PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-23
Kiranya kakek itu sengaja memamerkan kekebalan tubuhnya. Begitu menerima sabetan kain pengikat kepala itu, sehelai di antara dua kolor Resi Wisangkolo sudah menyambar ke arah perut Sutejo.
"Syuuuuttt...! Plakk!"
Agaknya Sutejo juga tidak mau kalah. Dia pun telah mengerahkan Aji kekebalan Kawoco sehingga ketika kolor menghantam perutnya, senjata istimewa yang ampuh itu terpental kembali seolah memukul dinding baja yang tebal dan kokoh.
Maka terjadilah adu kekebalan. Senjata mereka silih berganti menghantam tubuh lawan, namun mereka berdua tidak pernah menangkis atau pun mengelak, melainkan menerima semua serangan itu dengan mengandalkan aji kekebalan mereka. Baju keduanya sudah terkoyak-koyak oleh serangan itu, tetapi tidak ada sedikit pun kulit mereka yang lecet apa lagi terluka!
Agaknya Resi Wisangkolo maklum betul, walau pun dengan perasaan yang mengandung kekejutan dan penasaran, bahwa di luar dugaannya, pemuda itu sanggup menandinginya dan sama sekali dia tidak mampu mendesaknya!
Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan lawan semuda ini akan tetapi sesakti ini, maka dia menjadi penasaran sekali. Lawannya yang masih muda itu mampu menahan pukulan kolor pusakanya dengan mengandalkan aji kekebalannya. Tidak ada gunanya lagi mengandalkan kolornya, pikirnya.
Dia lalu melompat ke belakang dan membelitkan dua helai ujung kolor itu di pinggangnya, kemudian dia menyambar tongkat ular hitam yang tadi ditancapkannya di atas tanah dan memutar-mutar tongkat itu. Tampak sinar hitam bergulung gulung, terdengar suara angin berdesir dan bercuitan dan semua orang mencium bau amis yang memuakkan!
Sutejo terkejut juga. Dia dapat menduga bahwa senjata tongkat kakek itu sangat ampuh dan berbahaya, dan agaknya kakek itu pun memiliki ilmu tongkat yang hebat. Teringatlah dia akan Aji Bajrakirana yang telah dikuasainya. Akan tetapi Pecut Sakti Bajrakirana tidak berada di tangannya, padahal untuk dapat memanfaatkan Aji Bajrakirana, setidaknya dia harus memiliki atau memegang sebatang pecut yang baik!
Sutejo memandang ke sekelilingnya dan berseru, "Siapakah di antara saudara-saudara yang memiliki sebatang senjata pecut? Kalau boleh, hendak saya pinjam sebentar untuk melawan Resi Wisangkolo!"
Tiba-tiba Rahmini berseru, "Terimalah dan pergunakan pecutku ini!" Wanita yang tadinya bersikap galak terhadap Sutejo itu sudah melemparkan pecutnya ke arah Sutejo.
"Terima kasih!" Sutejo berseru sambil menyambar pecut itu dengan tangan kanannya.
Ujung pecut itu sudah putus tiga kali ketika Rahmini bertandang melawan Ki Klabangkolo. Tetapi sesudah memegang dan mencoba memutarnya, dengan girang Sutejo mendapat kenyataan bahwa pecut itu masih cukup baik baginya, untuk dipakai bersilat menurut ilmu pecut Bajrakirana yang sudah dipelajari dan dikuasainya. Maka dia lalu menghadapi Resi Wisangkolo kembali dan memutar-mutar pecut itu di atas kepalanya.
Melihat pemuda itu memegang sebatang pecut, Resi Wisangkolo lalu menerjang dengan tongkat ular hitamnya. Gerakannya dahsyat sekali dan ujung tongkat ular hitam itu seperti seekor ular hidup mematuk ke arah muka Sutejo, di antara kedua matanya. Dahsyat dan berbahaya sekali serangan ini, merupakan serangan maut kalau mengenai sasaran.
