PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-24
Senopati Mertoloyo mengenal baik Ki Sengkali, maka sekarang dia hendak berkunjung ke Pamrican dan membicarakan mengenai pertahanan Timur Laut itu dengan Ki Demang, Perjalanan ke Pamrican melalui daerah berhutan yang jaraknya hanya belasan pal dari Pamrican.
Karena matahari sudah naik tinggi dan dia tidak ingin terlalu larut tiba di Pamrican, maka Senopati Mertoloyo membalapkan kudanya dan Winarti mengikuti dari belakang, Gadis ini telah mahir sekali menunggang kuda sehingga ia bisa mengikuti ayahnya tanpa kesulitan.
Tiba-tiba mereka berdua melihat kobaran api menghadang di tengah jalan yang mereka lalui.
"Tahan...!" kata Ki Mertoloyo sambil menarik kendali kuda dan mengangkat tangan kiri memberi isyarat kepada puterinya untuk menahan larinya kuda.
Dua ekor kuda yang ditahan itu meringkik ketika kendali ditarik oleh penunggangnya, juga karena terkejut melihat kobaran api. Setelah dua ekor kuda berhenti berlari, tiba-tiba dari balik batang pohon dan semak belukar di empat penjuru berloncatan belasan orang yang tampak kasar dan bengis. Mereka semua memegang senjata, ada yang membawa golok, pedang atau keris dan mereka segera mengepung ayah dan anak yang menjadi terkejut itu. Ada sebagian orang dari mereka memadamkan api dengan menginjak-injak ranting dan daun kering yang tadi mereka bakar untuk menghentikan larinya dua ekor kuda itu.
Melihat dia dan puterinya dikepung orang-orang bersenjata yang jumlahnya hampir dua puluh orang itu, Ki Mertoloyo lalu melompat turun dari atas punggung kuda, diturut oleh Winarti yang juga cepat melompat turun dari atas kudanya. Dua ekor kuda yang dilepas kendalinya itu mundur-mundur ketakutan melihat banyak orang dan mereka lalu ditangkap oleh dua orang pengepung dan dibawa keluar dari kepungan. Mertoloyo dan Winarti tidak dapat mencegah dirampasnya dua ekor kuda mereka itu karena mereka harus berjaga diri melihat belasan orang itu mengancam mereka.
Ki Mertoloyo mengerutkan alis, sikapnya sangat tenang dan sama sekali tidak gentar. Dia melangkah maju menghampiri salah seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan agaknya menjadi pemimpin mereka melihat pakaiannya yang berbeda dari yang lainnya. Pakaiannya agak mewah dan dia membawa sebatang keris yang sarungnya terukir indah terselip di pinggangnya.
"Ki Sanak," tegur Ki Mertoloyo sambil mengamati wajah orang-orang yang berhadapan dengannya. "Andika sekalian ini siapakah dan apa maksud andika sekalian menghadang perjalanan kami?"
Si muka hitam yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu mengelebatkan golok di tangannya dan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kawan-kawan! Dia masih bertanya mengapa kita menghadangnya, ha-ha-ha!"
Seorang lain yang mukanya brewok, berusia kurang lebih empat puluh tahun juga tertawa. "Ha-ha-ha-ha, mau kenal nama kami? Aku adalah Klabang Lorek, jagoan Wirosobo!" Dia mengamangkan goloknya.
"Dan aku adalah Klabang Belang, Juara Wirosobo!" kata yang bermuka hitam.
Ki Mertoloyo menatap tajam penuh selidik. Melihat sikap kedua orang ini agaknya mereka itu bukan perampok biasa. Mungkin mereka adalah kaki tangan Kadipaten Wirosobo yang sudah mengetahui siapa dia sehingga sengaja menghadang dan mengganggu.
"Kalian mau apakah menghadang perjalanan kami?" tanyanya.
"Tinggalkan gadis ini dan dua ekor kudamu, baru engkau boleh lewat di jalan ini!" kata Klabang Belang sambil mengerling ke arah Winarti dan menyeringai.
Wajah Ki Mertoloyo berubah merah, kumisnya tergetar dan kedua matanya mengeluarkan sinar kemarahan.
