PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-22


"Kakek sombong, akulah lawanmu!" terdengar bentakan nyaring, tahu-tahu Rahmini telah melompat ke depan sebelum dapat dicegah suaminya. Melihat adik seperguruannya tadi terpental dan roboh, wanita keras hati yang galak ini tidak dapat menahan kemarahannya. "Sambutlah cambukku ini!" Ia mencabut cambuk dan pinggangnya dan memutarnya lalu meledakkan cambuk itu di atas kepalanya.

"Tar-tar-tar...!” Pecut itu meledak-ledak, kemudian menyambar turun mematuk ubun-ubun kepala Ki Klabangkolo!

Serangan itu dahsyat dan berbahaya sekali, namun Ki Klabangkolo tidak menjadi gentar, bahkan dengan tenangnya dia mengibaskan tangan kirinya dan ujung lengan baju yang panjang itu menangkis sambaran ujung cambuk yang melecut ke arah kepalanya.

"Prattt...!"

Ujung cambuk bertemu ujung lengan baju dan ujung cambuk itu terpental ke atas! Akan tetapi dengan putaran pergelangan tangan, Rahmini sudah dapat menyerang lagi dengan lecutan ke arah dada. Lecutan ini bukan sembarang lecutan karena dengan penggunaan tenaga saktinya ia dapat membuat ujung cambuk itu melecut tegang, ujungnya menjadi kaku dan keras sehingga dapat menotok jalan darah atau urat yang penting di dada dan kalau mengenai sasaran dapat membuat bagian atas tubuh menjadi lumpuh.

Tapi Ki Klabangkolo mengenal serangan yang dahsyat ini, maka dengan menggeser kaki ke kiri dan menyampok dengan tangan kanan, dia dapat mengelak sekaligus menangkis ujung pecut itu. Kini dia membalas dengan tamparan dari kiri ke arah tengkuk Rahmini.

Cepat dan kuat bukan main tamparan ini sehingga Rahmini yang diserang dari sebelah kanannya itu terpaksa harus membuang diri ke kiri dengan loncatan. Untuk mencegah agar lawan tidak mendesaknya, ia lalu memutar pecutnya yang berubah menjadi gulungan sinar yang seolah menjadi perisai bagi dirinya.

Pertandingan berjalan seru. Walau pun tingkat kepandaian Rahmini masih lebih tinggi dan matang dibandingkan tingkat yang dimiliki Cangak Awu, akan tetapi tetap saja dia masih belum mampu menandingi Ki Klabangkolo. Bahkan kadang kala lecutan cambuknya yang tidak terlalu berbahaya, diterima begitu saja oleh tangan Ki Klabangkolo dan beberapa kali ujung pecutnya dapat tertangkap jari-jari tangan Ki Klabangkolo dan sesudah terjadi tarik menarik, ujung pecut itu putus sampai tiga kali!

Ki Klabangkolo yang agaknya tidak ingin lebih lama lagi menandingi Rahmini, mendadak merendahkan tubuhnya dan dua tangannya didorongkan ke depan sambil mengeluarkan auman seperti singa yang marah.

"Haunggggg...! Wirrrrrr...!"

Angin kencang sekali menyambar ke arah Rahmini. Wanita itu cepat menyambut dengan dorongan kedua tangannya karena tak sempat mengelak lagi. Akibat benturan dua tenaga sakti itu, tubuh Rahmini terjengkang dan untung ia dapat berjungkir balik sampai tiga kali sehingga tak sampai terbanting seperti Cangak Awu. Akan tetapi napasnya agak terengah dan wajahnya pucat sekali.

Maheso Seto marah melihat kekalahan isterinya. Ia melompat ke depan dan dengan halus menarik tangan isterinya, disuruhnya mundur. Rahmini yang telah merasa kalah, tak mau membantah kemudian berdiri dekat guru dan saudara-saudara seperguruannya, menonton dengan hati tegang karena dia maklum bahwa suaminya belum tentu mampu menandingi Ki Klabangkolo yang demikian saktinya. Dahulu pun apa bila suaminya tidak mendapat bantuannya sehingga mereka berdua mengeroyok Ki Klabangkolo, belum tentu kakek itu dapat dipukul mundur.