Akan tetapi Sutejo sudah siap sedia menghadapi serangan yang paling ampuh sekali pun. Dengan sebatang pecut di tangan kanannya, dia merasa mantap dan tenang. Walau pun pecut itu bukan Pecut Sakti Bajrakirana, akan tetapi pecut itu adalah senjata pegangan Rahmini, tentu saja merupakan senjata yang cukup baik, lebih baik dari pada pecut biasa yang suka dipakai Sutejo kalau dia berlatih ilmu dari Kitab Bajrakirana. Dia menggerakkan pergelangan tangan kanannya dan pecut itu langsung menyambar ke depan, menangkis ujung tongkat.
"Tarrrr...!" Ujung cambuk melecut dan meledak, kemudian menyambar ke arah tongkat.
"Prattt...! Tongkat itu ujungnya terpental ketika tertangkis ujung pecut.
Tapi Resi Wisangkolo sudah cepat menggerakkan tongkatnya untuk menyerang kembali. Gerakannya sangat cepat sehingga sinar tongkatnya bergulung-gulung dan dari gulungan hitam itu kadang mencuat ujung tongkat untuk menyerang dengan tusukan, totokan atau pukulan.
Akan tetapi Sutejo sudah mulai memainkan ilmu silat Bajrakirana. Gerakannya tangkas bukan main. Pecutnya juga menciptakan cahaya merah yang bergulung-gulung. Pecut itu memang berwarna merah dan ke mana pun tongkat itu menyerang, selalu tertangkis oleh pecut dan sebaliknya pecut itu juga menyambar-nyambar dengan ganas dalam serangan balasannya.
Terjadilah pertandingan yang lebih seru dari pada tadi ketika keduanya mempergunakan kolor dan kain ikat kepala sebagai senjata. Kini mereka berdua mempergunakan senjata yang lebih ampuh dan keduanya mengerahkan segala kemampuan untuk mengalahkan lawan, bukan sekedar mengalahkan, bahkan serangan-serangan itu merupakan tangan maut yang menyambar-nyambar hendak merenggut nyawa!
Bau amis dari tongkat Resi Wisangkolo itu saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Namun gerakan cambuk Sutejo mendatangkan angin yang demikian kuat menyambar ke depan sehingga bau amis itu dapat terusir. Mereka saling serang, saling desak, kadang maju kadang mundur dan pertarungan itu semakin seru dan menegangkan semua orang yang menontonnya.
Ki Klabangkolo sendiri telah pulih kembali dan dia pun menonton dengan mata terbelalak. Sekarang dia tidak merasa penasaran kenapa dirinya kalah oleh Sutejo. Kiranya pemuda itu sedemikian saktinya sehingga mampu menandingi Resi Wisangkolo! Mulailah hati Ki Klabangkolo menjadi resah.
Kalau kakak seperguruannya tidak mampu mengalahkan Sutejo, jelas bahwa kedudukan dia dan kakak seperguruannya itu terancam bahaya. Jika guru dan para murid Jatikusumo serentak maju, bagaimana dia akan mampu menandingi mereka? Mulailah dia menonton dengan hati gelisah.
Priyadi yang semenjak tadi menonton, semakin terkejut melihat Sutejo. Pemuda itu betul-betul merupakan lawan yang tangguh. Yang amat menarik hatinya adalah ilmu pecut yang dimainkan Sutejo. Bukan main hebatnya ilmu pecut itu dan dia pun dapat menduga bahwa tentu itu yang disebut Aji Bajrakirana dan yang menjadi ilmu rahasia dari Jatikusumo yang selamanya tidak pernah diajarkan kepada para murid. Bahkan gurunya sendiri pun tidak pernah mempelajarinya.
Dan kini ilmu itu telah dikuasai Sutejo. Padahal Sutejo hanya mempergunakan pecut milik Rahmini. Jika dia memegang Pecut Sakti Bajrakirana, tentu akan lebih hebat dan dahsyat lagi permainan pecutnya. Timbul keinginan hatinya untuk dapat menguasai ilmu itu!
Pertandingan telah berjalan lebih dari lima puluh jurus dan keadaan mereka berdua masih seimbang. Hanya bedanya kalau keadaan tubuh Sutejo masih segar dan tidak berkurang kegesitannya, sebaliknya Resi Wisangkolo mulai mandi keringat dan uap putih mengepul di atas ubun-ubunnya, menandakan bahwa kakek itu sudah mulai kelelahan.
