PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-17
Kepuasan memenuhi hatinya, kepuasan yang berujung pada kerinduan untuk mengulang kemesraan itu, untuk memperoleh yang lebih banyak lagi. Bukan hanya dari Sumarni atau Sekarsih, tetapi dari siapa saja, asalkan ia seorang wanita yang muda dan cantik jelita!
Priyadi tahu bahwa dia pulang terlambat beberapa hari dibandingkan kedua orang kakak seperguruannya, dan teringat hal ini maka dia segera mempercepat langkahnya menuju ke daerah Pacitan untuk pulang ke perkampungan perguruan Jatikusumo.
Setelah senja barulah dia memasuki perkampungan Jatikusumo dan menghadap gurunya, Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua Jatikusumo. Pertapa yang berusia enam puluh tujuh tahun dan bertubuh sedang bersikap lembut ini tengah duduk dan di situ menghadap pula Maheso Seto dan Rahmini. Melihat kedatangan Priyadi, Maheso Seto mengerutkan alisnya sedangkan Rahmini cemberut kepadanya. Priyadi cepat menghadap gurunya dan menghaturkan sembah.
"Engkau baru pulang, Priyadi? Ke mana saja engkau pergi? Mengapa tidak berbarengan dengan kedua orang kakakmu?" Sang Bhagawan Sindusakti menegurnya dengan halus.
"Maafkan saya, Bapa Guru. Saya memang meninggalkan Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini karena saya mengejar wanita jahat yang membikin kerusuhan di rumah Paman Bargowo."
"Hemm, begitukah? Dan bagaimana kesudahannya?" tanya Bhagawan Sindusakti.
Sejak menjadi murid Bhagawan Sindusakti, Priyadi belum pernah sekali pun membohongi gurunya. Akan tetapi sekarang, bagaimana dia bisa menceritakan semua pengalamannya dengan Sekarsih? Tidak ada lain jalan baginya kecuali berbohong.
Memang, satu perbuatan tidak benar biasanya akan disusul oleh perbuatan tidak benar selanjutnya. Satu kebohongan mau tidak mau disusul oleh kebohongan lain.
"Sayang sekali dia menghilang, Bapa Guru. Saya sudah mencari-carinya sampai dua hari namun tetap tidak dapat saya temukan. Barulah saya pulang."
"Priyadi," kata Bhagawan Sindusakti dan kini suaranya terdengar tegas. "Engkau sudah membuat kesalahan yang besar sekali!"
Priyadi terkejut. Segera terlintas di benaknya peristiwa yang dialaminya dengan Sekarsih, kemudian dengan Sumarni. Apakah gurunya mengetahui akan hal itu? Akan tetapi tidak mungkin!
"A... apakah maksud Bapa Guru? Kesalahan apa yang saya lakukan? Saya tidak merasa melakukan kesalahan apa pun."
"Engkau berani menyangkal kesalahanmu, Adi Priyadi?" kata Rahmini dengan ketus.
"Ketika di rumah Paman Bargowo, kalau saja tidak ada kami, bukankah engkau sudah menghancurkan nama dan kehormatan perguruan kita Jatikusumo?"
"Adi Priyadi, engkau telah lancang memancing perkelahian dalam pesta Paman Bargowo, bahkan engkau telah dikalahkan oleh Ki Klabangkolo. Kalau tidak ada kami berdua yang membalas kekalahanmu itu dengan mengalahkan Ki Klabangkolo, bukankah nama besar Jatikusumo akan jatuh di depan banyak pendekar? Engkau harus mengukur kemampuan sendiri dulu sebelum bertindak, Adi Priyadi! Lebih baik mulai sekarang engkau berlatih lebih tekun agar kemampuanmu meningkat sehingga lain kali tidak akan membikin malu Jatikusumo!"
"Apa yang dikatakan kakangmu itu benar, Priyadi. Jangan suka melagak di depan umum bila engkau tidak yakin akan dapat mengatasi keadaan. Kalau engkau sampai dikalahkan orang jahat di hadapan umum, hal itu memang menjatuhkan nama besar Jatikusumo!" Bhagawan Sindusakti juga menegur.
