PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-26


Kemudian terbayang wajah Retno Susilo dan tanpa disadari wajah Sutejo membayangkan senyuman. Perasaan hatinya selalu merasa gembira kalau dia teringat akan Retno Susilo, gadis yang amat lincah jenaka, juga gagah perkasa itu.

Pikirannya melayang-layang mengenangkan semua pengalamannya dengan Retno Susilo, semenjak gadis itu menyamar sebagai Joko Susilo sampai ia membuka penyamarannya. Ada penyesalan timbul di dalam hatinya mengingat betapa dia meninggalkan Retno Susilo menangis sedih karena gadis itu tidak dia perbolehkan untuk ikut merantau bersama dia.

Sesudah agak lama mengenang dan membayangkan Retno Susilo, bayangan itu terganti lagi dengan wajah Puteri Wandansari. Berulang kali Sutejo menarik napas panjang ketika dia membayangkan sang puteri itu. Betapa cantik jelitanya. Alangkah gagah perkasanya. Betapa anggun dan agung sikapnya.

Dan dia pun jatuh cinta. Cinta sepihak. Bertepuk sebelah tangan. Mana mungkin seorang puteri bangsawan besar seperti Sang Puteri Wandansari akan sudi menerima uluran cinta seorang pemuda semacam dirinya? Mana mungkin seekor cenderawasih yang indah sudi menanggapi cumbu rayu seekor itik yang buruk dan kotor? Sutejo mengeluh dalam helaan napasnya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan bayangan Puteri Wandansari.

Kemudian dia teringat kepada Jayanti, puteri Joyosudiro pendekar dari Kediri yang gagah itu. Jayanti, gadis yang cantik manis dan berwatak gagah. Teringat dia betapa Joyosudiro hendak menjodohkan dia dengan Jayanti dan agaknya gadis itu pun setuju. Akan tetapi penawaran perjodohan itu terpaksa ditolaknya dengan halus. Dia kagum dan suka kepada Jayanti, akan tetapi dia tidak mencintanya dan pula, pada waktu itu dia sama sekali tidak mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan perjodohan.

Kemudian bayangan Jayanti menghilang dan muncullah bayangan Sumarni, gadis dusun yang hampir saja membuat dia terhuyung dalam mempertahankan diri dari godaan suara iblis yang membujuknya agar dia menggauli gadis yang ditolongnya itu. Gadis yang telah menjadi korban rayuan seorang pemuda bernama Permadi, yang telah menodainya lantas meninggalkannya pergi begitu saja. Kalau dia bertemu dengan Permadi kelak tentu akan dihajarnya pemuda itu dan dipaksanya untuk pergi menemui Sumarni.

Bayangan Sumarni lalu menghilang dan muncullah bayangan Winarti, gadis terakhir yang terlibat dalam hidupnya. Gadis gagah perkasa yang agaknya juga menaruh hati padanya.

Mengapa dalam hidupnya demikian banyak wanita terlibat dengannya? Akan tetapi semua bayangan itu lenyap, hanya tinggal dua bayangan dan wajah yang selalu terbayang dalam benaknya silih berganti, yaitu bayangan wajah Puteri Wandansari dan bayangan wajah Retno Susilo! Akhirnya ia pun tertidur pulas dan bermimpi tentang Puteri Wandansari dan Retno Susilo.....

********************

Winarti gelisah di dalam kamarnya. Dia tidak dapat tidur sama sekali. Bayangan Sutejo terus menggodanya. Beberapa kali ia bangkit duduk, kadang berjalan-jalan hilir mudik di dalam kamarnya berputar-putar, lalu duduk dan rebah kembali. Miring ke sana miring ke sini, akan tetapi matanya tidak mau juga terpejam.