Dalam pertandingan, di mana tenaga mau pun tingkat kepandaian mereka seimbang, soal usia memang memegang peran penting. Resi Wisangkolo yang telah berusia enam puluh tahun itu tentu saja tidak memiliki daya tahan tubuh sekuat Sutejo yang baru berusia dua puluh dua tahun!
Resi Wisangkolo menjadi penasaran sekali. Dia akan mendapat malu dan nama besarnya akan runtuh kalau dia tidak mampu keluar sebagai pemenang, mengalahkan lawan yang masih muda ini. Bagaimana mungkin dia sampai dikalahkan oleh seorang murid muda dari perguruan Jatikusumo?
Dia mulai merasa lelah, napasnya terengah dan dia sadar bahwa kalau dilanjutkan, dia akan semakin kehabisan napas dan kalau sudah begitu, tentu saja dia akan kalah. Karena itu, sebelum tenaganya terkuras, dia hendak mempergunakan aji pamungkasnya, yaitu aji terakhir yang merupakan simpanannya dan juga andalannya. Dia melompat ke belakang lalu menancapkan tongkat ular hitamnya ke atas tanah.
"Heh, Sutejo! Kalau engkau memang digdaya, mari kita hentikan adu senjata ini dan mari kita mengadu tenaga sakti!"
Melihat sikap dan mendengar ucapan lawan ini, Sutejo pun segera maklum bahwa lawan hendak menyimpan tenaga dan akan mempergunakan aji pamungkas untuk memaksakan kemenangan. Tadi mereka telah beberapa kali saling mengadu tenaga sakti lewat senjata, maka dia pun tidak merasa gentar dan dia segera menyelipkan gagang pecut itu ke ikat pinggang di bagian punggung.
"Resi Wisangkolo! Engkaulah yang datang menantang, aku hanya melayani tantanganmu. Keluarkanlah semua ilmumu, tentu akan kulayani!" kata Sutejo, diam-diam siap dengan pengumpulan tenaganya sebab dia maklum bahwa dia akan menghadapi benturan tenaga yang amat kuat.
"Sambut pukulan Aji Guntur Bumi!" kata Resi Wisangkolo sambil merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok dan kedua telapak tangannya terbuka, menempel pada tanah di depannya.
Ketika dia mengerahkan tenaga, seolah menyedot tenaga dari bumi, tubuhnya menggigil, wajahnya perlahan-lahan berubah menghitam dan ketika dia mengangkat dua tangannya untuk didorongkan ke depan, ke arah Sutejo, maka pada saat itu bumi bergoyang seperti terjadi gempa bumi yang amat kuat! Serangkum tenaga yang membawa getaran dahsyat menyergap ke arah Sutejo!
Pemuda ini dengan tenang segera mengerahkan Aji Gelap Musti, merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lutut dan setelah menyembah ke atas, kedua telapak tangannya didorongkan untuk menyambut serangan lawan.
"Wuuuuuttt...! Bresssss...!"
Dua tenaga sakti yang hebat bertemu di udara, di tengah antara mereka. Benturan tenaga ini terasa oleh semua orang yang menonton sehingga mereka terdorong ke belakang dan melangkah sampai tiga empat kali untuk mencegah agar tidak sampai terjengkang. Akan tetapi mata mereka tetap memandang ke arah kedua orang yang mengadu tenaga sakti itu.
Sutejo terdorong ke belakang sampai dua depa, namun kedua kakinya masih memasang kuda-kuda, tetap berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Kedua kakinya tak pernah terangkat, akan tetapi dia terdorong ke belakang sehingga dua kakinya membuat guratan yang cukup dalam di atas tanah sepanjang dua depa.
Sementara itu Resi Wisangkolo juga terdorong mundur, bahkan terhuyung sampai lima langkah dan wajahnya menjadi pucat, keringatnya membasahi muka dan leher!
Resi Wisangkolo masih penasaran. Dia masih mempunyai sebuah aji kesaktian lagi yang amat ampuh, maka dia lalu melangkah lagi maju lima langkah.
"Sutejo, ternyata engkau memang pantas menjadi lawanku. Aku masih memiliki sebuah aji simpanan. Beranikah engkau menyambutnya?"