Maheso Seto juga maklum bahwa lawannya adalah seorang yang sakti mandraguna, oleh karena itu diam-diam dia sudah mengerahkan semua tenaga saktinya, disalurkan lewat kedua tangannya.

Bhagawan Sindusakti yang melihat kekalahan Cangak Awu dan Rahmini, dapat menduga pula bahwa Maheso Seto sukar untuk mencapai kemenangan melawan Ki Klabangkolo. Namun dia tidak melarang murid kepala itu maju, karena dia sendiri merasa perlu untuk menyaksikan dan meneliti ilmu yang dipergunakan Ki Klabangkolo agar nanti dia dapat menguasai keadaan apa bila dia yang bertanding melawan kakek sombong itu.

Sementara itu semenjak tadi Sutejo terus mengamati jalannya pertandingan. Dia melihat bahwa dalam hal ilmu silat, agaknya Cangak Awu bahkan Rahmini tidak kalah oleh Ki Klabangkolo. Ilmu silat para murid Jatikusumo itu memiliki dasar yang lebih baik dan lebih kuat. Juga dia melihat bahwa baik Cangak Awu mau pun Rahmini telah menguasai ilmu-ilmu dari perguruan Jatikusumo seperti Aji Sihung Nila, Harina Legawa, dan Gelap Musti, dengan amat baiknya. Akan tetapi mereka berdua itu masih lemah dalam hal penggunaan tenaga sakti dibandingkan Ki Klabangkolo. Inilah yang membuat mereka kalah. Dia harus mengakui bahwa Ki Klabangkolo agaknya mempunyai tenaga sakti yahg amat kuat, juga memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa.

Maheso Seto adalah seorang murid kepala Jatikusumo yang sudah mencapai tingkat tinggi. Di samping wataknya yang gagah berani dan suka menentang kejahatan, dia pun adil dan keras. Sayang dia memiliki keangkuhan yang timbul dari kedudukannya sebagai murid kepala.

Maka dia maju menghadapi Ki Klabangkolo dengan tangan kosong, karena dia tidak ingin disebut licik kalau meraih kemenangan mempergunakan senjatanya melawan orang yang tak bersenjata! Biar pun kalah, dia harus kalah dalam keadaan yang gagah! Demikianlah, dia menghadapi Klabangkolo dengan tangan kosong pula.

Ki Klabangkolo mengerutkan alis ketika melihat Maheso Seto maju hendak melawannya. "Hemm, engkau pernah mengalahkan aku, akan tetapi dengan pengeroyokan. Sekarang tibalah saatnya aku membalas kekalahanku itu!"

"Boleh kau coba, Ki Klabangkolo. Akulah lawanmu!"

"Ha-ha-ha, lebih baik engkau mundur dan suruh gurumu saja yang maju menghadapiku!" kata pula Ki Klabangkolo dengan suara tawa mengejek.

"Tidak usah banyak cakap, akulah yang akan menandingimu!" kata Maheso Seto sambil membuat pasangan kuda-kuda Jatikusumo yang amat gagah. Dia mengangkat kaki kanan ke atas, dua tangan merangkap sebagai sembah ke depan dada dan kepalanya menoleh ke kanan menghadapi lawannya.

"Ha-ha-ha, engkau mencari penyakit, orang muda. Majulah!"

"Sambutlah seranganku!" Maheso Seto segera menyerang dengan cepat dan kuat sekali, menggunakan tangan kirinya menampar ke arah muka dan tangan kanan menyusulkan pukulan ke arah dada. Gerakannya amat tangkas, cepat dan bertenaga hingga pukulan-pukulannya mendatangkan angin yang bersiutan.

Ki Klabangkolo maklum bahwa lawannya ini tidak dapat dipersamakan dengan dua orang lawannya yang lalu, maka dia pun mengerahkan tenaganya dan cepat menghindar dari kedua serangan itu, membalikkan tubuh ke belakang kemudian dia membalik lagi, kakinya menyambar bagaikan palu godam ke arah muka Maheso Seto.

"Plakk!"

Maheso Seto terpaksa menangkis karena untuk mengelak dia sudah tidak sempat lagi, demikian cepatnya kaki lawan itu menyambar ke arah mukanya. Akan tetapi tangkisan itu bertemu dengan kaki yang mengandung tenaga yang besar sekali sehingga Maheso Seio terpaksa melompat ke belakang untuk mencegah dirinya terhuyung.