Dia sadar benar bahwa dia telah jatuh cinta kepada Sutejo, pemuda yang mendatangkan kekaguman dalam hatinya itu. Selama hidupnya belum pernah dia merasakan hal seperti ini. Dia ingin terus berdekatan dengan Sutejo, ingin terus mendampinginya, membela dan dibelanya. Ingin bersama Sutejo menghadapi semua musuhnya.

Cinta memang aneh. Permainannya adalah tawa dan tangis. Hati yang sedang dilanda cinta mudah tertawa gembira dan mudah berubah menjadi tangis sedih. Mudah puas dan mudah kecewa. Cinta membubungkan cita-cita seperti gelembung sabun penuh udara, membubung ke angkasa. Namun betapa mudahnya gelembung itu meletus dan sirna.

Cinta seperti istana yang dibangun di awang-awang, mudah sekali lenyap terbawa angin. Demikianlah sifat cinta asmara yang berdasarkan nafsu berahi. Segala macam nafsu merupakan mimpi yang amat indah, yang lenyap begitu kita tersadar. Akan tetapi rasanya hidup ini hampa dan kurang berarti tanpa adanya pengalaman cinta asmara! Setiap orang pasti sesekali waktu akan mengalaminya dan menjadi korban permainannya. Diombang-ambingkan antara senang dan susah oleh ulah cinta asmara.

Winarti berada di ambang keraguan. Ia mencinta Sutejo akan tetapi ia tidak tahu apakah pemuda itu juga mencintanya. Apakah pemuda itu menyambut cintanya. Ia berada dalam harap-harap cemas. Hatinya penuh harapan untuk dapat hidup bersama dengan Sutejo, sebagai pasangan yang saling mencinta, tapi dalam harapan ini terselip pula kecemasan kalau-kalau Sutejo akan menolak cintanya sehingga cintanya seperti bertepuk sebelah tangan.

Mendadak terdengar suara dan jendela kamarnya terbuka dari luar. Winarti terkejut dan heran, lalu bangkit dari pembaringan. Akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan seseorang melompat memasuki kamarnya melalui jendela yang terbuka itu. Gerakan orang ini sedemikian cepatnya sehingga Winarti tidak sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu orang itu telah menodongkan sebatang pedang dengan gerakan yang cepat sekali.

Winarti merasa betapa kulit lehernya ditempel benda yang dingin. Dia tahu bahwa sekali tangan yang memegang pedang itu bergerak, lehernya akan tertembus atau terpenggal! Ia terbelalak memandang dan menjadi lebih heran lagi melihat bahwa yang menodongnya adalah seorang wanita muda yang amat cantik. Wajah yang jelita dengan mata dan mulut yang indah, akan tetapi sinar matanya dingin dan menyeramkan.

"Siapa engkau? Mau apa engkau?" tanya Winarti sambil menenangkan hatinya.

Ia memang seorang yang tabah. Biar pun nyawanya berada di ujung pedang lawan tetapi ia tidak merana gugup atau gentar. Ia menentang pandang mata gadis itu dengan berani dan penuh selidik.

Gadis itu mengedikkan kepalanya dan bicara dengan suara yang dingin dan ketus, "Tidak perlu kau tahu siapa aku. Yang perlu kau tahu, aku datang ke sini untuk memperingatkan kau. Jangan sekali-kali kamu berani mencoba untuk merayu Sutejo. Jangan coba-coba untuk merebut hati Sutejo! Kalau kamu tetap nekat melakukan itu maka pedangku akan memenggal lehermu seperti ini!" Pedang berkelebat mengeluarkan sinar kehijauan.

"Crak-crak-crakk!"

Tiga kali pedang membacok dan meja di dalam kamar itu segera terbelah menjadi empat potong! Ketika potongan-potongan meja itu runtuh, wanita itu telah berkelebat lalu lenyap melalui jendela seperti ketika ia datang.

Sejenak Winarti tertegun. Akan tetapi karena pada dasarnya ia seorang gadis pemberani, segera ia dapat memulihkan ketenangannya kemudian ia pun cepat melompat keluar dari jendela itu sambil berteriak nyaring.