"Klabang Belang dan Klabang Lorek, buka lebar-lebar mata dan telingamu! Aku adalah Senopati Mertoloyo dari Mataram! Apakah kalian sudah bosan hidup, berani menghadang dan mengganggu kami ayah dan anak?"
"Senopati Mertoloyo, apa bila engkau tidak mau menyerahkan puterimu, maka kami akan merampasnya dengan paksa dan membunuhmu!" Sesudah berseru demikian, Klabang Belang memberi isyarat dengan tangan kirinya yang diangkat ke atas, menyuruh anak buahnya mengeroyok Ki Mertoloyo dan menangkap gadis cantik itu. Para anak buah itu menggerakkan senjata mereka menerjang Ki Mertoloyo, sedangkan Klabang Belang dan Klabang Lorek seperti berlomba hendak menangkap gadis yang cantik manis itu.
Ki Mertoloyo tidak mengkhawatirkan puterinya karena dia pun maklum bahwa puterinya sudah memiliki bekal kedigdayaan yang memadai, yang tidak perlu khawatir kalau hanya dikeroyok dua orang kasar seperti Klabang Belang dan Klabang Lorek itu. Apa lagi kedua orang itu tidak berniat membunuhnya, melainkan menangkapnya, maka tentu akan lebih mudah bagi puterinya untuk membela diri.
Akan tetapi enam belas orang anak buan gerombolan itu menerjang dan mengeroyoknya dengan niat membunuh. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka maju menyerang, demikian ganas mereka mempergunakan senjata untuk menyerangnya. Dari empat penjuru mereka datang menyerangnya.
Beberapa batang tombak, pedang, golok dan keris meluncur ke tubuhnya dalam serangan maut. Akan tetapi senopati ini tidak menjadi jerih. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Ki Mertoloyo menyambut para pengeroyoknya dengan tendangan dan tamparan dua kaki tangannya. Dia bahkan tidak menghindarkan tangan dan kakinya bertemu dengan senjata tajam runcing mereka.
Kiranya kedua lengan dan kakinya dilindungi Aji Kekebalan yang amat kuat dan membuat kulit tubuhnya seperti terbuat dari baja dan semua senjata yang bertemu dengan kaki dan tangannya terpental. Terdengar pekik-pekik kesakitan dan tubuh para pengeroyok itu lalu berpelantingan.
Namun agaknya mereka mengandalkan jumlah banyak, maka mereka yang jatuh segera digantikan oleh kawannya dan yang tidak terluka parah segera bangkit lalu mengeroyok kembali. Ki Mertoloyo mengamuk bagaikan seekor harimau yang dikeroyok segerombolan anjing serigala.
Dia adalah seorang senopati yang sudah banyak pengalaman dalam pertempuran, dan dia seorang senopati besar. Dia tidak mau sembarangan membunuh orang, maka hanya membuat para pengeroyok jungkir balik dan berpelantingan, tanpa menggunakan kerisnya atau pukulan mautnya.
Klabang Belang dan Klabang Lorek juga kecelik sekali. Ketika mereka maju menghampiri Winarti, mereka mengira akan dapat segera merangkul dan mendekap gadis yang cantik manis itu. Tetapi ketika Klabang Belang menubruk, gadis itu dengan lincahnya mengelak sehingga tubrukan itu mengenai tempat kosong. Ketika Klabang Lorek menyambut dari depan untuk menangkap lengan Winarti, gadis ini menangkis dengan gerakan tangan kiri ke atas. Tangkisannya demikian kuat sehingga tangan kanan Klabang Lorek yang meraih itu terpental dan sebelum Klabang Lorek dapat mengelak, kaki kanan gadis itu mencuat dengan kecepatan kilat.
"Bukkk!"
Perut Klabang Lorek yang agak gendut itu terkena tendangan dan dia terjengkang, walau pun tidak sampai roboh akan tetapi dia terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi perutnya. Perutnya terasa mulas sekali, melilit-lilit, mungkin usus buntunya yang terkena tendangan kaki mungil Winarti!
Melihat temannya tertendang, Klabang Belang masih belum sadar akan kehebatan gadis itu. Dia malah menertawakan Klabang Lorek yang meringis sambil mengelus perutnya.
