PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-27


Retno Susilo yang sudah siap sejak tadi, langsung bergerak cepat sambil berseru, "Awas seranganku!" Dan pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan seperti kilat sehingga yang tampak hanya sinar kehijauan meluncur ke arah leher Sutejo!

Pemuda itu kembali terkejut dan kagum. Gerakan ini benar-benar cepat bukan kepalang! Namun dia dapat mengelak dengan merendahkan tubuhnya sehingga pedang menyambar di atas kepalanya. Akan tetapi cepat sekali pedang itu membalik dan menyambar dari kiri ke arah perutnya! Sutejo mengelak lagi dengan langkah mundur sehingga ujung pedang menyambar lewat di depan perutnya. Akan leiapi dengan gerakan yang lincah bukan main pedang itu bagaikan seekor burung sikatan kembali sudah meluncur dan kini merupakan serangan tusukan ke arah dadanya!

"Bagus!" Sutejo memuji karena gerakan ini benar-benar indah dan juga berbahaya sekali bagi lawannya. Demikian cepatnya perubahan serangan itu, tadinya menyambar dan kiri ke kanan berupa bacokan, kini tiba-tiba saja sudah meluncur datang menusuk dadanya.

Dia mengerahkan tenaga dan menggunakan kain pengikat kepalanya untuk menangkis. Dengan penyaluran tenaga saktinya, kain yang lemas itu kini berubah menjadi kaku dan keras, seperti sebatang pedang saja menangkis pedang Nogo Wilis di tangan gadis itu.

"Plakk!"

Pedang di tangan Retno Susilo segera terpental, akan tetapi Sutejo juga merasa betapa tangannya yang memegang kain pengikat rambut itu tergetar keras, menandakan bahwa tenaga dalam gadis itu pun kini menjadi kuat bukan main.

Tangkisan Sutejo itu membuat Retno Susilo menjadi penasaran sekali. Ia menggerakkan pedangnya dengan cepat sehingga senjata itu berubah menjadi cahaya kehijauan yang bergulung-gulung dan dari dalam gulungan sinar pedang itu kadang-kadang mencuat sinar kilat dari serangan pedangnya. Akan tetapi selalu Sutejo dapat menghindarkan diri dengan elakan atau tangkisan kain pengikat rambutnya.

Setelah menyerang selama lima puluh jurus lebih dan serangannya tidak pernah satu kali pun mengenai sasaran, selalu terelakkan atau tertangkis oleh pemuda itu, Retno Susilo menjadi penasaran bukan main. Biar pun hanya merupakan sehelai kain pengikat rambut, namun sesudah berada di tangan Sutejo benda itu menjadi sebuah senjata yang ampuh bukan main dapat menjaga tubuh pemuda itu melebihi perisai yang terbaik.

Sementara itu, meski dia tidak pernah membalas, tapi diam-diam Sutejo harus mengakui bahwa kegesitan dan tenaga Retno Susilo telah memperoleh kemajuan pesat dan besar sekali sehingga dia menjadi sangat kagum.

Tiba-tiba Retno Susilo melompat ke belakang dan menyarungkan pedangnya di belakang punggung. Matanya bersinar-sinar menatap wajah Sutejo. Melihat ini Sutejo juga segera mengikatkan kain yang dijadikan senjata tadi pada kepalanya sambil tersenyum senang karena agaknya Retno Susilo akan mengakhiri pertandingan itu.

"Kakang Sutejo, biar pun senjata pedangku tidak pernah dapat menyentuhmu, akan tetapi aku belum mengaku kalah Aku tak akan mau mengaku kalah kalau belum kau robohkan. Sekarang sambutlah ajiku ini!"

Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, lutut agak ditekuk dan kedua tangan membuat gerakan seperti menyembah dengan kedua telapak tangan dipertemukan di depan hidung, kemudian kedua tangan itu dikembangkan ke kanan kiri, lengannya lurus dengan pundak, dan kedua tangan itu dari kanan kiri mendorong atau memukul ke depan dengan telapak tangan menghadap ke depan sambil mulutnya mengeluarkan teriakan melengking.

"Aji Gelap Sewuuu...!"

