PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-25


"Kebakaran...!"

Terdengar teriakan para anak buah gerombolan itu. Keadaan menjadi kacau dan tiba-tiba tampak sesosok bayangan berkelebat dari belakang rumah itu.

"Bapa, jangan menyerah kepada mereka!" bayangan yang ternyata adalah seorang gadis itu berseru.

"Winarti!" Ki Mertoloyo berteriak girang bukan kepalang. Ternyata puterinya sudah dapat meloloskan diri, bahkan membuat kebakaran di rumah itu bagian belakang.

Seperti mendapat aba-aba saja. Ki Mertoloyo dan Sutejo segera menerjang ke depan. Ki Mertoloyo menggunakan kerisnya dan Sutejo mempergunakan kain pengikat rambutnya yang berwarna biru. Dengan kain pengikat kepala biru itu dia bersilat dengan Aji Sihung Nila, menerjang ke arah Janurmendo yang dia anggap paling berbahaya di antara mereka semua.

Janurmendo yang memang sudah merasa jerih terhadap Sutejo, mengelak dan melompat ke belakang Bhagawan Jaladara agar kakek itu membantunya. Sutejo mengebutkan kain pengikat kepalanya dan kini ia menyerang ke arah Bhagawan Jaladara yang menghadang antara dia dan Janurmendo. Bhagawan Jaladara melompat ke samping sambil menangkis dengan tongkatnya. Pada saat itu Janurmendo sudah menerjang dari samping dan Sutejo sudah dikeroyok oleh dua orang itu.

Sementara itu Ki Mertoloyo telah mengamuk, dikeroyok oleh Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda. Biar pun tingkat kepandaian senopati Mataram ini lebih tinggi dari tingkat kedua orang jagoan Wirosobo itu, akan tetapi karena dikeroyok dua, keadaan mereka menjadi seimbang. Mereka bertanding dengan serunya dan beberapa kali senjata mereka beradu sehingga menimbulkan percikan bunga api.

Winarti sendiri telah berhasil merobohkan seorang anak buah gerombolan, lalu merampas goloknya dan dengan golok rampasan ini dia mengamuk, dikeroyok oleh Klabang Lorek dan Klabang Belang yang dibantu oleh belasan orang anak buahnya.

Tiba-tiba muncul seorang berpakaian ringkas yang mukanya ditutup sehelai sapu tangan merah sehingga tidak dapat dikenali karena yang tampak hanya sepasang matanya yang mencorong tajam. Orang ini gerakannya gesit dan ringan sekali, bagaikan seekor burung menyambar-nyambar dan ke mana pun tubuhnya menyambar dan sepasang tangannya bergerak, tentu ada dua orang pengeroyok yang roboh dan tidak mampu bangkit kembali! Pukulan kedua tangan orang itu sungguh amat ampuh dan dalam waktu singkat saja dia sudah merobohkan delapan orang!

Klabang Lorek dan Klabang Belang terkejut sekali, dan mereka menjadi gentar sehingga gerakan mereka kurang sigap. Ketika golok di tangan Winarti menyambar, Klabang Lorek segera berteriak keras dan roboh terpelanting dengan mandi darah yang mengucur deras dari luka parah di pundaknya yang terbacok golok!

Klabang Belang kaget sekali dan saking jerihnya dia melompat untuk melarikan diri. Akan tetapi sial baginya, dia melompat ke dekat orang bertopeng merah itu dan sekali orang itu menggerakkan tangan kirinya, Klabang Belang tersungkur lalu terbanting ke atas tanah, tidak mampu bangkit lagi!

Sementara itu pertandingan antara Sutejo yang dikeroyok oleh Bhagawan Jaladara dan Tumenggung Janurmendo berlangsung seru. Akan tetapi dua orang yang memang sudah gentar itu segera terdesak oleh sambaran sinar kain pengikat rambut biru yang bergulung-gulung itu. Ketika Bhagawan Jaladara dan Janurmendo yang sudah kewalahan itu berlaku nekat dan mengeluarkan aji pukulan mereka yang amat ampuh, yaitu Bhagawan Jaladara menghantam dengan Aji Gelap Musti, sedangkan Janurmendo menggunakan Aji Wisang Geni, Sutejo lalu menyambut pukulan mereka dengan Aji Bromokendali.

"Wuuuutttt...! Blaarrrr...!"

