PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-21


"Hemm, biarlah. Ayu-ayunya sendiri kok!" hatinya membantah suara itu karena suara itu mengandung dorongan untuk menarik hatinya.

"Matanya begitu indah bening, hidungnya mancung dan mulutnya! Ah, belum pernah aku melihat mulut seindah itu, begitu menggairahkan. Dan ia telah berhutang budi kepadamu, budi yang besar sekali," suara itu berceloteh terus.

"Aku tidak pernah melepaskan budi, semua yang kulakukan adalah kewajiban!" kata pula hatinya, agak geram karena suara itu mengutik hatinya.

"Akan tetapi dia menganggapnya sebagai budi. Ia berhutang budi, berhutang keselamatan yang melebihi nyawa. Bukankah dia bilang bahwa engkau sudah menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut? Lihatlah tubuhnya! Begitu indah, begitu sintal, begitu denok! Dan dia menunggu uluran tanganmu, menanti rayuanmu. Ah. betapa akan mesra dan nikmatnya!” Bisikan itu merayu.

"Hushh!" Hatinya meronta. "Ini tidak sopan! Seorang berjiwa satria tidak akan melakukan hal itu, tidak akan mempergunakan kesempatan dalam kesempitan, tidak akan menuruti nafsunya sendiri!"

"Ha-ha-ha, engkau munafik! Engkau berpura-pura! Padahal hatimu tertarik sekali kepada gadis ini. Cantiknya! Hangatnya! Apa salahnya kalau engkau mencumbunya? Tentu dia akan senang sebab dia berhutang budi kepadamu. Tentu dia akan menyambutmu dengan kedua lengan terbuka," bisikan itu menjadi-jadi.

"Hushh! Diam kau, jahanam!" maki hatinya, marah kepada diri sendiri yang membiarkan suara itu bicara berlarut-larut. Akan tetapi bisikan kuat itu semakin jelas "Kalau engkau rangkul dia dan menciumnya, siapa yang akan melihatnya? Kalian hanya berdua saja di tempat sunyi ini. Dia pasti senang menyambutmu. Ah, betapa akan mesranya...! Lihat, dia sudah menanti-nantimu!" bisik suara itu.

Tanpa dapat ditahan lagi Sutejo memutar tubuhnya menghadapi gadis itu dan benar saja. Dia melihat Sumarni memandang kepadanya dengan sinar mata bening akan tetapi mulut tersenyum kecil, tersipu malu. Di dalam penglihatannya, gadis itu seperti menantangnya, mengharapkan rayuan dan belaiannya.

"Nah, lihatlah! Dia telah siap menerimamu, bukan? Engkau boleh memilikinya, seluruhnya boleh kau miliki, malam ini dia milikmu sepenuhnya... cepat kau hampiri dia, rangkul dan rebahkan dia..."

Sutejo memutar tubuhnya dan menggunakan tenaga sakti memukul ke belakang, seolah hendak memukul yang berbisik-bisik itu. Tanpa disadarinya pukulannya itu menimpa meja yang berada di dekatnya.

"Braaakkkkk...!"

Terkena pukulannya, meja yang terbuat dari papan tebal itu pecah berantakan.

Sumarni membelalakkan kedua matanya, memandang kepada pemuda itu dan bertanya agak ketakutan. "Kakangmas Sutejo... apa... apa yang kau lakukan itu? Mengapa engkau memukul meja sampai hancur?"

Barulah Sutejo teringat dan sadar bahwa dia telah melakukan sesuatu yang tampak tolol sekali.

"Aku... aku... ah, maaf kalau aku sudah mengejutkanmu, nimas Sumarni. Aku... aku ingin membuat meja ini menjadi kayu bakar, untuk memberi umpan api unggun yang hampir padam!" Lalu dia mengambil beberapa potong pecahan meja dan dilemparkannya ke api unggun sehingga nyala api membesar kembali.

"Kau tolol! Ada makanan lezat tapi tidak dimakan, padahal engkau lapar! Engkau munafik! Munafiiiiik...!" Suara itu semakin melemah lalu lenyap, seolah-olah iblis yang bersuara itu kini menjauhkan diri.

