PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-19


"Baik, marilah, eyang!" Akhirnya Priyadi tidak membantah lagi, bahkan ada kemantapan di dalam suaranya.

Mereka berdua lalu meninggalkan goa itu menuju ke puncak. Sekali ini sungguh pun Resi Ekomolo sudah mengerahkan kekuatannya untuk bergerak cepat dengan cara melompat-lompat seperti seekor katak, Priyadi yang sudah memiliki tenaga sakti yang kuat sekali, menggunakan Aji Tunggang Maruto, mampu mengimbangi kecepatan gerakan kakek itu.

Tak lama kemudian mereka berdua sudah tiba di dekat sumur tua yang disebut neraka oleh Resi Ekomolo, tempat di mana dia dipenjara sampai tiga puluh tahun lebih lamanya!

"Nanti dulu, eyang. Saya ingin menjenguk lagi sumur yang menjadi tempat tinggal eyang selama puluhan tahun itu," kata Priyadi dan dia menghampiri sumur lalu menjenguk ke dalam.

Resi Ekomolo juga tidak dapat menahan keinginannya untuk menjenguk sekali lagi tempat itu. Dengan beberapa lompatan dia sudah tiba di tepi sumur dan menjenguk ke dalamnya. Pada saat itu tiba-tiba Priyadi menggunakan Aji Margapati untuk memukul punggungnya dari belakang!

Bukan main kagetnya Resi Ekomolo. Tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelak karena datangnya pukulan itu demikian mendadak dan tidak terduga-duga. Satu-satunya jalan baginya untuk melindungi dirinya hanyalah dengan menggerakkan kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan dengan Aji Margapati yang dahsyat itu.

"Wuuuuuutttt...! Desss...!"

Hebat sekali pertemuan antara kedua tenaga itu sehingga tubuh Priyadi sampai terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Akan tetapi tubuh kakek itu pun terpental dan tanpa dapat dicegah lagi dia terjatuh ke dalam sumur tua! Terdengar jeritan panjang dari dalam sumur.

Priyadi menarik napas panjang untuk memulihkan getaran dalam dadanya, kemudian dia melompat mendekati sumur. Lapat-lapat dia mendengar suara Resi Ekomolo yang lemah dan lirih, namun mengandung kemarahan dan kebencian yang teramat mendalam.

"Priyadi... jahanam keparat... terkutuk engkau... terkutuk! Kelak matimu lebih mengerikan dari pada matiku...!"

Priyadi tertawa senang. Dia sudah terbebas dari kakek yang sangat berbahaya itu. Sama sekali tidak ada penyesalan di dalam hatinya akan apa yang telah diperbuatnya terhadap kakek itu.

Demikianlah perbuatan manusia bila sudah diperhamba nafsunya sendiri. Segala hal yang dilakukan oleh manusia budak nafsu adalah didasarkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Begitu hebat kekuasaan nafsu yang sudah menguasai diri manusia sehingga nafsu yang mencengkeram hati akal pikiran itu bahkan membuat hati akal pikiran menjadi pembela dari perbuatan yang didorong nafsu. Hati akal pikiran membenarkan semua perbuatan itu dengan segala macam alasannya yang dicari-cari.

Priyadi tidak merasa berdosa, tidak merasa bersalah walau pun dia telah membalas budi Resi Ekomolo dengan pembunuhan. Dalam hati akal pikirannya hanya ada alasan yang membenarkan tindakannya itu.

Dia menganggap kakek itu jahat dan kejam, maka berbahaya sekali bagi dirinya, bahkan menjadi penghalang dari semua cita-citanya, karena itu harus dilenyapkan! Dengan begini dia akan tetap bisa menyimpan rahasia tentang kepandaiannya yang kini telah meningkat sedemikian tingginya sehingga tidak akan ada orang di Jatikusuma yang akan sanggup menandinginya. Dia akan menguasai Jatikusumo berikut pusaka-pusaka dan ajiannya.