Dan akibatnya Bhagawan Jaladara dan Janurmendo terpental seperti layang-layang putus talinya. Mereka terhuyung ke belakang, kemudian sambil menahan nyeri di dada, mereka mengerahkan sisa tenaga untuk melompat dan melarikan diri. Melihat ini Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang tadinya masih ramai dan seimbang mengeroyok Ki Mertoloyo, juga cepat meninggalkan lawan dan melarikan diri secepat mungkin!

Sutejo tidak mengejar lawan yang sudah melarikan diri. Juga Ki Mertoloyo tidak mengejar karena puterinya sudah bebas. Dia lalu berlari menghampiri Winarti yang juga ditinggal pergi para pengeroyoknya yang tinggal beberapa orang lagi. Dia mendapatkan puterinya itu memandang ke kanan kiri mencari-cari.

"Di mana dia...? Ahh, di mana dia tadi?" Winarti bicara seorang diri seperti kehilangan.

Ki Mertoloyo memegang lengan puterinya sambil menariknya agak menjauhi rumah yang mulai berkobar besar itu, mendekati Sutejo yang juga sudah menjauhi kobaran api yang melahap rumah yang tadinya dijadikan sarang gerombolan orang-orang Wirosobo itu.

"Di mana dia tadi, bapa?" Winarti masih mencari cari dengan pandang matanya.

Ki Mertoloyo memandang khawatir kepada puterinya, memegang pundak puterinya dan bertanya, "Winarti, siapkah yang kau cari?"

"Orang bertopeng tadi, bapa!" kata Winarti yang membuat Ki Mertoloyo menjadi semakin bingung.

Dia tadi begitu repot melayani pengeroyokan Warok Petak dan Baka Kroda sehingga tak sempat menyaksikan ketika Winarti yang menghadapi pengeroyokan banyak anak buah itu dibantu oleh seorang yang bertopeng merah.

"Paman, tadi aku juga melihat Nimas Winarti dibantu oleh seorang yang bertopeng," kata Sutejo yang tadi melihat ketangkasan penolong itu.

"Siapakah dia, Winarti?" tanya Ki Mertoloyo heran. "Bagaimana engkau dapat meloloskan diri dan membakar rumah itu?"

"Orang bertopeng itulah yang melakukan, bapa. Tadi aku berada dalam sebuah kamar di bagian belakang rumah itu, kaki tanganku dibelenggu dan aku rebah di atas sebuah dipan bambu. Aku tidak dapat menggerakkan kaki tanganku. Bahkan aku tak mampu berteriak karena mereka melibatkan kain penutup di depan mulutku. Aku mendengar kedatangan bapa, akan tetapi aku tak berdaya. Bahkan aku mendengar terjadinya perkelahian di sini. Selagi aku kebingungan, aku melihat keributan di luar kamarku. Lima orang penjaga yang berjaga di luar kamarku berkelahi dengan seseorang. Dalam waktu singkat saja kelimanya roboh dan tidak dapat bergerak lagi, Kemudian muncullah dia, seorang yang mengenakan topeng merah di mukanya sehingga hanya tampak sepasang matanya yang mencorong. Tanpa berkata sepatah pun dia melepaskan ikatan kaki tangan dan kain yang membalut mulutku. Kemudian kami keluar dan dia membakar rumah bagian belakang itu. Aku berlari ke sini dan melihat Bapa dan Ki sanak ini dikeroyok maka lalu aku terjun membantu. Aku segera dikepung dan dikeroyok banyak anak buah gerombolan, akan tetapi dia muncul lagi, mengamuk dan merobohkan banyak penjahat. Ketika para penjahat itu melarikan diri, tahu-tahu dia pun sudah menghilang, maka kucari-cari bapa."

"Ah, siapakah orang itu? Mengapa pula dia menutupi mukanya dan langsung menghilang setelah menolong kita?" kata Ki Mertoloyo dengan nada menyesal. Kemudian dia teringat kepada Sutejo dan menghadapi pemuda itu sambil berkata, "Kami ayah dan anak merasa beruntung sekali bahwa Gusti Allah masih memberi perlindungan kepada kami sehingga dalam keadaan yang sangat gawat muncul andika, orang muda, dan muncul pula orang bertopeng itu. Kalau tidak ada andika yang membantu, pasti kami sudah menderita mala petaka pada saat dikeroyok di luar hutan itu. Kami amat berterima kasih kepadamu, orang muda. Winarti cepat ucapkan terima kasih kepada ki sanak ini!"

