PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-18


"Murid-muridku, sekarang kukira sudah tiba saatnya bagi kita untuk membicarakan soal perguruan kita Jatikusumo. Aku sudah mulai tua dan lemah, tidak bersemangat lagi untuk bekerja keras, padahal untuk memajukan perguruan, kita membutuhkan semangat muda yang bernyala-nyala. Akan tetapi sebelum kedudukan ketua aku serahkan kepada kalian murid-muridku, terutama sekali tentu saja kepada Maheso Seto sebagai murid kepala yang pertama, aku hendak membicarakan mengenai pusaka-pusaka Jatikusumo yang kini sudah terlepas dari tangan mendiang eyang guru kalian Resi Limut Manik. Kalian sudah yakinkah, Maheso Seto, Rahmini dan Cangak Awu, bahwa pusaka Pedang Kartika Sakti dan kitab pelajaran ilmu pedang Kartika Sakti berada di tangan Puteri Wandansari, dan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana berada di tangan murid mendiang Adi Bhagawan Sidik Paningal yang bernama Sutejo?"

"Kami bertiga mendengar sendiri pengakuan mereka berdua, Bapa Guru. Pedang berikut kitab Kartika Sakti berada di tangan diajeng Wandansari dan kitab Bajrakirana berada di tangan Sutejo murid mendiang Paman Bhagawan Sidik Paningal itu. Sedangkan Pecut Sakti Bajrakirana menurut keterangan mereka berdua berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara."

"Hemm, aku masih merasa heran dan aneh sekali mendengar betapa Adi Bhagawan Jaladara mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik," kata Bhagawan Sindusakti sambil mengelus jenggotnya yang putih. "Tapi kedua pusaka dan kitabnya itu seharusnya berada di sini, karena dua benda berharga itu merupakan pusaka perguruan Jatikusumo. Karena itu kalian berempat memiliki kewajiban untuk mendapatkan kembali benda-benda itu agar perguruan Jatikusumo tidak kehilangan pusakanya. Kurasa tidaklah sukar untuk memperoleh kembali Pedang Kartika Sakti dan kitabnya, sebab kedua benda itu kini berada di tangan Puteri Wandansari, adik seperguruan kalian sendiri. Kalian dapat membujuknya agar mengembalikannya ke sini. Ada pun tentang Pecut Bajrakirana, kalian temuilah paman kalian Bhagawan Jaladara dan katakan bahwa aku yang minta agar dia menyerahkan pecut pusaka itu kepada perguruan kita, sedangkan kitab pelajaran Pecut Bajrakirana dapat kalian minta dari tangan Sutejo. Kalau dia tidak mau menyerahkannya, kalian boleh menggunakan kekerasan, karena sebagai murid aliran Jatikusumo berarti dia telah menentang perguruan sendiri."

"Ketika itu saya dan diajeng Rahmini juga sudah ingin merampas kedua kitab dan pedang Kartika Sakti dari tangan Sutejo dan diajeng Wandansari dengan kekerasan, akan tetapi Adi Cangak Awu mencegah dan mengatakan bahwa tidak baik ribut-ribut dengan saudara seperguruan sendiri dan menyarankan agar kami melapor kepada Bapa Guru."

"Hemm, pendapat Cangak Awu itu memang benar. Akan tetapi, kalau mereka tidak mau menyerahkan pusaka dan kitab yang sudah menjadi hak perguruan Jatikusumo itu, maka terpaksa kita harus menggunakan kekerasan! Nah, sekarang selagi kita berkumpul, kalau sekiranya ada sesuatu yang hendak kalian tanyakan, maka katakanlah."

"Saya ingin bertanya, Bapa Guru. Untuk membujuk diajeng Wandansari mengembalikan pedang beserta kitabnya, tentu saja merupakan hal yang mudah dilakukan. Apa lagi kalau kami katakan bahwa Bapa Guru yang memerintahkan, tentu ia akan menurut kemudian menyerahkan pusaka itu. Untuk mengambil kembali kitab Bajrakirana dari tangan Sutejo juga bukan hal yang sukar karena kalau pemuda itu tidak mau menyerahkan, dan kami menggunakan kekerasan, tentu dia tidak dapat menolak lagi dan takkan mampu melawan kami. Tetapi bagaimana kalau Paman Bhagawan Jaladara menolak untuk memberikan pecut Bajrakirana kepada kami? Kami tidak berani melawannya dan tentu akan kalah," kata Maheso Seto.