Dengan tenang saja bagaikan tidak pernah terjadi sesuatu, Priyadi melenggang menuju ke perkampungan Jatikusumo yang telah ditinggalkannya selama kurang lebih dua bulan itu. Ketika dia memasuki perkampungan dia mendengar dari para murid di situ bahwa kedua kakak seperguruannya, Maheso Seto dan Rahmini, ternyata telah kembali. Demikian pula adik seperguruannya, Cangak Awu sudah tiba kembali. Dengan sikap tenang dan biasa saja dia lalu menghadap Bhagawan Sindusakti dan tiga orang murid yang lain juga sedang menghadap guru mereka itu.

Sesudah menerima sembah dari Priyadi, Bhagawan Sindusakti berkata kepada Priyadi, "Nah, ini Priyadi sudah pulang. Bagaimana hasilmu mencari Sutejo?"

Priyadi menoleh kepada Cangak Awu dan berkata, "Maaf, Bapa Guru. Sesudah berpisah dari Adi Cangak Awu untuk berpencar mencari Sutejo, saya telah melakukan perjalanan jauh mencari-cari, akan tetapi tidak menemukan jejak Sutejo, juga tidak dapat bertemu kembali dengan Adi Cangak Awu. Karena itu saya lalu kembali saja untuk melapor kepada Bapa Guru dan ternyata Adi Cangak Awu telah berada di sini pula."

Cangak Awu berkata kepada Priyadi. "Ah, kakang Priyadi. Kalau saja kita tidak berpencar, tentu kita berdua sudah dapat menundukkan Sutejo dan mungkin sekali sudah berhasil merampas Kitab Bajrakirana yang berada padanya."

"Ahh, benarkah, Adi Cangak Awu? Engkau sudah bertemu dengan dia?" tanya Priyadi.

"Cangak Awu, ceritakanlah kembali pengalamanmu supaya Priyadi mengetahuinya," kata Bhagawan Sindusakti.

Cangak Awu lalu bercerita...

Cangak Awu melakukan perjalanan seorang diri keluar masuk kota dan dusun, naik turun gunung dan keluar masuk hutan. Pemuda perkasa yang bertubuh tinggi besar ini menuju ke daerah Mataram. Di sepanjang perjalanan dia pun bertanya-tanya, mungkin ada orang yang pernah melihat atau mengenal Sutejo yang dicarinya. Namun semua usahanya sia-sia belaka.

Setelah sebulan lebih dia merantau tanpa hasil, pada suatu pagi, karena perutnya terasa lapar, ketika melihat sebuah warung nasi di dalam sebuah dusun yang cukup besar dan ramai, dia pun masuk ke dalam warung nasi itu lalu memesan nasi pecel dan air minum. Warung itu telah penuh tamu yang duduk berjajar di bangku panjang dan mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya.

"Memang hebat sekali pemuda, itu. Dengan satu tangan saja dia mampu menahan kuda yang sedang kabur," kata seorang yang bertubuh kurus.

"Kalau tidak ada dia, tentu putera Ki Demang itu sudah mendapat celaka!" kata yang lain, yang matanya lebar.

"Hebatnya, dia tidak mau menerima hadiah dari Ki Demang!" kata yang lain lagi.

"Ya, padahal jika melihat pakaiannya, dia bukanlah seorang pemuda yang kaya, agaknya seorang pemuda petani biasa saja."

"Akan tetapi yang jelas dia bukan orang dari daerah ini sebab di antara kita tidak ada yang mengenalnya."

"Katanya dia mengaku namanya kepada Ki Demang. Betulkah? Siapa nama pemuda itu?" tanya seseorang yang agaknya tidak menyaksikan sendiri peristiwa itu.

"Namanya Sutejo."

Hampir saja nasi yang tertelan Cangak Awu membuatnya tersedak ketika dia mendengar kalimat terakhir ini. Sutejo? Dia segera menoleh ke arah orang yang menyebutkan nama itu dan bertanya.

"Ki Sanak, di manakah terjadinya peristiwa itu?"

Karena yang bertanya itu adalah seorang pemuda tinggi besar yang asing bagi mereka, orang itu menjawab dengan gembira. Karena dia menyaksikan sendiri peristiwa itu, maka dia merasa bangga untuk bercerita.

"Terjadi baru saja di luar dusun ini. Putera Ki Demang Gedangan yang usianya baru lima tahun, saat menunggang kudanya yang besar, tiba-tiba dilarikan kuda itu yang membedal entah mengapa. Kami semua merasa ngeri dan tidak dapat berbuat sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba seorang pemuda meloncat dari samping, menyambar kendali kuda dan dengan sentakan tangan kirinya yang kuat kuda itu dipaksa berhenti sehingga putera Ki Demang selamat."