"Silakan, Resi Wisangkolo. Semua kehendakmu akan kulayani." kata Sutejo dan dia pun maju sejauh dua depa sehingga mereka berdua kini berhadapan dalam jarak seperti tadi.
Kini kakek itu mengangkat kedua tangannya ke atas, dengan telapak tangan menghadap ke atas seolah-olah hendak menyedot hawa sakti dari angkasa, kemudian ia menurunkan kedua tangan itu dan dengan telapak tangannya dia mendorong ke depan, ke arah Sutejo sambil berteriak nyaring, "Aji Guntur Geni!"
Sutejo masih tenang, akan tetapi sejak tadi dia sudah mengerahkan tenaga saktinya dan menghadapi serangan itu, dia pun berseru, "Aji Bromokendali!"
Dia pun mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan. Dua tenaga sakti yang lebih dahsyat dari pada tadi kembali bertumbukan di udara dan sekali ini bahkan mengeluarkan suara ledakan keras.
"Wuuuuuttt...! Blarrrr...!"
Banyak murid Jatikusumo terpental dan terpelanting seolah-olah ada halilintar menyambar mereka. Demikian dahsyat pertemuan dua tenaga yang berlawanan itu.
Akibatnya juga sangat hebat. Sutejo terhuyung ke belakang dan wajahnya menjadi pucat, napasnya memburu, akan tetapi dia masih dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan tetap berdiri tegak.
Ada pun Resi Wisangkolo terpelanting keras kemudian terbanting roboh. Dia bergulingan sampai jauh, lalu bangkit duduk bersila dan cepat mengatur pernapasan karena dia telah menderita luka dalam yang cukup parah!
Kekalahan Resi Wisangkolo sudah jelas. Ki Klabangkolo sadar akan hal ini dan kekalahan ini menghancurkan keangkuhannya. Tanpa berkata apa-apa dia lalu menghampiri kakak seperguruannya, mengangkat dan memondong tubuh tinggi kurus yang kini tampak lemah itu, lalu dia membawanya pergi tanpa menoleh lagi!
Suasana hening sejenak, kemudian pecahlah kegembiraan para murid Jatikusumo dan mereka bersorak atas kemenangan Sutejo yang telah berhasil mengusir dua orang musuh yang sakti mandraguna itu.
Sutejo menghampiri Rahmini dan menyerahkan kembali pecut itu sambil berkata, "Banyak terima kasih, mbakyu Rahmini. Pecut ini amat baik."
Rahmini menerima pecut dan masih belum dapat mengeluarkan kata-kata seperti halnya suaminya dan yang lain-lain, bahkan Bhagawan Sindusakti masih berdiri terhenyak saking heran dan kagumnya menyaksikan kemenangan Sutejo menandingi dua orang kakek itu.
Ketua Jatikusumo ini merasa serba salah. Di satu pihak dia masih terpengaruh kata-kata Bhagawan Jaladara bahwa Resi Limut Manik dibunuh oleh Sutejo dan Puteri Wandansari, akan tetapi di lain pihak ternyata bahwa sekarang yang menyelamatkan Jatikusumo dari kehancuran adalah Sutejo!
"Sutejo, engkau telah berhasil mempertahankan kehormatan dan nama besar Jatikusumo. Mari kita bicara di dalam," Bhagawan Sindusakti berkata lembut.
Sutejo mengangguk dan mengikuti paman gurunya itu yang memasuki gapura lalu menuju ke rumah induk sebagai tempat tinggalnya. Maheso Seto, Rahmini, Priyadi, dan Cangak Awu mengikuti dari belakang. Mereka semua memasuki ruangan depan rumah Bhagawan Sindusakti dan mengambil tempat duduk. Bhagawan Sindusakti duduk di atas kursinya dan empat orang murid kepala duduk di kanan kirinya sedangkan Sutejo duduk di atas kursi yang berhadapan dengan ketua itu.
“Sutejo, sebelum kita membicarakan urusan penting lainnya, terlebih dulu aku hendak mengucapkan terima kasih atas bantuanmu sehingga perguruan Jatikusumo terhindar dari penghinaan Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo. Sungguh kami menghargai bantuanmu itu dan sama sekali kami tak pernah menyangka bahwa engkau akan mampu menandingi dan mengalahkan mereka berdua."
