncul Priyadi menduga bahwa tentu di tempat itu akan terjadi keributan, mengingat akan watak kakek itu yang liar dan ganas. Namun sekali ini dia tidak merasa gentar. Walau pun kakek itu berbahaya dan sakti mandraguna, akan tetapi dia datang bersama kedua orang kakak seperguruannya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, yaitu Maheso Seto dan Rahmini, maka dia memandang dengan sikap tenang.

Ketika Ki Klabangkolo dan wanita cantik itu dipersilakan duduk di bagian bawah, wanita itu menyapu ruangan dengan kerling matanya. Kebetulan sekali ia memandang wajah Priyadi dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan tanpa berkata sesuatu ia sudah melangkah menghampiri Priyadi lalu duduk di dekatnya! Sesudah duduk ia memainkan matanya, memandang pada Priyadi, mengedip-ngedipkan matanya, atau melempar kerling yang menyambar wajah Priyadi sambil tersenyum manis sekali.

Priyadi mengerutkan alisnya dan setelah yakin bahwa wanita itu mengajaknya main mata, dia pun menundukkan mukanya, kemudian memperhatikan ke depan, ke arah panggung.

Akan tetapi tidak seperti wanita itu yang segera mengambil tempat duduk di dekat Priyadi, Ki Klabangkolo tidak duduk dan seperti sudah dikhawatirkan Priyadi, dia membuat ulah. Dengan langkah tegap dia maju mendekati panggung, lalu berseru dengan lantang sekali karena dia menggunakan Aji Pekik Singanada sehingga suaranya bagaikan auman seekor singa.

"Ki Bargowo ketua Welut Ireng benar-benar tidak dapat menghormati orang. Dia memberi tempat kehormatan hanya kepada para bangsawan dan hartawan saja, sebaliknya berani memandang rendah kepadaku yang hanya disambut oleh para murid dan disuruh duduk di bawah. Apakah Ki Bargowo sudah mempunyai tiga kepala dan enam tangan maka berani memandang rendah kepada Klabangkolo?"

Teriakan lantang ini amat mengejutkan para tamu. Priyadi yang membenci Klabangkolo atas apa yang dilakukannya terhadap Retno Susilo, hampir saja menodai gadis itu, segera bangkit berdiri lalu berseru lantang sekali karena dia pun mengerahkan tenaga saktinya.

"Tamu yang tidak menurut aturan tuan rumah adalah seorang yang tidak tahu aturan dan tidak layak menjadi tamu. Sebaiknya dia pergi saja dari ruangan ini!"

Kembali semua orang terkejut dan memandang kepada Priyadi yang kini sudah bangkit berdiri. Maheso Seto dan Rahmini juga terkejut dan heran melihat sikap adik seperguruan mereka itu.

"Adi Priyadi, mengapa engkau mencampuri urusan orang lain?" Rahmini mencela.

"Priyadi, engkau mencari gara-gara!" cela pula Maheso Seto

"Kakang Maheso Seto dan mbakayu Rahmini, orang itu adalah Klabangkolo, seorang yang amat jahat dan sudah pernah bentrok dengan aku. Aku tidak senang dia membuat keributan di tempat ini," jawab Priyadi.

Sementara itu, ketika Klabangkolo mendengar orang mencelanya di depan banyak orang, mukanya berubah merah dan matanya terbelalak memandang ke arah pembicara tadi. Agaknya dia lupa kepada Priyadi yang pernah bertanding dengannya ketika menolong Retno Susilo. Dia marah dan menantang.

"Bagus! Orang muda yang lancang mulut. Engkau sudah bosan hidup!"

Akan tetapi pada saat itu, wanita cantik yang duduk dekat Priyadi sudah melompat ke dekat Ki Klabangkolo dan dengan suara lantang ia berkata kepada kakek bermuka singa itu.

"Bapa Guru, biarkan aku yang menghadapi pemuda itu.” Sesudah berkata demikian dia lalu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang seperti terbang saja ke atas panggung! Gerakannya sangat indah dan memperlihatkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Setelah berada di atas panggung wanita itu lalu memandang ke arah Priyadi yang masih berdiri.

"Aku bernama Sekarsih dan Ki Klabangkolo ini adalah guruku. Orang muda yang lancang mulut, kalau engkau memang mempunyai kepandaian, naiklah ke panggung ini dan mari kita bertanding, dari pada banyak bicara di sana!"