"Dan penolong itu bernama Sutejo?"

"Begitulah menurut pengakuannya ketika dia ditanya Ki Demang. Dia tidak mau menerima hadiah apa pun."

"Bagaimana rupa dan perawakannya?" tanya pula Cangak Awu.

"Dia masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun usianya, wajahnya tampan kulitnya kuning dan perawakannya sedang dan tegap," jawab pencerita itu.

Cukuplah sudah bagi Cangak Awu. Dia sudah pernah bertemu dan melihat bagaimana rupa dan perawakan Sutejo dan gambaran itu cocok benar dengan apa yang diceritakan orang itu.

"Ke mana sekarang Sutejo itu pergi?" tanyanya lagi dengan suara sambil lalu seolah tidak ada maksud lain dalam pertanyaannya kecuali tertarik dan ingin tahu.

"Begitu Ki Demang dan orang-orang datang mengerumuninya, orang itu langsung pergi meninggalkan tempat itu menuju ke barat."

Cangak Awu cepat membayar harga nasi dan minuman, kemudian keluar dari warung itu. Dengan langkah lebar dan cepat dia lalu keluar dari dalam dusun dan sesudah berada di luar dusun yang sunyi, dia lalu mengerahkan Aji Harina Legawa dan berlari cepat seperti terbang menuju ke barat untuk mengejar orang bernama Sutejo seperti yang diceritakan orang dalam warung nasi tadi.

Setelah dia tiba di luar sebuah hutan, di atas jalan yang sunyi sepi itu di depan dia melihat seorang pemuda sedang berjalan dengan tenang. Melihat ini hatinya merasa girang bukan main dan dia pun mempercepat larinya sehingga sebentar saja dia sudah dapat menyusul pemuda itu. Dia mendahuluinya, lalu menengok dan segera mengenal Sutejo yang pernah dilihatnya ketika dia dengan dua orang kakak seperguruannya berkunjung ke padepokan eyang gurunya Resi Limut Manik. Dia lalu berhenti dan menghadang.

Tadinya Sutejo merasa heran sekali ada seorang laki-laki muda tinggi besar menghadang di tengah perjalanannya. Akan tetapi segera dia mengenal pemuda tinggi besar itu. Dia mengenal Cangak Awu yang mendatangkan kesan baik di dalam hatinya karena pemuda raksasa itulah yang dulu mencegah Maheso Seto dan Rahmini yang hendak menyerang dia dan Puteri Wandansari.

"Adi Sutejo! Apakah kau masih mengenalku?" tanya Cangak Awu dengan suaranya yang lantang.

Sutejo tersenyum ramah. Dia membungkuk untuk menghormati pemuda tinggi besar itu dan berkata lembut, "Tentu saja aku masih mengenalmu, Kakang Cangak Awu. Sungguh kebetulan sekali kita dapat saling bertemu di sini."

"Bukan kebetulan, Adi Sutejo, tapi aku memang sengaja mengejarmu. Di dusun belakang sana aku mendengar tentang engkau yang telah menyelamatkan putera demang. Untung kau menyebutkan namamu sehingga mereka tahu bahwa yang menolong putera demang adalah seorang pemuda bernama Sutejo. Karena aku memang sedang mencarimu, maka mendengar cerita penduduk dusun itu aku segera mengejar dan menyusulmu."

"Kakang Cangak Awu, Mengapa engkau mencari aku? Ada kepentingan apakah, kakang? Apa yang dapat kubantu untukmu?"

"Adi Sutejo. Engkau seorang yang berwatak satria, hal ini terbukti karena engkau sudah menolong dan menyelamatkan putera demang tanpa mau menerima hadiah. Aku percaya bahwa engkau seorang yang berbudi baik. Oleh karena itu engkau pun tentu akan tunduk kepada perintah para pinisepuh. Aku mencarimu karena diutus oleh Bapa Guru Bhagawan Sindusakti. Sebagai ketua Jatikusumo beliau memerintahkan aku untuk mencarimu."