Sutejo merasa hatinya tenteram. Teringatlah dia akan wejangan yang pernah didengarnya dari eyang gurunya, mendiang Resi Limut Manik. "Ingatlah engkau selalu, kulup, bahwa tidak ada musuh atau lawan yang lebih tangguh dan berbahaya dari pada nafsu-nafsumu sendiri. Nafsu mendorong dan menyeret manusia ke dalam duka melalui kenikmatan dan kesenangan badan. Sangat sukar untuk dapat mengendalikan nafsu sendiri yang teramat kuat, dan hanya kekuasaan Gusti Allah saja yang akan mampu mengalahkannya. Karena itu bersandarlah pada kekuasaan Gusti Allah dengan penyerahan diri yang mutlak. Hanya dengan begitu engkau akan menerima bimbingan dan kekuatan untuk menundukkan nafsu-nafsumu sendiri."

Sadarlah dia bahwa yang berbisik-bisik tadi bukanlah setan, bukan iblis, tetapi nafsunya sendiri yang selalu haus akan kenikmatan dan kesenangan badan. Dia menghela napas panjang dan di dalam hatinya dia memuji syukur ke hadirat Allah yang telah memberi dia kekuatan untuk membebaskan diri dari seretan nafsu. Kalau saja dia lemah dan tadi tidak kuat menundukkan nafsunya sendiri, tentu gadis itu sudah digaulinya, baik secara suka rela atau paksa, secara kasar atau halus dan akhirnya dia akan merasa menyesal selama hidupnya!

Sunyi setelah itu. Sutejo termenung-menung memandangi api unggun. Waktu merayap lambat sekali.

"Kakangmas Sutejo..."

Sutejo tidak berani memutar tubuhnya, tidak berani memandang gadis itu karena takut kalau-kalau suara itu akan datang menggodanya lagi. Tanpa menoleh dia menjawab,

"Ada apakah, nimas?"

"Kakangmas Sutejo, engkau mengingatkan aku akan seseorang. Kenalkah engkau pada orang itu, kakangmas?"

"Hemm, siapakah orang itu, nimas?"

"Orangnya masih muda, mungkin sedikit lebih tua dari padamu, kakangmas. Tampan dan gagah, juga sakti. Namanya Permadi. Kenalkah engkau kepadanya, kakangmas Sutejo?" Suara itu penuh harap.

Sutejo memutar tubuhnya. Dia melihat gadis itu sudah mengenakan sarungnya, diikatkan sebatas bawah pangkal lengan. Rambutnya terurai lepas dari gelungan, mungkin untuk membiarkan rambut itu mengering maka sengaja dilepas dari sanggulnya. Tampak ayu manis namun tidak lagi menggairahkan hatinya, tidak lagi mengganggu dan kini dia dapat menatap wajah itu dengan hati lega dan bebas dari pada cengkeraman nafsu berahi.

"Aku tidak mengenal orang yang bernama Permadi, nimas. Nama yang bagus, seperti nama Raden Janoko. Apamukah orang itu, nimas?"

Ditanya demikian, tiba-tiba Sumarni menangis, air matanya bertetesan di atas sepasang pipinya. Sutejo mendiamkannya saja, maklum bahwa bagi seorang wanita, pelampiasan perasaan hatinya banyak melalui air matanya dan biasanya air mata itu dapat merupakan jalan keluar dari himpitan duka.

Tidak lama Sumarni menangis. Ia menyusut air matanya dan sudah dapat menenangkan hatinya kembali. Entah mengapa timbul kepercayaan besar sekali dalam hatinya terhadap Sutejo, semenjak Sutejo memberikan sarung kepadanya tadi. Sebelum itu hatinya masih ragu apakah Sutejo tidak akan melakukan seperti apa yang sudah dilakukan oleh Permadi kepadanya.

Akan tetapi setelah melihat Sutejo sama sekali tidak memiliki niat untuk mendekatinya, bahkan sesudah menyerahkan sarung lalu membelakanginya dan tidak mempedulikannya lagi, timbul kepercayaan besar bahwa pemuda ini adalah seorang yang dapat dipercaya sepenuhnya. Karena itu baru sekali ini dia mendapatkan kesempatan untuk mencurahkan semua penguneg-uneg hatinya keluar. Padahal kepada ayah ibunya sendiri pun dia tidak pernah bercerita tentang Permadi.