Ditantang begitu, tentu saja Priyadi menjadi marah. Pantang bagi seorang satria untuk menolak sebuah tantangan, apa lagi datangnya tantangan dari seorang wanita.

"Adi Priyadi mau apa kau?" Maheso Seto menegur Priyadi yang sudah melangkah.

"Aku ditantang, kakang. Tak mungkin diam saja." Priyadi sudah menuju ke panggung dan setelah tiba di bawah panggung dia meloncat ke atas.

Sebagai orang yang mengenal aturan, Priyadi tidak berani meninggalkan tata cara sopan santun sebagai seorang tamu. Maka dia lebih dulu menghadap ke arah Ki Bargowo yang duduk bersama para pejabat dan para datuk di tempat kehormatan, membungkuk sambil merangkap kedua tangan melakukan sembah.

"Paman Bargowo, saya adalah seorang murid Perguruan Jatikusumo bernama Priyadi. Perkenankanlah saya untuk menyambut tantangan wanita ini yang hendak mengganggu ketenangan pesta."

Ki Bargowo tersenyum dan mengangguk, senang dengan sikap yang sopan itu. Dia sudah terbiasa menghadapi pertandingan adu kepandaian seperti itu. Merupakan hal biasa saja dan alasannya memang bermacam-macam. Biasanya, yang menjadi alasan pertandingan adalah perebutan penari pada waktu tayuban. Tetapi sekali ini, pesta belum dimulai sudah akan ada pertandingan. Dan alasannya juga luar biasa. Kakek bernama Klabangkolo itu mencacinya dan wanita cantik itu adalah murid Klabangkolo yang kini memandang Priyadi yang berada di pihaknya, karena sudah mencela perbuatan Klabangkolo. Karena itu dapat dibilang bahwa Priyadi mewakilinya memberi hajaran kepada tamu yang kurang ajar itu.

"Silakan, anakmas Priyadi. Pertandingan bahkan akan menyemarakkan pesta ini."

Dia lalu memerintahkan para penabuh gamelan agar memainkan gamelan mereka untuk mengiringi pertandingan antara Priyadi dan wanita yang mengaku bernama Sekarsih. Gamelan segera ditabuh dan suasana menjadi meriah tetapi menegangkan. Semua mata ditujukan ke arah dua orang di atas panggung itu dengan penuh perhatian.

Dua orang itu bagaikan dua pemain wayang yang sedang berlagak di atas panggung. Yang pria ganteng dan gagah, juga gerak geriknya tampak lemah lembut bagaikan Arjuna, sedangkan wanitanya cantik jelita, manis dan cekatan bagaikan Srikandi. Keduanya saing berhadapan dan yang membuat Priyadi merasa rikuh dan tidak enak adalah sikap wanita itu yang tersenyum manis dan mengerling tajam.

Di antara suara gamelan, suara wanita itu tidak dapat terdengar jelas oleh para tamu, akan tetapi tentu saja dapat terdengar jelas oleh Priyadi yang berdiri di depannya.

"Aku girang sekali engkau mau maju dan naik ke sini, wong bagus! Aku dapat menduga bahwa seorang murid Perguruan Jatikusumo seperti engkau tentu memiliki kedigdayaan. Karena itu aku ingin sekali bertanding denganmu untuk sekedar berkenalan dan main-main."

"Main-main? Tidak, aku tidak main-main, Kalau engkau menantangku, jangan dikira aku takut! Sebagai tamu, gurumu itu sungguh tidak tahu aturan!"

"Priyadi, namamu Priyadi. bukan? Nama yang bagus, seperti orangnya. Sebenarnya kita lebih cocok untuk menjadi kawan, bukan menjadi lawan."

"Sudahlah Sekarsih, jangan banyak cakap. Aku sudah datang memenuhi tantanganmu!"

"Berhati-hatilah. Priyadi, sungguh sayang kalau engkau sampai tewas atau terluka parah terkena aji pukulanku yang ampuh."

"Keluarkan semua kepandaianmu, aku siap melayanimu!" kata Priyadi yang sudah marah.

"Haiiiittt...!" Sekarsih mengeluarkan teriakan melengking dan mulailah ia menyerang.