"Ada maksud apakah Paman Bhagawan Sindusakti mencariku, kakang?"

"Bapa Guru Bhagawan Sindusakti minta agar engkau mau menyerahkan kitab Bajrakirana kepadaku untuk dihaturkan kepadanya."

"Akan tetapi..."

"Adi Sutejo, harap jangan membantah dulu dan dengarkan kata-kataku. Ketahuilah bahwa Pecut Sakti Bajrakirana dan kitab pelajarannya merupakan pusaka perguruan Jatikusumo, maka harus berada di perguruan Jatikusumo sebagai pusaka yang dikeramatkan. Apa lagi Pecut Sakti Bajrakirana juga menjadi lambang kebesaran perguruan Jatikusumo. Karena sekarang yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Bapa Guru Sindusakti, maka sudah sewajarnyalah jika beliau minta agar pusaka itu diserahkan padanya. Engkau yang hanya seorang murid tidak berhak memilikinya. Oleh karena itu, Adi Sutejo, aku minta dengan hormat dan sangat atas pengertianmu dan suka menyerahkan kitab itu dengan suka rela hati kepadaku untuk kusampaikan kepada Bapa Guru."

Melihat sikap dan mendengar ucapan Cangak Awu yang lembut itu, agaknya Sutejo juga tidak ingin memanaskan suasana dan ingin mengajaknya bicara baik-baik.

"Marilah kita duduk di bawah pohon itu dan bicara dengan santai bertukar pikiran, Kakang Cangak Awu."

Cangak Awu mengangguk dan keduanya lalu berjalan menuju ke bawah sebatang pohon waru yang teduh kemudian duduk di atas batu besar. Setelah duduk berhadapan, Sutejo berkata.

"Kakang Cangak Awu, aku gembira sekali bertemu denganmu karena sesungguhnya di antara kita masih ada pertalian saudara seperguruan walau pun tidak secara resmi aku menjadi murid aliran Jatikusumo. Apa yang kau katakan tadi benar sekali. Engkau diutus gurumu dan tentu saja engkau harus menaatinya. Sebagai seorang murid Jatikusumo, walau pun tidak resmi dari perguruan Jatikusumo, memang aku harus menghormati dan taat kepada perintah ketua Jatikusumo, yaitu Paman Bhagawan Sindusakti. Kalau saja aku mendapatkan Kitab Bajrakirana dari tangan orang lain, atau menemukannya, maka tentu akan kuserahkan kepada yang berhak, dalam hal ini adalah Paman Bhagawan Sindusakti. Akan tetapi, kakang, coba pertimbangkan baik-baik. Aku menerima kitab itu dari tangan mendiang Eyang Resi Limut Manik sendiri. Dia sendiri memberikan kitab itu kepadaku, bahkan mengutus aku untuk merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara. Eyang Resi sendiri yang meninggalkan pesan terakhir sebelum kematiannya bahwa pecut dan kitabnya diberikan kepadaku. Oleh karena itu, maka kitab ini adalah milikku dan menjadi hakku. Kalau kuserahkan kepada orang lain, berarti aku mengingkari pesan terakhir Sang Resi Limut Manik."

"Jadi tegasnya kitab Bajrakirana itu tidak akan kau berikan kepadaku, Adi Sutejo?"

Sutejo menggelengkan kepalanya. "Menyesal sekali tidak, kakang. Tidak akan kuberikan kepadamu, kepada Paman Bhagawan Sindusakti atau kepada siapa pun juga."

"Hemmm...!" Cangak Awu bangkit berdiri, tubuhnya yang tinggi besar itu berdiri dengan kaki terpentang, tangan kirinya bertolak pinggang, sikapnya gagah sekali, seperti Raden Werkudoro. Sepasang matanya mencorong ketika dia berkata dengan suara lantang. "Adi Sutejo! Engkau tentu tahu akan beratnya seorang murid melaksanakan perintah gurunya, suatu kewajiban yang kalau perlu dilaksanakan dengan taruhan nyawa! Bapa Guru telah memberi wewenang kepadaku untuk mempergunakan kekerasan apa bila engkau tidak mau menyerahkan kitab Bajrakirana dengan baik-baik. Dan penolakanmu ini memperkuat dugaan kami bahwa engkau sudah bersekutu dengan diajeng Wandansari membunuh Eyang Resi Limut Manik dan mencuri pusaka dan kitab."