Winarti membungkuk kepada Sutejo dan memandang pemuda itu dengan sepasang mata yang bersinar terang dan wajahnya yang cantik menjadi kemerahan. "Kakangmas, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada kami."

"Ahh, sudahlah, paman dan nimas, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Sudah semestinya dan menjadi kewajiban kita untuk saling menolong bila menghadapi ancaman kejahatan," jawab Sutejo dengan lembut.

"Perkenalkan, anak mas, aku bernama Ki Mertoloyo, senopati Mataram dan dia ini adalah puteriku yang tadi sudah kau dengar namanya kusebut, yaitu Winarti."

"Ahh, ternyata paman adalah seorang senopati Mataram? Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat."

"Sudahlah, tidak perlu penghormatan itu, anak mas. Akan tetapi siapakah anak mas yang masih begini muda sudah memiliki kesaktian yang demikian tinggi?"

"Saya bernama Sutejo, paman."

"Siapa gurumu, anak mas Sutejo?"

"Guru saya adalah mendiang Bapa Bhagawan Sidik Paningal."

"Ahhh! Bhagawan Sidik Paningal dari Gunung Kawi? Dan beliau sudah meninggal dunia?" tanya Ki Mertoloyo dengan kaget. "Dan andika sendiri berasal dari mana dan siapa pula orang tuamu, anak mas Sutejo?"

Sutejo menghela napas panjang karena dia merasa sedih setiap kali ada orang bertanya tentang orang tuanya. "Saya sendiri tidak atau belum tahu siapa orang tua saya, paman. Sejak kecil saya dipelihara oleh mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal."

"Hemmm, begitukah? Kalau begitu, maafkan pertanyaanku tadi. Akan tetapi aku teringat bahwa Bhagawan Sidik Paningal masih ada hubungan perguruan dengan Sang Bhagawan Sindusakti, ketua perguruan Jatikusumo di daerah Pacitan, bukan? Tentu andika kenal pula dengan Sang Puteri Wandansari yang menjadi murid perguruan itu?"

Sutejo mengangguk. "Saya sudah mendapat kehormatan bertemu dengan Gusti Puteri Wandansari, paman." katanya merendah, tak berani menyebut nama Wandansari dengan diajeng di depan senopati itu.

"Tidak heran kalau engkau demikian digdaya, anak mas Sutejo. Dan agaknya engkau tadi mengenal mereka, baik Bhagawan Jaladara mau pun Tumenggung Janurmendo."

"Paman Senopati... Sang Bhagawan Jaladara itu sesungguhnya masih paman guru saya sendiri karena dia adalah adik seperguruan mendiang bapa guru, akan tetapi dia bersama Tumenggung Janurmendo yang telah membunuh bapa guru dan eyang guru."

"Ehh...?! Akan tetapi kenapa?" tanya Senopati Ki Mertoloyo dengan kaget dan heran.

"Dia telah menyeleweng dari kebenaran, paman. Dia menjadi antek Kadipaten Wirosobo. Karena mendiang bapa guru dan eyang guru tidak mau membantu Wirosobo, maka dia melakukan pengeroyokan sehingga bapa guru dan eyang guru terluka parah dan akhirnya meninggal dunia."

"Hmm, kalau begitu pantas saja dia bekerja sama dengan Tumenggung Janurmendo yang menjadi senopati Wirosobo untuk membunuhku kalau aku tak mau menakluk dan menjadi pembantu Kadipaten Wirosobo."

"Mereka itu jahat dan licik, bapa! Sebagai senopati, mengapa mereka menghadang dan mengeroyok kita, bukan berhadapan dalam perang sebagai watak senopati yang gagah perkasa?" kata Winarti penasaran, kemudian dia memandang kepada Sutejo dan berkata kepada pemuda itu. "Kakangmas Sutejo, andika adalah seorang yang gagah perkasa dan sakti mandraguna, kenapa andika tidak menggunakan kepandaianmu itu untuk mengabdi kepada Mataram?"

