PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-20
Puteri Wandansari tidak punya pilihan lain untuk menghadapi serangan ganda ini kecuali dengan tangkisan. Maka ia pun segera mengerahkan seluruh tenaganya dan menyambut serangan itu dengan Aji Gelap Musti pula.
"Wuuuuttt...! Dessss!"
Betapa pun besarnya kemajuan dalam hal tenaga sakti yang diperoleh Puteri Wandansari setelah ia melatih diri dengan ilmu dari kitab Kartika Sari, namun menghadapi dua tenaga yang digabung dari suami isteri itu, dia masih kalah kuat dan tubuhnya terdorong mundur sampai terhuyung-huyung.
"Duh Gusti...!" Seruan ini muncul dari mulut seorang pria yang sudah berada di situ.
Melihat Puteri Wandansari terhuyung, dia lalu menggunakan tangan kirinya mendorong ke depan menyambut dorongan dua pasang tangan suami isteri itu. Dorongan tangan kiri pria itu sungguh sangat dahsyat. Angin bagaikan badai bertiup ke depan menyambut pukulan ganda dengan Aji Gelap Musti dari suami isteri itu dan terjadilah benturan tenaga sakti yang amat dahsyat.
"Blaaarrrrr...!"
Akibatnya Maheso Seto dan Rahmini terlempar sampai empat meter jauhnya kemudian terbanting ke atas tanah. Tidak kuat mereka menahan tenaga dorongan yang keluar dari telapak tangan pria itu. Mereka tidak terluka tetapi terkejut bukan kepalang. Guru mereka sendiri saja tidak mungkin dapat menyambut tenaga mereka yang dipersatukan dalam Aji Gelap Musti, apa lagi hanya dengan tangan kiri saja dan menyebabkan mereka terpental sampai jauh! Maklumlah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang amat sakti mandraguna. Mereka merangkak bangun, saling bantu dan keduanya memandang kepada pria itu.
Dia seorang laki-laki yang berusia sekitar lima puluh tahun, berwajah tampan dan bundar, sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti, gerak geriknya lembut dan pada wajah yang tampan dan halus itu terkandung wibawa yang sangat kuat. Pakaiannya sederhana, namun masih dapat dikenali sebagai pakaian seorang raja.
Maka tahulah Maheso Seto dan Rahmini dengan siapa mereka sedang berhadapan. Pria yang demikian tampan dan berwibawa, memiliki kesaktian yang sangat hebat, tentu bukan lain adalah Sang Prabu Pandan Cokrokusumo atau Sultan Agung Mataram sendiri! Tanpa terasa sepasang kaki mereka gemetar.
Sultan Agung memandang kepada puterinya dan merasa lega sesudah melihat puterinya tidak terluka.
"Wandansari, siapakah kedua orang ini dan apa yang telah terjadi di sini?"
Puteri Wandansari bukan seorang dara yang cengeng. Dia tidak ingin mengadukan sikap kedua orang itu kepada ayahandanya. Bagaimana pun juga mereka adalah kakak-kakak seperguruannya dan urusannya dengan mereka merupakan urusan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan ayahnya. Maka dia tidak ingin ayahnya yang menjadi raja yang agung Itu mencampuri urusan pribadinya.
"Kanjeng Rama, mereka adalah Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini, dua orang kakak seperguruan hamba sendiri. Mereka datang untuk suatu urusan pribadi, lalu terjadi sengketa di antara kami."
Sang Prabu yang arif bijaksana itu segera mengetahui bahwa puterinya ini tidak ingin dia mencampuri urusannya, maka dia pun memandang kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara lembut tetapi penuh wibawa. "Mengingat bahwa kalian adalah kakak-kakak seperguruan puteri kami, maka sekali ini kami mengampuni kalian berdua. Pergilah dan jangan kembali lagi! Sekali lagi kami mendapatkan kalian datang ke sini dan membuat kekacauan, maka kami akan menangkap kalian dan memasukkan kalian dalam penjara! Pergilah!"