Sutejo terkejut bukan main. Serangan dari jarak jauh itu hebat bukan main. Mendatangkan angin dahsyat dan ada hawa pukulan yang ganas menyambar ke arah dirinya.

"Aji Gelap Musti...!"

Ia pun berteriak sambil mengerahkan aji itu, kedua tangannya juga didorongkan ke depan menyambut serangan gadis itu. Dua tenaga sakti bertemu di udara.

"Wuuuttt...! Desss...!"

Retno Susilo terpental dan untunglah baginya bahwa Sutejo tidak mengerahkan seluruh tenaganya sehingga gadis itu tidak sampai menderita luka dalam, hanya terpental dan terkejut saja. Ia terhuyung ke belakang dan Sutejo cepat melangkah maju menghampiri.

"Diajeng Retno Susilo... engkau tidak apa-apa, bukan?"

"Tidak, aku belum mengaku kalah, kakang Sutejo. Mari kita lanjutkan!"

"Sudahlah, diajeng. untuk apa kita bertanding terus? Tingkat kepandaianmu sudah maju pesat dan biarlah aku yang mengaku kalah."

"Tidak! Sekarang coba sambut aji pamungkasku ini!"

Gadis itu merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok, kedua lengannya membuat gerakan seperti dua ekor ular mengeliat-geliat. Itulah gerakan untuk menghimpun tenaga sakti dari Aji Wiso Sarpo yang baru saja dipelajarinya dari Nyi Rukmo Petak, aji pukulan yang mengandung hawa beracun dari ular-ular berbisa. Sesudah menggerakkan kedua lengan menggeliat-geliat seperti ular, kedua tangan itu lalu memukul ke depan.

"Aji Wiso Sarpooo...!" teriaknya melengking.

Kembali Sutejo terkejut. Ada hawa panas menerpanya dan tercium bau wengur seolah-olah di situ terdapat banyak ular berbisa! Maklumlah dia bahwa pukulan jarak jauh yang dilakukan Retno Susilo itu berbisa dan sangat berbahaya. Karena dia harus melindungi tubuhnya dan khawatir kalau-kalau Aji Gelap Musti tidak akan mampu menolak serangan berbisa itu, dia pun lalu berseru dengan nyaring.

"Aji Bromokendali!"

Dari dua tangan yang didorongkan itu mengalir keluar hawa yang amat panas menyambut hawa pukulan Retno Susilo dan dua tenaga sakti kembali bertemu di udara.

"Wuuuuttt...! Blaarrrr...!"

Tubuh Retno Susilo terlempar ke belakang dan dia terbanting jatuh ke atas tanah! Sutejo terkejut dan cepat meloncat mendekati gadis itu. Suaranya tergetar ketika dia bicara.

"Diajeng...! Diajeng Retno Susilo...! Aku... aku tidak melukaimu, bukan?"

Retno Susilo bangkit duduk, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia menangis! Menangis sesenggukan, pundaknya bergoyang-goyang dan air matanya mengalir melalui celah-celah jari tangan yang menutupi mukanya.

Sutejo merasa menyesal sekali telah membuat gadis itu roboh. Mengapa dia tadi tidak mengalah saja dan membiarkan dirinya yang roboh oleh pukulan Retno Susilo?

"Diajeng Retno Susilo, maafkan aku. Aku menyesal sekali, maafkan aku, diajeng" katanya lembut. Tangannya sudah bergerak hendak menyentuh pundak gadis itu, tetapi sebelum menyentuhnya, dia segera menarik kembali tangannya karena takut kalau-kalau gadis itu akan menjadi semakin marah kalau pundaknya tersentuh tangannya.

Namun ucapannya tadi membuat Retno Susilo menangis semakin sedih sampai terisak-isak. Setelah tangisnya agak reda, ia berkata dengan suara terputus-putus,

"Bunuh saja aku... aku tidak mampu membalaskan sakit hati guruku... dan sekarang aku juga kalah olehmu... tidak ada gunanya lagi hidupku di dunia ini... bunuhlah saja aku...!" Ia menangis lagi sesenggukan seperti seorang anak kecil.