"Kalau engkau berkeberatan menceritakan, janganlah ceritakan, nimas," kata Sutejo.

"Tidak, kakangmas. Aku bahkan ingin menceritakan semuanya kepadamu. Kurang lebih enam bulan yang lalu ketika aku sedang mandi di sungai, muncul seorang pemuda yang tampan. Dia mengaku sebagai Dewa Sungai dan mengaku bernama Permadi. Dia sangat menarik hati dan dia memikat aku dengan bujuk rayunya. Aku pun jatuh... aku menyerah karena dia berjanji akan mengawiniku. Tetapi sesudah dia pergi, dia tidak pernah muncul kembali...ahh, aku menyesal sekali kakangmas, akan tetapi... aku sungguh mencintanya sepenuh jiwaku. Kalau engkau kebetulan bertemu dengan dia, tolonglah, bujuk dia supaya dia mau menemuiku, kakangmas."

Sutejo mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya dia mengutuk pemuda perayu yang berhati palsu itu. Tetapi secara diam-diam dia pun menyalahkan Sumarni yang demikian mudah terbujuk dan mudah menyerahkan diri. Seorang gadis seharusnya teguh mempertahankan kehormatannya dan tidak akan mau menyerahkan diri kepada laki-laki mana pun sebelum dinikahinya. Kalau ia dengan mudah menyerahkan diri kepada seorang pria kemudian pria itu tak mau bertanggung jawab dan meninggalkannya, seperti halnya Sumarni, maka akan hancurlah masa depan gadis itu!

"Baiklah, nimas Sumarni," dia berjanji. "Aku pasti akan mengatakannya kepadanya kalau aku dapat bertemu dengan dia."

"Orangnya berwajah tampan, kakangmas. Ketampanan dan ketegapan tubuhnya seperti kakangmas, dan dia mempunyai sebuah tahi lalat di dagunya."

"Akan kuingat semua itu, nimas. Nah, rupanya hujan telah terhenti dan dengar, itu sudah terdengar suara ayam jantan berkeruyuk. Sebentar lagi pagi mulai datang dan aku akan mengantarmu pulang ke dusunmu."

Sumarni bernapas lega. "Sekali lagi terima kasih, kakangmas Sutejo. Engkau benar-benar baik hati."

Tiba-tiba terdengar suara ramai banyak orang. Sutejo dan Sumarni menuju ke pintu lalu Sutejo membuka daun pintu dari bambu itu dan memandang keluar. Dilihatnya dari jauh belasan orang dusun berdatangan menghampiri pondok itu, ada yang membawa tampah, tutup panci serta barang-barang lain yang dipukuli beramai-ramai, dan di antara mereka banyak pula yang membawa tombak dan pentungan.

"Mereka adalah penduduk dusunku!" kata Sumarni sambil melangkah keluar menyambut.

Ketika orang dusun itu melihat Sumarni keluar dari pondok itu dan ada seorang pemuda yang berdiri di ambang pintu, mereka segera berlarian datang.

"Itu dia Sumarni!"

"Wah, tentu pemuda itulah yang menculiknya!"

"Hayo pukul orang kurang ajar itu!"

Semua orang sudah berkumpul di situ, berhadapan dengan Sumarni dan Sutejo.

"Para paman dan saudara sekalian. Sabar dan tenang dahulu!" seru Sumarni yang masih mengenakan sarung yang dipinjung sampai ke atas dadanya. "Ki sanak ini sama sekali tidak menculikku, bahkan dialah yang sudah menolongku dari tangan tiga orang penjahat yang menculikku!"

Seorang pria setengah tua melangkah maju. "Sumarni, apa yang telah terjadi? Semalam hujan badai dan engkau tidak pulang, maka pagi ini kami ramai-ramai mencarimu. Siapa pemuda ini dan apa yang terjadi?"

Melihat ayahnya, Sumarni lalu berlari menghampiri dan memegang lengan ayahnya.