Suami isteri itu membungkuk, menyembah lalu memutar tubuh, meninggalkan taman sari itu dengan kepala ditundukkan dan hati merasa jerih. Keangkuhan yang sudah menjadi watak suami isteri ini tenggelam lenyap ke dalam wibawa yang teramat kuat dari Sultan Agung itu.
"Demikianlah, Adi Priyadi. Kami berdua terpaksa meninggalkan diajeng Wandansari, tidak kuat menghadapi kesaktian dan wibawa Sang Prabu yang teramat kuat. Terpaksa kami kembali ke sini dengan tangan hampa."
"Tidak aneh," Sang Bhagawan Sindusakti berkata sambil menarik napas panjang.
"Tidak mungkin kalian akan mampu menandingi kesaktian Sang Prabu di Mataram. Akan tetapi sudahlah, jika Pedang Pusaka Kartika Sakti dan kitabnya telah berada di Mataram, kita boleh relakan saja pedang itu menjadi pusaka Mataram, tetapi yang terpenting adalah Pecut Sakti Bajrakirana dan kitab pelajarannya. Pecut itu merupakan pusaka utama yang harus dihormati dan ditaati oleh seluruh murid Jatikusumo. Adi Bhagawan Jaladara sudah menjanjikan akan menyerahkan pecut itu padaku, hanya tinggal merampas kitabnya dari tangan Sutejo. Hal ini harus kita usahakan benar-benar karena pecut pusaka dan kitabnya itu teramat penting bagi perguruan kita."
"Akan tetapi, Bapa Guru. Kalau benar Sutejo dan diajeng Wandansari sudah melakukan pembunuhan terhadap Eyang Resi Limut Manik, apakah kita hanya tinggal diam saja? Perbuatan itu harus dibalas dan pelaku pembunuhan itu harus dihukum!" kata Priyadi.
"Hemm, kita tidak boleh sembrono. Itu hanya merupakan tuduhan perkiraan Adi Jaladara saja. Dia menuduh kedua orang muda itu yang membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik, tapi sebaliknya Sutejo dan Wandansari mengatakan bahwa Adi Jaladara bersama teman-temannya yang membunuh Bapa Resi. Sebelum mendapatkan bukti-buktinya, tidak boleh kita menjatuhkan tuduhan kepada siapa pun juga."
"Akan tetapi bagaimana kita akan mampu mencari buktinya, Bapa Guru? Bukti mau pun saksi atas pembunuhan terhadap Eyang Resi Limut Manik dan kedua orang cantriknya itu sama sekali tidak ada, sedangkan kedua pihak yang dituduh telah menyangkal melakukan pembunuhan itu. Siapakah di antara kedua pihak itu yang harus kita percaya?" tanya pula Priyadi.
"Melihat betapa dua buah kitab pusaka dan pedang Kartika Sakti berada di tangan Sutejo dan Wandansari, sudah merupakan bukti bahwa mereka berdua itu yang telah membunuh Eyang Resi!" kata Rahmini yang masih panas hatinya karena dikalahkan oleh Wandansari ketika bertanding satu lawan satu.
"Hemm, kita tidak boleh mengambil kesimpulan dengan alasan yang masih mengambang. Kita lihat saja perkembangannya nanti. Akhirnya yang bersalah tentu akan tampak juga," kata Bhagawan Sindusakti.
Hm, kita akan melihat perkembangannya dulu, kata Priyadi dalam hati. Aku akan melihat perkembangannya. Aku tidak boleh tergesa-gesa dan tidak akan bertindak sebelum Pecut Sakti Bajrakirana itu kembali ke perguruan Jatikusumo, demikian pemuda ini berpikir dan mengambil keputusan.
Priyadi tmelanlutkan latihan-latihannya di malam hari, di tempat tersembunyi, jauh di luar perkampungan Jatikusumo. Sikapnya masih biasa saja sehingga baik gurunya mau pun para saudara seperguruannya tidak ada yang mengetahui rahasianya.....