"Ada penjahat! Tangkap!" dan ia pun berusaha mengejar.

Akan tetapi ketika ia tiba di luar kamarnya, bayangan wanita itu sudah tidak tampak lagi. Teriakannya yang nyaring membuat Sutejo dan Ki Mertoloyo terbangun dan cepat kedua orang ini sudah keluar dari kamar mereka.

Winarti yang merasa penasaran melakukan pengejaran keluar dari rumah Ki Demang dan melihat ini Sutejo juga mengejarnya dengan cepat. Seluruh isi rumah Ki Demang menjadi terbangun dan Ki Demang bertanya kepada Ki Mertoloyo apa yang telah terjadi.

"Agaknya ada penjahat yang memasuki rumah ini. Sekarang sedang dikejar oleh puteriku dan anak mas Sutejo," kata Ki Mertoloyo yang tidak ikut mengejar karena dia yakin bahwa puterinya dan Sutejo saja telah cukup untuk menandingi musuh yang bagaimana pun juga tangguhnya.

Akan tetapi Winarti dan Sutejo kehilangan jejak. Mereka tidak dapat menemukan wanita yang mengganggu Winarti tadi sehingga terpaksa berhenti di luar dusun itu. Sutejo juga berhenti ketika melihat Winarti tidak melakukan pengejaran lagi.

"Nimas Winarti, sesungguhnya apakah yang terjadi?" tanya Sutejo ketika mereka berdiri di luar dusun, di bawah sinar bulan yang cukup terang.

Sinar bulan yang redup tidak dapat memperlihatkan warna merah di wajah Winarti. Gadis ini merasa marah dan mendongkol sekali kepada wanita yang mengancamnya tadi dan ia mendongkol pula kepada Sutejo, dengan perkiraan bahwa tentu wanita itu adalah kekasih Sutejo yang merasa cemburu kepadanya.

"Kakangmas Sutejo, kenapa engkau tidak mengajarkan sopan santun kepada kekasihmu itu?" Ia menegur dengan marah.

Sutejo tertegun sambil memandang bingung. "Apa maksudmu, nimas? Mengajar sopan santun kepada siapa? Kekasihku? Kekasihku yang mana? Aku tidak punya kekasih, nimas!" Kemudian dia meninggikan suaranya bertanya, "Mengapa engkau berkata seperti itu?"

"Tadi ada seorang wanita muda memasuki kamarku. Dia mengancam akan membunuhku kalau aku berani merebut hatimu, kakangmas! Siapa lagi orang yang menaruh cemburu seperti itu kepadaku kalau dia bukan kekasihmu?"

"Sungguh mati! Aku tidak mempunyai kekasih, nimas. Entah siapa wanita yang berbuat seperti itu terhadap dirimu."

"Apakah tidak ada wanita yang kau cinta?"

Sutejo meragu. Wajah Puteri Wandansari dan Retno Susilo berkelebat dalam benaknya, akan tetapi tidak mungkin dia membuka rahasia hatinya ini kepada Winarti atau kepada siapa pun juga. Dia menggeleng kepalanya tanpa menjawab.

"Meski pun engkau tidak mencinta wanita mana pun, akan tetapi aku percaya bahwa ada wanita yang mencintaimu. Wanita yang mengancamku tadi pasti mencintaimu, dan aku..."

"Engkau kenapa, nimas Winarti?" tanya Sutejo melihat Winarti mendadak menundukkan mukanya dan pundaknya berguncang sedikit. Gadis itu menangis!

Sutejo maju selangkah menghampiri gadis itu. "Nimas, ada apakah?" tanyanya.

Winarti menahan isaknya dan sambil tetap menunduk dia pun berkata, "Setelah peristiwa malam ini, sesudah aku diancam... aku... aku akan merasa malu sekali... kalau aku tidak dapat merebut cintamu, kakangmas. Seolah-olah aku takut terhadap ancaman itu. Aku... aku harus dapat menjadi calon isterimu!"