"Bapa, jangan salah mengerti. Tadi malam, ketika aku pulang dari bertandang ke dusun Kandangan, hujan turun dengan lebatnya, padahal hari sudah mulai gelap. Aku berteduh di bawah pohon, kemudian muncullah tiga orang yang menyeramkan dan jahat. Mereka menangkap aku lalu menyeretku ke dalam hutan, ke pondok ini. Aku terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut, bapa. Kemudian tiba-tiba muncul ki sanak ini yang bernama Kakangmas Sutejo. Dia menghajar ketiga orang itu sehingga mereka melarikan diri. Karena hujan turun disertai badai selama semalam suntuk, terpaksa kami berteduh di gubug ini, menunggu hujan reda sampai pagi."

"Akan tetapi, engkau mengenakan sarung siapa itu?"

"Pakaianku telah dikoyak-koyak oleh tiga orang jahanam itu, bapa, syukurlah Kakangmas Sutejo sudah begitu baik untuk memanggang pakaiannya dan setelah kering memberikan sarung ini untuk mengganti pakaianku yang koyak-koyak dan basah kuyup."

"Tidak mungkin! Seorang pemuda dengan seorang gadis berduaan saja di dalam pondok kosong selama semalam penuh! Tak mungkin pemuda itu tidak berbuat mesum terhadap Sumarni!" terdengar suara seorang laki-laki, marah. Suara ini meracuni hati semua orang dan segera mereka menyerbu dengan tombak dan pentungan ke arah Sutejo.

Sutejo menggerakkan kedua lengannya dan semua tombak dan pentungan itu terpental dan terlepas dari tangan para pemegangnya dan ketika dia mendorong ke depan, enam orang terdorong mundur dan terhuyung-huyung!

"Dengar kalian semua, orang-orang bodoh! Aku bukan seorang hina seperti yang kalian duga! Bila kalian benar-benar hendak membela nimas Sumarni dan membersihkan dusun kalian dari ancaman orang jahat, carilah tiga orang penjahat yang menculik Sumarni tadi malam. Mereka dipimpin oleh seorang yang mukanya codet. Nah, aku tak mau berurusan dengan kalian lagi." Setelah berkata demikian, sekali melompat Sutejo sudah lenyap dari depan mata orang-orang dusun itu.

"Kakangmas Sutejo...! Sumarni berseru, akan tetapi Sutejo tidak mempedulikannya dan telah pergi jauh.

Sumarni membalikkan tubuhnya menghadapi orang-orang dusun itu. "Kalian semua ini memang bodoh dan keterlaluan, tidak dapat mengenal orang baik atau jahat. Kakangmas Sutejo adalah seorang yang sakti mandraguna dan juga bijaksana. Kalau dia tadi marah, apakah kalian akan sanggup menandinginya? Kalau dia mau, tentu kalian semua sudah dibunuhnya! Aku yang telah dia tolong sehingga pagi hari ini masih dapat bernapas, belum dapat membalas kebaikannya tetapi kalian malah membalasnya dengan pengeroyokan. Sungguh menyebalkan!"

Orang-orang dusun itu hanya saling pandang dan merasa menyesal kenapa tadi mereka terlalu terburu nafsu. Beramai-ramai mereka lalu membakar pondok yang agaknya milik para penjahat sebagai tempat persembunyian dalam hutan itu, kemudian mereka pulang ke dusun.....

********************

Sutejo yang tadi sudah menyambar buntalan pakaiannya sebelum meninggalkan pondok, kini berlari cepat keluar dari hutan itu dan melanjutkan perjalanannya. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Bukan mengenai Sumarni. Urusan gadis itu dan orang-orang dusun sudah dilupakan. Hal itu dianggapnya urusan kecil yang tidak ada gunanya dipikirkan lagi.

Yang mengganjal hatinya adalah pertemuannya dengan Cangak Awu. Murid Jatikusumo itu hendak memaksanya menyerahkan kitab Bajrakirana. Hal ini pun tidak membuat dia resah karena dia sudah mengambil keputusan untuk menaati pesan mendiang Resi Limut Manik, tidak akan menyerahkan kitab itu kepada siapa pun juga. Akan tetapi yang amat meresahkan hatinya adalah tuduhan bahwa dia dan Puteri Wandansari telah membunuh Resi Limut Manik dan dua orang cantriknya itu. Tuduhan yang semena-mena dan urusan ini teramat penting. Harus segera dipecahkan dan dibikin terang.