Serangannya cukup dahsyat sehingga Priyadi tidak berani memandang ringan. Dia cepat mengelak kemudian balas menyerang yang juga dapat dihindarkan dengan elakan oleh Sekarsih yang bergerak gesit sekali. Terjadilah serang menyerang yang seru.

Tukang penabuh gendang sibuk memainkan gendangnya. Dia memang pandai sehingga dapat menyesuaikan hentakan gendangnya dengan gerakan kedua orang itu sehingga setiap serangan tampak semakin mantap dan dahsyat. Gamelan pun dipukul gencar dan para tamu yang menonton menjadi semakin bersemangat dan tegang.

Ternyata Priyadi dan Sekarsih memiliki kecepatan gerakan yang seimbang, bahkan ketika kedua tangan kanan mereka bertemu, keduanya lalu terpental ke belakang, menunjukkan bahwa mereka pun seimbang dalam hal kekuatan tenaga dalam.

Sutejo yang mengikuti gerakan kedua orang itu penuh perhatian, diam-diam menjadi kagum. Dari gerakan Priyadi, tahulah dia bahwa Priyadi adalah seorang murid perguruan, Jatikusumo yang tangguh. Priyadi dapat menggunakan Aji Harina Legawa dengan baik sehingga tubuhnya demikian lincah dan cekatan seperti seekor kijang muda. dan kedua tangannya mengandung tenaga sakti yang cukup kuat ketika dia bersilat dengan Aji Gelap Musti. Priyadi merupakan seorang murid aliran Jatikusumo yang baik.

Akan tetapi Sutejo mengerutkan alisnya menyaksikan sepak terjang lawan pemuda itu, yaitu Sekarsih. Sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita cantik dan genit itu ternyata lincah bukan main, juga memiliki tenaga yang cukup hebat sehingga mampu menandingi Priyadi! Dan yang lebih mengkhawatirkan hatinya, wanita itu agaknya mengalah dan tidak sungguh-sungguh menyerang Priyadi, tetapi lebih banyak mempertahankan diri saja. Bila wanita itu membalas dengan serangan sungguh-sungguh seperti yang dilakukan Priyadi, agaknya pemuda itu kemungkinan besar akan kalah.

Yang paling gembira menyaksikan pertandingan ini adalah para tamu muda yang memang senang melihat pertandingan silat. Bahkan di antara mereka banyak yang secara diam-diam bertaruh.

Akan tetapi Ki Klabangkolo mengerutkan alisnya. Dia merasa sama sekali tidak senang karena melihat betapa sampai sekian lamanya Sekarsih belum juga mampu mengalahkan pemuda itu. Dan dia memang ingin menonjolkan diri di tempat pesta yang dikunjungi para jagoan dari empat penjuru itu, ingin memperlihatkan diri siapa dia, kalau perlu dengan mengalahkan banyak lawan. Namun sebagai permulaan Sekarsih sangat mengecewakan, padahal dia dapat melihat bahwa kalau Sekarsih mau, tentu akan dapat merobohkan pemuda itu dengan pukulan ampuh dan berbahaya.

Karena sudah tidak dapat menahan rasa penasaran dan kemarahannya lagi. menduga bahwa Sekarsih memang sengaja mengalah terhadap pemuda yang tampan dan ganteng itu, Ki Klabangko segera menggerakkan tubuhnya dan dia sudah melayang naik ke atas panggung. Begitu dia menggerakkan tubuhnya, menyelinap di antara keduanya sambil mendorongkan kedua tangan ke kanan kiri, Priyadi dan Sekarsih berloncatan mundur dan menghentikan pertandingan mereka.

"Sekarsih! Memalukan sekali engkau, tidak dapat merobohkan pemuda seperti ini. Hayo turunlah, biar aku sendiri yang turun tangan!" bentaknya marah dan melihat kemarahan gurunya.

Sekarsih tidak berani membantah. Ia melempar kerling dan senyuman kepada Priyadi lalu melompat turun dari atas panggung.

Kini Priyadi berhadapan dengan Ki Klabangkolo. Priyadi berkata dengan lantang sehingga mengatasi suara gamelan yang kini ditabuh perlahan karena pertandingan sudah terhenti, dengan maksud agar dapat terdengar semua tamu yang hadir di situ. "Ki Klabangkolo, di mana-mana engkau hanya mendatangkan kekacauan dengan perbuatan jahatmu!"