Sutejo demikian terkejut sampai dia mundur lagi tiga langkah. "Nimas Winarti...!"

"Kakangmas Sutejo, tidak pantaskah bagi seorang wanita untuk mengaku cinta? Apakah engkau tidak dapat menerima cintaku? Apakah cinta itu sudah dimiliki oleh wanita yang mengancamku tadi?"

"Nimas, aku masih ingin bebas, belum mau mengikatkan diri dengan perjodohan. Tugasku masih sangat banyak, karena itu aku tidak mau bicara tentang cinta dan perjodohan. Akan tetapi wanita yang mengancammu itu, seperti apakah dia?"

"Orangnya cantik, usianya sebaya dengan aku, matanya ganas dan ia membawa pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan, yang ia pakai untuk menodong dan mengancam aku! Ah, kalau saja aku bisa bertemu kembali dengannya, tentu akan kuajak bertanding hingga seorang di antara kami mati!" kata Winarti dengan gemas.

Sutejo terkejut sekali. Retno Susilo! Siapa lagi kalau bukan gadis itu yang menggunakan pedang bersinar hijau! Pedang Pusaka Nogo Wilis tentu saja, milik Retno Susilo.

"Terlalu sekali orang itu! Nimas Winarti. aku akan mencari orang itu! Tolong sampaikan dan pamitkan kepada Paman Mertoloyo!" Sutejo membalikkan tubuhnya dan hendak lari.

"Kakangmas Sutejo! Engkau hendak ke manakah?" Winarti mengejar.

"Aku akan melanjutkan perjalanan dan mencari orang itu. Aku akan mengambil pakaianku dulu!" kata pula Sutejo dan dia pun lalu mengerahkan tenaganya, menggunakan Aji Harina Legawa dan berlari seperti kijang cepatnya meninggalkan gadis itu. Dia tidak mendengar lagi betapa beberapa kali Winarti memanggil namanya.

Tanpa diketahui siapa pun Sutejo memasuki kamarnya, mengambil buntalan pakaiannya lalu keluar lagi dan berlari cepat ke arah larinya gadis yang mengganggu Winarti tadi. Dia hampir yakin bahwa gadis itu tentu Retno Susilo, maka dia hendak menyusul dara itu dan menegur perbuatannya terhadap Winarti.....

********************

Ki Mertoloyo terheran-heran dan khawatir ketika dia melihat Winarti pulang ke rumah Ki Demang dengan mata basah dan merah. Gadis itu tampak berduka.

"Bagaimana, Winarti? Dapat tersusulkah orang itu? Dan mana anak mas Sutejo?" tanya Ki Mertoloyo.

Akan tetapi yang ditanya tidak menjawab melainkan langsung saja pergi ke kamarnya. Ki Mertoloyo cepat mengikuti puterinya dan ketika ia memasuki kamar puterinya, ia melihat Winarti rebah menelungkup di atas pembaringan dan menangis!

"Nini, apakah yang terjadi? Kenapa engkau menangis?" tanya ayah itu dengan heran dan khawatir, lalu duduk di tepi pembaringan.

Winarti tidak menjawab melainkan terus menangis sesenggukan. Ki Mertoloyo yang telah berpengalaman itu membiarkan puterinya menangis sebab hanya tangis itulah yang dapat menjadi penyalur kedukaan yang menyesak di dada. Setelah tangis gadis itu mereda, Ki Mertoloyo berkata sambil mengelus kepala anaknya.

"Winarti, katakanlah kepada bapa, apakah yang terjadi dan mengapa engkau menangis? Apakah engkau dan anak mas Sutejo tidak berhasil mengejar penjahat itu?"

Winarti bangkit duduk lalu menghapus air mata yang membasahi pipinya.