********************
Sutejo menjadi penasaran sekali. Kalau dia dimusuhi oleh para murid Jatikusumo karena mereka hendak merampas kitab Bajrakirana, hal itu masih dianggapnya wajar saja. Dia pun dapat memaklumi dan percaya bahwa Pecut Sakti Bajrakirana memang sejak dahulu menjadi pusaka perguruan Jatikusumo sehingga karena sangat menjunjung tinggi pusaka itu dan mungkin amat patuh akan sumpah sebagai murid Jatikusumo, mendiang gurunya, Bhagawan Sidik Paningal tidak berani melawan ketika Bhagawan Jaladara menghajarnya dengan pecut pusaka Itu. Bahkan Sang Resi Limut Manik sendiri pun tampaknya segan melawan pada waktu dia dikeroyok oleh Bhagawan Jaladara yang memegang Pecut Sakti Bajrakirana bersama kawan-kawannya.
Akan tetapi, hal yang membuat dia penasaran sekali adalah tuduhan mereka bahwa dia bersama Puteri Wandansari telah membunuh Resi Limut Manik! Tuduhan keji, pikirnya.
Dia pun mengerti bahwa semua ini tentu ulah Bhagawan Jaladara yang memutar-balikkan kenyataan. Hatinya menjadi panas sekali. Dia sudah menerima pesan terakhir Resi Limut Manik. Selain menerima kitab Bajrakirana dan harus menguasai ilmu itu, dia pun harus merampas Pecut Sakti Bajrakirana yang kini berada di tangan Bhagawan Jaladara. Bukan itu saja. Dia pun harus membalas kematian gurunya, Bhagawan Sidik Paningal dan Eyang gurunya, Resi Limut Manik yang telah tewas di tangan Bhagawan Jaladara dan kawan-kawannya. Dia harus mencari Bhagawan Jaladara dan harus melenyapkan orang itu dari muka bumi selain merampas Pecut Sakti Bajrakirana. Orang seperti itu amat berbahaya bagi orang lain kalau dibiarkan hidup!
Tidak, dia bukan semata-mata benci pada Bhagawan Jaladara. Kalau dia memang harus membunuhnya adalah karena orang itu memang sangat jahat dan berbahaya sekali bagi Mataram, berbahaya bagi orang-orang lain.
Seorang yang sakti namun tidak menggunakan kesaktiannya untuk menentang kejahatan adalah seorang yang sangat berbahaya bagi umum, karena kalau dia mempergunakan kesaktiannya untuk melakukan kejahatan maka akibatnya akan hebat dan mendatangkan mala petaka bagi orang-orang lain.
Siang itu tidak terik seperti kemarin. Langit penuh awan mendung yang tebat menghitam sehingga sinar matahari tidak dapat menembus sepenuhnya. Cuaca menjadi gelap. Dia melanjutkan perjalanannya dengan cepat, akan tetapi di daerah itu jarang terdapat dusun, bahkan sesudah hari menjadi sore dan turun hujan deras, dia masih berada di jalan yang menerobos hutan lebat.
Sungguh pun malam baru saja datang, cuaca sudah gelap sekali. Hujan turun bagaikan dituang dari langit. Sutejo berteduh di bawah sebatang pohon dadap yang besar. Akan tetapi daun pohon itu tidak cukup lebat untuk melindunginya, bahkan air yang berjatuhan melalui daun-daun pohon itu besar-besar.
Melihat ada sebatang pohon pisang tak jauh dari situ, dia lalu meraih sehelai daun pisang dan menggunakan daun itu sebagai payung. Payung daun pisang itu lumayan juga, dapat melindungi kepala dan mukanya.
Hujan semakin deras. Kini datang angin badai yang sangat kuat sehingga pohon-pohon besar di hutan itu seperti mabok, seperti penari yang mabok, condong ke kanan dan ke kiri seperti hendak ambruk, seperti ratusan raksasa yang hendak menubruknya. Kadang tampak kilat bercahaya disusul geledek menyambar dengan suara menggelegar.
Dalam cahaya kilat itu sejenak Sutejo dapat melihat keadaan, akan tetapi hanya sekilas lalu gelap kembali. Guntur dan kilat semakin sering dan badai tidak mereda. Titik-titik air yang menyerangnya terasa seperti tusukan jarum-jarum di badan. Pakaian Sutejo basah kuyup, bukan hanya yang melekat di tubuhnya, bahkan buntalan pakaiannya juga basah dan tentu menembus sehingga membasahi semua pakaian bekalnya.