Sekarang Ki Klabangkolo mulai teringat kepada pemuda yang pernah menggagalkan dia memiliki gadis cantik dan gagah yang telah ditawannya dan dibawa ke dalam goa tengah hutan itu. Bukan main marahnya setelah dia mengenal Priyadi.

"Jadi engkaukah ini, murid Jatikusumo yang berani menentangku?" Dia membuat gerakan ke depan, tubuhnya condong ke depan, dua tangannya didorongkan ke arah dada Priyadi dan mulutnya mengeluarkan pekik yang menggetarkan seluruh tempat pesta.

"Aurrghhh...!" Kedua tangan yang didorongkan itu mendatangkan angin yang sangat kuat dan itulah Aji Singorodra yang menjadi andalannya.

Tadi Sekarsih pun sudah mengeluarkan aji ini, tetapi kehebatannya tidak seperti sekarang ketika dikerahkan oleh Ki Klabangkolo. Priyadi terkejut sekali dan cepat dia menghindar dengan loncatan ke samping. Dari samping dia lalu membalas dengan pukulan Aji Gelap Musti, akan tetapi pukulannya ini dapat ditangkis oleh Ki Klabangkolo sehingga tangannya yang memukul terpental ke samping. Terjadi pertandingan yang seru dan gamelan pun ditabuh kembali dengan kerasnya mengiringi pertandingan kedua orang itu.

Sutejo menonton dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa kakek itu tangguh sekali dan agaknya pemuda yang dia yakin adalah seorang tokoh Jatikusumo yang tangguh itu pun agaknya terdesak hebat. Dia merasa khawatir.

Untuk kesekian kalinya Ki Klabangkolo menyerang dengan Aji Singorodra dibarengi pekik yang menggetarkan jantung lawan, pekik yang disebut Aji Singanada. Priyadi cepat-cepat mengerahkan tenaga saktinya untuk melawan pengaruh pekik itu, namun kedudukannya tidak memungkinkan baginya untuk mengelak lagi. Karena itu terpaksa dia menyambut pukulan itu dengan dorongan kedua tangannya pula sambil mengerahkan Aji Gelap Musti.

"Wuuuuttt...! Desss...!"

Pertemuan antara dua tenaga sakti itu hebat bukan kepalang. Akan tetapi kalau tubuh Ki Klabangkolo hanya terdorong mundur tiga langkah, tubuh Priyadi terpental sampai keluar dari panggung! Pemuda itu merasa dadanya sesak, namun dia masih cukup gesit untuk mematahkan luncuran tubuhnya ke bawah panggung dengan cara berjungkir balik. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, tubuhnya terhuyung dan terpaksa dia harus mengakui keunggulan Ki Klabangkolo kemudian dia kembali kepada kedua orang kakaknya.

Klabangkolo tertawa bergelak di atas panggung dan dia pun berteriak nyaring, "Ha-ha-ha, kiranya hanya sebegitu saja kedigdayaan murid Jatikusumo? Kalau hanya sebegitu, biar sepuluh orang murid Jatikusumo maju, aku akan sanggup menandingi dan mengalahkan mereka!"

Sutejo mengerutkan alisnya dan hatinya menjadi panas. Biar pun tidak secara langsung, dia sendiri pun murid aliran Jatikusumo sehingga ucapan Ki Klabangkolo itu juga menusuk perasaannya dan membuat dia merasa penasaran sekali. Dia bangkit berdiri dari tempat duduknya.

"Anakmas Sutejo, engkau hendak ke mana?" tanya Ki Joyosudiro.

"Aku akan menghadapi raksasa yang sombong dan besar mulut itu, paman," jawab Sutejo dan dia sudah melangkah lebar ke tengah panggung.

Melihat seorang pemuda datang dan menghadapinya, Ki Klabangkolo tertawa mengejek, "Ha-ha-ha, engkau ini anak kecil maju ke sini mau apa?"

"Mau menutup mulutmu yang terlalu lebar!" jawab Sutejo.

"Babo-babo, pulang sajalah ke pangkuan ibumu dan panggil ayahmu untuk melawan aku. Engkau masih terlalu muda dan lunak, ha-ha-ha!"