Ditegur oleh kedua kakak seperguruannya dan oleh gurunya, Priyadi hanya menundukkan mukanya. Akan tetapi dia merasa malu dan terpukul. Dia tahu bahwa Maheso Seto dan Rahmini, keduanya merasa iri kepadanya karena biasanya Bhagawan Sindusakti sangat sayang kepadanya. Karena itu, mendapat kesempatan baik, kedua orang suami isteri itu memburukkan dirinya di depan guru mereka.
Hmm, gerutunya dalam hati. Jika tidak maju bersama mengeroyok Ki Klabangkolo, kalian pun juga tak akan dapat menandinginya. Akan tetapi mulutnya tidak mengatakan sesuatu.
Malam itu Priyadi tidak dapat tidur. Bermacam-macam bayangan bermain di benaknya. Bayangan tentang kemesraannya yang dia nikmati dari hubungannya dengan Sekarsih, kemudian dengan Sumarni yang menyenangkan. Akan tetapi diseling bayangan ketika dia ditegur kedua orang kakak seperguruan dan juga gurunya yang membuat hatinya merasa penasaran dan tidak senang.
Akhirnya dia membuka pintu kamarnya dan keluar dari dalam kamar, terus keluar dari rumah. Hawa dingin dan sinar bulan menyambutnya di luar ramah. Dia menggigil. Bukan main dinginnya malam ini, pikirnya. Akan tetapi suasananya menyenangkan karena sinar bulan purnama.
Dia lalu berjalan-jalan menuju ke belakang pondok. Banyak pondok berdiri di belakang rumah besar tempat kediaman gurunya. Pondok-pondok ini adalah tempat tinggal para murid Jatikusumo. Suasananya sepi sekali. Agaknya para murid sudah tidur. Memang lebih enak berdiam di dalam rumah dari pada di luar yang amat dingin itu.
Di belakang perkampungan Jatikusumo terdapat sebuah bukit dan seperti juga semua murid Jatikusumo, dia tahu bahwa di bukit itu terdapat sebuah sumur tua yang kering. Sumur ini dianggap keramat oleh Bhagawan Sindusakti dan ia melarang para murid untuk mendekati sumur itu.
"Sumur itu sudah dikutuk oleh eyang guru kalian, karena itu kalian jangan mendekatinya dan jangan mengganggunya. Sumur itu dapat mendatangkan mala petaka kepada siapa yang mendekatinya." demikian pesan Bhagawan Sindusakti.
Oleh karena itu para murid Jatikusumo tidak ada yang berani mendekati dan menganggap sumur itu sebagai tempat tinggal iblis yang jahat. Apa lagi setiap malam Jumat Bhagawan Sindusakti selalu menyuruh para murid melemparkan nasi kuning dan ingkung ayam yang dibungkus rapi ke dalam sumur kering itu, katanya untuk memberi hidangan kepada yang ‘mbaurekso’ sumur itu. Semua murid menganggap sumur itu tempat yang keramat dan menyeramkan.
Tetapi pada malam hari yang terang dan dingin itu seperti ada sesuatu yang mendorong Priyadi untuk mendaki bukit dan pergi ke sumur tua itu. Dia merasa penasaran dan juga berduka karena ditegur oleh kedua orang kakak seperguruannya dan gurunya sehingga merasa rendah diri. Ingin dia memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di antara mereka semua agar dia jangan diperhina lagi, jangan dipandang rendah lagi.
Setelah sampai di tepi sumur tua, Priyadi duduk di atas batu besar yang terdapat di dekat sumur dan dia duduk bersila sambil termenung dengan prihatin. Tiba-tiba dia mendengar suara seperti gerengan yang keluar dari dalam sumur kering yang tua itu. Tentu saja dia terkejut sekali dan bulu tengkuknya meremang.
Pantasnya itu suara iblis dari dalam sumur, pikirnya. Tapi kemurungannya mendatangkan keberanian yang nekat. Dia bukannya melarikan diri melainkan mendengarkan lebih teliti, mencurahkan segenap perhatiannya terhadap suara itu.
"Heemmmm... hemmmm... hemmmm...!"
Suara itu berbunyi kembali, suara yang gemetar, menggigil seperti orang yang kedinginan. Priyadi turun dari atas batu, berdiri dekat sumur, menghadapinya dan siap untuk membela diri kalau ada iblis keluar dari sumur dan menyerangnya.
Sementara itu kedua telinganya mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu lantas terdengar lagi dan alangkah herannya ketika suara gerengan itu disusul kata-kata yang menggigil kedinginan.