Sutejo melompat berdiri, alisnya berkerut mendengar tuduhan berat itu. "Kakang Cangak Awu, apa yang kau tuduhkan ini? Sungguh fitnah keji! Aku dan diajeng Wandansari tidak membunuh Eyang Resi Limut Manik!"

"Membunuh atau tidak, dengan tidak mau menyerahkan kitab Bajrakirana yang menjadi pusaka Jatikusumo, berarti engkau telah menjadi seorang murid yang khianat! Adi Sutejo, tidak perlu banyak cakap lagi. Kau serahkan kepadaku atau tidak kitab itu?"

"Tidak, Kakang Cangak Awu."

"Berani engkau melawan aku?"

"Aku sama sekali tidak bermaksud untuk melawanmu, Kakang Cangak Awu, akan tetapi kalau engkau memaksa, aku harus membela diri."

"Bagus! Sambut seranganku!" Cangak Awu sudah menerjang dan begitu menyerang dia segera menggunakan Aji Gelap Musti karena dia dapat menduga bahwa Sutejo bukanlah lawan yang lemah karena dia telah mempelajari ilmu-ilmu aliran Jatikusumo.

Menghadapi serangan ini, terpaksa Sutejo melakukan perlawanan. Dia cepat mengelak ke kiri. Akan tetapi celakannya itu disambut dengan tendangan kaki Cangak Awu yang besar dan panjang.

"Wuuuuuttt...!"

Kembali Sutejo mengelak. Ketika serangan susulan terus mengejarnya secara bertubi-tubi, dia mengelak sampai lima kali dan ketika kembali Cangak Awu melancarkan pukulan dengan Aji Gelap Musti, dia pun menangkis dengan aji yang sama. Akan tetapi karena dia tidak ingin melukai kakak seperguruannya itu, maka Sutejo hanya mengerahkan sebagian saja dari tenaganya.

"Wuuuutttt...! Desss...!”

Dua pasang telapak tangan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh kedua orang muda itu terdorong ke belakang sampai lima langkah.

Diam-diam Cangak Awu terkejut. Kiranya Sutejo telah memiliki tenaga sakti yang mampu menandinginya! Akan tetapi Sutejo yang tidak ingin berkelahi dengan Cangak Awu sudah cepat melompat jauh ke belakang.

"Selamat tinggal, Kakang Cangak Awu. Aku tidak ingin bertanding denganmu!" katanya sambil berlari meninggalkan tempat itu.

"Nanti dulu, Sutejo! Berikan kepadaku dulu kitab Bajrakirana!" Cangak Awu mengejar.

"Kelak pada suatu hari aku pasti akan menerangkan sendiri kepada Paman Bhagawan Sindusakti!" teriak Sutejo dan dia mempercepat larinya.

Keduanya berkejaran dengan menggunakan Aji Harina Legawa. Akan tetapi Sutejo sudah menghilang ke dalam hutan dan tidak dapat ditemukan Cangak Awu yang terpaksa keluar dari hutan setelah beberapa lamanya dia mencari-cari dalam hutan itu tanpa hasil.

"Demikianlah, Kakang Priyadi, aku tak berhasil menangkapnya. Hutan itu lebat sekali dan dia sudah menghilang. Aku merasa menyesal sekali. Kalau saja engkau ada bersamaku, tentu kita berdua akan dapat menangkapnya." Cangak Awu mengakhiri ceritanya.

"Akan tetapi andai kata aku ada dan kita berhasil menangkapnya, belum tentu juga kitab Bajrakirana berada padanya. Mungkin telah dia sembunyikan," kata Priyadi.

"Biar pun ada kemungkinan demikian, akan tetapi kalau kita sudah menangkapnya, kita dapat mengancam dan memaksanya supaya menunjukkan di mana adanya kitab itu dan menyerahkannya kepada kita," bantah Cangak Awu. Suaranya menunjukkan kekesalan hatinya bahwa karena dia berpencar dari Priyadi maka dia tidak dapat menangkap Sutejo.