Karena maklum bahwa dengan berdiri di situ dia pun tetap kehujanan dan tidak akan ada gunanya, apa lagi malam sudah tiba, maka Sutejo lalu melangkah maju, mempergunakan cahaya kilat yang sering menerangi segalanya itu untuk tetap melangkah di atas jalan yang becek itu.
Ia harus cepat mencari tempat perlindungan untuk menghindarkan serangan hujan, untuk bermalam. Syukur kalau dia dapat menemukan sebuah dusun, atau setidaknya sebuah gardu untuk tempat berteduh dan beristirahat. Dia melangkah maju terus, kadang-kadang terpaksa harus berhenti untuk menunggu cahaya kilat agar dia tidak terperosok ke dalam parit atau solokan.
Di antara suara menggelegarnya guntur yang bersahut-sahutan itu tiba-tiba ia mendengar jerit suara wanita! Tidak salah lagi, yang menjerit itu adalah wanita. Datangnya dari arah kiri, dari dalam hutan. Jerit itu terdengar lagi. Sutejo tidak ragu-ragu lagi lalu melompat ke kiri di bawah sinar kilat.
Sambil meraba-raba dan mengandalkan penerangan halilintar, dia terus berlari ke depan, ke arah suara tadi. Akhirnya dia pun melihat cahaya berkelap-kelip di kejauhan! Tentu ada sebuah rumah dengan penerangannya di sana! Dia maju terus, meraba-raba, kadang lari dan melompat kalau ada cahaya terang.
Akhirnya dia tiba di luar sebuah pondok yang amat sederhana, terbuat dari bilik anyaman bambu, tiang-tiangnya juga terbuat dari bambu, payonnya dari daun klatas. Jendela rumah itu terbuka dan dari situlah sinar sebuah lampu menyorot keluar hingga terlihat oleh Sutejo tadi. Dia lalu menghampiri jendela, tak perlu melangkah hati-hati karena suara badai yang menggerakkan pohon-pohonan sudah cukup hiruk-pikuk menutupi suara jejak kakinya.
Di dalam pondok itu ada tiga orang laki-laki, mereka duduk di atas bangku-bangku kayu mengelilingi sebuah meja yang, sederhana. Di sudut tampak sebuah dipan bambu dan di atas dipan bambu itu tampak seorang gadis muda mendeprok setengah rebah telungkup dengan ketakutan. Pakaiannya telah koyak-koyak memperlihatkan kulit yang putih mulus dan matanya tampak seperti mata seekor kelinci dalam cengkeraman harimau. Terbelalak ketakutan. Seorang gadis yang putih kuning dan berwajah manis sekali, berusia paling banyak enam belas tahun.
Pandang mata Sutejo kembali kepada tiga orang lelaki itu. Tubuh mereka berotot, tampak kuat dan kasar. Wajah mereka jelas membayangkan orang-orang yang terbiasa dengan tindak kekerasan, kasar dan liar seperti gerombolan penjahat yang biasa memaksakan kehendak kepada orang lain mengandalkan kekerasan dan kekuatan. Di pinggang mereka tergantung golok. Mereka ternyata sedang memutar dadu, seperti biasa bila orang-orang sedang bermain judi.
"Kita masing-masing memutar satu kali. Yang mendapatkan angka terbanyak dialah yang menang dan mendapat giliran pertama. Yang keluar sebagai pemenang kedua mendapat giliran kedua dan yang paling kalah mendapatkan bagian terakhir," kata seorang di antara mereka yang mempunyai luka codet melintang pada mukanya. "Aku mulai memutar lebih dulu!"
Setelah berkata demikian, di bawah sinar lampu yang tak begitu terang dia memutar dadu di atas meja. Tiga pasang mata mengikuti putaran dadu dengan terbelalak dan sesudah dadu berhenti berputar, si codet langsung bersorak.
"Angka lima!"
Angka pada dadu yang terbanyak adalah enam, maka mendapatkan angka lima, si codet menjadi gembira sekali karena harapan untuk mendapatkan giliran pertama cukup besar.