Kata-kata bantahan sudah berada pada ujung lidah Priyadi. Hampir saja dia mengatakan bahwa dia sanggup untuk menandingi dan menang melawan paman guru mereka, Bhagawan Jaladara. Akan tetapi segera dia teringat akan pesan Resi Ekomolo, maka dia menahan diri dan diam saja sambil menundukkan mukanya.

"Hm, jika pamanmu Bhagawan Jaladara menolak untuk menyerahkan pecut Bajrakirana, biar aku sendiri yang akan menghadapinya," kata Bhagawan Sindusakti. "Akan tetapi aku benar-benar tidak mengerti dan masih merasa heran sekali mendengar bahwa mendiang Bapa Guru Limut Manik menyerahkan kitab-kitab pelajaran pecut Bajrakirana dan pedang Kartika Sakti kepada Sutejo dan Wandansari. Padahal Bapa Guru pernah bercerita bahwa kedua ilmu simpanan dari aliran Jatikusumo itu tidak akan diturunkan kepada siapa pun juga karena kedua ilmu itulah yang sanggup menundukkan iblis itu."

Priyadi terkejut dan teringat akan gurunya yang masih menjadi rahasia.

"Bapa Guru, siapa yang Bapa Guru maksudkan dengan iblis yang hanya bisa ditundukkan oleh kedua ilmu pusaka itu?" tanyanya.

Bhagawan Sindusakti tampak terkejut, dan dia merasa bahwa dia telah kelepasan bicara. "Ahh, tidak... dia adalah seorang jahat yang sakti mandraguna, tetapi sudah ditundukkan oleh mendiang eyang guru kalian," jawabnya mengelak.

Akan tetapi Priyadi tidak merasa puas. Dia yakin bahwa apa yang disinggung gurunya itu adalah mengenai diri Resi Ekomolo, maka dia pun mengejar dengan hati-hati agar jangan membocorkan rahasianya.

"Bapa guru, saya telah mengenal semua saudara seperguruan Bapa guru, yaitu mendiang Paman Bhagawan Sidik Paningal dan Paman Bhagawan Jaladara. Akan tetapi saya tidak kenal siapa saudara seperguruan mendiang Eyang Resi Limut Manik. Jatikusumo adalah sebuah perguruan besar, kiranya tidak mungkin kalau yang mewarisi hanya mendiang Eyang Guru seorang. Saya kira perlu sekali bagi saya untuk mengenal siapa adanya para paman eyang guru agar kelak kalau bertemu dengan murid-murid dan keturunan mereka tidak akan menjadi asing, Bapa Guru."

Bhagawan Sindusakti menghela napas panjang dan sampai beberapa lamanya tak dapat menjawab. "Apa yang dikatakan Kakang Priyadi itu ada benarnya, Bapa Guru. Saya sendiri juga ingin sekali mengetahui siapa adanya para paman eyang guru saya," kata Cangak Awu, raksasa muda itu.

"Kami berdua juga ingin sekali mendengar riwayatnya, Bapa Guru,' kata Muhesa Seto dan isterinya, Rahmini mengangguk menyetujui.

Beberapa kali Bhagawan Sindusakti menghela napas panjang. "Hemm, agaknya riwayat itu memang sudah semestinya kalian ketahui agar dapat kalian jadikan contoh. Baiklah, akan kuceritakan semuanya mengapa kedua pusaka itu tidak diajarkan kepada para murid, dan mengapa pula Pecut Sakti Bajrakirana menjadi pusaka lambang kebesaran Jatikusumo."

Kembali Bhagawan Sindusakti berhenti sampai lama dan beberapa kali menghela napas panjang. Sementara itu keempat orang muridnya menunggu dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

Dengan suaranya yang lembut dia lalu bercerita. Beginilah ceritanya.....