"Hemmm... hemm... aduh dinginnya... hemm... kejam sekali si Limut Manik...! Heemm... mati aku... mati kedinginan...!"
Priyadi merasa betapa tengkuknya menjadi tebal dan dingin. Akan tetapi ditekannya rasa takutnya kemudian dia menjenguk ke dalam sumur. Di dalam sumur tampak gelap karena sinar bulan masih berada di timur sehingga hanya menerangi permukaan sumur itu. Dia segera mempertajam pandangannya, akan tetapi tidak melihat ada gerakan dalam sumur. Dengan jantung berdebar dia lalu mengerahkan tenaga lalu berseru ke dalam sumur.
"Siapakah yang berada di dalam sumur? Seorang manusiakah yang mengeluarkan kata-kata tadi?"
Hening sejenak dan terdengar gaung suaranya yang membalik setelah menyentuh dasar sumur, terdengar mengerikan seperti suara dari alam lain. Akan tetapi Priyadi telah dapat menenangkan batinnya dan dia bertekad untuk menyelidiki. Agaknya sumur ini memang mengandung rahasia, pikirnya. Siapa tahu di dalam sumur benar-benar ada orangnya.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam sumur.
"Siapa di atas? Engkaukah itu, Limut Manik? Jangan siksa aku lebih lama lagi. Turunlah dan bunuh saja aku, dari pada kau siksa begini, aku sudah tidak tahan lagi!"
Jantung Priyadi berdebar penuh ketegangan. Tak salah lagi. Di bawah sana ada orangnya! Orang yang ada hubungannya dengan mendiang eyang gurunya, Resi Limut Manik. Orang itu menyebut nama eyang gurunya begitu saja, tentu mempunyai hubungan yang dekat sekali!
"Tunggu, aku akan turun!" teriaknya dengan nekat dan dia lalu berlari cepat kembali ke pondok untuk mengambil gulungan tali yang cukup panjang.
Diikatkannya ujung tali itu pada sebatang pohon yang tumbuh di dekat sumur, lalu dengan penuh keberanian dia pun turun ke dalam sumur melalui tali itu! Kakinya menyentuh dasar sumur yang kering namun gelap. Ketika dia meraba-raba, dia mendapat kenyataan bahwa sumur itu menembus ke sebuah terowongan yang cukup besar.
"Ah, engkau benar-benar sudah turun ke dalam sumur? Cepat ke sinilah!" terdengar suara itu. suara yang menggigil. "Aku kedinginan dan hampir mati, tak dapat bergerak lagi..."
Priyadi sambil meraba-raba lalu melangkah ke arah suara dari sebelah dalam terowongan.
Sesudah melangkah agak lama dan jauh, tiba-tiba saja dia melihat sebuah ruangan yang remang-remang, agaknya mendapat penerangan dari atas. Dia memasuki ruangan itu dan karena matanya sudah terbiasa, dia dapat melihat seorang kakek tua renta duduk di atas batu. Keadaan kakek itu menyedihkan sekali. Dia bertelanjang bulat, hanya mengenakan cawat dari kain yang sudah lusuh, tubuhnya kurus kering seperti jerangkong, akan tetapi sepasang matanya demikian tajam seperti mata harimau yang mencorong dalam gelap.
"Limut Manik, aku kedinginan tidak mampu turun dari sini, akan tetapi aku masih dapat membunuhmu!" Sesudah berkata demikian, tiba-tiba dua buah lengan yang tinggal tulang terbungkus kulit itu didorongkan ke depan, ke arah Priyadi dan muncul hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar disertai suara bercuitan!
Priyadi kaget bukan main. Dia mengenal pukulan jarak jauh yang ampuh sekali, maka dia pun cepat-cepat memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya dengan Aji Gelap Musti.
Priyadi terlempar bagaikan daun kering tertiup angin dan tubuh belakangnya menghantam dinding terowongan dengan kuat sekali. Untung dia telah mengerahkan aji kekebalannya sehingga punggungnya tidak remuk. Akan tetapi dia merasa dadanya menjadi sesak.
"Ha-ha-ha-ha! Aku masih kuat, bukan? Engkau pun tidak sanggup menahan pukulanku, padahal sekarang aku sudah sekarat, ha-ha!" Jerangkong hidup itu tertawa-tawa dengan riangnya.