"Ha-ha-ha!" Ia tertawa dan tiba-tiba saja dia menubruk ke arah Winarti, dengan keyakinan bahwa sekali ini dia tentu akan mampu mendekap gadis yang menggairahkan hatinya itu.
Namun kembali dia menubruk angin karena entah bagaimana caranya, gadis itu tahu-tahu telah menyelinap dan mengelak dengan lincah sekali dan tiba-tiba gadis itu telah berada di belakangnya. Winarti menggerakkan tangan kirinya menempiling ke arah belakang telinga Klabang Belang.
"Prattt...!"
Walau pun yang menempiling itu hanyalah sebuah tangan yang kecil dan berkulit halus, namun nyatanya Klabang Belang merasa seolah ada halilintar menyambar kepalanya. Dia terpusing dan jatuh duduk, memegangi kepalanya karena rasanya kepalanya berpusing atau bumi di sekelilingnya berputar aneh.
Sekali ini giliran Klabang Lorek yang menertawakannya. Si brewok gendut yang rasa nyeri di perutnya sudah mereda ini, berdiri sambil tertawa dan telunjuk kirinya menuding ke arah kawannya yang masih terduduk sambil memegangi kepalanya.
"Ha-ha-ha!" Klabang Lorek tertawa, akan tetapi pada saat itu dia pun menyadari bahwa gadis yang mereka keroyok berdua itu ternyata adalah seorang gadis yang tangguh dan sakti! Dia menyadari hal ini lalu mengeluarkan senjatanya, sebatang golok besar yang tadi diselipkan di pinggang ketika dia hendak menangkap Winarti dengan dua tangan kosong.
Klabang Belang juga sudah dapat bangkit berdiri biar pun kepalanya masih sedikit pening. Melihat kawannya mencabut golok, dia pun mencabut goloknya dan berseru marah.
"Gadis yang tak tahu disayang orang! Agaknya engkau memilih mati dari pada hidup senang dengan kami!" bentak Klabang Belang.
Dia lalu menyerang dengan goloknya, disusul terjangan yang dilakukan Klabang Lorek ke arah kepala Winarti. Gadis itu mengelak ke belakang dengan cepat sekali sehingga luput dari sambaran dua batang golok para pengeroyoknya. Sambil melompat mundur Winarti mencabut kerisnya.
Pada saat itu golok di tangan Klabang Belang sudah menyambar lagi. Agaknya Si muka hitam ini merasa sangat penasaran sesudah serangan pertamanya tadi dapat dielakkan dengan mudahnya oleh gadis jelita itu. Kini dia melompat ke depan sambil mengayunkan golok membacok ke arah kepala Winarti. Pada detik berikutnya golok di tangan Klabang Lorek yang mukanya brewokan itu pun menyambar dengan tusukan ke arah dada gadis itu!
Namun dengan sigapnya Winarti miringkan kepalanya sehingga bacokan Klabang Belang luput dan ia cepat menggerakkan kerisnya dari kiri ke kanan dengan putaran pergelangan tangan sambil mengerahkan tenaganya untuk menangkis tusukan golok ke arah dadanya.
"Wuuuttt...! Trangggg...!"
Golok di tangan Klabang Lorek terpental dan hampir terlepas dari tangan pemegangnya. Pada saat itu kaki kiri Winarti mencuat dan menendang ke arah perut gendut Klabang Lorek.
"Bukk...!"
Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting keras. Pantatnya menghantam tanah sampai mengebulkan debu dan Klabang Lorek meringis, merasa sakit pada perut dan pantatnya.
"Singgg...!"
Golok Klabang Belang menyambar dahsyat. Akan tetapi Winarti yang sudah siap siaga itu mengelak ke belakang dan ketika golok menyambar turun, secepat kilat kerisnya sudah meluncur dan menikam tangan yang menggenggam gagang golok.
"Crott...!"
Darah mengucur, golok terlepas dan tubuh Klabang Belang terhuyung ke belakang sambil memegangi tangan kanan yang terluka itu dengan tangan kirinya. Masih untung baginya bahwa keris di tangan gadis itu tidak mengandung racun sehingga dia hanya merasakan kepedihan karena kulit dagingnya terobek saja.