Maheso Seto tidak menjadi jerih dan kembali dia mendahului lawannya, maju menyerang dengan kecepatan kilat. Dalam sedetik saja kedua tangannya sudah melakukan serangan beruntun ke arah dada dan lambung.

Walau pun dia memiliki kekebalan tubuh yang hebat, namun Ki Klabangkolo tidak berani menerima serangan lawan itu dengan mengandalkan kekebalannya. Hal itu akan terlalu berbahaya melihat betapa pukulan-pukulan itu mendatangkan angin yang menerpa keras sekali. Maka dia pun menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua pukulan Maheso Seto, kemudian membalas pula dengan pukulan tangannya yang ampuh.

Terdengar dak-duk dak-duk dan plak-plak yang keras dan menggetarkan pada waktu dua pasang lengan itu sering kali bertemu di udara. Akan tetapi Maheso Seto harus mengakui dalam hatinya bahwa dalam hal tenaga sakti dia masih kalah kuat dibandingkan lawannya. Beberapa kali kalau mereka beradu tenaga sakti, dia terdorong mundur beberapa langkah sedangkan lawannya masih tegar berdiri kokoh di atas kedua kakinya. Lambat laun dia pun terdesak mundur dan mundur terus walau pun dia masih mampu menangkis semua pukulan lawan.

"Mundurlah, Maheso Seto!" Bhagawan Sindusakti membentak ketika melihat murid kepala itu tidak mampu menandingi lawan.

Akan tetapi dasar watak Maheso Seto yang keras, maka sukar baginya untuk mundur dan mengaku kalah begitu saja. Pada saat itu dia telah mengumpulkan semua tenaganya dan menyerang lawan dengan pukulan jarak jauh, yaitu Aji Gelap Musti. Lawannya juga telah merendahkan diri dan menyambut pukulan itu dengan Aji Singorodra.

Dua pasang tangan saling dorong dan dua tenaga sakti jarak jauh saling bertumbukan di udara dengan hebatnya.

"Blarrrrr...!"

Semua orang merasakan pertemuan dua tenaga sakti yang membuat tempat itu seolah tergetar. Akibatnya sungguh hebat. Tubuh Maheso Seto terlempar ke belakang bagaikan daun kering yang tertiup angin, sedangkan Ki Klabangkolo masih berdiri tegak dan hanya napasnya sedikit terengah.

Rahmini cepat menyambar tangan suaminya dan membantunya berdiri tegak agar tidak sampai terbanting roboh. Akan tetapi Maheso Seto mengerutkan alisnya dan wajahnya pucat sekali, kemudian dia menjatuhkan diri duduk bersila untuk mengatur pernapasan karena di sebelah dalam dadanya terguncang hebat yang dapat menimbulkan luka parah kalau tidak cepat dipulihkan dengan hawa murni.

"Ha-ha-ha, cuma sebegitu saja kedigdayaan para murid Jatikusumo?"

Bhagawan Sindusakti memandang dengan alis berkerut. Tahulah dia bahwa kedatangan dua orang pendeta sesat itu merupakan mala petaka bagi perguruan Jatikusumo.

Dia tahu bahwa tingkat kepandaian murid kepala Maheso Seto sudah mencapai tingkat tinggi. Semua ilmu yang dia kuasai sudah dia ajarkan kepada murid kepala ini dan tingkat kepandaian Maheso Seto sudah sejajar dengan tingkatnya. Kalau Maheso Seto dapat dikalahkan Ki Klabangkolo sedemikian mudahnya, dia tahu bahwa dia sendiri pun tidak akan mampu menandingi pendeta sesat itu. Akan tetapi dia tidak mempunyai pilihan lain. Dia harus maju menandingi Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo untuk mempertahankan nama dan kehormatan perguruan Jatikusumo.

Akan tetapi ketika dia bergerak ke depan, dengan nekat hendak melawan Ki Klabangkolo, tiba-tiba seseorang sudah melompat dari kelompok para murid yang mengepung tempat itu. Orang ini ternyata adalah Sutejo yang sudah menghadap Bhagawan Sindusakti dan menyembah sambil berdiri membungkuk.