Perlahan Priyadi merangkak bangkit, "Maaf, saya bukan Eyang Resi Limut Manik. Eyang Resi Limut Manik telah meninggal dunia," kata Priyadi, tidak berani mendekat lagi.
"Hah? Siapa andika?" tanya kakek itu dan agaknya dia baru melihat jelas bahwa orang yang datang itu bukan Resi Limut Manik seperti yang disangkanya semula. "Andika masih amat muda. Siapa andika?" tanya jerangkong itu dengan suara menggigil dan tubuhnya juga menggigil kedinginan.
Memang hawa di dalam situ teramat dingin sehingga Priyadi juga merasakannya. Timbul rasa kasihan dalam hatinya. Ketika keluar dari pondokannya tadi, dia mengenakan baju rangkap karena hawa amat dingin.
"Nama saya Priyadi, saya murid perguruan Jatikusumo, eyang."
"Hemm, siapa gurumu? Siapa ketua Jatikusumo sekarang?"
"Guru saya adalah Sang Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua Jatikusumo."
"Hemm... Sindusakti? Dan kau adalah muridnya? Memalukan sekali, murid Jatikusumo hanya sebegitu saja tenaganya!"
Tiba-tiba Priyadi mendapat sebuah pikiran yang baik sekali, dia membuka baju luarnya dan menghampiri kakek itu. "Eyang, mari pakailah baju saya ini agar tidak terlalu dingin." Dia sendiri menyelimutkan baju itu di atas kedua pundak kakek itu.
"Hemm, engkau boleh juga. Akan tetapi kaki tanganku begitu kedinginan sampai sukar digerakkan, agaknya darahku sudah membeku..." kata kakek itu sambil menggigil.
Tanpa diminta Priyadi segera memijati kaki tangan kakek itu dan mengurut-urut agar jalan darahnya normal kembali. Sesudah kakek itu dapat menggerakkan kaki tangannya, tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu, yang hanya tinggal tulang dan kulit, telah mencengkeram tengkuk Priyadi. Kuku-kuku yang tajam runcing menusuk kulit tengkuknya.
"Namamu Priyadi? Hayo cepat bawa aku naik dan keluar dari sumur ini. Awas, sekali saja engkau membuat gerakan mencurigakan dan tidak menaati perintahku, sekali cengkeram lehermu akan patah dan engkau akan mati konyol!"
Priyadi dapat merasakan betapa kuatnya tangan yang mencengkeram tengkuk itu. Akan tetapi dia masih bersikap tenang dan dia berkata, "Eyang ini benar-benar aneh. Eyang seorang yang maha sakti, kalau hendak keluar dari sumur apa sih sukarnya. Mengapa harus menyuruh aku?"
"Bodoh! Kedua kakiku sudah lumpuh, dibikin lumpuh oleh si jahanam Limut Manik! Kalau kedua kakiku tidak lumpuh, apakah engkau kira aku betah tinggal di neraka ini sampai puluhan tabun lamanya? Hayo, jangan banyak cakap. Gendong aku di punggungmu dan bawa aku keluar dari sini!" Berkata demikian kakek itu memperkuat cengkeramannya pada tengkuk hingga Priyadi meringis kesakitan. Agaknya aji kekebalannya tidak mempan terhadap tangan kakek yang seperti jerangkong itu.
"Baiklah, eyang, akan tetapi jangan cekik saya keras-keras. Kalau kesakitan, bagaimana saya dapat menggendongmu?"
Ternyata kedua kaki kakek itu tergantung lemas tidak dapat digerakkan, akan tetapi sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang ke atas punggung Priyadi dengan tangan kiri tetap mencekik tengkuk, sedangkan tangan kanan memegang pundak.
Priyadi merasa betapa ringannya tubuh kakek itu, seringan tubuh kanak-kanak saja. Akan tetapi sungguh luar biasa, betapa kuat tenaganya ketika memukulnya tadi. Dan kakek ini tentu seorang yang amat jahat!
Pikiran ini tiba-tiba saja timbul dalam benaknya. Di samping wataknya yang jahat dapat dirasakannya ketika kakek itu memaksanya membawa keluar dari situ, juga kenyataan bahwa eyang gurunya melumpuhkan kakinya dan memenjarakannya di sumur tua tentu karena orang ini jahat sekali. Akan tetapi, biar pun jahat, dia amat sakti mandraguna. Hal ini menguntungkan dirinya kalau saja kakek itu mau menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya.
