PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-16


"Priyadi, ternyata engkau tidak mampu mengalahkan guruku," Sekarsih berkata sambil tersenyum ramah, sama sekali bukan senyum mengejek dan sikapnya bagaikan seorang sahabat saja.

"Hemm, akan tetapi aku tidak kalah olehmu!" kata Priyadi yang merasa diejek.

"Ehh? Jadi engkau tidak merasa kalah olehku? Tadi engkau sudah hampir kalah olehku ketika guruku naik ke panggung."

"Siapa bilang? Engkaulah yang hampir kalah olehku!" bantah Priyadi.

"Ahh, agaknya engkau masih penasaran. Bagaimana kalau kita buktikan sekarang?"

"Maksudmu?"

"Kita lanjutkan pertarungan yang tadi terhenti karena munculnya guruku."

"Aku tidak ingin membikin ribut di sini dengan bertanding melawanmu."

"Tentu saja tidak di sini. Kita keluar, mencari tempat yang sepi. Hayo ikuti aku kalau kau memang berani!" tantang Sekarsih sambil bangkit dan melangkah keluar.

Ditantang demikian, hati Priyadi yang masih terasa panas akibat kekalahannya melawan Ki Klabangkolo tadi, tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Apa lagi sesudah melirik ke atas panggung, dia melihat bahwa dua orang kakak seperguruannya tidak kalah bahkan dapat mendesak lawan.

Dia yakin bahwa kedua orang kakaknya itu akan menang mengingat bahwa dulu, dia dan Retno Susilo yang mengeroyok raksasa tua itu pun dapat mengusirnya. Ia pun yakin akan mampu mengalahkan Sekarsih yang sama sombongnya dengan Ki Klabangkolo. Maka ia pun mengejar keluar dari situ. Semua tamu yang sedang memperhatikan pertandingan di atas panggung, tidak melihat kepergian dua orang itu.

Pertandingan di atas panggung berjalan semakin seru. Gaya silat Ki Klabangkolo dengan tubuh berpusing itu tidak menguntungkannya setelah sepasang suami isteri itu mengubah daya serang mereka menjadi daya tahan. Suami isteri itu tidak lagi menyerang, melainkan hanya mengelak atau menangkis kalau dari tubuh yang berpusing itu mencuat kaki atau tangan yang menyerang.

Karena tidak mendapat sambutan, Ki Klabangkolo menjadi pusing sendiri dan membuang tenaga sia-sia. Maka terpaksa dia menghentikan gerakan berpusing itu dan mendadak dia mencondongkan tubuhnya ke depan lalu melancarkan serangan Aji Singorodro ke arah sepasang suami isteri itu.

Melihat ini Maheso Seto dan Rahmini segera menekuk lutut mereka, kemudian keduanya juga mendorongkan tenaga ke depan menyambut serangan lawan dengan menyatukan tenaga.

"Wuuuuttt...! Dessss...!"

Tenaga dorongan Singorodro bertemu dengan dua tenaga dorongan Gelap Musti. Kalau satu lawan satu tentu saja Ki Klabangkolo lebih kuat. Akan tetapi sekali ini dikeroyok dua tenaga yang disatukan, dia terdorong mundur terus sampai terpaksa melompat turun dari atas panggung! Karena maklum bahwa kalau dilanjutkan dia tidak akan menang, maka Ki Klabangkolo segera meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi dan dengan langkah lebar. Tidak ada orang yang berani menghalanginya.

Melihat betapa sepasang suami isteri itu bisa mengalahkan dan mengusir Ki Klabangkolo, Ki Bargowo sebagai tuan rumah cepat menghampiri suami isteri itu dengan sikap hormat.

"Andika berdua sudah berhasil mengusir perusuh dan membikin terang muka kami, maka kami mengucapkan terima kasih dan silakan andika berdua mengambil tempat duduk di panggung kehormatan."

"Hemm, pantaskah bagi kami untuk duduk di panggung kehormatan, paman Bargowo?" kata Maheso Seto dengan suara yang angkuh mengandung teguran.

"Harap anakmas suka memaafkan saya. Karena tidak tahu siapa anakmas berdua, maka saya tidak mempersilakan andika berdua duduk di sini. Sekarang, silakan andika berdua duduk di panggung kehormatan."