Resi Jatikusumo pendiri dari perguruan Jatikusumo, mempunyai dua orang murid kepala, yaitu Resi Limut Manik dan Resi Ekomolo. Sungguh pun Resi Ekomolo merupakan murid tertua dan memiliki ilmu kepandaian tertinggi, namun Maha Resi Jatikusumo tidak begitu menyukainya karena wataknya yang keras dan juga akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dia seorang yang masih menjadi hamba nafsu-nafsunya sendiri.

Karena itu diam-diam Resi Jatikusumo memberikan dua macam pusaka berikut ilmunya kepada Resi Limut Manik. Dua buah pusaka itu pertama adalah Pecut Bajrakirana berikut ilmunya dan Pedang Kartika Sakti berikut ilmunya. Bahkan Pecut Sakti Bajrakirana dijadikan lambang kebesaran perguruan Jatikusumo dan Resi Jatikusumo mengumumkan kepada semua muridnya bahwa barang siapa memegang dan memiliki pecut itu, maka berarti dia memiliki kekuasaan penuh di Jatikusumo dan harus ditaati semua murid lain!

Sebagai pemilik dari Pecut Sakti Bajrakirana dan Pedang Kartika Sakti, Sang Resi Limut Manik kemudian menjadi ketua perguruan Jatikusumo setelah Resi Jatikusumo meninggal dunia. Resi Ekomolo yang menjadi murid tertua, tentu saja merasa tidak senang, iri hati dan marah sekali, akan tetapi dia tidak dapat menentangnya karena hal itu sudah menjadi peraturan yang dipesankan oleh guru mereka.

Tetapi Resi Ekomolo semakin menjadi liar setelah gurunya meninggal dunia. Dia semakin dalam terperosok ke dalam cengkeraman nafsu-nafsunya sehingga dia melakukan segala macam perbuatan sesat. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak ada yang dapat menghalangi perbuatannya. Merampas harta benda orang, merampas isteri atau pun anak gadis orang, bahkan memperkosa wanita menjadi kebiasaannya hingga namanya tersohor sebagai seorang penjahat yang sangat kejam, mudah saja membunuhi orang yang tidak berdosa.

Dengan segala kesabarannya Resi Limut Manik sebagai ketua Jatikusumo berusaha untuk memberi nasihat dan peringatan kepada kakak seperguruannya yang menyeleweng itu. tapi semua nasihatnya tidak diturut, bahkan perbuatan jahat Resi Ekomolo semakin nekat dan liar. Akhirnya, ketika Resi Ekomolo memperkosa beberapa orang murid wanita Jatikusumo dan membunuh beberapa orang murid laki-laki, kesabaran Resi Limut Manik sudah di batas kemampuannya.

Resi Ekomolo membunuh siapa pun yang menjadi penghalang baginya, maka Resi Limut pun tahu bahwa kalau hal itu dibiarkannya saja, maka akan semakin banyak jatuh korban yang tidak berdosa.

Yang paling akhir dari kejahatan Resi Ekomolo dan yang membuat Resi Limut Manik tidak dapat bersabar lagi adalah ketika Resi Ekomolo berusaha menggagahi isteri Resi Limut Manik namun gagal karena wanita itu lebih dahulu membunuh diri dengan sebatang keris. Wanita itu memilih mati dari pada tubuhnya dijamah oleh Resi Ekomolo.

"Wah, jahat sekali...! seru Rahmini ketika mendengar penuturan gurunya itu.

"Sungguh kejam!" kata pula Cangak Awu.

Maheso Seto diam saja dan Priyadi yang mendengarkan ini membayangkan keadaan Resi Ekomolo sekarang, yang sudah menjadi gurunya.