"Maafkan aku, Adi Cangak Awu. Siapa tahu sebelumnya bahwa secara kebetulan engkau dapat bertemu dengan Sutejo. Yang aku herankan, bagaimana dia dapat menandingimu?" kata Priyadi.

"Kami hanya bertanding selama beberapa jurus saja dan dia telah keburu melarikan diri ke dalam hutan. Kalau kami bertanding terus, aku yakin aku akan mampu mengalahkannya."

"Sudahlah, hal yang sudah lewat tidak perlu disesalkan lagi. Betapa pun juga Sutejo tidak bisa menghilang begitu saja dan pada suatu waktu kita tentu akan dapat menemukannya dan memaksanya mengembalikan kitab Bajrakirana kepada Jatikusumo," kata Bhagawan Sindusakti. "Sekarang sebaiknya kalau engkau ceritakan lagi pengalamanmu membujuk Puteri Wandansari, Maheso Seto, agar Priyadi juga mengetahuinya."

"Baiklah. Bapa Guru, meski pun menceritakan kembali pengalaman itu sungguh membuat hati kami berdua merasa menyesal bukan main. Adi Priyadi, beginilah pengalaman kami di istana Mataram ketika kami menemui diajeng Wandansari." Maheso Seto lalu bercerita.

Dengan melakukan perjalanan cepat, dalam waktu yang tidak terlalu lama Maheso Seto dan isterinya. Rahmini, dapat tiba di ibu kota Mataram. Mereka segera menuju ke istana kerajaan dan langsung mengunjungi keputren di mana Puteri Wandansari tinggal.

Tentu saja mereka berdua dihentikan oleh para pengawal yang bertugas jaga di luar pintu gerbang taman keputren yang menjadi bagian depan dari keputren.

"Berhenti! Siapakah andika berdua dan ada kepentingan apa maka datang berkunjung ke keputren yang merupakan daerah terlarang bagi orang luar?" bentak kepala jaga sambil melintangkan tombaknya menghalangi suami isteri itu memasuki pintu gapura.

"Kami adalah suami isteri Maheso Seto dan Rahmini. Kami berdua masih terhitung kakak-kakak seperguruan dari Puteri Wandansari dan kedatangan kami adalah untuk berkunjung kepada Puteri Wandansari."

"Hemm, tidak mudah untuk menghadap Sang Puteri tanpa ijin dari istana. Andika berdua pergi saja menghadap para pengawal istana untuk mendapat ijin itu yang akan diberikan oleh Kepala Pengawal dengan restu Sang Prabu."

Rahmini mengerutkan alis. "Kami adalah kakak-kakak seperguruan diajeng Wandansari. Sebaiknya seorang di antara kalian pergi melapor kepada Sang Puteri dan pasti dia akan suka menerima kami. Jika nanti Sang Puteri mendengar bahwa kalian menolak kunjungan kami, kalian tentu akan mendapat marah besar dari Sang Puteri."

Mendengar ucapan Rahmini itu, kepala jaga memandang ragu dan akhirnya dia berpesan kepada anak buahnya untuk berjaga-jaga. "Silakan andika berdua menunggu di sini, aku akan melaporkan kepada Gusti Puteri," katanya kepada Maheso Seto dan Rahmini. Dua orang suami isteri itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

Kepala jaga itu masuk ke dalam taman, lalu di ujung taman dia menuju ke belakang. Tak lama kemudian dia muncul dan bergegas keluar menemui Maheso Seto dan Rahmini.

"Gusti Puteri berkenan menerima andika berdua. Silakan masuk ke dalam taman. Di sana Gusti Puteri telah menunggu." Dia menuding ke arah bangunan bertembok putih.

"Terima kasih," kata Maheso Seto dan bersama Rahmini dia lalu melangkah, memasuki taman yang indah dan luas itu, pergi ke arah bangunan seperti yang ditunjuk oleh kepala jaga.

Dua orang laki-laki yang bekerja sebagai juru taman memandang kepada suami isteri itu dengan heran. Mereka merasa heran mengapa ada seorang pria yang diijinkan masuk, padahal keputren itu merupakan tempat yang terlarang bagi pria dari luar. Akan tetapi karena pria itu datang bersama seorang wanita dan mereka melihat kepala jaga tadi sudah melapor ke dalam, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu dan hanya melanjutkan pekerjaan mereka merawat tanaman bunga-bunga yang memenuhi taman itu.