Sutejo tersenyum mendengar ucapan itu. Dia pun tahu bahwa puteri senopati Mataram ini memiliki watak yang gagah. "Nimas Winarti, aku pasti akan mengabdikan diriku kepada Kerajaan Mataram kalau semua tugas yang harus kulakukan telah selesai. Masih banyak tugas yang harus kukerjakan, di antaranya mencari orang tuaku dan merampas kembali sebuah pusaka yang telah dirampas oleh Bhagawan Jaladara."

"Bagus! Aku akan merasa senang sekali bila kita menjadi rekan dalam membela Kerajaan Mataram, anak mas Sutejo. Sekarang, andika hendak pergi ke manakah?"

"Saya hendak melakukan pengejaran terhadap Bhagawan Jaladara agar dapat merampas kembali pusaka saya yang berada di tangannya, paman senopati. Tetapi paman berdua berada di dekat perbatasan dengan Wirosobo. Hal ini berbahaya sekali. Saya tahu betapa kejam dan jahatnya Bhagawan Jaladara. Belum tentu dia mau sudah begitu saja setelah gagal membunuh paman. Saya khawatir kalau dia dan kawan-kawannya akan melakukan percobaan lagi, maka sebelum paman meninggalkan daerah berbahaya ini biarkan saya menemani paman."

Ki Mertoloyo yang kebetulan memandang puterinya, melihat betapa wajah puterinya itu menjadi berseri-seri, sinar matanya menari-nari dan bibirnya terhias senyum merekah ketika mendengar ucapan Sutejo ini, dan dari pandang mata puterinya itu kepada Sutejo, menatap wajah pemuda itu sedemikian rupa, dia yang sudah banyak asam-garamnya dalam kehidupan ini, dapat mengerti apa yang menjadi gejolak hati puterinya. Dia tahu bahwa puterinya itu amat kagum terhadap Sutejo dan sudah jatuh hati kepadanya.

"Bagus sekali kalau begitu dan terima kasih banyak, anak mas Sutejo. Kini aku sedang melaksanakan tugas dari kerajaan untuk menghubungi para demang dan lurah-lurah untuk menyusun kekuatan di sepanjang tapal batas antara Mataram dan Wirosobo. Sekarang hanya tinggal beberapa buah dusun lagi yang harus kudatangi dan aku gembira sekali jika andika mau menemani kami, anak mas. Mari kita melanjutkan perjalanan."

Mereka bertiga lalu mencari dua ekor kuda tunggangan Ki Mertoloyo dan Winarti tadi, tapi tidak berhasil menemukan kuda-kuda itu. Agaknya kuda-kuda itu tadi ketakutan kemudian melarikan diri, atau mungkin juga ditunggangi para penjahat untuk melarikan diri. Terpaksa mereka berjalan kaki meninggalkan tempat itu.....

********************

Mentari telah condong rendah di ufuk barat ketika mereka bertiga memasuki kademangan Wonojati. Ki Demang Wonojati menyambut dengan hormat sesudah mengetahui bahwa yang datang adalah seorang senopati dari Mataram. Dia menjamu tiga orang tamunya, juga menyediakan tiga buah kamar untuk mereka pergunakan tidur pada malam hari itu, serta menyediakan tiga ekor kuda untuk mereka pakai besok ketika mereka melanjutkan perjalanan. Bahkan ketika mendengar bahwa senopati Mataram dan puterinya itu sudah kehilangan kuda yang membawa kabur buntalan pakaian bekal mereka, Ki Demang lalu mencarikan beberapa rangkap pakaian baru untuk ayah dan puterinya itu. Tentu saja Ki Mertoloyo menjadi girang dan berterima kasih sekali.

Sesudah makan malam, Ki Mertoloyo mengajak Winarti dan Sutejo untuk duduk mencari hawa udara segar di taman belakang gedung kademangan. Hawa udara pada malam itu memang panas. Taman itu diterangi dua lampu gantung sehingga cuaca di situ remang-remang. Hawanya pun jauh lebih sejuk dibandingkan dengan hawa di dalam rumah yang agak panas.

"Anak mas Sutejo, apakah andika sudah menikah?" Ki Mertoloyo bertanya dengan suara ramah dan bersahabat.

"Belum, paman," jawab Sutejo sejujurnya.

“Akan tetapi anak mas tentu sudah mempunyai tunangan atau calon isteri, bukan?"