"Memang jahat dan kejam sekali Resi Ekomolo seolah telah berubah menjadi iblis karena merasa tidak ada yang berani menghalangi perbuatannya. Bapa Guru Resi Limut Manik yang kematian isterinya itu lalu bertindak, menegur kakak seperguruannya itu, akan tetapi Uwa Resi Ekomolo malah menantangnya. Terjadilah perkelahian yang dahsyat. Keduanya sama sakti mandraguna, bahkan Bapa Guru Resi Limut Manik hampir saja kalah karena saktinya Uwa Resi Ekomolo. Mereka bertanding sampai setengah hari dan akhirnya Bapa Guru terdesak. Karena dirinya terancam bahaya maut, Bapa Guru lalu mengeluarkan Aji Bajrakirana, mempergunakan pecut sakti itu. Dengan aji kesaktian yang sangat hebat ini barulah Uwa Resi Ekomolo dapat dikalahkan, kedua kakinya terkena lecutan pecut sakti dan menjadi lumpuh. Bapa Guru Resi Limut Manik masih tidak tega untuk membunuhnya, hanya menyingkirkannya dari dunia ramai supaya dia tidak membuat ulah yang jahat lagi karena meski pun kedua kakinya sudah lumpuh, namun dia tetap saja memiliki kesaktian yang tidak sembarang orang mampu menandinginya. Nah, demikianlah ceritanya. Karena itu, maka untuk berjaga-jaga, Bapa Guru Limut Manik tidak menurunkan kedua ilmu yang merupakan pusaka itu kepada para muridnya. Bahkan aku sendiri tidak diajari kedua ilmu itu."

Sesudah Bhagawan Sindusakti selesai bercerita, suasana menjadi hening sekali. Empat orang murid itu terkesan sekali dengan cerita itu. Tidak disangkanya bahwa di perguruan Jatikusumo ada riwayat yang demikian mencemarkan nama besar perguruan mereka.

"Dan sekarang di mana adanya Uwa Eyang Guru yang bernama Resi Ekomolo itu, Bapa Guru?" tanya Priyadi dengan suara yang wajar.

Sampai lama Bhagawan Sindusakti tidak menjawab, melainkan menghela napas panjang. Akhirnya dia berkata dengan suara datar. "Tak ada yang tahu di mana dia berada, apakah sudah meninggal dunia ataukah masih hidup. Sudahlah, kita tidak perlu memikirkan dia yang sudah menerima hukumannya dan mudah-mudahan cerita ini dapat menjadi contoh bagi kalian supaya jangan sampai melakukan tindakan yang menyimpang dari kebenaran dan kebaikan."

Diam-diam Priyadi mencatat bahwa orang lumpuh yang sekarang menjadi gurunya adalah seorang yang amat jahat, licik dan juga kejam. Dia harus berhati-hati menghadapi orang seperti itu, walau pun orang itu telah menjadi gurunya dan kini sedang menurunkan ilmu-ilmu simpanannya kepadanya.

Pada saat itu terdengar suara orang bicara di depan pondok kemudian muncullah seorang murid Jatikusumo melapor kepada Bhagawan Sindusakti.

"Paman Guru Bhagawan Jaladara datang berkunjung!"

Mendengar laporan ini, Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk dan berkata,

"Kebetulan sekali dia, datang! Silakan masuk!"

Murid Jatikusumo itu lalu keluar dan tidak lama kemudian Bhagawan Jaladara muncul. Melihat betapa dia disambut pandang mata yang tajam menyelidik dan alis berkerut dari kakak seperguruan dan para murid keponakannya, Bhagawan Jaladara hanya tersenyum lebar. Mukanya yang hitam itu tidak membayangkan sesuatu dan tubuhnya yang tinggi besar melangkah dengan tegapnya ke dalam ruangan itu.

"Kakang Sindusakti, aku mengucapkan salam!" kata Bhagawan Jaladara dengan suara lantang dan ramah.

"Terima kasih, Adi Jaladara. Kebetulan sekali engkau datang. Tadi kami memang sedang membicarakan tentang engkau dan perbuatanmu yang membuat aku sungguh merasa heran dan tidak mengerti."

"Ehh? Manakah perbuatanku yang membuat engkau merasa heran dan tidak mengerti, Kakang Sindusakti?" Bhagawan Jaladara bertanya dengan mata terbelalak dan pandang mata penuh pertanyaan.