"Paman, perkenankan saya untuk menghadapi Ki Klabangkolo dan menandinginya!" kata Sutejo.

Bhagawan Sindusakti mengerutkan alisnya dan memandang ragu. Kalau muridnya yang maju membela nama perguruan Jatikusumo, hal itu adalah sewajarnya. Akan tetapi Sutejo bukan murid langsung Jatikusumo, kalau sampai pemuda ini tewas dalam menandingi Ki Klabangkolo, sungguh dia akan merasa sangat tidak enak. Pemuda ini boleh dianggap sebagai orang luar. Pula, bagaimana mungkin Sutejo mampu menandingi Ki Klabangkolo sedangkan para muridnya juga tidak mampu? Bahkan dia tidak menyalahkan dan tidak mengharapkan Priyadi untuk maju karena selain hal itu percuma, juga membahayakan keselamatan muridnya itu.

"Sutejo, engkau tidak berhak mencampuri urusan kami perguruan Jatikusumo!" tiba-tiba Rahmini berseru ketus. "Lagi pula, apamukah yang kau andalkan untuk menandingi lawan sedangkan kami semua juga sudah dikalahkannya? Mundurlah dan jangan mengganggu Bapa Guru!"

Mendengar ucapan Rahmini itu, juga melihat sikap para murid Jatikusumo yang agaknya membenarkan ucapan itu dan melihat pula keraguan di dalam pandang mata Bhagawan Sindusakti, Sutejo maklum bahwa kalau dia menunggu perkenan dari pihak perguruan Jatikusumo maka dia tidak akan pernah dapat menandingi Ki Klabangkolo yang masih berdiri dengan congkaknya.

"Ki Klabangkolo, melihat kesombonganmu membuat semua orang merasa muak dan aku sendiri pun merasa penasaran. Aku bukanlah murid langsung dari Jatikusumo, akan tetapi masih ada hubungan dekat karena guruku adalah adik seperguruan Paman Bhagawan Sindusakti. Sekarang aku, atas namaku sendiri, menantangmu untuk bertanding. Kalau aku sampai terluka atau mati dalam pertandingan ini, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan perguruan Jatikusumo dan aku sendiri yang bertanggung jawab. Bagaimana, Ki Klabangkolo apakah engkau berani menyambut tantanganku?"

Ki Klabangkolo tertawa bergelak memandang kepada Sutejo. "Bocah cilik! Sepantasnya engkau masih menyusu di dada ibumu, tidak keluyuran sampai ke sini dan minta mati di tanganku!"

"Ki Klabangkolo, tak perlu kau mengumbar kesombonganmu melalui mulutmu yang lebar. Katakan saja terus terang jika engkau tidak berani yang akan menunjukkan bahwa engkau tiada lain hanyalah seorang pengecut hina!"

Sepasang mata Ki Klabangkolo terbelalak lebar, ada pun mukanya yang penuh brewok itu berubah merah, kumis dan jenggotnya seolah-olah berdiri saking marahnya mendengar ucapan yang amat menghina dan merendahkannya itu.

"Jahanam Sutejo! Kalau aku tidak mampu merobek mulutmu dan melumatkan kepalamu, jangan panggil aku Ki Klabangkolo lagi!" bentaknya.

Dia sudah mengangkat kedua tangannya ke atas dan jari-jari tangan itu membentuk cakar harimau, lalu dia mengeluarkan gerengan dengan Aji Singanada. Suaranya menggetarkan seluruh tempat itu hingga para murid Jatikusumo harus melangkah mundur, hampir tidak kuat menahan guncangan jantung mereka akibat getaran yang ditimbulkan gerengan Aji Singanada itu.

Akan tetapi Sutejo yang diserang langsung, diam-diam mengerahkan tenaga saktinya untuk menolak serangan itu dan dia melambaikan tangan sambil tersenyum dan berkata,

"Sudahlah, Ki Klabangkolo. Gerenganmu itu hanya untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Tidak ada gunanya kau perlihatkan di sini, menambah buruk mukamu saja!"