Dengan diantar oleh Ki Bargowo dan dengan langkah angkuh Maheso Seto dan Rahmini berjalan ke arah panggung kehormatan. Ketika sampai di depan Sutejo, Rahmini berkata kepada pemuda itu, "Untung engkau tadi belum sempat bertanding, kalau sudah, tentu engkau hanya membikin malu kepada kami dan merendahkan nama besar Jatikusumo!"

Sutejo tidak menjawab, hanya tersenyum saja. Sesudah suami isteri itu duduk agak jauh dari tempat duduk Sutejo, Jayanti yang duduk di sebelah ayahnya berkata lirih kepada Sutejo.

"Kakangmas Sutejo, engkau mendapat marah dari kakak seperguruanmu?"

Sutejo tersenyum, "Tidak mengapa. Sudah sepantasnya jika seorang kakak seperguruan memberi teguran kepada adik seperguruannya, bukan?"

Maheso Seto dan Rahmini mencari-cari dengan pandang matanya ke bawah panggung untuk mencari Priyadi, akan tetapi mereka tidak melihat adik seperguruan mereka itu. Mengira Priyadi sudah meninggalkan tempat pesta karena malu atas kekalahannya tadi, mereka pun tidak mempedulikannya lagi.

Pesta dilanjutkan dalam suasana gembira. Pada waktu diadakan tayuban, mereka menari bergantian dengan meriah, namun tidak lagi terjadi keributan. Agaknya mereka yang suka membuat ribut segan melakukan keributan di situ setelah melihat betapa Ki Klabangkolo yang demikian saktinya dapat dikalahkan kemudian diusir dari tempat itu ketika membuat keributan.

Sampai pesta bubar Priyadi tidak tampak kembali lagi. Semua tamu bubaran dan ketika Sutejo bersama Ki Joyosudiro dan Jayanti keluar dari tempat pesta, dia menggunakan kesempatan itu untuk mengatakan selamat berpisah kepada Joyosudiro dan puterinya.

"Paman Joyosudiro dan diajeng Jayanti, sekarang saya mohon diri untuk melanjutkan perjalanan saya. Terima kasih atas ajakan paman sehingga saya dapat menghadiri pesta ulang tahun ini. Selamat tinggal."

Berat hati mereka, apa lagi Jayanti, untuk berpisah dengan pemuda yang membangkitkan rasa kagum dalam hati mereka itu. Akan terapi karena tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk menahannya, maka mereka pun tidak dapat mencegah.

"Selamat berpisah, anakmas Sutejo. Kami hanya berharap agar anakmas tak melupakan kami dan tidak lupa akan usut perjodohan yang pernah kunyatakan kepadamu."

"Selamat jalan, kakangmas Sutejo. Semoga kelak kita akan dapat bertemu kembali," kata pula Jayanti.

Mereka pun berpisah. Kalau Sutejo berjalan lurus ke depan tanpa menengok lagi, adalah Jayanti yang beberapa kali memutar tubuh dan menoleh ke belakang untuk memandang ke arah perginya Sutejo. Dara ini merasa kehilangan sekali dan ia tahu benar bahwa ia telah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda perkasa yang pendiam dan lembut itu.....

********************

Marilah kita ikuti Priyadi yang pergi dan tidak kembali lagi ke dalam tempat pesta sampai pesta di. rumah Ki Bargowo itu bubaran. Seperti kita ketahui, dia ditantang oleh Sekarsih dan ketika wanita itu pergi meninggalkan tempat pesta, dia pun mengikuti karena hatinya panas dan marah ditantang wanita itu.

Sekarsih berjalan cepat setengah berlari dan Priyadi terus mengikutinya dengan berjalan cepat pula. Sekarsih memasuki sebuah hutan di lereng bukit yang sunyi. Agaknya dia sudah hafal benar akan keadaan di situ sehingga larinya tanpa ragu lagi menuju ke tengah hutan.

Priyadi terus mengikutinya. Setelah tiba di tengah hutan, ternyata di situ terdapat sebuah tempat terbuka di mana terdapat sebuah gubuk dari bambu yang tampaknya belum lama didirikan orang. Sampai di situ Sekarsih berhenti berlari, lalu memutar tubuh dan menanti datangnya Priyadi sambil tersenyum dan matanya memandang genit.