Untuk itu dia harus pergi ke perguruan Jatikusumo, menghadap ketua Jatikusumo, paman gurunya sendiri. Bhagawan Sindusakti, untuk menjelaskan duduk persoalannya. Untuk memberi-tahukan bahwa bukan dia dan Puteri Wandansari yang membunuh Resi Limut Manik, melainkan Bhagawan Jaladara dan kawan-kawannya. Dia dapat menduga bahwa tentu Bhagawan Jaladara yang mempunyai ulah licik dan palsu itu telah memutar-balikkan kenyataan dan sengaja menjatuhkan fitnah terhadap dirinya.

Dengan hati mantap dia lalu menujukan langkahnya ke selatan, menuju ke daerah Pacitan di pantai Laut Selatan.....

********************

Dua orang kakek itu berdiri di depan gapura perkampungan Jatikusumo. Yang pertama adalah seorang kakek berusia lima puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok seperti muka singa dan pakaiannya seperti pakaian seorang pertapa. Dia bukan lain adalah KI Klabangkolo, kakek yang menjadi tokoh golongan sesat itu.

Ada pun orang kedua adalah seorang kakek yang usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus, rambutnya sudah putih semua akan tetapi mukanya masih tampak seperti muka orang muda. Matanya tajam bagaikan mata burung elang ketika dia melayangkan pandang dan menyapu keadaan sebelah dalam perkampungan Jatikusumo melalui pintu gerbang yang terbuka.

Melihat dua orang kakek longak-longok di depan gapura, lima orang murid Jatikusumo yang berjaga di gardu penjagaan dekat pintu gerbang, segera menghampiri. Seperti yang sudah menjadi watak para murid Jatikusumo yang terdidik baik, melihat dua orang kakek tua, para murid itu bersikap menghormat dan seorang di antara mereka yang menjadi kepala jaga menyapa, suaranya halus.

"Paman berdua hendak mencari siapakah?"

Ki Klabangkolo memandang pemuda yang bertanya itu dengan alis berkerut, akan tetapi mulutnya menyeringai lebar. "Heh-heh, apakah engkau murid Jatikusumo?"

"Benar, paman," kata pemuda yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu.

"Bagus, coba perlihatkan kepandaianmu!" tiba-tiba Ki Klabangkolo mendorongkan tangan kirinya ke arah dada murid Jatikusumo itu.

Pemuda itu terkejut sekali ketika ada angin menyambar ke arahnya. Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi tidak bisa menghindarkan sambaran angin pukulan yang membuat dia terjengkang dan terguling-guling. Biar pun dia tidak terluka namun kulit tubuhnya lecet-lecet karena dia terguling-guling itu.

Empat orang kawannya menjadi terkejut dan mereka segera maju menghadapi dua orang kakek itu. Tapi Ki Klabangkolo sudah melangkah maju dan kembali tangannya digerakkan mendorong ke depan sambil berseru.

"Murid Jatikusumo tidak ada isinya!"

Sekarang dorongannya semakin kuat dan empat orang itu merasa seperti disambar angin badai. Mereka tidak dapat bertahan dan keempatnya terjengkang dan terbanting sampai terguling guling.

Lima orang murid Jatikusumo itu sangat terkejut. Mereka maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang kakek yang sangat sakti dan yang sama sekali bukan lawan mereka. Maka mereka lalu berlari masuk ke dalam perkampungan untuk melapor kepada ketua mereka.

Sementara itu Ki Klabangkolo yang melihat lima orang murid Jatikusumo lari memasuki perkampungan, tertawa bergelak. Kemudian dia menengadah dan mengerahkan Aji Pekik Singanada. Terdengarlah suara gerengan yang dahsyat luar biasa, menggetarkan seluruh perkampungan Jatikusumo, kemudian disusul suaranya yaug mengguntur.

"Haiiii, wong Jatikusumo! Kalau di antara kalian ada yang memiliki kepandaian, keluarlah dan lawanlah kami satu lawan satu, jangan main keroyokan seperti gerombolan srigala!" Suara itu bergema di seluruh perkampungan.