"Sekarang giliran aku yang memutar!" kata orang yang bermuka hitam seperti arang. Dia lalu memutar dadu itu, dan setelah dadu berhenti berputar, dia berseru,
"Angka empat!"
"Ha-ha-ha engkau kalah, giliranmu sesudah aku, ha-ha-ha!" tawa si codet.
"Masih ada aku!" kata orang ke tiga yang bibirnya tebal sekali. Dia hendak memutar dadu, akan tetapi tiba-tiba ada suara orang dari arah pintu.
"Apa yang kalian pertaruhkan itu? Hayo lekas bebaskan gadis itu atau aku terpaksa akan menghajar kalian bertiga!"
Tiga orang itu berlompatan kemudian memutar tubuh menghadap ke pintu. Ternyata pintu pondok itu sudah terbuka dan di ambang pintu berdiri seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan ringkas. Baju lengan pendek sebatas siku, celana hitam sebatas lutut dan sehelai sarung dilingkarkan ke pundak. Punggungnya menggendong sebuah buntalan dan sekujur tubuhnya basah kuyup, dari rambut yang tertutup kain pengikat rambut sampai ke kakinya.
Melihat seorang pemuda berpakaian sederhana seperti petani berdiri dengan kedua kaki terpentang, sikapnya sangat tenang dan gagah, si codet berkata, "Ki sanak, kami sedang bersenang-senang, tidak menghendaki keributan, maka janganlah kau mengganggu kami. Kalau kau mau, mari ikut bersenang-senang dengan perawan ini dan kau mendapatkan gliran yang terakhir. Bagaimana, Ki sanak?"
"Ha ha-ha, kawan. Engkau beruntung. Tanpa ikut bersusah-payah bisa menikmati daging kijang muda, ha-ha-ha!" Si bibir tebal menyeringai.
Sutejo menjadi muak dan mukanya berubah kemerahan, sinar matanya berapi. "Keparat busuk kalian! Nimas, cepat engkau lari keluar dari sini!" katanya sambil menguakkan pintu lebar-lebar.
Dengan tubuh menggigil gadis yang sedang ketakutan itu turun dari dipan, memegangi kain yang robek pada bagian dadanya, lalu berlari hendak keluar dari pintu. Akan tetapi si muka hitam sudah melompat dan menghalanginya, hendak menangkapnya. Pada saat itu pula kaki Sutejo mencuat dan tepat menghantam pinggul si muka hitam.
"Dukkk!"
Tubuh si muka hitam terjerembab dan terbanting menelungkup. Gadis itu terus berlari keluar dari pintu yang terbuka menghambur ke dalam kegelapan malam.
"Jahanam!" Si bibir tebal dan si codet menjadi marah, mencabut golok masing-masing lalu menyerang kepada Sutejo.
Akan tetapi dengan cepat Sutejo mengelak ke samping, kemudian dari samping kedua tangannya menyambar, yang kiri menonjok dada si bibir tebal dan yang kanan menampar leher si codet.
"Dukk! Plakkk!"
Dua orang itu terpelanting seperti disambar petir. Sebelum mereka dapat bangkit kembali, Sutejo sudah menyusulkan dua kali tendangan ke arah mereka.
"Dess! Dess...!"
"Tobaaat...!" Dua orang itu berseru kesakitan dan pada saat itu si Muka Hitam sudah menghantam lampu gantung dengan goloknya. Lampu itu pecah dan padam sehingga keadaan dalam pondok itu gelap pekat. Keadaan ini dipergunakan oleh tiga pencoleng itu untuk melarikan diri, berhamburan keluar, tidak berani lagi melawan pemuda yang digdaya itu.
Sutejo mengejar keluar. Dia bingung karena malam gelap sekali sehingga dia tidak dapat melihat ke mana larinya gadis tadi, juga ke mana larinya ketiga orang jahat itu. Dia masih mengkhawatirkan keselamatan gadis yang tadi hampir menjadi korban perkosaan.