"Sebenarnya apakah yang tadi terjadi di dalam kamarmu ini? Kulihat meja telah terpotong- potong. Siapakah penjahat itu?"

Sesudah berhasil menenangkan hatinya, Winarti lalu berkata, "Bapa, tadi aku belum tidur ketika tiba-tiba daun jendela dibuka orang dari luar. Sebelum aku dapat berbuat sesuatu, seorang gadis dengan amat cepatnya tiba-tiba melompat masuk dan telah menodongkan pedangnya di leherku sehingga aku tidak berdaya."

"Siapa dia? Apa maunya?" Ki Mertoloyo bertanya khawatir. "Apakah dia anak buah orang Wirosobo?"

"Aku tidak tahu, bapa. Dia tak mau menyebutkan namanya. Akan tetapi dia mengancam kepadaku..." Gadis itu kembali menghapus air matanya dan berhenti bercerita.

"Mengancam bagaimana?"

"Dia memperingatkan aku agar tidak merebut hati kakangmas Sutejo. Ia mengancam dan dengan pedangnya ia membacoki meja itu, mengatakan bahwa kalau aku tidak menurut, ia akan membunuhku. Kemudian ia melompat keluar dan aku segera mengejarnya sambil berteriak tadi."

"Dan anak mas Sutejo ikut mengejarnya. Tadi aku tidak ikut mengejar karena aku merasa yakin engkau dan anak mas Sutejo akan mampu menangkapnya. Jadi kalian berdua tidak dapat menangkapnya?"

"Kami kehilangan jejak, bapa. Orang itu menghilang dan kami tidak tahu ke arah mana dia lari."

"Akan tetapi kenapa engkau menangis?"

Winarti tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya. Tentu saja sukar baginya untuk mengatakan mengapa dia menangis.

"Dan engkau pulang seorang diri. Ke mana anak mas Sutejo?"

"Dia telah pergi..." jawab Winarti lirih dan datar.

"Pergi? Pergi ke mana?"

"Katanya hendak mencari gadis itu dan dia minta disampaikan pamit kepadamu, bapa."

"Pamit? Jadi dia tidak akan kembali ke sini?"

Winarti menggeleng kepalanya, "Tidak, dia... katanya akan melanjutkan perjalanannya..."

Ki Mertoloyo mengangguk-angguk, Kiai mengertilah dia. Puterinya menangis sedih karena ditinggalkan Sutejo!

"Nini, engkau mencintai anak mas Sutejo?" tanyanya sambil memegang kedua pundak anaknya.

Winarti menangis lagi di atas dada ayahnya.....

********************

Pagi itu Retno Susilo berjalan seorang diri, mendaki bukit dengan langkah santai. Indah nian suasana dan pemandangan pada pagi hari itu, di kala matahari muda memuntahkan sinarnya yang masih lembut kemerahan ke muka bumi, mengusir kabut yang membubung dari tanah yang basah oleh embun. Burung-burung mulai sibuk membuat persiapan untuk bekerja pada hari itu, mendendangkan puja-puji kepada Yang Maha Pencipta dengan kicau mereka yaug saling sahutan.

Jauh di depan sana, melalui bentangan sawah yang luas di depan kakinya, Retno Susilo melihat sebuah dusun dan dari dusun itu sudah terdengar suara-suara yang tak asing bagi telinganya, suara-suara yang mendatangkan rasa damai di hati. Suara ayam berkeruyuk, berkokok dan berkotek, diseling suara kambing mengembik dan suara sapi. Sayup-sayup sampai terdengar pula suara kanak-kanak berteriak. Dusun itu agaknya sudah mulai hidup dan sibuk pula menyambut datangnya hari baru, siap untuk melakukan pekerjaan masing-masing.