Melihat dua orang pimpinan mereka roboh, para anak buah lalu maju membantu sehingga pada lain saat Winarti telah dikeroyok banyak orang seperti juga ayahnya. Ayah dan anak ini mengamuk hebat dan para pengeroyok kocar-kacir tidak dapat menahan amukan ayah dan anak yang sakti itu.
"Mundur semua, biar aku yang menghadapinya!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Mendengar suara membentak ini, Klabang Lorek dan Klabang Belang segera berteriak kepada anak buahnya untuk mundur.
Ki Mertoloyo, Senopati Mataram yang sangat sakti itu, bersama puterinya, Winarti, berdiri mengangkat muka memandang orang yang baru datang. Ki Mertoloyo terkejut karena dia mengenal siapa yang datang itu. Bukan lain adalah Tumenggung Janurmendo yang sakti mandraguna! Ki Tumenggung Janurmendo yang tampan dan gagah itu melangkah maju sambil tersenyum.
"Ahh, kiranya Ki Senopati Mertoloyo yang mengamuk di sini. Dan ini puterimu! Sungguh cantik jelita puterimu. Ki Mertoloyo!"
"Tumenggung Janurmendo! Sudah kuduga bahwa gerombolan ini bukan perampok biasa. Sesudah sekarang andika muncul, maka tahulah aku bahwa mereka adalah orang-orang Wirosobo yang hendak memberontak! Tumenggung Janurmendo, apa maksudmu dengan mengerahkan orang-orangmu untuk mengeroyok kami?" Suara Ki Mertoloyo terdengar lantang dan marah.
Tumenggung Janurmendo tertawa. "Ha-ha-ha-ha, engkau berada di perbatasan Wirosobo dan keadaanmu telah terkepung, akan tetapi masih dapat bersuara lantang! Ki Mertoloyo, lebih baik andika menakluk saja, menjadi tawanan kami. Kalau andika mau membantu Wirosobo, tentu andika akan memperoleh kedudukan yang tinggi."
"Janurmendo! Andika jangan asal membuka mulut! Aku adalah Senopati Mataram yang setia dan aku siap membela Mataram dengan taruhan nyawaku. Walau pun andika telah mempersiapkan anak buah, kami tak akan mundur selangkah pun!" tantang Ki Mertoloyo.
"Hm, Ki Mertoloyo. Kegagahanmu tak ada artinya. Apakah engkau tega melihat puterimu celaka di tangan kami? Menyerahlah dan kalian berdua akan kami perlakukan dengan baik, kami hadapkan kepada Gusti Adipati di Wirosobo."
"Keparat! Aku tak sudi mendengar ocehanmu lebih lanjut!" bentak Senopati Ki Mertoloyo.
Tumenggung Janurmendo menjadi marah sekali. Dia memberi isyarat kepada dua orang pembantunya, Klabang Lorek dan Klabang Belang. Dua orang ini lalu mengerahkan sisa anak buahnya untuk mengepung ayah dan anak itu.
"Ki Mertoloyo, agaknya andika sudah bosan hidup!" kata Tumenggung Janurmendo yang segera menerjang maju dengan pukulan tangan kirinya yang ampuh dan mendatangkan hawa panas sekali karena dia telah menggunakan Aji Wisang Geni.
Ki Mertoloyo adalah senopati Mataram yang sakti. Ia mengenal pukulan ampuh itu, maka ia cepat mengelak dan balas memukul dari samping.
Tumenggung Janurmendo juga tidak berani memandang ringan lawannya dan dia sudah melompat ke belakang untuk menghindar, kemudian dia mencabut kerisnya. Terasa sinar yang mengandung hawa mengerikan pada saat keris pusaka Jalu Sarpo dicabut. Memang keris pemberian Adipati Wirosobo ini merupakan pusaka yang ampuh.
Melihat ini Ki Mertoloyo segera mencabut kerisnya dan ketika lawan menyerang dengan tusukan kerisnya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Tringgg...!"
Tampak api berpijar ketika dua batang keris bertemu dan keduanya terdorong mundur. Akan tetapi mereka segera saling terjang lagi dan terjadilah perkelahian antara dua orang senopati itu dengan hebatnya.