"Mengapa engkau begitu tega hati mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik?" tanya Bhagawan Sindusakti dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Bhagawan Jaladara terlonjak dari tempat duduknya. "Hei! Siapa yang mengatakan hal itu?" teriaknya penasaran.

"Tiga orang muridku ini yang menceritakan kepadaku, yaitu Maheso Seto, Rahmini dan Cangak Awu."

Bhagawan Jaladara memandang kepada mereka bertiga dan berseru kepada Maheso Seto.

"Maheso Seto, selama ini aku mengenal engkau sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Kenapa sekarang engkau menceritakan kebohongan di depan gurumu? Apakah engkau menyaksikan sendiri aku membunuh Bapa Guru Limut Manik?"

"Sesungguhnya kami bertiga tidak melihatnya sendiri, Paman Bhagawan Jaladara. Kami hanya mendengar keterangan dari Sutejo dan diajeng Puteri Wandansari bahwa paman bersama tiga orang lain telah mengeroyok Eyang Resi sehingga Eyang Resi terluka dan meninggal dunia."

"Itu fitnah besar! Kakang Sindusakti, sekarang aku mengerti bahwa para muridmu hanya mendengar fitnah itu dari Sutejo dan Wandansari. Hal ini tidak aneh karena sebenarnya yang membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik, bukan lain adalah Sutejo dan Wandansari sendiri!"

Ucapan ini tentu saja membuat Bhagawan Sindusakti dan empat orang muridnya menjadi terkejut bukan kepalang. Kalau mendengar Sutejo yang membunuh, hal itu tidaklah amat mengherankan karena pemuda itu bukan langsung murid Jatikusumo. Akan tetapi Puteri Wandansari? Membunuh eyang gurunya sendiri?

"Adi Jaladara! Bagaimana kau bisa menuduh Wandansari yang melakukan pembunuhan terhadap Bapa Guru? Apa buktinya? Jangan sembarangan menuduh tanpa bukti!" kata Bhagawan Sindusakti yang tentu saja membela muridnya.

"Tenanglah, kakang Sindusakti. Aku bukan hanya sembarangan menuduh tanpa alasan yang kuat. Dengarkan ceritaku. Engkau tentu sudah mendengar betapa Mataram bersikap sewenang-wenang terhadap para adipati dan bupati di daerah timur, di antaranya adalah Wirosobo. Oleh sebab itu Wirosobo berusaha untuk membebaskan diri dari cengkeraman Mataram. Sebagai kawula Wirosobo tentu saja aku membela Wirosobo. Aku menghadap Bapa Guru dan engkau pun tahu bahwa Bapa Guru Resi Limut Manik berasal dari daerah Wirosobo, maka dia menjadi kawula Wirosobo pula. Sudah sepantasnya kalau Bapa Guru juga membela dan berpihak kepada Wirosobo. Beliau menyatakan ini kepadaku, bahkan Bapa Guru menyerahkan Pecut Sakti Bajrakirana untuk disampaikan kepada Kakang Sindusakti sebagai ketua Jatikusumo agar digunakan untuk berjuang membela Wirosobo dari penjajah Mataram!" Kata-kata Jaladara ini diucapkan penuh semangat.

"Akan tetapi mana pusaka itu? Kenapa engkau tidak juga menyerahkannya kepadaku?" tuntut Bhagawan Sindusakti.

"Aku memang tak berani membawanya, Kakang Sindusakti. Aku takut kalau-kalau Sutejo dan Wandansari akan menghadangku dan merampas Pecut Bajrakirana itu. Aku masih menyimpannya di rumahku, akan tetapi sudah pasti akan kuserahkan padamu. Sekarang kulanjutkan ceritaku. Pada saat untuk kedua kalinya aku datang berkunjung ke padepokan Bapa Guru, aku melihat kedua cantrik Penggik dan Pungguk sudah menggeletak tewas di depan pondok, dan Bapa Guru juga sudah tewas di dalam pondok. Dan di situ terdapat Sutejo dan Wandansari! Tidak salah lagi, kedua orang pengkhianat itulah yang sudah membunuh eyang guru mereka sendiri!"