Setelah tiba di dekat bangunan, mereka berdua melihat Puteri Wandansari sedang duduk seorang diri di bawah bangunan terbuka yang berada di pinggir sebuah kolam ikan yang penuh dengan bunga teratai dan ikan emas. Puteri Wandansari agaknya sedang memberi makan ikan emas, menaburkan makanan itu ke air dan banyak sekali ikan emas berwarna merah, kuning putih dan hitam berebutan makanan membuat air berkecipak.

Sang Puteri segera bangkit berdiri ketika melihat munculnya dua orang itu. Ia menyambut mereka dengan sikap yang tidak terlalu gembira, akan tetapi juga dengan senyum lembut. Agaknya dia belum dapat melupakan betapa ketika berada di pondok Resi Limut Manik, kedua kakak seperguruan ini pernah menyangkanya berbuat yang bukan-bukan dengan Sutejo, dan hendak memaksanya untuk menyerahkan pedang pusaka Kartika Sakti serta kitab pelajarannya.

"Ahh, kiranya Kakang Maheso Seto bersama Mbakayu Rahmini yang datang berkunjung! Bagaimana kabarnya dengan Bapa Guru?" Dia bertanya tentang keadaan gurunya, bukan tentang keadaan mereka berdua. Pertanyaan ini saja sudah menunjukkan bahwa hatinya tidak begitu senang menyambut kunjungan mereka berdua dan tentu saja dapat dirasakan oleh Maheso Seto dan Rahmini.

"Keadaan Bapa Guru baik-baik dan sehat saja, diajeng Wandansari," kata Maheso Seto.

"Bahkan kedatangan kami ini adalah untuk melaksanakan perintah dari Bapak Guru!" kata Rahmini dengan suara agak ketus karena dia pun merasakan sikap Puteri Wandansari yang menyambut mereka dengan tawar itu.

"Hm, begitukah?" kata Puteri Wandansari tanpa mempersilakan mereka duduk. "Apakah perintah Bapa Guru itu ada sangkut pautnya dengan aku?" Suara Puteri Wandansari juga terdengar ketus, mengimbangi suara Rahmini.

Melihat sikap kedua orang wanita itu sudah mendatangkan suasana panas, Maheso Seto lalu berkata dengan suara tenang dan sikap sabar.

"Sebenarnya begini, diajeng Wandansari. Kami berdua hanyalah utusan Bapa Guru untuk menemuimu."

"Menemuiku? Ada urusan apakah Bapa Guru mengutus kalian untuk menemuiku?"

"Tak lain urusan Pedang Pusaka Kartika Sakti, diajeng. Bapa Guru mengutus kami untuk minta kepadamu agar engkau suka menyerahkan pedang pusaka dan kitab pelajarannya itu kepada kami untuk kami serahkan kepada Bapa Guru. Dua benda itu adalah pusaka perguruan Jatikusumo, diajeng. maka yang berhak menyimpan hanya Bapa Guru sebagai ketua perguruan Jatikusumo."

"Dan engkau sebagai murid paling muda harus mematuhi perintah Bapa Guru!" sambung Rahmini.

Mereka berbicara sambil berdiri saja. Sekarang puteri Wandansari menegakkan tubuhnya dan matanya mengeluarkan sinar penuh keberanian. "Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini, sudah kukatakan ketika kita saling bertemu di pondok Eyang Guru Resi Limut Manik dahulu, bahwa pedang berikut kitab Kartika Sakti itu adalah pemberian Eyang Resi kepadaku. Eyang Resi memberikan benda pusaka itu sebagai pesan terakhir sebelum dia meninggal dunia, dengan pesan agar aku memiliki pusaka itu dan mempergunakannya untuk menentang kejahatan dan terutama untuk membela kerajaan Mataram. Aku tidak berani menentang pesan Eyang Resi. Pedang pusaka berikut kitabnya itu adalah hakku, diberikan langsung oleh Eyang Resi. Karena itu tentu saja tidak akan kuserahkan kepada siapa pun juga!"