Tiba-tiba terdengar lagi jeritan wanita. Jeritan itu yang menolong Sutejo menentukan arah. Dia melangkah dengan kedua lengan dijulurkan ke depan agar jangan sampai menubruk pohon. Ketika cahaya kilat berkelebat dia dapat melihat tubuh wanita itu di depan, tubuh yang meronta-ronta dari cengkeraman dua tangan kasar pria.
Kilat pun padam dan dalam kegelapan dia lalu melompat ke depan. Tangannya bertemu dengan kulit daging yang lembut, yaitu bagian perut wanita itu. Tangannya meraba terus dan bertemu dengan sebuah lengan kokoh yang memeluk wanita itu. Cepat ditangkapnya lengan itu dan direnggutnya lepas dari rangkulannya terhadap wanita itu.
Kilat menyambar dan bercahaya kembali. Tepat pada saat itu dia melihat betapa seorang laki-laki yang mukanya bercodet sedang mengayunkan tangannya yang memegang golok ke arah kepalanya. Sutejo cepat menggerakkan tangan kirinya menyambut tangan yang memegang golok itu. Ditangkapnya pergelangan tangan itu dan pada saat itu kilat padam lagi. Dalam kegelapan Sutejo mengerahkan tenaganya dan menekuk lengan itu.
Orang itu menggeram dan mengerahkan tenaganya, akan tetapi mana mungkin dia dapat melawan tenaga Sutejo yang penuh hawa sakti itu? Lengan itu tertekuk dan tiba-tiba saja orang itu mengeluarkan pekik kesakitan lalu roboh terguling.
Sutejo segera melepaskan pegangannya. Dia hanya mendengar orang itu bergulingan di atas tanah. Ketika kilat bercahaya lagi, dia melihat orang itu merangkak pergi melarikan diri dan pada saat itu ada dua lengan kecil mungil yang merangkulnya dengan menggigil.
"Tolonglah aku, selamatkan aku...!" Suara wanita itu gemetar dan ia melekatkan tubuhnya pada tubuh Sutejo minta perlindungan.
Sutejo tiba-tiba merasa sesuatu yang aneh. Jantungnya berdebar ketika tubuh yang lunak dan hangat itu menempel pada tubuhnya, ketika debar jantung wanita itu terasa olehnya. Selama hidup belum pernah dia berdekatan dengan wanita dan pengalaman ini membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Akan tetapi cepat dia dapat mengatasi kebingungannya dan cepat tangannya mendorong kedua pundak wanita itu dengan gerakan lembut agar tubuh wanita itu tidak lagi melekat pada tubuhnya.
"Engkaukah ini, nimas? Engkau yang tadi berada di pondok?"
"Benar... tolong selamatkanlah aku..." terdengar wanita itu berkata lirih, suaranya masih gemetar bercampur isak. Tentu ia merasa ketakutan setengah mati, merasa ngeri karena baru saja terbebas dari dekapan seorang laki-laki yang sudah berubah liar seperti seekor srigala.
"Jangan takut, nimas. Orang jahat itu sudah pergi. Mari kita masuk ke pondok itu, hujan masih amat derasnya dan di luar gelap bukan main."
Ketika kilat bercahaya lagi, Sutejo dapat melihat pondok itu dan dia menuntun gadis itu menuju ke pondok. Akan tetapi karena ketakutan yang amat sangat, gadis itu merapatkan tubuhnya pada Sutejo seperti seorang anak kecil minta perlindungan ibunya. Terpaksa dia merangkul pundak gadis itu untuk menenteramkan hatinya dan menuntunnya masuk ke dalam pondok yang pintunya terbuka lebar itu.
Mereka masuk ku dalam pondok dan Sutejo meraba-raba sampai tangannya menyentuh ujung meja. Dia meraba-raba, dengan girang menemukan sebuah geretan pembuat api di atas meja. Segera dibuatnya api dan di bawah penerangan kecil ini dia mengambil lampu yang tadi dipukul pecah oleh penjahat.
Ternyata lampu itu masih bisa digunakan, yang pecah hanya semprongnya saja. Tempat minyak dari kuningan itu tidak rusak dan masih mengandung minyak hampir penuh. Lalu disulutnya lampu itu.