Sementara itu, Winarti sudah dikeroyok oleh belasan orang yang dipimpin oleh Klabang Lorek dan Klabang Belang. Gadis itu mengamuk dengan keris di tangannya, akan tetapi pihak lawan terlampau banyak sehingga sebentar saja ia sibuk mengelak dan menangkisi hujan senjata yang menyambar-nyambar tanpa ada kesempatan untuk balas menyerang.
Keadaan Ki Mertoloyo juga tidak lebih baik dari pada puterinya. Sebenarnya tingkat ilmu kepandaiannya tidak selisih jauh dibandingkan dengan tingkat Tumenggung Janurmendo. Akan tetapi senjata kerisnya kalah ampuh sehingga dia mulai terdesak. Lawannya tidak memberi kesempatan padanya dan terus mendesak dengan tusukan-tusukan maut yang amat dahsyat.
Kedua orang ayah dan anak itu berada dalam keadaan gawat. Mereka sudah berada di ambang kekalahan.
Pada saat itu pula tiba-tiba muncul seorang pemuda kurang lebih dua puluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi tegap, dadanya bidang, pundak dan kedua lengannya kokoh, wajahnya tampan dengan alis tebal mata lebar bersemangat, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum ramah. Kulitnya putih kemuning. Rambutnya panjang digelung ke atas dan diikat dengan kain kepala berwarna biru. Bajunya berlengan pendek sebatas siku dan celananya hitam setinggi bawah lutut. Sehelai sarung dikalungkan di pundak. Pemuda ini bukan lain adalah Sutejo!
Melihat seorang laki-laki setengah tua bertanding melawan Tumenggung Janurmendo dan seorang gadis muda dikeroyok banyak orang dan keduanya terdesak hebat, mudah saja bagi Sutejo untuk memihak yang mana. Tentu saja dia menentang pihak Tumenggung Janurmendo yang pernah membantu Bhagawan Jaladara menyerang guru yang juga ayah angkatnya, Bhagawan Sidik Paningal, kemudian menyerang pula eyang gurunya. Sang Resi Limut Manik.
"Janurmendo, andika selalu berlaku curang dan jahat, mengeroyok orang mengandalkan banyak kawan!" bentak Sutejo dan dia langsung menerjang maju ke arah Tumenggung Janurmendo.
Diserang Sutejo yang menggunakan Aji Gelap Musti, Janurmendo terkejut bukan main, apa lagi sesudah dia mengenal pemuda ilu yang amat sakti ketika pemuda itu bersama Puteri Wandansari membela dan melindungi Sang Resi Limut Manik. Akan tetapi karena ketika itu dia sedang bertanding melawan Ki Mertoloyo yang juga cukup tangguh, dia tidak sempat mengelak lagi dan terpaksa menyambut pukulan Sutejo itu dengan dorongan tangannya sambil mengerahkan Aji Wisang Geni.
"Wuuuuttt...! Blaarrrr...!"
Benturan hebat sekali terjadi antara dua kekuatan sakti itu dan akibatnya Tumenggung Janurmendo terjengkang dan terbanting roboh.
Akan tetapi Tumenggung Janurmendo ternyata memiliki kekebalan tubuh yang cukup kuat sehingga dia tidak terluka parah. Melihat betapa bantuan Sutejo kepada pihak lawan akan membuat dia terancam bahaya, senopati Wirosobo ini segera meloncat kemudian cepat lari meninggalkan tempat itu memasuki hutan dan menyelinap di antara pohon dan semak belukar.
Sutejo melompat untuk mengejar, akan tetapi pada saat itu pula dia mendengar teriakan Ki Mertoloyo, "Winarti...! Di mana engkau...?"
Sutejo menahan langkahnya dan membalik. Dia melihat Ki Mertoloyo berdiri kebingungan. Para pengeroyok sudah tidak berada di situ kecuali mereka yang terluka dan tidak mampu lari, akan tetapi gadis yang tadi mengamuk dan dikeroyok itu pun sudah tidak tampak lagi.
"Paman, apa yang telah terjadi?" tanya Sutejo sambil menghampiri Ki Mertoloyo.
"Entahlah, anakku Winarti menghilang! Mungkin dia tertawan dan dilarikan para penjahat," kata Ki Mertoloyo dengan wajah gelisah.