"Diajeng Retno Susilo, kalah olehku bukan berarti habis segala-galanya. Kepandaianmu sudah tinggi sekali. Tadi aku hampir saja tidak kuat menahan seranganmu yang terakhir itu. Kedua ajimu, Gelap Sewu dan Wiso Sarpo itu sungguh hebat dan dahsyat. Agaknya tidak banyak orang yang akan mampu menandingimu, diajeng."

"Tidak perlu membujuk! Aku sudah kalah bertanding melawan musuh guruku. Aku tidak akan mampu membalaskan sakit hati guruku. Aku murid yang tidak ada gunanya...!" Dia menutupi lagi mukanya dan menangis lagi.

“Jangan menangis, diajeng. Siapa musuh gurumu itu? Kalau memang dia itu orang jahat, aku pasti mau membantumu untuk menandinginya," kata Sutejo menghibur.

Mendadak terdengar suara lantang bersamaan dengan berkelebatnva sesosok bayangan orang. "Tentu saja dia jahat! Dia sejahat-jahatnya orang, lelaki yang paling jahat dan palsu di dunia ini!"

Sutejo cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang nenek yang rambutnya telah putih semua seperti kapas, namun wajah itu masih bebas dari keriput dan dapat dilihat bahwa wanita tua ini dahulunya tentu cantik sekali.

Retno Susilo juga menoleh dan melihat bahwa yang datang adalah Nyi Rukmo Petak, ia lalu menubruk ke arah kaki nenek itu dan menangis lagi sambil berkata, "Maafkan saya... saya tidak dapat memenuhi tugas... saya telah kalah melawan Harjodento dan isterinya..."

Nyi Rukmo Petak mengangguk-angguk. "Bangkitlah, Retno. Aku tidak merasa heran jika engkau telah dikalahkannya pula. Mereka memang tangguh. Akan tetapi pemuda ini telah menyanggupi untuk membantumu dan tadi kulihat dia memiliki kemampuan yang cukup untuk menandingi Harjodento dan Padmosari. Dan dia sudah berjanji untuk membantumu, Ehh, orang muda yang gagah perkasa, siapakah namamu?"

"Nama saya Sutejo, bibi."

"Hm, nama yang bagus! Aku senang sekali mendengar andika bersedia membantu Retno Susilo untuk menandingi musuh besar kami itu. Benarkah?"

"Saya sudah berjanji dan tentu akan saya pegang teguh janji itu, bibi. Akan tetapi saya mau membantu menghadapi orang-orang itu dengan satu syarat, yaitu kalau orang-orang itu jahat. Saya hanya menentang orang-orang yang jahat, bibi, tidak mau memusuhi orang baik-baik."

"Jahat? Mereka jahat? Ah, si Harjodento dengan isterinya, Padmosari, bukan hanya jahat. Mereka keji dan kejam! Mereka telah merusak hatiku, merusak kebahagiaanku, merusak kehidupanku!" Nyi Rukmo Petak berseru dan membanting-banting kaki kanannya seperti orang yang merasa gemas sekali.

"Apakah yang telah mereka perbuat sehingga bibi dapat mengatakan bahwa mereka itu jahat dan kejam?" tanya Sutejo yang tidak mau menerima keterangan sepihak begitu saja.