Sementara itu gadis tadi tidak pernah melepaskan lengan Sutejo! Seperti seekor lintah ia melekat pada Sutejo. Sesudah menaruh lampu di atas meja lalu menutup daun pintu dan jendela supaya lampu yang tidak bersemprong lagi itu tidak padam oleh angin, baru dia merasa betapa gadis itu masih terus memegangi lengannya dan ikut ke mana pun dia bergerak.
"Lepaskan lenganku, nimas. Jangan takut, bahaya sudah lewat."
"Aiih, denmas... jangan tinggalkan aku sendiri... ke mana pun andika pergi, aku ikut..."
Sutejo tersenyum. "Aku tidak akan meninggalkanmu malam ini dan jangan menyebut aku denmas. Aku hanya orang biasa seperti engkau. Jangan takut, aku akan menjaga di sini sampai pagi dan kalau tiga orang itu berani kembali ke sini, tentu akan kuhajar! Duduklah di atas dipan itu, aku hendak membuat api unggun untuk mengusir hawa dingin." Sutejo menarik lengannya terlepas dari pegangan gadis itu dan gadis itu lalu melangkah ke dipan dan duduk di situ sambil tiada hentinya memandang kepada Sutejo.
Dua di antara tiga buah kursi kayu itu dipatah-patahkan oleh Sutejo, ditumpuk kemudian dibakar, dibuat api unggun. Setelah api unggun bernyala dengan baik sehingga pondok itu menjadi terang dan ada sedikit hawa hangat mengurangi kedinginan, Sutejo tampak puas dan barulah dia duduk di bangku atau di kursi kayu yang tinggal sebuah itu.
Ketika dia mengangkat muka, pandang matanya bertemu dengan pandang mata gadis itu. Sepasang mata yang bening dan indah menatapnya dan Sutejo menjadi terpesona. Tidak disangkanya bahwa gadis itu seorang yang cantik manis. Wajahnya ayu dan manis sekali. Tubuhnya yang terbungkus kain yang koyak di sana sini, terutama di bagian dada hingga tangan kiri gadis itu selalu memegangi dan merapatkan kain yang basah kuyup itu, terlihat membayang di balik kain yang basah. Tubuh yang sintal dan padat, kulitnya putih kuning mulus. Seorang gadis dusun yang benar-benar manis.
Ketika pandangan mata mereka bertemu, gadis itu menundukkan mukanya yang berubah kemerahan dan dia tersipu-sipu. "Kakangmas... saya mengucapkan banyak terima kasih kepadamu... engkau sudah membebaskan saya dari cengkeraman iblis, dari mala petaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Entah bagaimana saya akan dapat membalas budi kebaikan kakangmas ini..." Gadis itu terisak karena terharu.
"Sudahlah, nimas, apa yang kulakukan itu hanyalah memenuhi kawajibanku. Aku punya kewajiban untuk menolong wanita mana saja yang terancam bahaya seperti yang tadi kau alami. Kalau engkau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Gusti Allah yang sudah menuntun aku ke sini sehingga aku dapat menolongmu. Hanya Gusti Allah yang memungkinkan aku menolongmu, yang memberi kekuatan kepadaku untuk menolongmu. Engkau siapakah, nimas? Dan mengapa pula bisa sampai di sini lalu terjatuh ke tangan tiga orang penjahat itu?"
"Namaku Sumarni, aku dari dusun di timur itu. Tadi aku baru pulang dari dusun tetangga, pulang dari mengunjungi kerabatku. Akan tetapi aku kemalaman dan di tengah perjalanan turun hujan. Aku terpaksa berteduh di bawah pohon, lalu muncul tiga orang itu. Mereka menangkapku dan menyeretku ke dalam hutan lalu ke pondok ini." Dia menggigil teringat akan pengalamannya itu. "Dan... dan kalau aku boleh bertanya, andika sendiri siapakah, kakangmas?"
"Namaku Sutejo, seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya," jawab Sutejo dan agar perhatiannya terhadap gadis itu bisa beralih, dia lalu membuka buntalan pakaiannya, memeras pakaian itu sampai airnya habis dan merentangkan pakaian yang masih lembab itu ke dekat api unggun agar menjadi kering.