Sutejo menoleh dan melihat beberapa orang anak buah gerombolan yang terluka, dia lalu menyambar lengan seorang di antara mereka yang terluka pundaknya, menariknya berdiri mencengkeram lengan itu sehingga orang itu menyeringai kesakitan.
"Hayo katakan! Di mana sarang kalian?" bentaknya. "Jika tidak mengaku kepalamu akan kupecahkan!"
"Ampun... ampun..." Orang itu meratap. "Sarang kami di dalam hutan itu..." Dia menunjuk ke arah hutan lebat ke mana tadi Tumenggung Janurmendo melarikan diri.
"Hayo antarkan aku ke sana!" bentak Sutejo dan dia mendorong orang itu untuk menjadi penunjuk jalan. Sambil menyeringai karena pundaknya terasa nyeri, orang itu terhuyung-huyung berjalan di depan, diikuti oleh Sutejo. Ki Mertoloyo juga mengikuti di belakang.....
********************
Tumenggung Janurmendo dan anak buahnya yang tadi melarikan diri ke dalam hutan, tiba di sebuah rumah kayu besar yang berdiri di tengah hutan itu. Winarti berada pula di antara mereka, dipanggul oleh Klabang Lorek. Gadis itu dalam keadaan pingsan.
Tadi ketika Sutejo datang membantu ayahnya, gadis itu telah berada dalam keadaan yang gawat sekali. Munculnya Sutejo bahkan membuat dia lengah karena dia menoleh ke arah pemuda itu sehingga sebuah hantaman tangan Klabang Lorek yang besar dan kuat itu mengenai batang lehernya. Gadis itu terkulai pingsan tanpa sempat berteriak lagi.
Klabang Lorek cepat menyambar tubuhnya lantas memanggulnya. Melihat Tumenggung Janurmendo melarikan diri, Klabang Lorek dan Klabang Belang langsung melompat dan melarikan diri pula, diikuti oleh para anak buah yang tidak terluka. Winarti masih terbawa dan terpanggul oleh Klabang Lorek dalam keadaan pingsan.
Janurmendo, Klabang Lorek dan Klabang Belang memasuki rumah di tengah hutan itu, sedangkan para anak buahnya tinggal di luar, bergabung dengan beberapa orang anak buah lain yang tidak ikut menghadang Ki Mertoloyo sehingga jumlah mereka kini tidak kurang dari dua puluh orang.
Bhagawan Jaladara, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda ternyata telah berada di rumah itu, menyambut kedatangan tiga orang itu. Ki Klabang Lorek menurunkan tubuh Winarti dari atas pundaknya, lalu merebahkannya di atas sebuah dipan bambu dan mengambil tali untuk mengikat kaki tangan gadis itu agar kalau siuman dari pingsannya tidak akan dapat mengamuk.
Melihat kedatangan Janurmendo, Klabang Lorek dan Klabang Belang dalam keadaan tergesa-gesa, napas memburu dan wajah agak pucat itu, Bhagawan Jaladara merasa heran. Akan tetapi melihat bahwa mereka pulang sambil membawa tawanan seorang gadis, dia merasa lega karena hal itu menunjukkan bahwa mereka telah berhasil dalam tugas mereka.
"Bagaimana, Adi Tumenggung, sudah matikah Senopati Mertoloyo?" tanyanya kepada Tumenggung Janurmendo yang menyambar sebuah kendi dan minum airnya yang segar.
Tumenggung Janurmendo meletakkan kembali kendi itu, kemudian memandang kepada Bhagawan Jaladara dan berkata, "Celaka, Kakang. Bhagawan. Ketika saya sudah hampir dapat membunuh Ki Mertoloyo, tak tersangka-sangka muncul pemuda setan itu!" katanya dengan gemas dan penasaran.
"Pemuda setan yang mana?" tanya Bhagawan Jaladara.
"Siapa lagi kalau bukan Sutejo murid Bhagawan Sidik Paningal itu? Dia muncul dengan tiba-tiba dan menggagalkan usaha kami untuk membunuh Ki Mertoloyo. Akan tetapi kami berhasil menawan puterinya!" kata Tumenggung Janurmendo sambil menuding ke arah gadis yang rebah miring dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya di atas dipan bambu itu.
"Ahh! Dia yang muncul?" seru Bhagawan Jaladara terkejut.