Pada saat itu tampak dua bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu Maheso Seto dan Rahmini sudah berada di atas panggung. Maheso Seto memandang Sutejo dan berkata angkuh,

"Sutejo, mundurlah. Engkau bukan lawannya, hanya akan membikin malu nama besar Jatikusumo, Biar kami yang menghadapi si sombong ini!"

Sutejo tak berani membantah, dia hanya dapat mengangguk kemudian kembali ke tempat duduknya semula. Ki Joyosudiro menyambutnya dengan hati lega karena tadi dia khawatir sekali akan keselamatan pemuda itu.

"Siapakah mereka itu, anakmas?" tanyanya sambil memandang ke arah panggung.

"Mereka berdua adalah kakak-kakak seperguruanku, paman."

"Ahh...!" Ki Joyosudiro memandang. Sutejo sendiri sudah begitu tangguh, apa lagi kakak seperguruannya.

Sementara itu Maheso Seto yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu bersama isterinya sudah berhadapan dengan Ki Klabangkolo. Pendekar itu berkata dengan suaranya yang tegas dan nyaring. "Ki Klabangkolo, benarkah bahwa tadi engkau menantang para murid Jatikusumo?"

Ki Klabangkolo yang mata keranjang itu memandang kepada Rahmini dengan sinar mata seperti hendak melahap wanita cantik itu, kemudian berkata sambil tertawa. "Betul sekali, siapakah kalian ini!"

"Aku adalah Maheso Seto, murid kepala dari perguruan Jatikusumo dan ini adalah isteriku yang juga murid Jatikusumo! Kami berdua menerima tantanganmu, ataukah engkau takut menghadapi kami berdua?"

"Ha-ha-ha-ha!" Ki Klabangkolo tertawa sombong. "Kalian boleh maju berdua, bertiga atau berlima! Atau guru kalian boleh maju, semua akan kuhajar!"

Maheso Seto adalah seorang yang berwatak keras, juga isterinya, Rahmini memiliki watak galak sekali. Mendengar ucapan itu, keduanya sudah menjadi marah bukan main.

"Raksasa busuk, engkau sudah bosan hidup!" teriak Rahmini. "Sambutlah seranganku!"

Wanita itu sudah menyerang dan begitu menyerang dia sudah menggunakan Aji Gelap Musti yang merupakan aji andalan dari perguruan Jatikusumo.

"Wuuuttt...! Plakk!"

Ki Klabangkolo menangkis dan dia merasa betapa lengannya tergetar, sama seperti yang dirasakan Rahmini sehingga keduanya maklum akan besarnya tenaga lawan.

Akan tetapi Ki Klabangkolo masih juga menyombong. "Ha-ha ha, lenganmu lunak sekali, manis!"

Tentu saja Maheso Seto menjadi marah sekali. Dia menyerang dengan dahsyat dan tahu akan kehebatan pukulan itu, Ki Klabangkolo cepat menghindarkan diri dengan mengelak. Terjadilah pertandingan yang amat seru.

Kini Ki Klabangkolo tak dapat lagi mengumbar suaranya karena desakan dua orang suami isteri itu menyita seluruh perhatiannya. Dia harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya agar dapat membendung gelombang serangan yang dilakukan mereka berdua. Dia pun membalas dengan pukulan-pukulan ampuh.

Tapi yang kini dihadapinya adalah murid pertama dan kedua dari Bhagawan Sindusakti. Tingkat kepandaian mereka sudah tinggi sekali, mendekati tingkat guru mereka. Bahkan Maheso Seto sudah mencapai tingkat yang seimbang dengan gurunya!

Kalau saja mereka berdua itu harus menandingi Ki Klabangkolo satu lawan satu, kiranya mereka pun akan mengalami kesukaran menundukkan raksasa itu. Akan tetapi karena mereka maju berdua, Ki Klabangkolo yang kini terdesak hebat.

Ketika terdesak mundur, tiba-tiba saja Ki Klabangkolo memutar-mutar tubuhnya sehingga berpusing seperti gasing dan dari pusingan itu kadang kala mencuat kaki atau tangannya melakukan penyerangan. Gaya silat seperti ini membuat suami isteri itu berhati-hati dan mereka terpaksa harus mengubah serangan menjadi pertahanan sambil mengamati dan mempelajari gerakan lawan yang aneh itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)