"Akan tetapi apa sebabnya? Apa alasannya untuk memperkuat tuduhanmu itu?"

"Alasannya mudah dan wajar saja, Kakang Sindusakti. Tentu saja Wandansari membela kerajaan ayahnya dan agaknya Sutejo juga membela Mataram. Keduanya membela Mataram, maka mereka tentu saja memusuhi Bapa Guru yang membela Wirosobo! Itulah sebabnya mengapa mereka membunuh Bapa Guru."

Bhagawan Sindusakti menggeleng-geleng kepala sambil mengerutkan alis, hatinya masih bimbang ragu. Alasan itu belum kuat. Bagaimana pun juga, Mataram belum berperang secara terbuka melawan Wirosobo, mengapa mereka harus membunuh Bapa Guru yang berpihak kepada Wirosobo?"

"Maaf, Bapa Guru. Saya kira saya menemukan alasan yang sangat kuat untuk itu," kata Priyadi tiba-tiba kepada gurunya. Semua orang memandang kepada pemuda ini.

"Alasan apa itu, Priyadi?"

"Bapa Guru, kalau benar Sutejo dan diajeng Wandansari yang membunuh Eyang Resi Limut Manik, tentu alasannya untuk merampas dua pusaka Jatikusumo itu. Bukankah buktinya Pedang Pusaka Kartika Sakti berikut kitabnya sudah berada di tangan diajeng Wandansari, sedangkan kitab Pecut Bajrakirana berada di tangan Sutejo?"

"Tepat sekali perkiraan itu dan aku yakin memang itu juga merupakan alasan yang amat kuat selain sikap permusuhan mereka terhadap Bapa Guru karena Bapa Guru berpihak kepada Wirosobo. Kakang Sindusakti, kita harus merampas kedua kitab pusaka dan Pedang Kartika Sakti itu! Ada pun Pecut Sakti Bajrakirana yang telah berada di tanganku akan kuserahkan kepadamu dengan pengawalan ketat agar tidak ada yang merampasnya di tengah perjalanan. Akan tetapi karena aku mengemban perintah mendiang Bapa Guru bahwa Pecut Sakti Bajrakirana itu harus dipergunakan untuk membela Wirosobo maka aku minta keyakinan dari Kakang Sindusakti bahwa kakang akan bersedia membantu Wirosobo dan menentang Mataram."

Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk. Mendengar alasan yang dikemukakan Priyadi itu, dia pun mulai percaya bahwa Sutejo dan Wandansari yang telah membunuh Resi Limut Manik untuk menguasai dua kitab pusaka itu.

"Baiklah, Adi Jaladara. Aku berjanji akan membantu Wirosobo karena mendiang Bapa Guru telah memerintahkan demikian. Cepat bawa ke sini Pecut Sakti Bajrakirana dan aku akan mengerahkan para muridku untuk merampas kembali pusaka Kartika Sakti dan dua kitab pelajaran itu dari tangan para pengkhianat itu."

Setelah menerima jamuan makan dari kakak seperguruannya, Bhagawan Jaladara segera berpamit kemudian meninggalkan perkampungan Jatikusumo di pantai Laut Kidul daerah Pacitan itu.

Bhagawan Sindusakti sudah termakan hasutan Bhagawan Jaladara. Dia mulai percaya akan dugaan Priyadi tadi bahwa yang membunuh Resi Limut Manik adalah Sutejo dan Wandansari, karena agaknya tidak mungkin kalau gurunya itu mewariskan dua pusaka itu kepada cucu muridnya. Kalau dua aji yang dirahasiakan itu hendak diwariskan, tentu akan diwariskan kepadanya, bukan kepada Sutejo atau Wandansari. Dia lalu berunding lagi dengan empat orang muridnya.