Dia sendiri sudah beberapa kali bertemu dan bertanding dengan Sutejo, dan dia harus mengakui ketangguhan pemuda yang sebetulnya masih murid keponakannya sendiri itu.
"Paman Bhagawan, gadis ini saya yang menangkapnya, karena itu saya mohon agar diserahkan kepada saya!" kata Klabang Lorek sambil menyeringai.
"Klabang Lorek, lancang mulutmu!" bentak Ki Warok Petak marah. "Apa kau ingin aku merobek mulutmu yang lebar itu?"
Dibentak demikian oleh Ki Warok Petak yang ditakutinya, Klabang Lorek segera terdiam dan mukanya menjadi merah.
Bhagawan Jaladara berkata, "Tidak ada yang boleh mengganggu puteri Ki Mertoloyo itu. Ia adalah seorang tawanan penting. Kita dapat mempergunakannya untuk memaksa Ki Mertoloyo takluk kepada kita."
"Akan tetapi saya kira Ki Mertoloyo dan Sutejo tak akan tinggal diam dan akan mengejar kami sampai ke sini untuk membebaskan gadis ini," kata Tumenggung Janurmendo yang merasa jerih terhadap Sutejo.
"Biarkan saja mereka datang! Kita sudah siap menyambut mereka. Dengan adanya aku, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang membantu, mustahil kita tidak akan mampu mengalahkan mereka. Sekali ini Sutejo pasti akan dapat kita bunuh! Anak itu merupakan penghalang besar bagi kita." kata Bhagawan Jaladara.
"Benar, kita harus atur sekarang juga untuk menghadapi mereka!" kata Janurmendo yang timbul semangatnya mengingat bahwa dia kini memiliki banyak kawan yang membantu. Dengan adanya dia, Bhagawan Jaladara, Warok Petak, Baka Kroda, Klabang Lorek dan Klabang Belang serta dua puluhan orang anak buah, kiranya mustahil kalau mereka tidak akan mampu mengalahkan Ki Mertoloyo dan Sutejo!
"Bawa gadis itu ke kamar belakang dan lima orang anak buah harus menjaganya dengan ketat. Kemudian para anak buah yang lain berjaga di bagian depan. Kalau mereka berdua muncul, cepat laporkan supaya kita berlima dapat menyambut mereka," kata Bhagawan Jaladara yang memimpin rombongan orang Wirosobo itu.
Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang merupakan pembantu-pembantu dari Bhagawan Jaladara, segera melaksanakan perintah itu. Winarti diangkat dan dibawa ke dalam kamar belakang, kemudian lima orang anak buah menjaga di luar kamar itu dengan senjata siap di tangan.
Winarti sudah siuman dari pingsannya, akan tetapi sesudah ia melihat bahwa ia rebah di atas sebuah dipan dalam kamar dengan kaki tangan terbelenggu sehingga ia tak mampu menggerakkan kaki tangannya, ia pun diam saja. Ia membalikkan tubuhnya yang tadinya menghadap ke dinding dan melihat ke arah pintu. Di luar pintu itu terdapat beberapa orang laki-laki yang sedang duduk melakukan penjagaan. Tahulah dia bahwa dia telah tertawan dan dimasukkan dalam sebuah kamar dan dijaga ketat.
Ia mengingat-ingat. Teringat ia ketika dikeroyok tadi, ia melihat seorang pemuda muncul membantu ayahnya. Ia menoleh untuk memandang pemuda itu dan pada saat ia menoleh itu, lehernya terkena pukulan keras sehingga ia tak ingat apa-apa lagi. Tahu tahu ia telah berada di dalam kamar ini.....
********************
Matahari sudah naik cukup tinggi ketika Ki Mertoloyo dan Sutejo yang ditunggu-tunggu oleh gerombolan orang-orang dari Wirosobo itu tiba di luar pagar rumah itu. Belasan orang anak buah Bhagawan Jaladara menghadang mereka dengan senjata golok di tangan.
"Panggil Tumenggung Janurmendo keluar! Kalau tidak, akan kami obrak abrik tempat ini!" bentak Ki Mertoloyo marah teringat akan puterinya yang hilang dan yang dia yakin tentu telah diculik oleh Janurmendo dan anak buahnya.