Retno Susilo berhenti melangkah kemudian menggeliat memutar-mutar pinggangnya yang terasa pegal. Tadi malam terpaksa dia harus melewatkan malam di dalam sebuah gubuk bambu di tengah sawah. Ia kemalaman di jalan sebelum dapat sampai ke sebuah dusun, maka ia terpaksa bermalam di gubuk kecil itu. la harus rebah di atas lantai bambu yang kasar sehingga kini pinggangnya terasa pegal.

Pemandangan dari lereng bukit Itu sungguh indah. Matahari tampak masih lembut, belum terlampau menyilaukan dan sinarnya juga hangat nyaman, belum menyengat. Hawa udara terasa sejuk segar dan hangat. Pemandangan dan suasana seperti ini menciptakan rasa damai dan tenteram di hati.

Retno Susilo lalu duduk di atas sebuah batu dan melayangkan penglihatannya ke bawah di mana terbentang luas tanah persawahan dan tegalan. Pemandangan itu membuatnya terhibur sehingga ia telah lupa akan kegelisahan dan kemurungan yang menggodanya tadi malam dan membuatnya tidak dapat tidur nyenyak di gubuk itu.

Tadi malam hatinya terasa panas seperti dibakar. Siapa yang tidak akan panas hatinya melihat Sutejo bermesraan berdua dengan seorang gadis dalam taman kademangan itu? Pemuda yang dicari-carinya, dengan penuh kerinduan dan juga penuh penasaran, tahu-tahu telah didapatinya bermesraan dengan seorang gadis lain!

Menurutkan panasnya hati sebetulnya ingin ia membunuh gadis itu. Akan tetapi ia masih ragu, belum yakin benar bahwa Sutejo bercinta-cintaan dengan gadis itu, maka sesudah berhasil memasuki kamar gadis itu, ia hanya mengancam saja. Kemudian ia melarikan diri dan setelah keluar dari kademangan Wonojati, ia memasuki hutan dan setelah keluar dari dalam hutan dan tiba di persawahan ia lalu berhenti dan bermalam di sebuah gubuk itu.

Hatinya panas dan gelisah sehingga malam itu dia merasa lahir batinnya tersiksa. Gubuk itu merupakan tempat yang sama sekali tidak enak untuk ditiduri, ditambah pula hatinya demikian panas memikirkan Sutejo.

Tetapi ketika dia duduk di atas batu itu, tenggelam ke dalam suasana penuh kedamaian dan ketenteraman yang indah itu, gadis ini sudah melupakan semuanya itu dan meneguk kenikmatan suasana pagi yang permai itu sepuasnya. Bukit Ular sudah tampak dari situ, sebuah bukit di Pegunungan Anjasmoro. Melihat bukit itu, teringatlah ia akan gurunya dan semua kedamaian dan keindahan itu pun lenyap. Pikirannya sudah disibukkan lagi oleh ingatan dan kenangan.

Dia telah gagal melaksanakan tugas yang diberikan gurunya! Gurunya, Nyi Rukmo Petak, Setelah menurunkan semua ilmu simpanannya kepadanya, gurunya menugaskan agar ia membunuh musuh gurunya yang bernama Harjodento dan isterinya bernama Padmosari yang tinggal di daerah Ngawi, di tepi Bengawan Solo. Akan tetapi ia telah gagal! Ia telah menghadapi dan menantang mereka, akan tetapi dia harus mengakui ketangguhan dan keunggulan Harjodento.

Ia telah kalah dan gagal melaksanakan tugas yang diberikan gurunya kepadanya! Bahkan hampir saja ia celaka di tangan suami isteri itu dan anak buah mereka. Untunglah muncul seorang pemuda yang menolongnya, yaitu Priyadi. Namun dia merasa tidak suka kepada pemuda yang tampan dan digdaya itu karena ada sesuatu dalam pandang matanya yang mendatangkan rasa tidak suka dan tidak percaya dalam hatinya.

Teringat akan semua ini, terutama sekali akan kegagalannya melaksanakan tugas yang diperintahkan gurunya, kedukaan timbul dalam hati gadis itu dan segala keindahan dan kebahagiaan yang tadi menyelimuti perasaannya pun tiba-tiba menghilang!