Diam-diam Bhagawan Sindusakti merasa heran dan terkejut sekali. Dia sendiri merasakan getaran hebat dari gerengan itu dan Sutejo yang diserang langsung masih enak-enak saja malah mengeluarkan kata-kata mengejek lawan. Mulailah dia memandang pemuda itu dengan perhatian penuh dan diam-diam muncul harapan dalam hatinya bahwa pemuda itu akan dapat menghindarkan perguruan Jatikusumo dari kehancuran dua orang kakek itu.

Ki Klabangkolo juga terkejut sekali melihat pemuda itu tegar dan biasa saja menghadapi serangan pekik saktinya seolah tidak merasakan apa-apa. Hal ini membuatnya menjadi penasaran dan semakin marah.

"Mampuslah!" bentaknya dan kedua tangan yang diangkat ke atas membentuk cakar itu tiba-tiba menghunjam ke bawah, menerkam ke arah tubuh Sutejo!

Bhagawan Sindusakti dan para muridnya memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang karena maklum betapa dahsyatnya serangan yang dikeluarkan Ki Klabangkolo itu. Akan tetapi tubuh Sutejo bergerak dengan ringan dan cepat sekali sehingga terkaman Ki Klabangkolo itu hanya mengenai tempat kosong belaka karena tubuh pemuda itu sudah menghindar dengan kecepatan kilat.

Ki Klabangkolo memutar tubuh dan cepat dia sudah menyerang lagi, kini menggunakan ujung lengan baju kirinya yang menyambar ke arah dada Sutejo dan disusul tangan kanan yang menampar ke arah kepala pemuda itu. Akan tetapi kembali serangannya gagal sama sekali karena kedua serangan itu pun hanya mengenai angin saja dan tubuh Sutejo telah menyelinap dengan cepatnya dan tahu-tahu telah berada di belakangnya!

Walau pun tubuh Ki Klabangkolo tinggi besar seperti raksasa, namun ternyata dia dapat bergerak dengan gesit pula. Begitu tubuh Sutejo berkelebat dan lenyap, lolos dari dua serangannya, dia sudah dapat menduga bahwa lawannya itu tentu berada di belakangnya maka secepat kilat dia sudah membalikkan tubuh lagi dan menghadapi Sutejo.

Ki Klabangkolo menyerang lagi secara bertubi-tubi, namun Sutejo tetap mengandalkan keringanan dan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini dan semua serangan berantai itu tak pernah mengenai sasaran. Melihat gerakan pemuda yang selalu mengelak itu, Ki Klabangkolo menduga bahwa pemuda yang menjadi lawannya itu hanya memiliki keringanan tubuh yang sangat hebat dan hanya mengandalkan kelincahannya untuk terus mengelak dan menghindar. Dia menganggap bahwa Sutejo tidak memiliki ilmu kepandaian lain kecuali mengelak dengan lincahnya. Karena iiu dia menyerang semakin hebat dan bertubi tubi karena merasa yakin bahwa lambat laun tentu terkamannya akan mengenai sasaran juga dan pemuda itu tentu akan roboh kalau terkena satu kali tamparannya saja.

Bhagawan Sindusakti serta empat orang murid utamanya mengikuti gerakan Sutejo dan mereka pun terkagum-kagum. Mereka mengenal gerakan itu sebagai gerakan dasar aliran Jatikusumo dan mengandalkan Aji Harina Legawa yang membuat orang dapat bergerak ringan dan cepat. Akan tetapi, biar pun mereka sendiri telah menguasai aji itu, tak pernah mereka dapat membayangkan betapa Aji Harina Legawa dapat membuat orang bergerak seringan dan secepat itu.

Mereka semua tidak tahu bahwa Sutejo telah menerima peralihan tenaga sakti dari tubuh mendiang Resi Limut Manik ke dalam tubuhnya sendiri. Kini dia seolah telah menjadi Resi Limut Manik muda!

"Keparat! Kalau engkau memang gagah, jangan hanya lari mengelak saja! Hadapi dan sambutlah serangankut" bentak Ki Klabangkolo yang merasa penasaran dan pening juga sesudah semua serangannya hanya mengenai tempat kosong.

Hal ini sangat melelahkan karena tenaga yang dikeluarkan melalui serangan-serangannya tak pernah mengenai sasaran dan pengerahan tenaga yang mengenai tempat kosong ini amat melelahkan. Karena bagaimana pun juga dia berusaha selalu saja gagal maka dia lalu mengeluarkan makian itu.