"Apa yang telah mereka perbuat terhadap diriku sehingga aku mendendam dan ingin agar muridku Retno Susilo membalaskan sakit hati ini? Wah, perbuatan Harjodento itu kejam dan keji sekali. Dengarlah ceritaku. Dua puluh tahun lebih yang lalu, aku dan Harjodento merupakan pasangan yang selalu hidup bersama biar pun kami belum terikat pernikahan yang sah. Di mana ada dia tentu ada aku dan di mana ada aku tentu ada dia. Kami tidak terpisahkan oleh apa pun juga. Suka sama dinikmati dan duka sama ditanggung, setiap tantangan sama ditanggulangi. Kami saling mencinta dan sudah bersumpah untuk hidup bersama sampai mati. Kami telah hidup bersama selama belasan tahun, saling mencinta dan saling setia sampai kami berdua berusia lebih dari empat puluh tahun. Kami malang melintang membuat nama besar di dunia, disegani kawan ditakuti lawan. Akan tetapi pada suatu hari ia bertemu dengan seorang gadis berusia dua puluh tahun lebih yang bernama Padmosari dan dia tergila-gila. Dia jatuh cinta, bahkan meminang Padmosari lalu menikah dengannya. Ketika aku datang memrotesnya, Harjodento dibantu oleh Padmosari malah mengusir dan menyerangku. Hampir mati aku dipukuli mereka dan mereka menghinaku dengan kata-kata yang kotor. Mereka mengatakan aku perampas suami orang wanita tak tahu malu dan sebagainya lagi. Sampai berbulan-bulan aku jatuh sakit karena siksaan mereka. Sesudah sembuh aku memperdalam ilmu silat dan beberapa kali aku berusaha untuk membalas dendam, akan tetapi aku selalu dikalahkan mereka. Karena aku merasa diri sudah tua dan lemah, maka aku tugaskan muridku Retno Susilo untuk membalaskan sakit hatiku, akan tetapi apa daya, ternyata ia pun gagal dan kalah." Sampai di sini, Nyi Rukmo Petak berhenti dan terisak menangis.

Retno Susilo menghampiri lantas memeluk gurunya. "Nyi Dewi, ampunkan aku muridmu yang tiada guna, telah gagal membalaskan sakit hatimu."

Melihat keadaan mereka, Sutejo merasa iba juga. "Hmm, agaknya mereka itu sewenang-wenang dan kejam," katanya.

Mendengar ucapan Sutejo, Nyi Rukmo Petak mengusap air matanya dan memandang kepada pemuda itu, "Anak mas Sutejo, aku yakin, kalau andika mau membantu Retno Susilo menghadapi mereka, pasti engkau akan mampu menandingi dan mengalahkan mereka. Tadi aku melihat ilmu kepandaianmu tinggi sekali. Siapakah gurumu, anak mas Sutejo?"

"Guru saya adalah mendiang Bhagawan Sidik Paningal."

"Ah, Bhagawan Sidik Paningal dari Gunung Kawi?"

"Benar, bibi. Apakah bibi sudah mengenalnya?"

Sepasang mata Nyi Rukmo Petak yang masih tajam sinarnya itu mengamati wajah Sutejo penuh perhatian. "Bhagawan Sidik Paningal? Siapa tidak mengenalnya? Pantas andika digdaya anak mas Sutejo. Kiranya andika adalah muridnya!" Tiba-tiba suaranya menjadi lembut penuh permohonan.

"Anak mas Sutejo, apa bila andika suka membantu kami mengalahkan mereka maka aku akan selalu berterima kasih kepadamu, tidak akan kulupakan seumur hidupku. Anak mas Sutejo, andika tentu tidak tega membiarkan seorang wanita tua seperti aku ini tersiksa dan menanggung derita batin yang sudah kutanggung selama puluhan tahun lamanya ini." Kembali wanita itu menangis terisak-isak.

Retno Susilo sendiri sampai menjadi terheran-heran. Selama bertahun-tahun menjadi murid wanita berambut putih itu, belum pernah ia melihat gurunya ini menangis. Gurunya bahkan memperlihatkan kekerasan hati yang luar biasa. Akan tetapi sekarang gurunya itu menangis terisak-isak seperti anak kecil! Ia merasa iba dan ia menghadapi Sutejo lalu berkata dengan lembut sambil menentang pandang mata pemuda itu.

"Kakangmas Sutejo, apakah engkau mau membantu Nyi Dewi? Kalau engkau tidak mau membantu guruku, aku yang minta tolong padamu. Bantulah aku menghadapi Harjodento dan isterinya, serta anak-anak buah mereka. Apakah sekali ini engkau juga akan menolak permintaanku ini, kakangmas Sutejo?" Dalam suara gadis itu terkandung kesedihan.

Sutejo merasa iba sekali. Dia pernah mengecewakan gadis ini dengan menolaknya ketika ia minta agar diperbolehkan ikut. Bagaimana kini dia dapat menolak permintaannya lagi, sedangkan tadi dia sudah menyatakan kesanggupannya untuk membantu?