Mendadak dia mendapat pikiran yang dianggapnya sangat baik. Sesudah tiba di dasar sumur, dia berhenti dan berkata. "Eyang, aku tidak mau membawamu naik!"
Cengkeraman pada tengkuknya menguat. "Keparat, mengapa tidak mau?!" bentak kakek itu.
"Sama saja eyang mau bunuh saya di sini atau di atas. Aku yakin bahwa kalau kita sudah sampai ke atas sumur, eyang akan membunuhku juga."
"Ha-ha-ha, engkau pandai membaca pikiran orang. Memang tadinya aku berpikir begitu. Akan tetapi sekarang tidak. Kalau engkau mau membawaku keluar dari sumur ini maka aku tidak akan membunuhmu!"
"Bersumpahlah dulu, eyang!" Priyadi berani menuntut karena dia yakin bahwa kakek itu membutuhkan dia, maka tentu tidak akan membunuhnya.
"Jahanam, berani engkau tidak percaya kepadaku?! Ingat, jelek-jelek aku ini adalah uwa eyang gurumu. Limut Manik adalah adik seperguruanku, tahu?"
"Biar hatiku tenang, eyang. Bersumpahlah dulu."
"Hemm, baiklah. Aku bersumpah tidak akan membunuhmu setelah engkau membawa aku keluar dari sumur ini."
"Masih ada lagi, eyang. Aku minta agar setelah eyang kubawa keluar dari sumur, eyang akan mengangkat aku sebagai murid."
"Apa?! Bukankah engkau sudah mempelajari semua aji dari Jatikusumo? Apa lagi yang dapat kuajarkan?"
“Setelah aku membawa eyang keluar dari sini, aku ingin eyang mengajarkannya kepadaku aji pukulan yang eyang pergunakan tadi.”
"Gila! Aji pukulan Margapati yang kulatih selama puluhan tahun kuajarkan padamu? Enak saja!”
"Dengan Aji Margapati ini, aku ingin menjadi pendekar nomor satu di dunia ini! Dan aku dapat menjadi pembantu eyang yang setia, pembantu dan murid yang akan mengangkat nama eyang tinggi-tinggi!"
"Tidak, aku tidak akan mengajarkan Aji Margapati kepada siapa pun juga. Kepadamu pun tidak," kata kakek itu dengan kukuh.
"Kalau begitu aku tidak mau membawamu naik dan keluar dari neraka ini!" kata Priyadi sama kukuhnya.
Cengkeraman tangan di tengkuknya itu menguat. "Kau akan kubunuh!"
"Tidak mengapa, biarlah aku mati bersamamu di neraka ini, eyang. Tapi kalau eyang mau berjanji dengan sumpah bahwa eyang akan mengajarkan Aji Margapati kepadaku, barulah aku akan membawa eyang naik."
Hening sejenak, lalu mendadak kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Engkau penuh keberanian! Engkau juga licik. Engkau seperti aku, di luarnya tampak bodoh akan tetapi sebetulnya mengandung kecerdikan luar biasa. Baiklah, aku akan mengajarkan Margapati kepadamu, Priyadi."
"Bersumpahlah dulu, eyang, agar jika eyang nanti melanggar sumpah dan membunuhku, biar pun aku mati, akan tetapi Eyang akan dikejar-kejar sumpah sendiri sehingga hidupmu tidak akan tenteram."
"Sialan! Baiklah, aku bersumpah akan mengajarkan Margapati kepadamu setelah engkau membawaku keluar dari sini."
"Nah, begitu baru baik, eyang. Kita sama-sama untung. Apa eyang berpikir akan dapat hidup sendiri di luar sana? Eyang lumpuh dan tidak mempunyai apa-apa. Siapa yang akan merawat dan melayanimu? Akan tetapi kalau eyang mengangkatku sebagai murid, aku akan mencarikan tempat tinggal yang tersembunyi bagi eyang, aku yang akan mencarikan makanan dan minuman untuk eyang, juga mencarikan pakaian untuk melindungi tubuh eyang dari bawa dingin."