"Kau kira aku takut menyambut seranganmu? Kau lihat saja!" kata Sutejo.

Dia cepat mengerahkan tenaga saktinya, disalurkan ke arah kedua lengannya. Pada saat itu tamparan tangan kiri Ki Klabangkolo sudah menyambar lagi ke arah mukanya. Untuk membuktikan ucapannya, Sutejo tidak lagi mengelak melainkan dia menggerakkan lengan kanannya dari bawah ke atas untuk menangkis tamparan tangan kiri lawan itu.

"Wuuuttt...! Dukkkk!"

Kedua lengan bertemu dengan kerasnya dan keduanya tergetar hebat, akan tetapi kalau Sutejo hanya melangkah ke belakang satu langkah saja, tubuh Ki Klabangkolo terhuyung mundur sampai tiga langkah!

Semua orang terkejut dan heran. Bhagawan Sindusakti hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin Sutejo dapat menandingi bahkan melebihi kekuatan tenaga sakti Ki Klabangkolo yang demikian besar?

Juga Maheso Seto yang kini sudah bangkit berdiri dan menonton bersama isterinya dan adik-adiknya, dibuat tercengang menyaksikan perlawanan Sutejo kepada Ki Klabangkolo. Rahmini menonton dengan kedua pipi berubah kemerahan. Ia merasa malu kepada diri sendiri kalau teringat betapa tadi dia memandang rendah dan menghina pemuda itu.

Ki Klabangkolo sendiri terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda yang menjadi lawannya itu bukan hanya memiliki kelincahan yang luar biasa, melainkan juga memilik tenaga yang mampu menandingi bahkan melampaui tenaga saktinya! Dia semakin penasaran. Kalau seandainya dia dikalahkan oleh Bhagawan Sindusakti, hal itu masih belum memalukan karena Bhagawan Sindusakti, adalah ketua Jatikusumo dan usianya bahkan sudah jauh lebih tua darinya. Akan tetapi pemuda ini? Patut menjadi anak atau keponakannya, atau muridnya!

Maka dia menjadi penasaran dan segera dia mengerahkan tenaganya dan merendahkan tubuhnya, hendak mengeluarkan aji yang paling dia andalkan, yaitu Aji Singakroda yang mengandung tenaga dalam yang dapat dipergunakan untuk merobohkan lawan dan jarak jauh!

"Arrgghhhh...!" Dia menggereng dan kedua tangannya dengan telapak tangan menghadap ke depan didorongkan ke arah Sutejo.

Pemuda ini sudah maklum akan kedahsyatan serangan jarak jauh itu, maka dia pun cepat mengerahkan tenaganya dan menekuk kedua lututnya, mendorong kedua tangannya ke depan dengan Aji Gelap Musti.

"Wuitttt...! Blaarrrr...!"

Dua tenaga sakti bertemu di udara dan sekali ini Ki Klabangkolo benar-benar bertemu tanding. Tubuhnya terjengkang dan dia roboh lalu bergulingan sampai ke dekat kaki Resi Wisangkolo. Resi ini menggunakan sebatang tongkat ular hitam yang berada di tangan kanannya untuk menahan tubuh kawannya yang bergulingan itu. Ki Klabangkolo bangkit berdiri dengan muka pucat dan dari ujung mulutnya keluar darah, tanda bahwa dia telah terluka di sebelah dalam tubuhnya.

Sutejo sendiri tetap berdiri kokoh seperti batu karang, hanya napasnya saja yang sedikit memburu karena pengerahan tenaga dalam yang amat besar tadi.

Terdengar sorak sorai dari semua murid Jatikusumo yang mengepung tempat itu. Rasa lega dan girang meledak di hati mereka yang sejak tadi amat tegang dan prihatin melihat betapa para murid kepala Jatikusumo berturut-turut mengalami kekalahan. Kini, biar pun Sutejo bukan murid langsung perguruan Jatikusumo, namun pemuda itu masih mengaku bahwa dia murid Jatikusumo, maka tentu saja para murid itu merasa gembira bukan main melihat betapa Sutejo mampu mengalahkan Ki Klabangkolo.