"Sekarang kalian harus berbagi tugas. Maheso Seto dan Rahmini, kalian kuserahi tugas untuk mengunjungi Puteri Wandansari dan bujuklah dia dengan halus, katakan bahwa aku yang minta supaya dia suka menyerahkan Pedang Kartika Sakti dan kitab pelajarannya. Ingatkan dia bahwa dia adalah murid Jatikusumo dan bahwa pusaka itu milik perguruan Jatikusumo, maka harus dikembalikan kepadaku. Dan kalian berdua, Priyadi dan Cangak Awu, kalian kuserahi tugas untuk mencari Sutejo. Kalau dapat, kalian juga bujuk dia agar menyerahkan kitab pelajaran ilmu Pecut Bajrakirana kepadaku. Kalau menolak, kalian boleh mempergunakan kekerasan untuk menundukkan dia dan merampas kitab itu."

Empat orang murid itu menyatakan kesanggupan mereka, kemudian sesudah berkemas membawa bekal perjalanan yang mungkin memakan waktu lama dan jauh itu, mereka lalu pergi meninggalkan perkampungan Jatikusumo.

Maheso Seto dan Rahmini mengambil jalan mereka sendiri karena tujuan mereka sudah pasti, yaitu kerajaan Mataram mengunjungi Puteri Wandansari yang tentu berada di istana Sultan Agung di Mataram.

Priyadi dan Cangak Awu tidak mempunyai tujuan tertentu karena mereka tidak tahu di mana adanya Sutejo. Mereka harus mencarinya.

"Adi Cangak Awu," kata Priyadi setelah mereka keluar dari perkampungan Jatikusumo. "Karena dia berpihak kepada Mataram, maka aku yakin bahwa Sutejo tentu berada di daerah Mataram. Kita mencari dia ke sana, Akan tetapi karena Mataram itu luas, maka kurasa paling baik kalau kita berpencar. Dengan berpencar kita mendapat lebih banyak kemungkinan bertemu dengan Sutejo. Kurasa murid Paman Bhagawan Sidik Paningal itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat untuk kita, Adi Cangak Awu. Kalau engkau atau aku bertemu dengan dia, kita minta baik-baik kitab Bajrakirana itu. Apa bila dia tidak mau memberikan, jangan takut, serang saja dan rampas kitabnya dari tangannya."

Cangak Awu tidak sependapat dengan kakak seperguruannya. Ia tak berani memandang ringan kepada Sutejo. Akan tetapi karena tidak ingin dianggap takut oleh Priyadi, dia pun setuju saja.

Demikianlah, keduanya berpisah. Sama sekali Cangak Awu tidak pernah menduga bahwa Priyadi sama sekali tidak pergi ke Mataram, melainkan diam-diam dia menuju ke balik bukit di belakang perkampungan Jatikusumo, menemui Resi Ekomolo.

Karena Priyadi tahu bahwa Bhagawan Sindusakti tentu mengira dia sedang melakukan perjalanan mencari Sutejo, maka kini dia dapat siang malam berada di goa bersama Resi Ekomolo, berlatih dengan tekun dan rajin. Dia memiliki cita-cita besar, tidak saja menjadi ketua Jatikusumo, akan tetapi kalau ilmu-ilmunya sudah sempurna, dia akan merampas dua buah pusaka Jatikusumo bersama kitab-kitabnya. Dua pusaka berikut ajinya itu yang ditakuti Resi Ekomolo, maka dia harus menguasai kedua pusaka itu agar benar-benar menjadi jagoan nomor satu di seluruh nusantara.

"Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali, Priyadi! Puas sekali hatiku sekarang. Engkaulah yang akan mengangkat kembali nama besar Resi Ekomolo!" Kakek lumpuh itu duduk di atas batu dan bertepuk tangan saking gembiranya sesudah Priyadi selesai bersilat seperti yang diajarkan selama beberapa bulan ini. Gerakan Priyadi memang tangkas bukan main karena dia sudah menguasai sepenuhnya Aji Tunggang Maruto.

"Coba kerahkan Aji Margopati pada pohon itu, Priyadi. Aku ingin melihat kekuatanmu." kata kakek yang kegirangan itu.

Priyadi lalu melakukan gerakan menyembah ke angkasa, kemudian kedua tangan yang menyembah itu turun dan dari samping kedua tangan terbuka itu mendorong ke depan, mulutnya mengeluarkan teriakan melengking.