"Akan tetapi andika adalah murid Jatikusumo dan yang minta pusaka itu adalah guru kita, ketua Jatikusumo! Pedang pusaka itu merupakan pusaka perguruan Jatikusumo! Diajeng, ingatlah, apakah andika hendak berkhianat kepada perguruan sendiri?" kata Maheso Seto yang mulai marah karena seperti yang dia khawatirkan sebelumnya, Puteri Wandansari tidak mau menyerahkan pusaka itu.

"Aku tidak mengkhianati siapa pun juga. Kalau pusaka itu kuserahkan kepada seseorang, justru berarti aku sudah mengkhianati Eyang Resi. Tidak, Kakang Maheso Seto, aku tidak memberikan pusaka itu kepadamu."

"Ah, kalau begitu jelaslah sekarang. Sikapmu ini menunjukkan bahwa engkau memusuhi Jatikusumo, maka ada benarnyalah dugaan bahwa engkau sudah bersekongkol dengan Sutejo untuk membunuh Eyang Resi dan mencuri dua pusaka itu, yaitu kitab Bajrakirana dan kitab Kartika Sakti berikut pedangnya!" teriak Rahmini sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Puteri Wandansari.

Merah sepasang pipi yang halus itu, berkerut sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu dan sepasang mata bintang itu mengeluarkan sinar kemarahan.

"Mbakyu Rahmini, tutup mulutmu yang lancang itu! Jika kalian berdua datang hanya untuk membikin ribut, aku usir kalian. Keluarlah dari sini!"

"Engkau berani mengusir kami, kakak-kakak seperguruanmu yang dulu ikut mengajarmu? Aku tidak akan pergi sebelum membawa pedang dan kitab Kartika Sakti. Kalau perlu akan kuambil dengan kekerasan karena kami telah mendapat purbawasesa dari Eyang Guru!"

"Sesukamulah! Kalau engkau menggunakan kekerasan tentu akan kulawan!" jawab Puteri Wandansari.

"Wandansari, berani engkau melawan aku?!" bentak Rahmini.

"Engkau yang mulai, mengapa harus takut?"

"Hemm, dasar murid murtad! Akulah yang akan mewakili Bapa Guru untuk menghajarmu! Sambut pukulanku!" Rahmini sudah menerjang dengan ganasnya. Wanita ini adalah murid kedua dari Bhagawan Sindusakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, hanya sedikit di bawah tingkat kepandaian suaminya yang menjadi murid pertama.

"Wuuuutttt...!"

Akan tetapi pukulan itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Wandansari yang mengelak dengan gerakan ringan sekali. Ketika pukulan kedua menyambar, Wandansari menangkis dengan lengannya.

"Wuuuutttt...! Dukkk!"

Dua lengan itu bertemu dan akibatnya Rahmini terdorong mundur beberapa langkah. Hal ini amat mengejutkan Rahmini, juga Maheso Seto. Wandansari yang merupakan murid ke lima itu tidak mungkin mampu menandingi tenaga sakti Rahmini!

Kedua orang suami isteri ini tidak tahu bahwa di dalam kitab Kartika Sakti bukan hanya diajarkan ilmu pedang, melainkan juga ilmu menghimpun tenaga sakti. Sesudah berlatih beberapa bulan lamanya, kini tenaga sakti Wandansari bertambah besar dan ia pun dapat bergerak dengan cepat.

Rahmini menjadi penasaran sekali dan juga amat marah. Kalau tadi dia hanya menyerang untuk menundukkan Wandansari, kini dia menyerang secara sungguh-sungguh dengan niat untuk merobohkan adik seperguruannya yang dianggapnya murtad dan membandel itu. Ia lalu mengerahkan Aji Gelap Musti, menyerang dengan dorongan kedua tangannya.

"Haaiiiiitt!" Ia melengking nyaring dan dorongan kedua tangannya dengan Aji Gelap Musti itu mengeluarkan angin menderu ke arah Wandansari.

Akan tetapi puteri ini pun mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan Aji Gelap Musti pula. Ia cepat merendahkan tubuhnya, mendorong kedua telapak tangannya ke depan sambil memekik nyaring.

"Yaaaaaaattt...!"

"Desss...!"

Kedua pasang telapak tangan itu bertemu di udara dan kembali tubuh Rahmini terdorong ke belakang! Ternyata dalam hal mengadu Aji Gelap Musti, dia pun kalah kuat.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)