Sutejo mendorong orang tangkapannya yang menjadi penunjuk jalan. Orang itu terdorong jatuh tertelungkup, lalu merangkak berkumpul dengan teman-temannya.
Tiba-tiba terdengar suara lantang, lalu barisan anak buah yang belasan orang banyaknya itu tersibak dan terbukalah jalan. Dari belakang mereka muncul lima orang itu, Bhagawan Jaladara, Janurmendo, Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda, Klabang Lorek dan Klabang Belang.
Melihat Bhagawan Jaladara yang tertawa-tawa, Sutejo menjadi marah sekali. "Bhagawan Jaladara, kiranya andika yang berdiri di belakang gerombolan ini!" Sutejo merasa kecewa karena melihat Bhagawan Jaladara tidak membawa Pecut Sakti Bajrakirana. Kakek itu hanya memegang tongkat hitamnya yang ampuh.
Janurmendo juga sudah memegang keris pusaka Jalu Sarpo. Ki Warok Petak memegang goloknya, Ki Baka Kroda memegang kerisnya yang besar dan tiga batang pisau tajam runcing terselip pada pinggangnya, Klabang Lorek dan Klabang Belang memegang golok masing-masing. Mereka berlima agaknya sudah siap untuk bertempur dan mengeroyok.
Setelah lima orang pimpinannya itu muncul, belasan orang anak buah itu cepat bergerak membuat kepungan sehingga Sutejo dan Ki Mertoloyo terkepung ketat. Akan tetapi baik Sutejo mau pun Ki Mertoloyo tidak merasa gentar, bahkan Ki Mertoloyo menudingkan jari telunjuknya ke muka Janurmendo sambil membentak marah.
"Tumenggung Janurmendo! Perbuatanmu menunjukkan bahwa andika bukanlah seorang jantan yang gagah perkara! Engkau menggunakan pengeroyokan dan menculik anakku. Hayo kembalikan anakku Winarti!"
Janurmendo diam saja. Yang menjawab adalah Bhagawan Jaladara. "Ki Mertoloyo dan engkau Sutejo. Kami memang menawan gadis itu, tetapi kami tidak mengganggunya dan dengan senang hati kami tentu akan membebaskannya kembali asal kalian berdua suka menakluk kepada Kadipaten Wirosobo dan suka membantu kami. Sutejo, kalau engkau berjanji mau membantu Wirosobo, aku akan memaafkan kesalahanmu yang lalu, bahkan aku akan menyerahkan Pecut Bajrakirana kepadamu!"
"Bhagawan Jaladara, tidak perlu menggunakan lidahmu yang beracun untuk membujuk aku! Engkau telah mencuri pecut Bajrakirana, engkau telah menyebabkan kematian Bapa Guru dan Eyang Guru, dan sekarang engkau hendak membujuk aku untuk menakluk dan membantumu? Hemm, jangan harap! Manusia iblis macam engkau ini sepantasnya kalau menerima hukuman yang berat!"
"Keparat! Kalau begitu hari ini engkau akan mampus di tangan kami! Bagaimana dengan andika, Ki Mertoloyo? Apakah andika tidak sayang kepada puteri andika dan tega melihat ia mati di tangan kami? Jika andika menakluk kemudian suka membantu Wirosobo, kami akan membebaskan puterimu dan andika akan mendapat kedudukan tinggi di Wirosobo. Akan tetapi kalau andika menolak, terlebih dulu puteri andika akan kami bunuh, kemudian andika juga!"
Bisa dibayangkan betapa gelisah rasa hati Ki Mertoloyo. Sebagai seorang senopati besar, tentu saja dia tidak gentar menghadapi ancaman maut bagi dirinya sendiri. Tetapi sebagai seorang ayah yang hanya mempunyai satu orang anak, yaitu Winarti, mendengar bahwa anaknya itu akan dibunuh dalam keadaan tak berdaya, tentu saja hatinya menjadi bingung dan gelisah sekali. Akan tetapi menakluk dan membantu Wirosobo? Sampai mati pun dia tidak akan sudi melakukannya. Hal itu berarti mengkhianati Mataram! Tetapi bagaimana dengan puterinya? Dia tidak mampu menyelamatkannya.....!
Komentar
Posting Komentar