Priyadi tiba di situ dan kini berdiri berhadapan dengan Sekarsih. Sambil tersenyum manis Sekarsih berkata, "Nah, kita sekarang sudah berada di sini, hanya kita berdua saja di sini dan tidak ada orang lain. Sekarang apa yang akan kita lakukan, Priyadi?"

Priyadi mengerutkan alisnya. "Apa yang akan kita lakukan? Tentu saja bertanding sampai seorang di antara kita kalah. Bukankah engkau tadi menantangku?"

"Priyadi, tadi kita sudah bertanding dan ternyata kemampuan kita seimbang. Untuk apa lagi kita bertanding? Anggap saja tidak ada yang menang mau pun kalah di antara kita. Kita ini sama kuat dan kita serasi benar, bukan? Dari pada kita bermusuhan, lebih baik kita bersahabat, bukankah akan lebih menyenangkan? Priyadi, engkau sungguh tampan dan ganteng, aku suka sekali padamu.”

Dengan sendirinya Priyadi melangkah mundur ketika melihat wanita itu melangkah maju mendekatinya. Selama hidupnya belum pernah dia bergaul dengan wanita, dan pertama kali dia tertarik dan merasa jatuh cinta kepada wanita hanyalah kepada Retno Susilo. Maka sikap menantang Sekarsih itu membuat dia merasa ngeri.

"Sekarsih, apa yang kau kehendaki? Tadi kau telah menghinaku, bahkan menantangku. Nah, marilah kita bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih tangguh!"

"Tidak, aku tidak ingin melukaimu atau kau lukai. Bukankah lebih baik kita bermesraan dari pada berkelahi? Priyadi, aku Sekarsih sangat suka kepadamu, aku kagum dan cinta padamu, ingin menjadi sahabat baikmu." Wanita itu melangkah maju dan mengulurkan kedua tangannya seperti hendak memeluk.

"Jangan main gila! Aku bukan macam laki-laki yang mudah terjatuh ke dalam rayuanmu. Aku tidak sudi melayani kehendakmu yang mesum!" Priyadi mendamprat.

"Hi-hik-hik, engkau malu-malu dan takut? Agaknya engkau seorang perjaka sejati. Aku menjadi semakin kagum. Engkau belum pernah berdekatan dengan wanita? Mari, sayang. Tidak ada orang lain yang melihatnya, kita dapat bersenang-senang sepuasnya di sini." kembali Sekarsih maju dan menubruk.

Akan tetapi Priyadi mengelak lalu mengirim tamparan keras ke arah muka wanita itu, Hampir saja pipi kanan Sekarsih kena disambar tangan kiri Priyadi. Akan tetapi Sekarsih sudah mengelak dengan menarik kepalanya ke belakang. Dia mengeluarkan sebuah botol kecil dan cepat membuka tutupnya kemudian menyiramkan isi botol itu ke muka Priyadi. Gerakannya amat cepat.

Priyadi sama sekali tak menduga akan diserang dengan isi botol yang merupakan cairan seperti air. Mukanya terkena percikan air yang terasa dingin dan mendadak dia tertegun, memandang kepada wanita di depannya itu dengan mata terbelalak seperti orang sedang terpesona.

Dia tidak tahu bahwa isi botol itu adalah semacam alat guna-guna atau aji pengasihan yang disebut Tirta Asmara. Disertai kekuatan sihir atau guna-guna yang memancar keluar melalui mata Sekarsih, begitu muka Priyadi terkena percikan Tirta Asmara, dia seperti ling-lung, kehilangan kesadarannya. Dalam pandang matanya, Sekarsih tampak sebagai seorang dewi dari kahyangan yang teramat cantik jelita, membuat dia terkagum-kagum dan sekaligus jatuh cinta. Daya tarik wanita di depannya itu jauh lebih kuat dari pada daya tarik Retno Susilo yang pernah membuatnya jatuh cinta.

Melihat serangannya berhasil baik, Sekarsih tersenyum lebar sehingga tampak deretan gigi putih di antara sepasang bibir yang merah menantang. Priyadi menjadi silau oleh kecantikan itu dan dia menjadi lemas dan tidak berdaya ketika Sekarsih mendekatinya lalu memegang kedua tangannya.