Memang dia merasa ragu-ragu untuk membantu Nyi Rukmo Petak yang sama sekali tidak dikenalnya dan dia tidak tahu persis bagaimana sebenarnya persoalan antara nenek itu dan keluarga Harjodento. Dia hanya mendengarkan keterangan sepihak saja. Akan tetapi kalau Retno Susilo yang meminta kepadanya untuk membantu, dia tidak dapat menolak.

"Baiklah, diajeng Retno Susilo. Seperti yang telah kukatakan tadi, aku akan membantumu menghadapi mereka."

Mendengar ini, Nyi Rukmo Petak kelihatan girang sekali. Wajahnya berseri-seri, matanya bersinar-sinar "Aduh, terima kasih banyak, anak mas Sutejo!" serunya dan dia lalu maju merangkul Retno Susilo dan mencium kening gadis itu. "Retno, terima kasih, aku merasa berbahagia sekali sekarang! Anak mas Sutejo akan menentang dan melawan mereka! Ah, betapa senang dan puas rasa hatiku membayangkan mereka berdua itu kalah dan roboh di tangan anak mas Sutejo!"

Nenek itu kelihatan begitu girang luar biasa sehingga Retno Susilo kembali merasa heran. Biasanya gurunya ini adalah seorang wanita tua yang berhati dingin, tidak mudah tertawa apa lagi menangis. Pertemuannya dengan Sutejo membuatnya demikian berubah. Akan tetapi dia pun ikut bergembira melihat betapa gurunya tampak begitu berbahagia.

"Kalau begitu, kami akan berangkat sekarang juga, Nyi Dewi. Kami mohon pamit," kata gadis itu. "Mari, kakangmas Sutejo, kita berangkat."

"Selamat jalan kalian berdua! Selamat bertugas. Aku mengiringkan dengan doa restuku!" kata nenek itu dengan suara gembira.

"Marilah, kakangmas Sutejo!" kata Retno Susilo dan suara gadis itu pun terdengar amat bergembira karena di dalam hatinya.

Dia merasa senang sekali karena sekarang dia mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan bersama pria yang telah menaklukkan hatinya, satu-satunya pria yang pernah dicintanya. Sesungguhnya kegirangan hatinya itu bukan karena Sutejo mau membantu gurunya untuk membalaskan sakit hati, melainkan karena pemuda itu mau melakukan perjalanan bersamanya!

Karena takut membayangkan bahwa dia harus segera berpisah lagi dari Sutejo, Retno Susilo yang menjadi penunjuk jalan, berjalan dengan santai dan seenaknya saja. Bahkan dia sengaja mengambil jalan memutar supaya perjalanan itu memakan waktu lebih lama sehingga dia dapat lebih lama pula melakukan perjalanan bersama Sutejo!

"Kakangmas Sutejo, itu di depan ada warung, nasi. Kita berhenti dulu dan makan di sana, perutku sudah terasa lapar," kata Retno Susilo kepada Sutejo ketika mereka memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ramai.

Di pinggir jalan itu, di sebelah kiri, terdapat sebuah kedai nasi dan di waktu senja itu tidak banyak tamu yang berada di dalam warung itu. Hanya ada empat orang saja yang sedang makan. Penjaga kedai nasi itu seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun.

Sutejo dan Retno Susilo memasuki kedai itu, segera disambut dengan senyuman ramah oleh penjaga kedai. Biar pun Sutejo mengenakan pakaian sederhana, akan tetapi melihat Retno Susilo yang cantik jelita dengan pakaiannya yang cukup indah, penjaga warung itu menyambut dengan hormat.

"Den mas dan den roro, silakan duduk. Andika berdua hendak makan? Atau hanya ingin minum?"

"Kami mau makan," kata Retno Susilo, "harap hidangkan nasi dua dan air teh dua."

Penjaga warung itu mengangguk kemudian melangkah masuk ke bagian dalam rumah itu, ke dapur untuk menyediakan pesanan tamunya. Retno Susilo dan Sutejo duduk di atas bangku menghadapi meja.

Di dapur rumah yang bagian depannya dijadikan warung nasi itu tampak duduk seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun. Dia adalah anak perempuan pemilik warung nasi itu.