Bhagawan Sindusakti yang menerima laporan lima orang murid yang menjaga di gapura itu menjadi marah sekali. Dia pun bergegas keluar dan mendengar teriakan itu, hatinya semakin panas dan pada saat itu murid-muridnya juga bermunculan dari semua penjuru. Maheso Seto, Rahmini, Priyadi dan Cangak Awu juga muncul dan mereka berempat lalu menyertai guru mereka menuju ke gapura. Di belakang mereka juga mengikuti keluar tiga puluh orang lebih para murid.

Pada saat itu dari luar gapura masuk seorang pemuda yang bukan lain adalah Sutejo. Dia berkunjung ke perguruan Jatikusumo untuk memberikan penjelasan mengenai fitnah yang dijatuhkan atas dirinya dan Puteri Wandansari, yang dituduh membunuh mendiang Resi Limut Manik.

Dia melihat dua orang kakek berdiri di depan gapura. Karena tidak punya urusan dengan mereka, meski pun dia mengenal Ki Klabangkolo sebagai kakek yang membikin keributan di dalam pesta ulang tahun perguruan Welut Ireng di mana kakek itu dikalahkan oleh pengeroyokan Maheso Seto dan Rahmini, dan melihat di gardu penjagaan itu tidak ada yang berjaga, dia lalu masuk saja ke dalam perkampungan. Kedua orang kakek itu yang tidak mengenai Sutejo juga mendiamkannya saja, mengira bahwa pemuda itu tentu salah seorang di antara para murid di situ.

Setelah memasuki pintu gapura Sutejo bertemu dengan rombongan Bhagawan Sindusakti dan empat orang muridnya serta puluhan orang murid yang berada di belakang mereka. Melihat Maheso Seto, Rahmini dan Cangak Awu yang sudah dikenalnya, Sutejo dapat menduga bahwa kakek tua berwajah penuh wibawa dan bertubuh sedang itu tentu paman gurunya, Bhagawan Sindusakti.

Melihat sikap mereka seperti orang sedang marah, dia pun dapat menduga apa yang terjadi. Tentu dua orang kakek di luar itu datang membikin ribut dan pimpinan perguruan Jatikusumo ini pasti sedang keluar untuk menyambut kedua kakek itu. Ia lalu melangkah maju menghadang, kemudian memberi hormat sembah sambil berdiri kepada Bhagawan Sindusakti.

"Paman Guru, saya Sutejo menghaturkan sembah."

Bhagawan Sindusakti berhenti melangkah kemudian menatap wajah Sutejo dengan penuh perhatian. Dia tidak mengenal pemuda ini, tapi ketika Sutejo memperkenalkan namanya, dia segera dapat menduga bahwa tentu inilah Sutejo murid mendiang Bhagawan Sidik Paningal itu.

"Ada keperluan apakah engkau datang berkunjung?" tanya Bhagawan Sindusakti dengan suara ketus karena memang dia sedang marah mendengar tantangan dari luar tadi.

"Maaf, paman. Saya datang hendak membicarakan tentang kitab Bajrakirana dan tentang kematian Eyang Resi Limut Manik," kata Sutejo dengan sikap tenang.

"Nanti saja. Kami sedang ada urusan penting!" kata Bhagawan Sindusakti, kemudian dia melanjutkan langkahnya menuju keluar gapura.

Maheso Seto dan Rahmini juga melangkah dan ketika tiba dekat Sutejo, Rahmini segera membentaknya,

"Minggir kau! Dan tunggu sampai Bapa Guru memanggilmu!"

Sementara Maheso Seto hanya memandang kepada Sutejo dengan alis berkerut.

Priyadi yang belum mengenal Sutejo, memandang penuh perhatian, akan tetapi Cangak Awu juga mengerutkan alisnya yang tebal ketika memandang kepada Sutejo. Mereka semua menuju keluar, meninggalkan Sutejo.

Akhirnya Sutejo terpaksa mengikuti keluar pula, sebagai yang terakhir. Setelah sampai di luar Sutejo lalu menyelinap di antara para murid Jatikusumo yang tanpa diperintah sudah mengepung dua orang kakek itu dan membuat lingkaran besar.