"Priyadi, wong bagus kekasihku...!" bisiknya dan dia merangkul leher Priyadi, ditariknya ke bawah hingga muka Priyadi menunduk, kemudian wanita itu menciumnya dengan penuh kemesraan dan penuh gairah nafsu.

Priyadi yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan wanita merasa dirinya melayang-layang dan dia menurut saja seperti seekor kerbau dituntun memasaki tempat penyembelihan ketika Sekarsih menuntunnya masuk ke dalam gubuk itu.

Nafsu daya rendah bagaikan harimau yang sudah siap untuk sewaktu-waktu menerkam kita kalau kita lengah. Priyadi adalah seorang pemuda yang berbatin kuat. Akan tetapi terkena Aji Tirta Asmara, pertahanannya ambruk dan dia membiarkan dirinya dikuasai nafsu.

Ketika berada di dalam gubuk, daya pengaruh Tirta Asmara mulai menipis, akan tetapi Priyadi sudah berada dalam kekuasaan nafsunya sendiri, terbuai nafsu asmara sehingga dia lupa diri dan yang ada hanyalah menikmati anggur asmara yang memabokkan. Apa lagi dia mendapatkan seorang guru dalam permainan asmara yang amat berpengalaman dan pandai seperti Sekarsih, maka membuat dia tenggelam dan mabok semakin dalam.

Selama dua hari dua malam mereka berdua tenggelam di dalam lautan asmara. Mereka membiarkan diri dibuai dan dipermainkan nafsu. Setelah pada hari ketiga, pagi-pagi benar mereka sudah terbangun dan Priyadi teringat akan dua orang kakak seperguruannya.

"Sekarsih, aku harus pergi sekarang. Kalau tidak, dua orang kakak seperguruanku tentu akan menjadi curiga dan mencariku. Aku harus kembali ke Pacitan."

Sekarsih tersenyum dan merangkul pemuda itu. Dia sudah mempermainkan pemuda itu sepuas hatinya. Ia sudah biasa mencari dan mendapatkan pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsu berahinya yang tidak dapat disalurkan melalui hubungannya dengan Ki Klabangkolo yang menjadi gurunya dan juga kekasihnya itu.

Ki Klabangkolo tahu akan kebiasaan murid dan kekasihnya itu, akan tetapi dia pun tidak peduli karena dia pun sewaktu-waktu dapat mengambil wanita mana saja untuk dijadikan kekasihnya. Cara hidup guru dan murid ini memang sudah bejat.

Sambil mengusap dagu Priyadi, Sekarsih berkata, "Jika memang begitu, pergilah Priyadi. Akan tetapi kuharap engkau tidak pernah melupakan Sekarsih dan mudah-mudahan saja kita akan dapat sering saling bertemu untuk melampiaskan kerinduan hati."

Sesudah puas bermesraan sebagai perpisahan, Priyadi lalu meninggalkan hutan itu. Dia sibuk memikirkan alasan kalau nanti bertemu dengan kedua orang kakak seperguruannya yang galak, yang tentu akan bertanya ke mana saja dia pergi sesudah meninggalkan tempat pesta ulang tahun perkumpulan Welut Ireng di daerah Madiun.

Tetapi hanya sebentar saja dia memikirkan kakak seperguruannya dan mengkhawatirkan dirinya sendiri. Segera semua pengalaman dengan Sekasih terbayang kembali di pelupuk matanya. Semua yang dialaminya terbayang dari hal yang sekecil-kecilnya dan bayangan itu menimbulkan gairah.

Ingatan adalah alat nafsu. Dengan pikiran yang suka mengingat-ingat pengalaman yang menyenangkan dan dinikmati, maka pikiran seakan-akan mengunyah kembali makanan yang enak itu sehingga menimbulkan gairah baru untuk mengulangi apa yang pernah dialami dan yang menimbulkan kenikmatan itu. Bahkan biasanya kenangan ini terasa lebih nikmat dari pada pengalaman yang sesungguhnya. Pikiran yang mengingat-ingat ini yang merupakan dorongan kuat untuk mengejar pelaksanaan dan pemuasan gairah nafsu.