"Sarti, buatkan air teh untuk dua orang." kata ibunya.

"Baik, ibu," jawab anak itu sambil turun dari bangku yang tadi didudukinya.

Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba tampak sesosok bayangan berkelebat masuk dari pintu belakang dan seorang wanita cantik sudah menyambar ke arah anak itu. Tangan kirinya menangkap pundak itu dan begitu tangan kanannya menekan tengkuk, anak itu terkulai pingsan. Pemilik warung terbelalak dan hendak berteriak, akan tetapi wanita cantik itu menghardik dengan suara setengah berbisik.

"Jangan berteriak atau anakmu ini akan kubunuh!" katanya sambil mencabut pedang dan menempelkan pedang yang berkilauan saking tajamnya itu di leher Sarti, anak perempuan itu. Tentu saja ibunya menjadi ketakutan dan seluruh tubuhnya menggigil.

"Jangan... jangan bunuh anak saya..." ia meratap.

"Aku tidak akan membunuh anakmu asal saja engkau menaati perintahku," kata wanita cantik itu.

"Baik, saya akan mentati..." kata pemilik warung nasi itu dengan suara gemetar.

Wanita cantik itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil, lalu berkata, "Cepat sediakan dua piring nasi seperti yang dipesan pemuda dan gadis itu!"

Dengan kedua tangan gemetar penjaga warung nasi itu segera menyediakan dua piring nasi dengan lauk pauknya, serta dua gelas air teh. Wanita cantik itu lalu menuangkan isi bungkusan kecil, yaitu bubuk berwarna putih ke dalam sebuah di antara dua piring nasi itu.

"Ingatlah!" katanya mengancam. "Engkau harus memberikan piring nasi yang ini kepada pemuda itu dan yang lain kepada si gadis. Awas, jangan sampai tertukar. Kalau engkau sudah melaksanakan perintahku itu dengan baik dan nasi dalam piring yang ini termakan oleh pemuda itu barulah anakmu ini akan kubebaskan. Untuk sementara ini aku menahan anakmu di sini. Cepat hidangkan dan awas, jangan tertukar, jangan keliru!"

Wanita itu hanya dapat mangangguk-angguk, kemudian menggunakan sebuah baki untuk membawa hidangan itu keluar. Ia menaruh piring nasi yang sudah diberi bubuk putih itu di sebelah kiri agar tidak sampai tertukar. Setelah melirik ke arah anak perempuannya yang masih pingsan, dia lalu membawa hidangan itu keluar.

Wajahnya menjadi agak pucat dan kedua tangannya agak gemetar ketika ia meletakkan dua piring nasi dan dua gelas air teh itu ke atas meja, di depan kedua orang tamunya itu. Keadaannya ini tidak terlepas dari pengamatan kedua orang muda yang digdaya itu.

"Mbakayu, apakah engkau sakit? Wajahmu pucar dan kedua tanganmu gemetar," tegur Retno Susilo sambil mengamati wajah pemilik warung nasi itu.

"Ah. tidak, den roro, saya tidak sakit, hanya mungkin... masuk angin saja..." kata wanita itu sambil melangkah masuk lagi ke belakang.

"Mari kita makan, kakangmas, sesudah itu baru kita mencari tempat untuk menginap dan melewatkan malam ini," ajak Retno Susilo.

Sutejo mengangguk dan kedua orang itu lalu makan. Karena sejak pagi tadi mereka tidak makan dan perut mereka memang lapar, keduanya makan dengan enak walau pun sayur teman nasi yang mereka makan amat sederhana. Sesungguhnyalah. Perut lapar dan hati tenteram merupakan lauk pauk yang amat melezatkan segala macam makanan!

Sehabis makan Retno Susilo segera membayar harga makanan kemudian cepat mereka meninggalkan warung itu karena mereka tidak ingin kemalaman sebelum mendapatkan tempat untuk menginap.

Wanita pemilik warung itu merasa lega bukan main. Anaknya sudah dibebaskan, wanita cantik yang mengancamnya itu telah pergi, dan dua orang tamunya tidak apa-apa seperti yang ia khawatirkan.