Sutejo tersenyum. "Paman, orang seperti saya yang hidup sebatang kara ini, bagaimana ada kesempatan untuk memikirkan hal perjodohan? Saya belum mempunyai calon isteri dan sama sekali belum mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri dengan perjodohan." Dia mencoba untuk mengusir bayangan dua orang dara yang tampak dalam ingatannya, yaitu Puteri Wandansari dan Retno Susilo.

Winarti yang tadinya hanya mendengarkan dengan penuh perhatian, kini tiba-tiba berkata, "Kakangmas Sutejo, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu?"

Sutejo menoleh kepada dara itu dan tersenyum. "Tentu saja boleh, nimas."

"Engkau tidak akan marah?"

Sutejo merasa lucu dan tertawa. "Kenapa mesti marah? Tanyakan saja, sedapat mungkin aku akan menjawab semua pertanyaanmu."

"Kakangmas, engkau pernah mengatakan bahwa engkau sendiri tidak mengetahui siapa orang tuamu karena sejak kecil engkau dipelihara oleh gurumu. Bagaimanakah ini? Apa yang terjadi dengan engkau dan orang tuamu? Mengapa engkau sampai berpisah dari mereka?"

Sutejo menghela napas panjang. Dia menjadi serba salah. Gadis ini dan ayahnya begitu baik padanya dan dia sudah terlanjur mengatakan bahwa dia tidak mengenal ayah ibunya. Kini gadis itu mengejarnya dengan pertanyaan ini, maka mau tak mau terpaksa dia harus menjawab. Bagaimana pun juga ayah dan puterinya ini adalah orang-orang terhormat dan baik hati, maka dia pun tidak ragu lagi untuk berterus terang.

"Panjang ceritanya," akhirnya dia berkata, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ki Mertoloyo dan Winani. "Ketika aku berusia tiga tahun, agaknya aku diculik oleh seorang wanita. Guruku, Bhagawan Sidik Paningal bertemu dengan wanita itu lalu membebaskan aku sesudah mengalahkan wanita itu. Nah, sejak itulah Bapa Bhagawan Sidik Paningal memeliharaku sebagai murid dan juga sebagai anak angkat. Sejak itu, dalam usia tiga tahun, aku tinggal di Gunung Kawi bersama Bapa Bhagawan, mempelajari ilmu sampai Bapa Bhagawan meninggal dunia, lalu aku pergi merantau untuk mencari orang tuaku dan merampas pusaka yang diambil oleh Paman Bhagawan Jaladara."

"Ah, kasihan sekali engkau, kakangmas Sutejo," kata Winarti dengan hati terharu. "Tetapi bagaimana engkau akan dapat menemukan orang tuamu kalau engkau tidak mengetahui siapa mereka?"

"Memang aku tidak tahu mereka itu siapa. Bahkan mendiang Bapa Bhagawan juga tidak tahu siapa dan di mana mereka berada."

"Habis, bagaimana engkau akan dapat mencari mereka, kakangmas?"

"Hemm, aku tahu!" kata Ki Mertoloyo. "Satu-satunya jalan hanyalah mencari wanita yang telah menculikmu, anak mas Sutejo. Siapakah wanita itu?"

"Benar pendapat paman. Mendiang Bapa Guru juga mengatakan demikian. Wanita itu bernama Ken Lasmi. Akan tetapi Bapa Bhagawan juga tidak tahu di mana tempat tinggal wanita itu."

"Ken Lasmi?" Ki Mertoloyo berusaha mengingat-ingat. "Menurut gurumu, berapa kira-kira usia wanita itu ketika menculikmu, anak mas Sutejo?"

"Menurut mendiang Bapa Bhagawan, usianya ketika itu sekitar empat puluh lima tahun."

"Bagaimana wajahnya? Apakah ada ciri-ciri tertentu?"

"Bapa Guru hanya mengatakan bahwa ia seorang wanita setengah tua yang masih cantik dan galak, ilmu kepandaiannya sangat tinggi sehingga dengan susah payah barulah Bapa Guru dapat mengalahkannya."

"Hemm, Ken Lasmi? Sekitar dua puluh tahun yang lalu? Rasanya aku pernah mendengar nama itu. Pernah nama Ken Lasmi itu menggegerkan daerah Mataram Barat, dia seorang wanita yang gagah perkasa namun ganas dan kejam. Akan tetapi agaknya sudah belasan tahun dia tidak pernah lagi muncul di dunia ramai sehingga aku sendiri pun tidak tahu di mana dia berada sekarang, sudah mati ataukah masih hidup."