Adalah wajar dan alami kalau seorang pemuda seperti Priyadi yang sudah berusia dua puluh enam tahun mulai terusik oleh nafsu berahi yang timbul dari dalam dirinya. Selama menjadi murid Jatikusumo, dia dapat bertahan terhadap godaan nafsu berahi, terutama sekali karena tidak mendapatkan peluang. Akan tetapi setelah bertemu dengan Sekarsih yang menyeretnya ke dalam pemuasan nafsu berahi, maka nafsu itu membakar dirinya sehingga berkobar-kobar, mendatangkan gairah nafsu yang menuntut pemuasan.

Seperti juga segala macam nafsu daya rendah lainnya, maka nafsu berahi merupakan anugerah dari Tuhan yang sepatutnya kita syukuri, karena tanpa adanya nafsu berahi ini, bagaimana mungkin manusia akan dapat berkembang biak? Nafsu berahi mempunyai tugas yang teramat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia di permukaan bumi.

Dan Tuhan sudah demikian Maha Pengasih dan Maha Pemurah sehingga nafsu berahi mengandung kenikmatan bagi manusia sehingga manusia senang melakukan hubungan badan sebagai pelampiasan nafsu berahi. Namun di samping tugasnya yang suci dan tujuannya yang baik, sebagai peserta dalam kehidupan manusia yang amat berguna bagi perkembangan manusia, di lain pihak seperti juga semua nafsu, memiliki sifat merusak yang amat hebat.

Seperti juga dengan nafsu daya rendah lainnya, nafsu berahi dapat menyeret manusia ke dalam perbuatan yang penuh kemaksiatan dan kejahatan. Hal ini terjadi kalau manusia tidak dapat menguasai nafsu berahinya dan sebaliknya nafsu berahi yang menguasainya sehingga manusia menjadi budak nafsu berahi. Kalau sudah begini keadaannya, manusia bisa saja diseret oleh nafsu berahi untuk melakukan perbuatan sesat sehingga terjadilah perjinaan, pelacuran dan pemerkosaan.

Tiada lagi pantangan bagi nafsu berahi yang sudah mendesak dan menuntut pemuasan dan manusia yang sudah menjadi budaknya telah kehilangan kesadarannya, kehilangan pertimbangannya! Kalau sudah demikian, nafsu tidak lagi menjadi peserta atau pembantu yang baik, tapi menjadi musuh yang paling jahat dan paling berbahaya bagi manusia.

Satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya hal ini kalau kita mampu mengendalikan nafsu sehingga tidak menjadi liar, melainkan jinak dan menjadi pelayan kita yang baik. Tetapi sayangnya mengendalikan nafsu lebih mudah dibicarakan dari pada dilaksanakan, Hati akal pikiran kita semenjak kita kecil telah dikuasai nafsu sehingga kita hampir tidak mungkin menggunakan hati akal pikiran untuk menundukkan dan mengen­dalikan nafsu.

Lalu bagaimana baiknya? Apa yang dapat kita manusia yang lemah ini lakukan agar bisa mengembalikan nafsu ke tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan kita? Siapa yang akan mampu mengendalikan nafsu yang liar dan kuat itu? Tiada lain yang dapat menundukkan nafsu, kecuali kekuasaan Tuhan Sang Maha pencipta.

Tuhan yang menciptakan nafsu, maka hanya Tuhan yang akan dapat menundukkannya. Oleh karena itu, bagi kita manusia, jalan satu-satunya hanyalah berserah diri kepada Tuhan secara total, lahir batin dan sepenuhnya, mohon bimbingan Tuhan karena hanya dengan bimbingan Tuhan saja maka kita akan dapat mengendalikan nafsu, atau dengan kekuasaan Tuhan, nafsu dalam diri kita tidak akan menjadi liar lagi.

Priyadi tidak dapat mengusir bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan itu, bahkan makin diusahakan untuk mengusirnya bayangan-bayangan itu menjadi semakin jelas sehingga gairahnya terbakar, berkobar-kobar dan timbullah keinginan besar sekali di dalam dirinya untuk mengulang semua pengalaman yang nikmat bersama Sekarsih itu.

Karena pikirannya melayang-layang itulah dia tidak mempedulikan lagi ke mana kakinya melangkah. Niatnya semula hendak pulang ke perkampungan Jatikusumo yang terletak di daerah Pacitan, akan tetapi tanpa disadari lagi kakinya melangkah menuju ke timur!