Ketika Sutejo dan Retno Susilo tiba di jalan di luar warung nasi itu, tiba-tiba saja Sutejo menghentikan langkahnya, lalu mengangkat kedua tangannya dan memegangi kepalanya sambil mengeluh.

"Eh, kenapakah engkau, kakangmas Sutejo?" tanya Retno Susilo dengan heran dan juga khawatir.

"Kepalaku... tiba-tiba pening sekali..." Sutejo mengambil napas panjang dan tiba-tiba saja dia menyadari keadaannya. "Celaka... Aku... agaknya aku keracunan..."

"Kakangmas...!" Retno Susilo terkejut bukan main melihat Sutejo tiba-tiba terhuyung lalu roboh pingsan! Ia cepat melompat untuk menolongnya.

Akan tetapi pada saat itu pula muncul empat orang laki-laki yang tinggi besar dan kasar menubruknya seperti empat ekor harimau memperebutkan seekor domba. Jelas bahwa mereka itu menyerang untuk menangkapnya, sambil menyeringai kurang ajar.

Retno Susilo cepat melompat ke samping, mengelak dan menghadapi empat orang itu dengan alis berkerut dan mata mencorong.

"Heii! Siapa kalian dan apa yang kalian lakukan ini?" bentaknya.

"Ha-ha-ha, manis! Mari ikut saja dengan kami dan engkau tentu akan hidup senang!" kata seorang di antara mereka dan dia sudah menubruk lagi untuk meringkus Retno Susilo diikuti oleh tiga orang kawannya.

Agaknya empat orang ini sama sekali belum mengenal siapa Retno Susilo maka mereka berempat memandang rendah dan menyangka bahwa mereka akan dapat dengan mudah menangkap gadis itu. Akan tetapi empat orang itu kecelik karena tubrukan mereka hanya mengenai tempat kosong saja karena Retno Susilo telah bergerak dengan amat cepatnya mengelak dari terkaman mereka.

Sambil melompat ke samping untuk mengelak, Retno Susilo tidak memberi kesempatan kepada mereka, tidak membiarkan mereka menyerang tanpa dibalas. Segera tangannya menampar dan kakinya menendang, dan empat orang itu terpelanting ke kanan kiri!

Empat orang itu sangat terkejut dan agaknya baru menyadari bahwa gadis cantik jelita itu bukanlah mangsa yang empuk. Mereka lalu mencabut golok yang bergantung di pinggang mereka dan sekarang mereka menerjang Retno Susilo, tidak lagi bermaksud menangkap, melainkan berniat membunuh!

Empat batang golok itu menyambar-nyambar, menghujani tubuh Retno Susilo. Namun tidak ada serangan yang mengenai sasaran, semua hanya mengenai udara kosong saja. Tubuh gadis itu berkelebatan amat cepatnya, menyusup di antara gulungan sinar empat batang golok.

Empat orang itu merasa seakan-akan mereka berhadapan dengan seekor burung walet yang gerakannya amat cepat sehingga semua serangan mereka sia-sia belaka.

Pada saat itu, tampak sesosok bayangan berkelebat dan Retno Susilo melihat betapa ada seorang wanita cantik menyambar tubuh Sutejo yang pingsan kemudian membawanya lari cepat meninggalkan tempat itu. Tentu saja dia menjadi terkejut dan marah sekali. Akan tetapi empat orang pengeroyoknya mengepung dan menyerangnya dengan makin gencar sehingga terpaksa ia harus mencurahkan perhatian kepada mereka yang mengeroyoknya.

Karena marah sekali melihat Sutejo yang pingsan diculik orang, Retno Susilo mengamuk. Sebenarnya, dengan ilmu biasa saja yang dia kuasai, dia sudah akan dapat merobohkan empat orang pengeroyoknya. Namun dalam kemarahannya Retno Susilo mengerahkan ajinya yang paling ampuh, aji pamungkasnya, yaitu Aji Gelap Sewu.

"Yaaahh...!" Berbareng dengan terlontarnya pekik melengking ini, kedua tangannya sudah mendorong ke depan dan empat orang pengeroyoknya itu terlempar dan terbanting jatuh bagaikan disambar petir! Tiga orang tewas seketika dan yang seorang lagi masih dapat bergerak dan mencoba untuk bangkit duduk.