"Sayang sekali bapa tidak tahu di mana adanya wanita itu. Tetapi aku akan membantumu, kakangmas Sutejo! Aku akan menyelidiki dan bertanya-tanya, barangkali di kota raja ada yang tahu tentang wanita itu! Aku pasti akan membantumu mendapatkan ayah bundamu, kakangmas!" kata Winarti penuh semangat.

"Terima kasih, nimas Winarti. Engkau baik sekali."

"Ahh, aku belum melakukan apa-apa sudah kau katakan baik sedangkan engkau sudah menyelamatkan nyawa bapa dan aku tidak mau menerima terima kasih kami."

Ki Mertoloyo bangkit dari tempat duduknya dan berkata, "Harap kalian berdua bicara dulu di sini, aku masih ada keperluan untuk dibicarakan dengan Ki Demang!" Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, bergegas dia pergi meninggalkan dua orang muda itu.

Tentu saja senopati ini tidak ada urusan apa pun dengan Ki Demang. Dia hanya mencari alasan untuk meninggalkan puterinya berdua dengan Sutejo, memberi kesempatan pada mereka berdua untuk bicara empat mata saja. Dia tadi telah melihat dan mendengar sikap dan kata-kata Winarti yang jelas menyuarakan isi hatinya untuk membantu pemuda itu!

Tentu saja Ki Demang menyambutnya ketika senopati itu mengajak Ki Demang bercakap-cakap di pendopo.

Tindakan Ki Mertoloyo yang meninggalkan mereka berdua saja di taman itu menimbulkan suasana yang membuat kedua orang muda itu tersipu dan salah tingkah. Mendadak saja Winarti kehilangan kelancaran bicaranya sehingga ia hanya menundukkan mukanya yang berubah kemerahan. Tanpa disadarinya jari tangannya menggurat-gurat papan bangku yang didudukinya dan kadang saja matanya mencuri pandang mengerling ke arah Sutejo.

Pemuda itu sendiri tiba-tiba juga merasa canggung dan malu. Dia seolah kehabisan bahan untuk bicara, dan tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Apa lagi ketika melihat gadis itu menundukkan kepala sambil menyembunyikan muka dan tampak betapa mulut gadis itu tersenyum malu-malu, dia menjadi lebih tegang dan serba salah sehingga tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Kemudian Sutejo ikut menunduk dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

"Kakangmas Sutejo..." Setelah berdiam diri agak lama akhirnya Winarti yang mendahului membuka mulut memanggil dengan suara lirih setengah berbisik. Sutejo bagaikan ditarik kembali ke alam kasunyatan setelah tadi pikirannya mengambang dan terapung tak tentu tujuan.

"Ya....? Ada apakah, nimas?" tanyanya seperti orang terkejut. Dia mengangkat muka dan melihat betapa gadis itu sudah memandang kepadanya dengan matanya yang bening.

Sesaat dua pasang mata saling tatap, bertaut dan Sutejo yang lebih dulu menundukkan pandang matanya. Dia melihat sesuatu yang aneh terpancar keluar dari sepasang mata bening itu, yang membuat dia tidak berani menentang langsung lebih lama lagi.

"Kakangmas, kenapa sejak tadi engkau berdiam saja? Setelah bapa pergi meninggalkan kita, mendadak percakapan kita terhenti dan engkau diam seribu bahasa!"

Mendengar teguran itu, Sutejo menjadi bingung, akan tetapi dia memaksa diri menjawab juga agak gagap, "Aku... aku kehabisan bahan pembicaraan, nimas, semua tentang diriku telah habis kuceritakan. Aku bahkan menanti engkau untuk bicara. Ceritakanlah tentang dirimu dan keluargamu, nimas."

Dua orang muda itu mendapatkan kembali ketenangan mereka dan dapat saling pandang dengan sinar mata wajar. Winarti tersenyum. Manis sekali kalau dia tersenyum, pada pipi kirinya timbul lesung pipit dan ketika dia tersenyum, sepasang mata bintangnya ikut pula tersenyum.