Maheso Seto, Rahmini dan Cangak Awu tidak bersorak, akan tetapi wajah mereka juga berseri penuh kegembiraan dan kekaguman. Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk, ikut merasa bangga. Hanya Priyadi yang menyambut kemenangan Sutejo dengan wajah dingin, alisnya berkerut sedikit dan dia membuat perbandingan apakah sekiranya Sutejo akan mampu menandinginya yang kini sudah memiliki ilmu-ilmu yang ampuh. Akan tetapi dia hanya diam saja dan menanti perkembangan lebih lanjut karena di situ masih terdapat seorang musuh lain yang agaknya lebih tangguh dibandingkan Ki Klabangkolo, yaitu Resi Wisangkolo.

Resi Wisangkolo tiga kali menepuk tengkuk adik seperguruannya dan dengan jari tangan kiri mengurut punggung Ki Klabangkolo. Setelah itu dia pun berkata, suaranya kecil tinggi seperti suara wanita.

"Mundur dan mengasolah, Klabangkolo. Biarlah aku yang memberi hajaran kepada bocah ini."

Ki Klabangkolo segera mundur dan Resi Wisangkolo menancapkan tongkat ular hitamnya di tanah, kemudian meninggalkan tempat itu dan melangkah maju menghampiri Sutejo. Wajahnya yang masih halus seperti wajah orang muda itu tersenyum dan mata elangnya bersinar penuh selidik ke arah wajah Sutejo.

"Sutejo, engkau masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Akan tetapi sayang, hari ini semua ilmumu akan musnah!"

"Sang Resi Wisangkolo, betapa pun juga pada akhirnya kesesatan akan kalah melawan kebenaran. Engkau membela kesesatan, maka aku berani melawanmu dan siapa yang akan kalah atau menang, kita sama lihat saja nanti!" jawab Sutejo dengan tenang.

"Sutejo, aku dapat menghilang dari pandang mata orang! Lihat, aku sudah menghilang!"

Kakek itu mengeluarkan suara pekik melengking dan tiba-tiba tubuhnya hilang terbungkus asap hitam yang tebal. Keadaan ini tentu saja amat berbahaya bagi Sutejo karena kalau lawan menyerang dia tidak dapat melihat gerakannya. Bukan Sutejo saja yang melihat kakek itu lenyap terbungkus asap hitam tebal, bahkan Bhagawan Sindusakti dan semua muridnya juga melihat demikian. Mereka terkejut dan merasa khawatir sekali.

Tapi Sutejo bersikap tenang, mengikatkan sarungnya di pinggang, kemudian dia melolos ikat kepalanya yang lebar dan panjang dan menghantamkan kain ikat kepala itu ke arah asap hitam tebal sambil membentak nyaring.

"Haiiiitttttt...!"

Kain ikat kepala itu menyambar dengan amat kuatnya mendatangkan angin bersiutan.

"Wuusssss...!"

Asap hitam tebal itu seketika membuyar dan tampaklah lagi tubuh Resi Wisangkolo yang tinggi kurus, rambutnya yang putih semua. Senyum yang tadinya menghias wajah Resi Wisangkolo menghilang dan dia membelalakkan matanya memandang kepada Sutejo, seolah-olah masih tidak dapat percaya bahwa pemuda itu dapat memunahkan aji sihirnya sedemikian mudah. Dia lalu menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan ikatan tali pinggangnya dan kini tali pinggang itu merupakan kolor bercabang dua yang panjang.

"Sambutlah kolor pusakaku!" bentaknya dan begitu kedua tangannya bergerak, dua helai kolor itu telah menyambar, sehelai ke arah kepala dan sehelai lagi ke arah dada! Dan dua serangan itu dahsyat bukan main, kuat dan cepat sekali sehingga lenyap bentuk tali kotor, berubah menjadi sinar putih yang menyambar bagaikan kilat ke arah dua bagian tubuh Sutejo.

Akan tetapi Sutejo tidak pernah lengah. Dia pun memaklumi benar bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang sama sekali tak boleh dipandang ringan, seorang yang sakti mandraguna dan berhati kejam, tidak ragu untuk mempergunakan segala ilmunya untuk membunuhnya.