"Heh-heh-ha-ha, untung engkau mengingatkan aku akan hal itu, Priyadi. Kalau aku sudah terburu-buru membunuhmu, tentu aku akan rugi besar. Hayo kita naik!"
"Pegang pundakku kuat-kuat, eyang!" kata Priyadi.
Dia lalu memegang tali itu dan merayap naik dengan cepat. Beban tubuh kakek itu seperti tidak terasa olehnya. Dalam waktu cepat dia sudah tiba di atas sumur tua. Tiba-tiba kakek itu membuat gerakan dan tubuhnya sudah meloncat turun dari atas punggung Priyadi.
Di bawah sinar bulan yang cukup terang Priyadi kini dapat melihat kakek itu dengan jelas. Keadaan kakek itu memang mengerikan. Tubuh yang seperti jerangkong itu saja sudah mengerikan, ditambah wajahnya yang seperti tengkorak hidup, tetapi sepasang matanya mencorong.
Kini Priyadi dapat melihat dia ‘berdiri’, bukan berdiri di atas kedua kaki seperti umumnya, melainkan bersimpuh. Kedua kakinya ditekuk tak berdaya. Agaknya dia lumpuh dari paha ke bawah.
Akan tetapi ketika dia mendekati Priyadi, tubuhnya mencelat seperti seekor katak saja, ringan dan cepat. Ternyata kakek ini dapat bergerak leluasa dengan berloncatan, akan tetapi tentu saja kemampuan itu tidak cukup untuk membuat dia dapat keluar dari dalam sumur yang cukup dalam itu.
"Priyadi, aku harus tinggal di mana? Jangan sampai aku terlihat orang lain, aku tidak ingin menjadi perhatian orang sebelum dapat berpakaian dan muncul secara wajar di hadapan orang banyak," kata kakek itu agak bingung.
"Nah, jelaslah bahwa eyang membutuhkan aku, bukan? Jangan khawatir, eyang. Mari kita pergi ke balik bukit. Di sana terdapat banyak goa dan tempat itu jarang didatangi orang. Untuk sementara waktu eyang bisa tinggal di sebuah di antara goa-goa itu. Apakah eyang minta digendong lagi?"
"Tidak perlu. Setelah berada di sini, aku dapat bergerak sendiri. Apa kau kira akan dapat berlari lebih cepat dari pada aku? Hayo tunjukkan ke mana kita akan menuju!"
Priyadi menunjuk ke puncak bukit. "Kita akan melalui puncak bukit itu. lalu turun ke balik puncak "
"Bagus. Mari kita berlomba, siapa yang dapat sampai ke puncak itu lebih dulu!"
Tentu saja Priyadi memandang rendah kepada kakek itu. Sesakti-saktinya, kakek yang kedua kakinya sudah lumpuh itu mana mampu berlari cepat?
"Engkau akan kalah, eyang. Aku sudah mempelajari Aji Harina Legawa dan dapat berlari cepat seperti seekor kijang."
"Ha-ha-ha-ha. Aji Harina Legawa? Aku menguasai aji kecepatan yang jauh lebih dari itu. Kusebut aji itu Aji Tunggang Maruto. Hayo kita berlomba. Berangkatlah engkau lebih dulu, nanti kususul!"
Priyadi tidak percaya akan tetapi juga merasa girang. Kalau benar kata kakek itu, berarti dia akan dapat mempelajari banyak ilmu yang hebat-hebat dari kakek ini! Karena itu dia mengerahkan tenaganya, menggunakan Aji Harina Legawa dan tubuhnya sudah melesat bagaikan kijang melompat ke depan dan dia berlari cepat ke arah puncak bukit.
Akan tetapi, ketika dia sampai di puncak bukit dengan napas agak terengah karena dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, dia melihat kakek lumpuh itu sudah berdiri atau duduk di atas sebuah batu sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, larimu lambat sekali, Priyadi!"
Priyadi yang cerdik langsuog saja menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu sambil menyembah. "Saya yang bodoh mohon banyak petunjuk dari eyang yang sakti mandraguna."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, bocah bagus. Dalam waktu yang tidak lama engkau akan menjagoi di seluruh nusantara!"