"Maafkan aku yang pernah memandang rendah kepadamu, Adi Sutejo," kata pula Cangak Awu yang masih terkagum-kagum melihat sepak terjang Sutejo tadi.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kakangmas Cangak Awu," jawab Sutejo singkat sambil memandang kepada pria tinggi besar itu.
"Kami juga merasa menyesal dan kecelik karena sudah memandang rendah kepadamu, Adi Sutejo," kata Maheso Seto dengan muka berubah kemerahan, sementara itu Rahmini hanya menundukkan muka.
"Aku tidak merasa dipandang rendah, Kakangmas Maheso Seto. Sebaiknya urusan yang lalu itu kita lupakan saja. Seperti yang pernah dikatakan Kakang Cangak Awu, bagaimana pun juga di antara kita masih ada ikatan perguruan."
"Sutejo, tadi engkau mengatakan bahwa kedatanganmu adalah untuk bicara tentang Kitab Bajrakirana dan juga tentang kematian Bapa Resi Limut Manik. Sungguh kebetulan sekali karena aku pun ingin sekali bicara denganmu tentang itu. Karena engkau juga menyadari bahwa engkau masih terhitung murid perguruan Jatikusumo, maka aku percaya bahwa engkau tentu akan bicara sejujurnya sebagai seorang murid yang baik."
"Paman Bhagawan, sesunguhnya saya merasa amat terkejut dan penasaran mendengar tuduhan yang diucapkan Kakang Cangak Awu bahwa saya dan Diajeng Wandansari telah membunuh Eyang Resi Limut Manik. Juga sama sekali saya tidak pernah merampas atau mencuri Kitab Bajrakirana. Semua itu adalah fitnah keji yang dijatuhkan kepada saya dan Diajeng Wandansari, Paman Bhagawan."
"Sutejo, kami tidak pernah menjatuhkan fitnah, karena kami hanya mendengar hal itu dari Adi Bhagawan Jaladara. Sebenarnya bagaimanakah? Menurut engkau, siapa yang telah membunuh Bapa Resi Limut Manik?" tanya Bhagawan Sindusakti.
"Paman Bhagawan, jelas bahwa Paman Jaladara telah memutar-balikkan kenyataan dan perbuatannya itu lebih membuktikan lagi alangkah jahatnya Paman Bhagawan Jaladara. Sebelumnya dia telah membunuh Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal."
"Hm, apakah engkau melihat sendiri ketika Adi Jaladara membunuh Adi Sidik Paningal?" tanya Bhagawan Sindusakti dengan suara ragu. "Kalau benar demikian, apa alasannya maka Adi Jaladara membunuh gurumu?"
"Begini awalnya, Paman Bhagawan. Pada suatu malam Bapa Guru dan saya menghadapi serangan orang dengan ilmu Hitam santet. Akan tetapi Bapa Guru dapat menolaknya dan kami berdua terbebas dari ancaman bahaya. Pada keesokan harinya muncullah Paman Jaladara bersama dua orang anak buahnya, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, keduanya adalah jagoan-jagoan dari Wirosobo. Paman Jaladara hendak memaksa Bapa Guru melakukan dua hal. Pertama agar Bapa Guru membantu gerakan di Wirosobo yang hendak memberontak, dan yang kedua agar Bapa Guru tidak mempelajari Agama Islam. Tuntutan ini ditolak oleh Bapa Guru sehingga timbul perkelahian karena Paman Jaladara memaksakan kehendaknya. Bapa Guru dapat memukul mundur Paman Jaladara dan dua orang kawannya itu. Tapi tiba-tiba Paman Jaladara mengeluarkan Pecut Sakti Bajrakirana dan melihat pecut pusaka itu, Bapa Guru tak berani melawan lagi dan membiarkan dirinya dihajar oleh Paman Jaladara. Ketika saya membela Bapa Guru, saya pun dihajarnya dan Bapa Guru melarang saya melawan karena kami harus menghormati dan tunduk kepada pemegang Pecut Sakti Bajrakirana. Setelah puas memukuli Bapa Guru, akhirnya Paman Jaladara pergi dan meninggalkan pesan bahwa kalau dalam waktu satu bulan Bapa Guru tidak memenuhi permintaan permintaannya tadi, ia akan datang kembali untuk membunuh Bapa Guru."