Ketika dia tiba di pinggir sungai yang mengalir ke timur, dia menyusuri sungai itu seperti orang yang sedang mimpi, tidak menyadari bahwa dia menyimpang jauh dari tujuannya hendak pulang ke perkampungan Jatikusumo! Tiba-tiba dia mendengar suara tawa merdu dan kecipak air, suara wanita-wanita sedang bersenda-gurau, tertawa dan menjerit kecil.

Priyadi tertarik dan cepat dia menyelinap di antara pohon-pohon, mendekati tepian sungai dari mana suara itu datang dan bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai. Jantungnya berdebar aneh ketika dia melihat lima orang gadis sedang mandi di sungai.

Gadis-gadis itu mengenakan kain sebatas dada dan mereka bergembira sekali, saling memercikkan air dan mereka tertawa-tawa, menjerit-jerit kalau muka mereka terpercik air. Di tepi sungai terdapat keranjang-keranjang berisi pakaian yang habis dicuci.

Dahulu sebelum bertemu dengan Sekarsih. menghadapi penglihatan seperti ini dia tentu akan membuang muka dan menyingkir karena dianggapnya tidak sopan untuk mengintai wanita yang sedang mandi. Akan tetapi sekarang, sungguh aneh dan dia sendiri tidak menyadari akan perubahan pada dirinya ini, dia merasa tertarik sekali dan jantungnya berdebar penuh gairah dan ketegangan ketika dia melihat tubuh-tubuh wanita muda itu. Setiap kali mereka bangkit berdiri, tampak kain yang basah itu mencetak dada mereka sehingga seolah mereka tidak mengenakan pakaian.

Pandang mata Priyadi segera melekat pada seorang di antara mereka yang paling manis dan berkulit putih mulus. Dalam pandangannya, gadis itu tampak demikian cantik jelitanya sehingga dia merasa tertarik sekali. Muncul bayangan di dalam benaknya, betapa akan senangnya merangkul dan mencumbu gadis itu. Bayangan ini seolah-olah minyak yang disiramkan kepada api gairah berahinya sehingga berulang kali dia menelan ludah dan lehernya menjadi basah oleh keringat. Dari percakapan mereka yang bersenda gurau itu dia mendengar bahwa nama gadis yang menarik perhatiannya itu bernama Sumarni.

Bagai seorang anak kecil yang mendapatkan sebuah mainan baru, Priyadi terus mengintai para gadis dusun itu selesai mandi dan menukar kain mereka yang basah kuyup dengan kain yang baru, lalu mencuci kain yang basah itu. Kemudian sambil tertawa-tawa riang mereka naik ke daratan dan sambil menjinjing keranjang pakaian mereka pergi meninggalkan sungai.

Priyadi diam-diam membayangi mereka, terutama gadis bernama Sumarni tadi. Dapat dibayangkan betapa senang hatinya ketika melihat bahwa Sumarni berpisah dari kawan-kawannya dan menuju ke sebuah dusun yang sudah tampak dari situ.

Sumarni melenggang seorang diri, tidak tahu bahwa dia diamati orang dari belakang. Lenggangnya yang santai dan wajar itu sungguh menarik hati Priyadi dan menimbulkan gairah. Pemuda itu membayangkan dia bermesraan dengan Sumarni seperti ketika dia bermesraan dengan Sekarsih dan bayangan ini memacu berahinya. Dia mempercepat langkahnya dan sebentar saja dia sudah menyusul Sumarni, mendahuluinya lalu memutar tubuh menghadangnya.

Gadis dusun bermata bening itu terbelalak ketika melihat seorang pemuda tampan yang berpakaian bukan seperti pemuda dusun, menghadang perjalanannya. Saking heran, terkejut, takut dan malu ia hanya berdiri terbelalak menatap wajah yang tampan itu.

Priyadi tersenyum dan wajahnya tampak semakin tampan. "Nimas, jangan kaget atau takut, aku ingin bercakap-cakap denganmu," katanya dengan lembut sehingga lenyaplah rasa takut dari hati Sumarni terganti rasa heran dan malu. Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan orang kota, mungkin bangsawan, ia pun hormat.

"Denmas... mau... apakah menghadang perjalanan saya...?"

"Namamu Sumarni, bukan? Nama yang indah, seindah orangnya."

Sumarni terbelalak heran. "Bagaimana denmas dapat mengetahuinya?"