Mereka lalu menuruni puncak dan menuju ke balik bukit itu. Priyadi membawa kakek itu ke daerah yang berbatu-batu dan benar saja di dinding bukit itu terdapat banyak goa. Mereka memilih sebuah goa terbesar dan di situlah kakek itu tinggal untuk sementara waktu. Priyadi lalu mengumpulkan rumput dan jerami kering untuk dijadikan tilam di lantai goa, membersihkan goa itu dan menjelang subuh dia berpamit.
"Eyang, sekarang saya mohon diri lebih dulu, karena kalau saya tidak pulang, tentu bapak guru dan para saudara seperguruan akan mencari saya dan mencurigai saya. Siang nanti saya akan mencari kesempatan untuk berkunjung ke sini sambil membawa makanan dan minuman untuk eyang, juga akan saya bawakan seperangkat pakaian untuk eyang. Tetapi sebelum saya pergi, bolehkah saya mengetahui nama eyang?"
"He-he-heh, anak baik. Aku girang tidak membunuhmu. Ternyata engkau memang amat berguna bagiku. Ketahuilah, aku masih terhitung kakak seperguruan mendiang Resi Limut Manik, ada pun nama julukanku dahulu adalah Resi Ekomolo. Nama besarku terkenal di seluruh Mataram, bahkan di Mataram aku dijuluki orang Alap-alap Mataram. Nah, pergilah dan cepat kembali membawa makanan yang enak-enak. Di neraka itu aku hanya makan jamur-jamur mentah dan lumut-lumut, hanya setiap malam Jumat gurumu mengirimkan makanan yang pantas. Aku ingin sekali makan daging sapi atau daging kambing."
Priyadi segera meninggalkan tempat itu, menyeberangi puncak bukit dan sebelum ayam berkokok dia telah kembali ke dalam kamar di pondoknya. Dia bekerja di ladang bersama para murid lain seperti biasa dan sesudah dia memperoleh kesempatan, dia membawa makanan dan juga seperangkat pakaiannya sendiri untuk diberikan kepada Resi Ekomolo.
Resi Ekomolo gembira sekali. Pakaian bersih segera dikenakan di tubuhnya dan dia pun makan minum dengan lahapnya. Sesudah kenyang dia pun memandang kepada pemuda itu dan berkata,
"Aku suka padamu, Priyadi. Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku yang hebat kepadamu. Mulai sekarang engkau harus mempelajari dan melatih ilmu-ilmu yang kuajarkan dengan baik."
"Terima kasih, eyang. Akan tetapi saya harus mencari waktu yang luang. Sebaiknya setiap malam, kalau semua orang sudah tidur, saya datang ke sini dan belajar ilmu dari eyang. Kalau tidak demikian, tentu akan ada orang yang mengetahuinya."
"Baik, memang aku tak ingin ada orang mengetahuinya. Engkau adalah murid Jatikusumo dan kulihat engkau sudah mempelajari ilmu-ilmu aliran Jatikusumo dengan baik. Karena ilmu-ilmu yang kurangkai juga berdasarkan aliran Jatikusumo, maka aku yakin dalam waktu cepat engkau akan dapat menguasainya. Kalau engkau sudah mewarisi ilmu-ilmu yang kuajarkan, engkau harus menjadi ketua Jatikusumo, karena tidak akan ada orang di Jatikusumo yang mampu menandingimu. Bahkan gurumu sendiri Bhagawan Sindusakti tidak akan dapat mengalahkanmu!"
"Akan tetapi, eyang!" seru Priyadi dengan mata terbelalak karena terkejut mendengar kata-kata itu. “Bagaimana mungkin saya akan mampu mengalahkan Bapa Guru?"
"Ha-ha-ha. engkau masih meragukan kemampuanku? Dengar! Dulu, di antara perguruan kami, tingkat kepandaianku yang paling tinggi! Sampai kemudian guru kami menurunkan dua pusaka berikut ilmunya kepada Resi Limut Manik hingga aku terpaksa kalah olehnya. Resi Limut Manik dapat mengalahkan aku berkat dua ilmu yang dirahasiakan guru kami dan kemudian diturunkan kepada Resi Limut Manik. Kalau tidak oleh kedua ilmu itu, tidak ada yang mampu menandingiku!"
"Dua pusaka dan ilmunya itu, apa saja, eyang?"