"Hmm, bagaimana sampai dapat terjadi hal seperti itu?" kata Bhagawan Sindusakti sambil mengerutkan alisnya. "Kemudian bagaimanakah, Sutejo?"
"Bapa Guru menderita luka-luka, akan tetapi berhasil pulih kembali. Beliau lalu mengutus saya supaya pergi ke puncak Gunung Semeru untuk menghadap Eyang Resi Limut Manik dan melaporkan tentang perbuatan Paman Jaladara itu. Setelah menghadap Eyang Resi, saya mendengar dari Eyang Resi bahwa Pecut Sakti Bajrakirana memang sudah dicuri oleh Paman Jaladara dari padepokan Eyang Resi. Mendengar tentang perbuatan Paman Jaladara, Eyang Resi lalu menurunkan tenaga saktinya kepada saya dan memerintahkan saya untuk merampas Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Jaladara."
Bhagawan Sindusakti mengelus-elus jenggotnya yang putih sambil mengangguk-angguk. "Pantas engkau mempunyai tenaga sakti yang demikian kuat, kiranya eyang gurumu telah menurunkan tenaga saktinya kepadamu. Engkau sungguh beruntung, Sutejo. Kemudian bagaimana? Lanjutkan ceritamu ."
"Sesudah meninggalkan padepokan Eyang Resi Limut Manik, di dalam perjalanan saya bertemu dengan Paman Jaladara. Kami lalu bertengkar dan berkelahi. Paman Bhagawan Jaladara mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana, dan akhirnya saya berhasil merampas pecut pusaka itu dari tangannya." Sutejo berhenti dan teringat kepada Retno Susilo yang melarikan pecut itu akan tetapi kemudian dapat kembali ke tangannya.
"Lalu bagaimana, Sutejo? Lanjutkan ceritamu ini,” kata Bhagawan Sindusakti dengan hati tertarik.
"Setelah berhasil mendapat Pecut Sakti Bajrakirana, saya segera kembali ke padepokan Bapa Guru di Lereng Gunung Kawi." Dia tidak menuturkan tentang pertemuannya dengan Retno Susilo yang membuat dia terlambat kembali ke padepokan gurunya sehingga dia terlambat melindungi gurunya dari serangan Bhagawan Jaladara dan teman-temannya.
"Setelah sampai di sana, ternyata Paman Bhagawan Jaladara sudah berada di sana pula bersama Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda dan satu orang lagi, Tumenggung Janurmendo, seorang senopati Wirosobo yang amat sakti. Dalam pertandingan melawan Tumenggung Janurmendo, Bapa Guru terluka parah dan dia masih disiksa oleh Bhagawan Jaladara. Saya segera membantu Bapa Guru dan hendak melawan mereka, akan tetapi Bhagawan Jaladara lalu mengancam akan membunuh Bapa Guru yang ketika itu telah berada dalam cengkeramannya bila saya tidak menyerahkan Pecut Sakti Bajrakirana padanya. Melihat keadaan Bapa Guru yang terancam maut, terpaksa saya menyerahkan pecut pusaka itu dan sebagai penukarannya, Bapa Guru dibebaskan. Setelah Bapa Guru dibebaskan, saya mengamuk dan berusaha untuk merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana, akan tetapi mereka melarikan diri sambil membawa pecut pusaka itu. Demikianlah, Paman Bhagawan Sindusakti. Bapa Guru terluka parah hingga akhirnya meninggal dunia, tetapi sebelum itu beliau sempat berpesan kepada saya untuk merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana."
"Paman Bhagawan Jaladara benar-benar kejam sekali!" kata Maheso Seto dengan suara penuh geram.
"Kejam dan jahat!" kata pula Rahmini.
"Perbuatan itu tidak boleh didiamkan saja!" kata pula Cangak Awu dengan marah.
"Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan Adi Cangak Awu, kita hanya mendengar cerita ini dari satu pihak. Harap andika semua tenang dahulu. Cerita Paman Jaladara lain lagi dan masih perlu dibuktikan kelak siapa di antara mereka berdua yang berbicara benar dan siapa pula yang pembohong," kata Priyadi dengan suara tenang.
Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk, agaknya setuju dengan pendapat Priyadi ini. Sambil mengelus jenggotnya dan memandang kepada Sutejo, dia berkata, "Sutejo, coba kau ceritakan bagaimana selanjutnya pengalamanmu tentang kematian Bapa Resi Limut Manik dan tentang Kitab Bajrakirana."
"Baik, Paman Bhagawan. Saya akan bercerita sejujurnya dan terserah kepada paman dan para saudara untuk menilai benar tidaknya cerita saya ini. Setelah Bapa Guru meninggal dunia, saya lalu pergi merantau dan pada suatu hari saya naik ke Gunung Semeru untuk menghadap Eyang Resi Limut Manik. Sesampainya di sana, saya melihat kedua cantrik Penggik dan Pungguk sudah tewas, Eyang Resi Limut Manik menderita luka-luka parah dan diajeng Wandansari menghadapi pengeroyokan empat orang yang bukan lain adalah Paman Bhagawan Jaladara dan tiga orang rekannya yang juga pernah mengeroyok dan menewaskan Bapa Guru itu. Saya lalu membantu diajeng Wandansari dan kami berdua berhasil mengusir keempat orang jahat itu, akan tetapi keadaan Eyang Resi Limut Manik sudah amat payah sehingga hanya bisa bertahan selama beberapa hari saja. Waktu yang beberapa hari itu dia pergunakan untuk memberi petunjuk kepada saya untuk mempelajari Kitab Bajrakirana dan diajeng Wandansari mempelajari Kitab Kartika Sakti. Eyang Resi memberikan Kitab Bajrakirana pada saya dan memberikan pedang pusaka Kartika Sakti berikut kitabnya kepada diajeng Wandansari. Juga beliau memesan agar saya merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara. Demikianlah, Paman Bhagawan, keadaan sesungguhnya bagaimana Eyang Resi Limut Manik menemui kematiannya dan bagaimana pula kedua Kitab Pusaka itu sampai diberikan kepada saya dan diajeng Wandansari."
"Tapi kurasa Bapa Guru Resi Limut Manik tentu berpesan kepadamu untuk menyerahkan Pecut Sakti dan Kitab Bajrakirana kepadaku karena pusaka itu adalah pusaka perguruan Jatikusumo. Kedua pusaka itu sejak dahulu telah dipergunakan untuk membela perguruan Jatikusumo," kata Bhagawan Sindusakti dengan suara lembut.
"Maafkan bila saya menyangkal, Paman Bhagawan. Akan tetapi Eyang Resi Limut Manik memesan wanti-wanti kepada kami berdua agar menggunakan kedua pusaka itu, pertama untuk membela Mataram yang menghadapi banyak pemberontakan, dan mempergunakan pula untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena itulah maka saya tidak dapat memenuhi kehendak Kakang Cangak Awu ketika ia minta agar pusaka yang berada pada saya, yaitu Kitab Bajrakirana, diserahkan kepadanya untuk dihaturkan kepada paman."
"Jika begitu engkau hendak mengingkari kewajibanmu sebagai seorang murid Jatikusumo untuk berbakti kepada perguruan. Seharusnya kitab Bajrakirana yang ada padamu itu diserahkan kepada Bapa Guru sebagai Ketua perguruan Jatikusumo!" berkata Maheso Seto.
"Maaf, Kakang Maheso Seto. Karena saya menerima pesan wasiat secara langsung dari mendiang Eyang Resi, dan saya bukan merupakan murid perguruan Jatikusumo, maka terpaksa saya lebih mengutamakan ketaatan kepada mendiang Eyang Resi dari pada yang lain."
"Sudahlah, urusan Kitab Bajrakirana kita tunda dulu. Yang penting kami harus mengetahui dengan jelas siapa yang telah membunuh Bapa Resi Limut Manik dan sebenarnya kepada siapakah mendiang Bapa Guru menyerahkan Pecut Sakti Bajrakirana, karena buktinya pecut itu berada di tangan Adi Bhagawan Jaladara," kata Bhagawan Sindusakti melerai.