Priyadi tersenyum lebar. "Tentu saja aku tahu, Sumarni. Aku adalah dewa menjaga sungai, sering kali aku melihat engkau mandi di sungai."

"Ahhh...!" Gadis itu terkejut dan terbelalak.

Orang sedusunnya adalah orang yang percaya akan tahyul, maka kini dia memandang ‘dewa’ itu dengan sinar mata takjub dan takut.

"Denmas... main-main...!" Ia masih membantah.

Priyadi tersenyum, lalu menghampiri sebatang pohon sebesar paha orang dan sekali dia mengayun tangan ke arah batang pohon itu, terdengar suara keras dan batang pohon itu tumbang!

"Kau percaya sekarang, cah ayu?"

Sumarni memandang terbelalak dan sekarang dia tidak ragu-ragu lagi. Pria tampan dan halus di depannya ini memang benar dewa penjaga sungai!

"Ampunkan saya... kalau saya membuat kesalahan di sungai..." Ia melepaskan keranjang pakaiannya dan menyembah.

"Jangan engkau takut. Sumarni. Aku tidak marah kepadamu, sebaliknya, aku suka sekali padamu. Sumarni, aku menginginkan engkau untuk menjadi isteriku." Priyadi melangkah maju mendekat.

Sumarni memandang dengan mata terbelalak dan sepasang pipi berubah kemerahan. Ia terkejut, heran, akan tetapi juga girang dan bangga. Seorang pria muda, tampan dan gagah seperti seorang bangsawan, bahkan ternyata dia seorang dewa sungai, jatuh cinta kepadanya dan ingin mempersuntingnya sebagai isteri. Akan tetapi ada juga rasa takut dan malu teraduk dalam hatinya. Sambil menundukkan mukanya yang kemerahan ia pun menjawab lirih. "Pukulun...!"

Mendengar sebutan untuk para dewa ini. Priyadi tertawa. "Sumarni wong manis, jangan menyebut aku demikian. Aku lebih senang apa bila engkau menyebut aku denmas atau kakangmas."

"...denmas... kalau begitu... saya persilakan denmas bicara saja dengan orang tuaku..."

"Untuk meminangmu? Tentu saja, nimas Sumarni. Aku akan segera mengajukan pinangan kepada orang tuamu, akan tetapi aku ingin melepas rinduku kepadamu dulu." Setelah berkata demikian tiba-tiba dengan gerakan lembut Priyadi merangkul gadis itu.

Sumarni tersipu, seluruh tubuhnya gemetar, akan tetapi dia tidak menolak. Jantungnya berdebar kencang membuat tenggorokannya seperti tersumbat, apa lagi ketika Priyadi menciumnya, hampir pingsan dia dibuatnya, akan tetapi ada rasa bangga dan senang di sudut hatinya. Karena itu, ketika Priyadi mengangkat dan memondong tubuhnya, ia pun hanya memejamkan kedua matanya.

"Marilah, manis...!" Priyadi memondong tubuh gadis itu dan membawanya ke dalam hutan yang berada di tepi sungai.

Gadis dusun yang lugu itu terlena oleh rayuan Priyadi. Yang merayunya adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, bukan pemuda dusun biasa melainkan seorang dewa! Apa lagi berulang kali Priyadi menjanjikan akan mengajukan pinangan kepada orang tuanya, maka gadis itu pun jatuh dan menurut saja, pasrah saja apa yang dilakukan pemuda itu terhadap dirinya.

Priyadi tenggelam semakin dalam dicengkeram oleh nafsunya sendiri. Nafsu tidak pernah merasa cukup, tidak pernah kenyang. Makin dituruti, ia menjadi semakin lapar. Priyadi sudah mulai mabok dan lupa diri, lupa akan pelajaran tentang kebenaran yang dia terima dari perguruan Jatikusumo. Dia membiarkan dirinya terseret oleh nafsu berahi, bahkan dia menyeret pula erang lain untuk menjadi korban.

Sumarni gadis dusun yang lugu itu jatuh oleh rayuannya dan menyerahkan diri dan kehormatannya begitu saja. Gadis itu terlalu percaya kepada ‘dewa’nya. Bagi seorang gadis dusun seperti dia, dia percaya bahwa mustahil seorang pemuda bangsawan yang ganteng seperti Priyadi, seorang dewa pula, akan menipunya.