Pikiranlah yang meniadakan kebahagiaan! Kebahagiaan adalah anugerah Tuhan kepada manusia yang mengalir tiada hentinya. Kebahagiaan itu selalu sudah ada di dalam batin manusia. Tetapi pikiran yang mengingat-ingat, mengenangkan masa lalu, membayangkan masa depan, menimbulkan persoalan-persoalan, problema-problema yang meresahkan hati, menimbulkan duka dan kekhawatiran dan kalau semua problema yang didatangkan pikiran itu sudah menguasai batin, maka dengan sendirinya kebahagiaan pun tak terasa lagi. Bagaikan sinar matahari yang selalu ada namun tertutup mendung sehingga tidak tampak lagi, pikiran ini selalu menghantui kita. Bahkan dalam tidur sekali pun, keadaan yang sesungguhnya membuat kita berbahagia, pikiran masih mengulurkan kuku-kukunya berupa mimpi-mimpi yang kadang kala buruk sehingga amat mengganggu ketenteraman batin kita.

Hati akal pikiran yang telah dicengkeram napsu selalu merasa tak puas, selalu mengejar apa yang kita anggap menyenangkan. Pada akhirnya justru akan menjerumuskan kita ke dalam kedukaan dan kesengsaraan. Hati akal pikiran memang merupakan alat hidup yang mutlak perlu, bahkan membantu sekali kepada kita, karena tanpa hati akal pikiran, kita akan hidup seperti binatang. Namun hati akal pikiran menjadi sarangnya nafsu dan kalau kita tidak waspada dan membiarkannya merajalela maka kita akan diperhamba.

Kita tidak dapat berdaya sama sekali karena pengaruh hati akal pikiran yang bergelimang nafsu memang teramat kuat. Satu-satunya jalan untuk membebaskan diri dari pengaruh hati akal pikiran yang bergelimang nafsu hanya dengan penyerahan diri yang sepenuhnya dan tulus ikhlas kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, memohon bimbinganNya. Karena hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu menundukkan kemurkaan nafsu.

Tuhan yang memberi nafsu kepada kita, menjadi peserta kita sejak kita lahir. Tuhan yang mengadakan nafsu, karena itu hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu menundukkan nafsu dan mengembalikan nafsu ke dalam tugasnya semula, yaitu menjadi peserta dan pembantu manusia yang berguna dan mengandung kebaikan, bukan menjadi penggoda yang membuat manusia, mengerjakan kejahatan dan menjerumuskan manusia ke dalam kesengsaraan.

"Diajeng Retno Susilo?"

Retno Susilo tersentak dari lamunannya. Ia segera melompat turun dari atas batu sambil membalikkan tubuhnya dan ia sudah berhadapan dengan Sutejo! Sejenak kedua orang itu berdiri saling berhadapan dalam jarak sekitar lima meter dan saling berpandangan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Berbagai macam perasaan bergejolak di dalam hati Retno Susilo. Ada perasaan gembira yang luar biasa bertemu dengan pemuda yang sangat dirindukannya itu, akan tetapi ada pula perasaan menyesal bahwa pemuda itu meninggalkannya dan tak mau mengajaknya pergi merantau, ada pula perasaan marah teringat akan gadis dalam taman kademangan Wonojati yang pada malam tadi bercakap-cakap mesra dengan Sutejo. Semua perasaan ini teraduk menjadi satu hingga membuatnya tidak mampu bicara.

Sedangkan dalam dada Sutejo juga terjadi pergolakan. Dia melihat betapa Retno Susilo menjadi semakin cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Tak dapat disangkal bahwa hatinya bergembira sekali bertemu kembali dengan gadis ini. Tetapi juga terdapat perasaan marah kalau dia teringat akan perbuatan gadis ini terhadap Winarti yang tidak berdosa. Betapa pun juga di sudut hatinya terdapat kesadaran bahwa apa yang dilakukan Retno Susilo itu adalah akibat dari kecemburuan hatinya yang menandakan bahwa gadis ini amat mencintanya!