Retno Susilo menggerakkan kedua kakinya dan sekali melompat dia sudah tiba di dekat orang yang belum tewas itu, lalu menjambak rambutnya dan menghardik, "Hayo katakan, siapa yang menculik pemuda tadi dan di mana dia berada!"

Orang yang sudah setengah mati itu menjadi ketakutan dan harus mengerahkan seluruh sisa tenaganya yang masih ada untuk menjawab. "Ia... Ia... Ni Dewi Sekarsih... ia berada di... hutan lereng itu..." Dia menuding.

"Tunjukkan padaku di mana tempat itu. Hayo!" Ia menjambak rambut orang itu sehingga bangkit berdiri dan memaksanya untuk berjalan cepat melakukan pengejaran terhadap wanita yang telah menculik Sutejo yang dalam keadaan pingsan.

Dia telah menderita luka akibat pukulan Gelap Sewu yang dilakukan Retno Susilo tadi dan membuat tiga orang rekannya tadi tewas seketika. Tapi orang itu kebetulan tidak terkena pukulan secara telak sehingga dia tidak menderita luka parah, tetapi karena rasa takutnya terhadap Retno Susilo dia memaksa diri menjadi penunjuk jalan. Ternyata dia agaknya hafal benar dengan tempat itu karena biar pun cuaca mulai gelap, dia dapat melangkah maju tanpa ragu menyusup di antara pohon-pohon dan semak belukar.

Wanita cantik yang memaksa pemilik warung nasi untuk menaruh obat bubuk ke dalam makanan yang dihidangkan kepada Sutejo itu bukan lain adalah Sekarsih, murid atau juga kekasih Ki Klabangkolo, tokoh sesat yang sakti mandraguna itu. Sekarsih adalah seorang wanita yang telah menjadi hamba nafsunya sendiri di antaranya yang mencengkramnya adalah nafsu berahi yang membuatnya menjadi seorang wanita yang mata keranjang.

Di mana pun berada, ia mengumbar nafsunya mencari korban di antara pemuda-pemuda yang dirayunya, mengandalkan kecantikannya atau kalau ia mendapatkan pemuda yang menolak rayuannya, ia menggunakan aji pengasihan dibantu obat-obat yang merupakan racun perangsang. Di samping ilmu kanuragan yang, dikuasainya, wanita ini pun seorang ahli dalam mempergunakan racun.

Secara kebetulan saja ia melihat Sutejo dan Retno Susilo memasuki dusun itu. Hatinya segera tertarik oleh ketampanan serta kegagahan Sutejo, maka timbullah niatnya untuk mendapatkan pemuda itu. Akan tetapi ia melihat sikap dua orang muda itu seperti orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, maka ia bersikap hati-hati.

Ia menghubungi empat orang perampok yang dikenalnya dan bersarang di hutan di luar dusun itu lalu ia menyuruh mereka untuk menguasai Retno Susilo, agar ia dengan mudah dapat menangkap pemuda yang menarik hatinya itu. Setelah empat orang anak buahnya itu siap, ia lalu memaksa pemilik warung nasi untuk menghidangkan nasi yang sudah ditaburi racun kepada pemuda itu dengan mengancam anak pemilik warung nasi.

Semua berjalan mulus seperti yang dikehendakinya. Ketika melihat Sutejo roboh pingsan di luar warung nasi, ia segera memberi isyarat kepada empat orang anak buahnya untuk menyerbu.

Empat orang itu adalah perampok-perampok keji dan kasar. Melihat Retno Susilo yang cantik jelita, dan mereka sudah mendapat ijin dari Sekarsih untuk menguasai gadis itu, tentu saja mereka bergairah sekali dan segera mereka menyergap hendak menangkap Retno Susilo.

Dalam keadaan yang kacau balau ketika Retno Susilo dikeroyok empat orang perampok itulah Sekarsih bergerak cepat, menyambar tubuh Sutejo dan memanggulnya, lalu dibawa lari memasuki hutan yang menjadi sarang keempat orang perampok itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)