Dari belakang punggung para murid yang mengepung tempat itu, Sutejo memandang ke dalam lingkaran. Dia melihat betapa dua orang kakek itu berdiri dengan kaki terpentang lebar dan sikap mereka menantang sekali. Ia sudah tahu betapa saktinya Ki Klabangkolo yang baru bertemu tanding sesudah Maheso Seto dan Rahmini mengeroyoknya. Sutejo lalu memandang kepada kakek kedua dengan penuh perhatian.

Dia melihat betapa sepasang mata kakek yang kedua itu seperti mata elang, amat tajam dan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Juga muka itu masih seperti seorang pemuda saja. Dari sini dia dapat menduga bahwa kakek itu tentu mempunyai kesaktian yang lebih hebat dibanding Ki Klabangkolo. Kalau tidak demikian agaknya Ki Klabangkolo tidak akan berani menantang perguruan Jatikusumo karena dahulu dia sudah pernah dikalahkan oleh pengeroyokan dua orang murid kepala Jatikusumo. Agaknya kakek itu kini berani datang berkunjung untuk membalas kekalahannya, tentu ada yang dia andalkan dan tampaknya kakek tinggi kurus itulah yang menjadi andalannya.

Begitu melihat Ki Klabangkolo, Rahmini tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu sambil berseru, "Ternyata engkau, Ki Klabangkolo! Apakah engkau minta mati maka berani datang menentang kami setelah engkau kami kalahkan dulu itu?"

"Ha-ha-ha-ha, Bhagawan Sindusakti, agaknya di perguruan Jatikusumo ini, engkau hanya pandai mengajarkan ilmu keroyokan pada murid-muridmu, seperti ilmunya segerombolan srigala yang pengecut!"

Disindir begitu, wajah Rahmini menjadi merah. Akan tetapi Bhagawan Sindusakti masih bersikap tenang dan sabar walau pun mukanya berubah kemerahan.

"Siapakah andika berdua, Ki sanak? Dan apa sebabnya datang-datang memukuli murid kami?"

"Heh-heh-heh, ternyata telingamu tidak dapat mendengar dan matamu tidak dapat melihat sampai jauh. Ketahuilah, namaku Ki Klabangkolo dan dia ini adalah kakak seperguruanku yang bernama Resi Wisangkolo dari Lembah Brantas."

Diam-diam Bhagawan Sindusakti terkejut. Dia baru mendengar nama Ki Klabangkolo dari kedua orang muridnya, yaitu Maheso Seto dan Rahmini yang baru dapat mengalahkannya sesudah mereka berdua mengeroyoknya. Dia pun sudah pernah mendengar akan nama besar Resi Wisangkolo dari Lembah Brantas yang kabarnya merupakan seorang yang sakti mandraguna. Akan tetapi dia masih bersikap tenang.

"Ahh, kiranya Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo yang datang berkunjung. Tidak tahu ada keperluan apakah andika berdua berkunjung ke perguruan Jatikusumo?"

"Bhagawan Sindusakti, kami berdua menantang perguruan Jatikusumo untuk melakukan pertandingan adu kesaktian. Akan tetapi, kalau memang perguruan Jatikusumo memiliki orang-orang pandai dan kalau berani, jangan main keroyokan, melainkan bertanding «atu lawan satu! Aku tidak terima karena tempo hari aku pernah dikeroyok oleh kedua orang muridmu ini. Sekarang aku menantang untuk bertanding satu lawan satu, akan tetapi jika memang perguruan Jatikusumo terdiri dari orang orang pengecut dan beraninya hanya main keroyokan, kami pun tidak takut!"

Kata-kata yang penuh tantangan dan kesombongan itu tentu saja segera membakar hati Bhagawan Sindusakti dan pnra muridnya. Terutama sekali Cangak Awu yang berwatak keras, jujur dan kasar. Dia sudah melompat ke depan sambil membawa tongkatnya.

"Ki Klabangkolo! Andika ini orang sudah tua akan tetapi masih sombong dan tidak tahu aturan! Apakah kau kira di duuia ini hanya engkau saja yang memiliki kepandaian? Kami orang-orang Jatikusumo bukan bangsa pengecut. Akulah yang berani menandingimu satu lawan satu!"