"Hyaaaaehhhhh...!

“Braaakkkk!" Pohon itu tumbang disambar Aji Margopati yang amat dahsyat itu. Kembali Resi Ekomolo bertepuk tangan memuji.

"Bagus! Berlatih tekun sedikit lagi engkau sudah akan mampu mengimbangi kekuatanku, Priyadi. Aku yakin bahwa Aji Pengasihan Mimi Mintuno dan Aji Pengirepan Begonondo juga sudah kau kuasai dengan baik. Sekarang aku ingin menguji Aji Jerit Nogo yang kau kuasai. apakah sudah cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir yang kuat. Nah, sekarang bersiaplah!"

Priyadi mempersiapkan diri, berkemak-kemik membaca mantra dan memandang kepada gurunya dengan sinar mata mencorong. Kakek itu mengembangkan kedua lengannya, lalu dengan kedua telapak tangan menghadap Priyadi dia membentak,

"Priyadi, lihat, aku adalah Sang Bathara Kolo, berlututlah engkau!"

Priyadi terbelalak karena tiba-tiba saja di atas batu itu bukan gurunya yang duduk dengan kaki lumpuh, melainkan seorang raksasa yang besar sekali sedang berdiri dan bersikap hendak menyerangnya. Ketika terdengar suara "berlututlah" tadi, tiba-tiba saja kedua lututnya menjadi lemas seperti tidak bertulang dan dengan sendirinya kedua lutut itu tertekuk untuk berlutut. Pada saat itulah dia teringat akan Aji Jerit Nogo yang dikuasainya dan yang tadi manteranya sudah dia baca. Maka dia lalu mengerahkan tenaga saktinya dan tiba-tiba dia mengeluarkan pekik yang menyeramkan.

"Aaaaiiiiiigggghhhh...!"

Pekik itu menggetarkan seluruh bukit dan tiba-tiba "raksasa" di depannya telah berubah lagi menjadi Resi Ekomolo dan kedua kakinya yang tadinya lemas itu telah pulih kembali. Hal ini berarti bahwa ajinya Jerit Nogo telah berhasil memunahkan sihir yang dikerahkan Resi Ekomolo tadi.

"Ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali! Engkau sudah dapat menolak dan memunahkan sihirku, berarti Aji Jerit Nogo yang kau kuasai sudah cukup sempurna. Nah, sekarang tiba saatnya untuk engkau menguasai perguruan Jatikusumo. Hayo, Priyadi, hayo kita berangkat ke perkampungan Jatikusumo. Dengan bantuanmu, aku akan merampas kedudukan ketua dan kelak engkau yang akan menjadi penggantiku."

"Tapi, eyang..." Priyadi hendak menyatakan keberatan hatinya karena kehendak gurunya itu tidak sesuai dengan rencananya.

Dia memang bermaksud menjadi ketua Jatikusumo, namun hal itu baru akan dilakukan setelah Pecut Sakti Bajrakirana berada di tangannya, berikut Pedang Kartika Sakti. Untuk mendapatkan dua pusaka itu, biarlah saudara-saudara seperguruannya yang berusaha mendapatkannya. Sesudah semua pusaka berada di perguruan Jatikusumo, barulah dia akan merebut kedudukan ketua. Sementara itu dia mematangkan dan menyempurnakan dulu ilmu-ilmu yang baru dipelajarinya dari Resi Ekomolo.

Selain itu, dari penuturan Bhagawan Sindusakti dia dapat mengambil kesimpulan bahwa Resi Ekomolo adalah seorang yang sangat jahat, licik dan kejam. Jika kakek itu bersikap baik kepadanya, hal itu karena ada pamrihnya. Apa bila dia sudah tidak dibutuhkan lagi, sangat boleh jadi kakek itu akan mendepaknya atau bahkan membunuhnya.

Sukar ditebak apa yang berada di dalam pikiran yang sudah tidak waras itu. Dan kakek itulah kini satu-satunya orang yang mungkin memiliki kemampuan untuk menandinginya, karena itu patut dilenyapkan agar kelak tidak menjadi penghalang baginya.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)