"Ada dua buah pusaka yang oleh Bapa Guru diberikan kepada Resi Limut Manik berikut ilmunya. Yang pertama adalah Pedang Kartika Sakti berikut ilmu pedangnya, yang kedua adalah Pecut Bajrakirana berikut ilmu pecutnya. Ilmu-ilmu dan pusakanya itu merupakan pusaka dan ilmu rahasia, maka tentu Resi Limut Manik tidak akan memberikan kepada para muridnya sehingga gurumu tentu juga tidak memiliki pusaka dan menguasai ilmunya. Akan tetapi tentang ilmu pedang Kartiko Sakti, engkau tidak perlu khawatir karena aku telah merangkai ilmu Margapati yang mampu mengalahkan ilmu pedang Kartika Sakti. Yang kukhawatirkan hanya Pecut Sakti Bajrakirana itu! Pecut itu hebat sekali, demikian pula ilmu pecutnya dan agaknya akan sukar sekali dapat mengalahkan ilmu itu. Karena itu engkau harus menyelidiki di mana adanya dua pusaka berikut ilmu-ilmunya yang tertulis dalam kitab. Kalau engkau mampu menguasai kedua ilmu itu, bukan saja semua murid Jatikusumo tidak mampu menandingimu, bahkan seluruh pendekar di nusantara tidak ada yang akan mampu mengalahkanmu!"
Priyadi teringat akan cerita Maheso Seto dan Rahmini tentang kedua macam pusaka dan ilmu-ilmunya itu. Setelah Sang Resi Limut Manik meninggal dunia dua macam pusaka dan ilmunya itu telah terjatuh ke tangan dua orang cucu muridnya, yaitu Puteri Wandansari dan seorang pemuda bernama Sutejo! Pedang berikut ilmu pedang Kartika Sakti sudah dikuasai oleh Puteri Wandansari, adik seperguruannya sendiri, sedangkan Pecut Sakti Bajrakirana berikut kitabnya telah dikuasai Sutejo!
Tetapi hal ini tidak diceritakannya kepada Resi Ekomolo dan disimpannya sendiri sebagai rahasia hatinya. Jika disampaikan sekarang maka hal itu pasti akan meresahkan sang resi dan jangan-jangan akan mengubah niatnya untuk mewariskan ilmu-ilmunya kepadanya. Karena itu dia pun menyembah dan menjawab.
"Baik, eyang. Semua pesan eyang akan saya perhatikan dan saya junjung tinggi. Setelah menerima ilmu-ilmu dari eyang, saya akan berusaha untuk mencari dan mendapatkan dua pusaka dan ilmunya itu."
"Mulai malam nanti datanglah ke sini. Aku akan mulai mengajarkan ilmu-ilmu simpananku kepadamu. Tetapi ada pesanku yang tidak boleh kau langgar. Sebelum aku menyatakan ilmu-ilmumu telah sempurna dan tamat belajar, sekali-kali engkau tak boleh menggunakan ilmu itu untuk bertanding dengan orang lain sehingga ilmu itu akan diketahui orang."
"Baiklah, eyang saya berjanji akan melaksanakan perintah eyang."
Demikianlah, mulai malam hari itu Priyadi digembleng oleh Resi Ekomolo dan karena dia memang sudah menguasai dasar ilmu silat aliran Jatikusumo, sedangkan ilmu-ilmu yang dirangkai oleh kakek itu juga berdasarkan aliran Jatikusumo, maka dia dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan dengan mudah. Pada dasarnya pemuda ini memang mempunyai bakat yang amat baik.
Priyadi menerima ilmu-ilmu yang langka, seperti ilmu keringanan dan kecepatan tubuh Tunggang Maruto yang membuat dia dapat bergerak seperti angin cepatnya, Aji Pukulan Margopati yang hebat bukan kepalang karena angin pukulannya saja sudah cukup untuk membunuh lawan. Selain itu, yang membuat Priyadi menjadi sangat girang adalah ketika kakek itu mengajarkan dia Aji Pengasihan Mimi Muntuno dan Aji Penyirepan Begonondo! Juga dia diberi Aji Jerit Nogo, yaitu semacam ilmu pekik yang dapat membuat semangat lawan runtuh dan juga membuat semua serangan sihir menjadi punah.
Setiap malam Priyadi mendatangi goa itu dan berlatih dengan tekun, juga di waktu siang, apa bila terdapat kesempatan menyendiri di kamarnya, dia berlatih dengan rajin sekali.....
********************
Komentar
Posting Komentar