"Saya pasti akan berusaha untuk merampas kembali pecut pusaka Itu, Paman Bhagawan Sindusakti!" kata Sutejo dengan tegas.
"Tetapi kalau pusaka itu sudah berada di tangan kami, pusaka itu menjadi hak kami dan siapa pun juga tidak boleh mengambilnya dari tangan kami." kata Bhagawan Sindusakti. "Karena pusaka itu adalah pusaka lambang kejayaan perguruan Jatikusumo."
"Kita sama lihat saja nanti, paman. Sekarang ijinkan saya untuk mengundurkan diri dan melanjutkan perjalanan saya."
Bhagawan Sindusakti mengangguk. Hatinya merasa tidak enak. Sesungguhnya dia harus menahan Sutejo dan menuntut agar Kitab Bajrakirana diserahkan kepadanya. Akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa?
Betapa pun juga baru saja Sutejo telah menyelamatkan nama dan kehormatan perguruan Jatikusumo, dan untuk memaksa pemuda itu menyerahkan kitab, siapa di antara murid-murid Jatikusumo yang akan mampu menandinginya? Dia pun mengangguk ketika Sutejo menyembah dan meninggalkan perkampungan Jatikusumo.....
********************
Dua orang penunggang kuda itu melarikan kudanya menerabas hutan yang lebat itu. Dari cara mereka duduk dengan tegak di atas punggung kuda yang berlari cepat itu, dapat diduga bahwa mereka adalah dua orang penunggang kuda yang mahir.
Yang melarikan kuda di depan adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh sedang dan tegap, wajahnya tampan gagah dan sepasang matanya mencorong penuh wibawa. Kumisnya yang melintang seperti kumis Raden Gatotkaca itu menambah keangkeran dan kegagahan wajahnya. Sebatang keris terselip di pinggangnya, dan dari pakaiannya yang gemerlapan dengan tanda-tanda pangkat, dapat diduga bahwa orang ini adalah seorang ponggawa kerajaan yang berpangkat tinggi.
Dugaan ini benar karena lelaki itu adalah Ki Mertoloyo, seorang senopati besar kerajaan Mataram, seorang di antara para ponggawa yang menjadi kepercayaan Sultan Agung. Penunggang kuda kedua yang melarikan kudanya di belakang Ki Mertoloyo malah lebih mengagumkan lagi.
Ia adalah seorang wanita muda, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berwajah cantik manis sekali. Rambutnya yang hitam disanggul agak mawut tertiup angin sehingga sebagian rambutnya terjurai menutupi sebagian mukanya. Matanya lebar dan bersinar tajam, mulutnya yang manis itu menyungging senyuman lembut. Hidungnya yang kecil mancung menambah kemanisan wajahnya.
Gadis ini adalah Winarti, puteri Ki Mertoloyo. Dari ayahnya yang gagah perkasa dan sakti mandraguna, gadis ini sejak kecil juga mendapat gemblengan olah kanuragan sehingga sekarang ia menjadi seorang gadis yang digdaya. Cara ia menunggang kuda juga sudah membayangkan ketangkasannya.
Sebagai seorang senopati besar, Ki Mertoloyo mendapat tugas dari Sultan Agung untuk mempersiapkan pertahanan di daerah perbatasan, untuk bersiap siaga kalau-kalau ada para pemberontak yang melakukan gerakan menyerbu daerah Mataram. Untuk keperluan itu, kini Ki Mertoloyo mengadakan perjalanan ke daerah perbatasan, menghubungi kepala-kepala daerah lurah dan demang, untuk menyusun dan memperkuat pertahanan di daerah itu.
Untuk melaksanakan tugas keliling dan melakukan pemeriksaan ini, senopati yang gagah perkasa itu tidak membawa pasukan pengawal, melainkan hanya ditemani oleh puterinya, Winarti yang gagah perkasa. Berdua dengan puterinya, senopati itu merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi ancaman bahaya dari mana pun datangnya. Dan buktinya selama melakukan pemeriksaan di perbatasan satu bulan lebih lamanya, dia dan puterinya tidak pernah menemui halangan yang berarti.....
Komentar
Posting Komentar