Maheso Seto dan Rahmini yang telah mengetahui kesaktian Ki Klabangkolo, memandang dengan khawatir, akan tetapi karena adik seperguruan itu sudah maju, mereka tidak dapat menghalanginya. Juga Bhagawan Sindusakti tak dapat mencegah muridnya yang hendak menandingi musuh itu.

Melihat majunya Cangak Awu, Ki Klabangkolo tertawa. Sejenak dia memandang kepada pemuda tinggi besar itu, lalu katanya lantang. "Bocah masih bau popok berani melawan aku? Minggirlah dan suruh gurumu saja yang maju, karena melawan murid Jatikusumo terlalu tanggung bagiku!"

Cangak Awu menjadi semakin marah. "Tua bangka sombong, lihat tongkatku!" serunya dan mulailah dia menyerang.

Tongkatnya menyambar sambil mengeluarkan suara mengiuk ketika menyambar ke arah kepala Ki Klabangkolo. Namun dengan tenang kakek ini mundur satu langkah dan ketika tangan kirinya bergerak ke atas, dia sudah menangkis tongkat itu dengan lengannya.

"Dukkk!"

Tongkat yang keras itu bertemu dengan lengan dan akibatnya Cangak Awu terdorong dan terhuyung ke belakang. Akan tetapi pemuda yang pemberani ini tidak menjadi gentar dan dia menyerang terus dengan nekat dan dahsyat. Gerakannya memang sangat kuat dan pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi dalam perguruan Jatikusumo.

Ki Klabangkolo melawan dengan seenaknya. Meski dia tidak memegang senjata apa pun, akan tetapi dua lengannya mampu menangkis tongkat dan setiap kali dia mengelebatkan lengan bajunya yang lebar, ujung lengan baju itu menyambar dan merupakan serangan yang sangat berbahaya bagi Cangak Awu. Agaknya dia hendak mempermainkan Cangak Awu untuk memamerkan kepandaiannya.

Tampaknya saja Cangak Awu banyak menyerang, akan tetapi kenyataannya dialah yang terdesak. Hal itu adalah karena setiap kali menangkis, kakek itu langsung membalas dan setiap serangannya, baik dengan ujung lengan baju atau tamparan tangannya, merupakan serangan yang amat berbahaya bagi Cangak Awu sehingga pemuda itu terdesak mundur.

Akan tetapi dasar pemuda ini berwatak keras dan pantang mundur. Cangak Awu menjadi semakin penasaran dan pada suatu saat yang baik dia mempergunakan tongkatnya untuk menusuk ke arah dada Ki Klabangkolo.

"Dukkk!"

Ki Klabangkolo menangkis hingga tongkat itu terpental, akan tetapi secepat kilat Cangak Awu membalik tongkatnya dan mempergunakan ujung yang lain untuk ditusukkan ke arah perut lawan dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

"Wuuuuttt...! Cappp...!"

Tongkat itu seolah menancap ke dalam perut Ki Klabangkolo! Akan tetapi kakek itu malah terkekeh dan ketika Cangak Awu menarik tongkatnya, dia tidak mampu mencabut tongkat yang tampaknya seperti menancap ke dalam perut itu. Padahal ujung tongkat itu tidak menancap melainkan tersedot ‘masuk’ dan terjepit sehingga tidak dapat ditarik lagi oleh Cangak Awu.

Pemuda itu menjadi penasaran dan menarik lagi dengan tenaga sepenuhnya. Pada saat itu, Ki Klabangkolo melepaskan jepitan perutnya dan berbareng menendang dengan kaki kiri yang mengenai dada Cangak Awu.

"Desss...!"

Tak dapat ditahan lagi, tubuh Cangak Awu yang terbawa oleh tenaga betotannya sendiri, ditambah tenaga tendangan lawan, terlempar sampai jauh ke belakang kemudian jatuh terbanting keras! Untunglah tubuh pemuda itu kuat dan kebal sehingga dia tidak terluka parah, akan tetapi tetap saja kepalanya pening dan napasnya agak terengah-engah ketika dia bangkit berdiri dengan terhuyung.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)