"Kau... kakang Sutejo...!" Akhirnya Retno Susilo berkata lirih

"Sudah kuduga, tentu engkaulah orangnya yang mengancam nimas Winarti dan membikin ribut di kademangan Wonojati," kata Sutejo sambil tersenyum dan memandang gagang pedang yang tersembul di belakang pundak gadis itu.

Mendengar ucapan itu Retno Susilo segera mengedikkan kepalanya dan membusungkan dadanya, sikapnya menantang sekali. "Benar! Aku yang melakukannya! Apakah engkau datang mencariku untuk membalaskan dendam nimasmu yang bernama Winarti itu? Aku tidak takut!"

Melihat gadis itu wajahnya merah dan matanya seperti bernyala karena marahnya dan menantang, Sutejo tersenyum. "Sabarlah dan tenanglah, diajeng Retno Susilo. Aku sama sekali bukan mencarimu untuk membalaskan dendam. Aku hanya ingin memberi-tahukan kepadamu bahwa apa yang kau lakukan semalam itu sebenarnya tidak benar. Ketahuilah bahwa engkau mengancam dan membikin kaget seorang gadis yang sama sekali tidak berdosa. Ia tidak bersalah apa-apa." Dia meragu sebentar lalu melanjutkan,

"Ia tidak bermaksud merebut hatiku..."

"Huh, apa kau kira aku sudah buta? Aku sudah mengintai ketika kalian berdua bercakap-cakap dalam taman itu. Hmm, suaranya ketika bicara kepadamu, tatapan matanya ketika memandang kepadamu, jelas sekali menunjukkan bahwa ia telah jatuh cinta kepadamu!"

"Akan tetapi andai kata benar begitu, kenapa engkau menjadi marah kepadanya bahkan mengancam hendak membunuhnya?"

Sepasang mata itu mencorong marah. "Aku membunuh dia atau siapa pun juga, engkau peduli apa? Kakang Sutejo, kebetulan sekali engkau datang, karena sesungguhnya telah lama aku mencarimu. Aku hendak menantangmu bertanding, karena aku ingin membalas kekalahanku darimu tempo lalu!" Setelah berkata demikian Retno Susilo sudah mencabut pedang Nogo Wilis dari sarung pedangnya di belakang punggungnya.

Tampak sinar kehijauan berkelebat ketika dia mencabut pedangnya itu dan gerakannya sedemikian cepatnya sehingga diam-diam Sutejo merasa kagum dan juga terkejut.

"Eh, diajeng. Kenapa begini? Kenapa engkau menantangku bertanding? Di antara kita tak ada permusuhan, bahkan aku bersahabat dengan orang tuamu, bersahabat denganmu."

"Aku menantangmu bertanding untuk melihat siapa di antara kita yang lebih unggul untuk menebus kekalahanku yang lalu, bukan untuk bermusuhan. Hayo, keluarkan senjatamu, kakang Sutejo!"

"Tidak, aku tidak ingin bertanding melawanmu, diajeng. Biarlah sekarang aku mengaku kalah kepadamu."

"Tidak bisa! Kelakuanmu ini berarti penghinaan bagiku. Aku ingin menguji kepandaianku sendiri yang dengan susah payah kuusuhakan untuk memperoleh kemajuan. Mari, kakang Sutejo, atau aku akan menyerangmu begitu saja!"

Sutejo merasa tertarik. Jadi selama ini Retno Susilo telah memperdalam ilmunya dengan maksud untuk dapat mengalahkannya? Ingin sekali dia melihat sampai di mana kemajuan yang diperoleh gadis berwatak liar yang penuh keberanian dan kegagahan ini.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)