Sungguh asyik dia dengan pekerjaannya ini sehingga dia tidak tahu betapa Sumarni terus mengamatinya dengan sinar mata penuh kagum. Pemuda ini begitu tampan dan gagah, mengingatkan dia akan seorang pemuda yang selama ini tidak pernah dia lupakan, akan tetapi yang selalu mendatangkan perasaan tertusuk nyeri dalam hatinya kalau teringat.
Ia teringat kepada pemuda yang mengaku bernama Permadi dan mengaku pula sebagai dewa sungai, pemuda yang merayunya dan menjatuhkan hatinya hingga dia menyerahkan diri begitu saja dengan suka rela. Pemuda yang berjanji akan menikahinya, akan tetapi tak pernah muncul kembali setelah merenggut kehormatannya, dan barulah ia tahu bahwa ia telah ditipu. Kini, bertemu dengan Sutejo, ia teringat kepada pemuda itu. Akan tetapi, biar pun sama-sama muda dan tampan, sama-sama sakti, alangkah bedanya antara mereka berdua!
Pemuda ini sama sekali tidak memperlihatkan sikap merayu, bahkan seperti tidak peduli dengan dirinya, tidak melihat kecantikannya, tidak melihat tubuhnya yang menggairahkan, yang hanya tertutup kain yang sudah koyak-koyak di sana sini. Pemuda ini seakan tidak melihat itu semua dan diam-diam Sumarni menjadi penasaran! Dia merasa dirinya sudah tidak menarik lagi, padahal dia adalah kembang dusunnya dan semua pemuda tergila-gila kepadanya.
Karena direntangkan di dekat api unggun yang panas itu, pakaian Sutejo cepat menjadi kering dan hangat. Dia mendahulukan sehelai sarung dan sesudah pakaian ini menjadi kering benar, dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri Sumarni sambil membawa sarung yang kering itu.
Gadis itu masih duduk di atas dipan sambil memegangi kainnya yang terkoyak di bagian dadanya. Meski pun dia sudah berusaha sedapatnya untuk menutupkan kembali kain itu, tetap saja tampak sebagian dadanya yang berbentuk indah dan berkulit putih mulus itu.
"Kau bergantilah pakaian dengan sarung ini, Nimas. Sarung ini telah kering. Engkau akan mudah masuk angin kalau terus memakai pakaian yang basah itu," kata Sutejo sambil menjulurkan tangannya yang memegang sarung kepada gadis itu.
Sumarni menerima uluran sarung itu dan mengambilnya dari tangan Sutejo. Akan tetapi ia menjadi ragu-ragu karena bagaimana dia dapat berganti pakaian di depan seorang pria? Agaknya Sutejo maklum akan hal lini. Dia menatap wajah gadis ayu itu dan berkata,
"Engkau bergantilah pakaian dan jangan hiraukan aku, nimas. Bergantilah supaya engkau tidak menjadi kedinginan." Setelah berkata demikian, Sutejo lalu duduk di atas kursi yang tinggal sebuah itu, membelakangi meja dan menghadap api unggun sambil merentangkan pakaian lain dekat api unggun biar kering karena dia pun perlu berganti pakaian yang telah basah kuyup dan membuat tubuh merasa tidak enak terbungkus pakaian basah itu. Biar pun kedua matanya tidak melihat, namun kedua telinganya mendengar gemersik pakaian yang dipakai ganti oleh Sumarni.
Matanya menatap api unggun, tapi pikirannya membayangkan hal-hal yang membuat dia tidak lagi melihat api unggun. Terbayang olehnya betapa hangat dan lunak tubuh Sumarni ketika tadi mendekapnya dalam keadaan ketakutan, juga terbayang olehnya ketika dalam gelap, secara tidak disengaja tangannya menyentuh perut gadis itu yang berada dalam rangkulan penjahat. Terbayang pula di depan matanya wajah yang ayu, mata yang bening, mulut yang menggairahkan itu. Mata yang memandangnya penuh rasa syukur dan terima kasih.....
Komentar
Posting Komentar