"Kakangmas, engkau belum memperkenalkan namamu kepadaku," bisik Sumarni lirih sambil menyandarkan kepalanya yang rambutnya terurai lepas itu ke atas dada Priyadi.

Priyadi yang memeluk Sumarni di atas pangkuannya menjawab dengan suara sungguh-sungguh.

"Sumarni, namaku adalah Permadi. Sekarang engkau pulanglah lebih dulu, manis."

"Akan tetapi bukankah engkau akan pergi ke rumah orang tuaku bersamaku, kakangmas? Untuk meminangku?"

"Tentu saja aku akan menghadap orang tuamu untuk meminangmu, akan tetapi aku harus berganti pakaian yang pantas dulu. Sebaiknya engkau pulang lebih dulu. Sudah terlalu lama engkau pergi ke sungai. Tunggulah aku, sore nanti pasti aku datang menghadap orang tuamu untuk melamarmu."

"Benarkah itu, kakangmas?" tanya Sumarni manja.

Priyadi menciumnya, lalu melepaskannya dari atas pangkuannya. "Tentu saja benar, wong ayu. Aku amat mencintamu dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Nah, pulanglah agar orang tuamu tidak merasa khawatir. Nantikan aku sampai sore nanti."

"Baik, kakangmas. Aku akan menantimu."

Dengan langkah gontai dan tubuh lelah Sumarni membawa keranjang pakaiannya berjalan pulang, diikuti pandang mata Priyadi. Dia tidak tahu betapa pemuda itu memandangnya dengan senyum kepuasan di bibirnya.

Sesudah Sumarni pergi, Priyadi lalu memutar tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Sore hari itu Sumarni menanti-nanti dengan hati gembira dan penuh harapan. Akan tetapi kegembiraannya makin menipis dan harapannya berubah menjadi kegelisahan setelah yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Malam itu gadis dusun yang lugu ini menangis di dalam kamarnya.

Penantiannya diulang sampai berhari-hari berikutnya dan setiap malam dia selalu menangis, menyesali nasibnya. Akan tetapi ia tidak berani menceritakan apa yang telah dialaminya itu kepada ayah bundanya. Tentu ayah bundanya akan marah bukan main kalau mendengar bahwa ia telah menyerahkan diri dan kehormatannya begitu saja kepada seorang pemuda yang baru saja dikenalnya.

Sumarni masih berusaha untuk bersembahyang di tepi sungai, mengharapkan kemunculan dewa penjaga sungai. Namun semua itu sia-sia belaka. Yang dinanti-nanti, diharap-harapkan tidak kunjung muncul. Setelah lewat beberapa hari barulah Sumarni kehilangan harapannya dan timbullah perasaan duka dan penyesalan yang mendalam.

Sesal kemudian tidak ada gunanya, bahkan hanya mendatangkan duka. Kejadian seperti yang dialami Sumarni itu terjadi di mana-mana sejak jaman dahulu sampai sekarang. Suatu peringatan yang harus diperhatikan oleh tiap orang wanita muda, terutama gadis-gadis.

Kebanyakan dari mereka itu terlampau mudah terbujuk rayu, terlampau percaya kepada janji-janji muluk yang keluar dari mulut pria. Dengan mudahnya mereka minum secawan anggur yang disodorkan oleh pria kepadanya, menikmati anggur manis yang terasa nikmat. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa seteguk dua teguk anggur semanis madu itu mengandung racun yang akan merusakkan kehidupannya.

Memang tidak dapat disangkal bahwa banyak pria yang bertanggung jawab, menikahi gadis yang telah dipersuntingnya sebelum menikah. Akan tetapi betapa lebih banyak lagi yang ingkar janji, habis manis sepah dibuang, seperti halnya Priyadi yang hanya ingin memiliki tubuh Sumarni untuk dinikmatinya, bukan untuk dicinta dan dijadikan isterinya.

Jika hubungan yang sepenuhnya didorong oleh nafsu berahi itu tidak membuahkan hasil, masih mending. Akan tetapi bagaimana kalau sampai hubungan itu membuat si gadis menjadi hamil? Dan laki-laki itu pergi begitu saja tanpa pamit, tanpa tanggung jawab? Si gadislah yang akan menanggung segala resikonya. Malu dan nama buruk sebagai wanita murahan.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)