"Ahh, tidak ada sesuatu yang menarik tentang diriku dan keluarga bapaku, kakangmas. Ayah dan ibuku hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu aku. Semenjak kecil aku telah digembleng oleh ayah dalam olah kanuragan walau pun aku seorang wanita. Sejak aku lahir, ayah sudah menjadi seorang senopati Mataram. Ayah seorang senopati yang setia dan dia sangat mengagumi serta berbakti kepada Kanjeng Gusti Sultan Agung yang arif bijaksana. Beliau amat percaya kepada bapa dan sekarang pun kami sedang melakukan tugas perjalanan atas perintah beliau. Hanya itu yang dapat kuceritakan tentang keluarga kami! Tidak ada yang menarik, bukan?"

Sutejo teringat kepada Puteri Wandansari, puteri Sultan Agung. Maka dia lalu memancing kepada Winarti agar gadis itu suka bicara tentang keluarga Sultan Agung. "Nimas Winarti, sebagai puteri senopati yang dipercaya, tentu engkau memiliki hubungan dekat dengan keluarga Kanjeng Gusti Sultan, bukan? Ceritakanlah tentang keluarga agung itu. Apakah engkau juga mengenal Puteri Wandansari yang menjadi murid perguruan Jatikusumo itu?"

Wajah Winarti berseri-seri dan dia mengangguk bangga. "Tentu saja aku mengenal baik keluarga kerajaan, terutama sekali Puteri Wandansari. Ia seorang puteri yang cantik jelita dan mempunyai kesaktian tinggi. Sungguh ia pantas menjadi puteri Kanjeng Gusti Sultan yang sakti mandraguna."

"Siapakah yang menjadi calon mantu Sang Prabu, nimas? Tentu ia seorang yang memiliki kedudukan tinggi pula," tanya Sutejo dengan suara yang tampaknya sambil lalu, padahal dengan hati berdebar dia menantikan jawabannya.

"Calon mantu Sang Prabu? Kau maksudkan calon suami Sang Puteri?"

Sutejo mengangguk tanpa menjawab karena merasa jantungnya berdebar tegang.

"Sepanjang pengetahuanku Sang Puteri belum memiliki calon suami, belum bertunangan. Kalau hal itu terjadi, tentu kami semua sudah mendengar dan mengetahuinya."

Aneh sekali. Sutejo merasa betapa hatinya lega, seolah ada ganjalan yang disingkirkan dari lubuk hatinya. Dia merasa heran sendiri kepada hati dan perasaannya. Mengapa dia mempunyai perasaan demikian? Kenapa dia mengharapkan sang puteri itu masih bebas, belum memiliki tambatan hati?

Ahh, diam-diam hatinya masih mengharapkan jatuhnya bulan ke pangkuannya! Alangkah bodohnya. Harapan yang terlalu muluk, mengapung di awang-awang. Keinginan yang tak mungkin terpenuhi. Cita-cita yang rapuh dan tidak berlandaskan dasar yang kuat. Dia seorang laki-laki biasa, rakyat kecil, bahkan tidak diketahui keturunan siapa, merindukan puteri Sang Prabu yang begitu tinggi kedudukannya.

Sebuah tangan yang berkulit halus dan hangat menyentuh lengannya. Sutejo terkejut dan ketika memandang, ternyata yang menyentuh lengannya itu adalah tangan kanan Winarti. "Kakangmas Sutejo, kenapa engkau melamun lagi?" bisik dara itu tanpa melepaskan jari-jari tangannya dari atas lengan Sutejo. "Dan wajahmu nampak begitu sedih. Kakangmas, apakah engkau teringat akan ayah ibumu? Aku... aku kasihan padamu, kakangmas. Aku pasti akan membantumu. Mari kita pergi mencari ayah ibumu itu, aku akan membantumu sampai engkau dapat menemukan mereka." Suara itu menggetar penuh perasaan.

Sutejo menatap wajah gadis itu yang menggeser duduknya mendekat kepadanya dan dia terkejut. Wajah gadis itu. Mata dan mulut itu! Seolah begitu terbuka memperlihatkan isi hatinya. Gadis itu mencintanya! Hal ini dia rasakan benar dan Sutejo bangkit berdiri, lalu melangkah mundur.

"Terima kasih atas kebaikanmu, nimas Winarti. Maafkan aku, kepalaku terasa pening, aku permisi hendak mengaso lebih dulu..." tanpa menanti jawaban dia lalu meninggalkan gadis itu, keluar dari taman menuju ke rumah dan langsung dia pergi ke kamar yang disediakan untuknya, lalu merebahkan diri di atas pembaringan dan termenung.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)