Oleh karena itu, melihat dua sinar putih meluncur ke arahnya, dia pun menggerakkan kain pengikat kepalanya dan begitu kain itu diputarnya, saking cepatnya yang tampak hanyalah sinar kelabu yang bergulung-gulung dan membentuk perisai di depan tubuhnya. Ketika dua sinar putih itu bertemu dengan gulungan sinar kelabu yang membentuk perisai, dua sinar putih itu terpental kembali karena sudah tertangkis oleh kain ikat kepala.

Dan Sutejo tidak berhenti sampai di situ saja. Sesudah kain pengikat kepalanya berhasil menangkis serangan lawan, pemuda ini segera membalas. Dengan gerakan pergelangan tangannya, ujung kain pengikat kepala itu melejit dan mengeluarkan bunyi berciutan ketika menyambar ke arah dada Resi Wisangkolo.

Meski pun yang dipergunakan untuk menyerang hanya sehelai kain, akan tetapi serangan ini sama sekali tidak boleh dipandang rendah karena ujung kain pengikat kepala itu telah disaluri tenaga sakti yang membuat ujung kain dapat menjadi kaku dan keras seperti baja! Resi Wisangkolo juga mengenal serangan ampuh, maka dia segera mundur ke belakang menghindarkan diri sehingga ujung kain pengikat kepala itu hanya menyambar angin.

Dua orang itu bertarung dengan seru sekali. Saling serang dan gerakan mereka demikian ringan dan cepatnya sehingga bentuk tubuh mereka tidak dapat tampak jelas lagi. Yang tampak hanyalah dua bayang-bayang berkelebatan di antara gulungan sinar putih dan kelabu. Dan pertarungan mereka itu terasa oleh semua orang karena injakan kaki kedua bayang-bayang itu menggetarkan sekeliling tempat pertempuran sampai belasan meter.

Bhagawan Sindusakti berkali-kali menarik napas panjang. Dia melihat jelas bahwa semua gerakan ilmu silat yang dilakukan Sutejo adalah ilmu silat yang didasarkan ilmu silat murni dari perguruan Jatikusumo. Akan tetapi gerakan itu sedemikian hebat dan sempurnanya sehingga seolah-olah dia melihat mendiang gurunya, Resi Limut Manik sendiri, dalam usia yang masih muda, yang bersilat melawan Resi Wisangkolo!

Hal ini membuat alisnya berkerut dan dalam pikirannya terbayang akan cerita Bhagawan Jaladara bahwa Resi Limuk Manik tewas di tangan Sutejo dan Puteri Wandansari. Kalau seperti ini kehebatan ilmu silat Sutejo, sama sekali bukan hal yang mustahil kalau pemuda ini bersama Puteri Wandansari berhasil membunuh kakek guru mereka.

Akan tetapi benarkah Sutejo yang membunuhnya? Pemuda yang sekarang dengan mati-matian mau membela nama dan kehormatan Jatikusumo dari kehancuran? Hal itu tidak boleh dia terima begitu saja tanpa ada bukti-buktinya. Tapi renungannya ini segera tersita oleh pertarungan yang amat hebat itu. Dia segera memperhatikan jalannya pertandingan dengan penuh perhatian dan di dalam hatinya tentu saja dia mengharapkan agar Sutejo keluar sebagai pemenang.

Pertarungan itu berjalan semakin hebat dan seru. Lecut-melecut dengan cepatnya seperti kilat menyambar, kadang-kadang terdengar semacam ledakan dari ujung kolor atau ujung kain pengikat kepala memukul udara, bahkan kadang kala tampak asap mengepul seolah senjata mereka mengeluarkan api.

Akan tetapi semua serangan kedua pihak tidak pernah berhasil mengenai sasaran. Kalau tidak dielakkan tentu ditangkis.

Mereka sudah saling serang lewat dari lima puluh jurus dan kini keadaan menjadi sangat menegangkan, seolah-olah setiap saat mereka akan melihat seorang di antara kedua orang yang bertarung itu akan roboh dan menggeletak mati.

Mendadak Sutejo menyelinap di antara sinar kelabu, menyuruk ke bawah dan tiba-tiba saja dia mengirim lecutan dengan kain pengikat kepala itu ke arah dada Resi Wisangkolo.

"Wuuuuttt....! Plakk!"

Sekali ini Resi Wisangkolo tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan menyambut lecutan itu dengan dadanya yang kerempeng.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)