PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-28


Akan tetapi ia bersikap hati-hati. Ia tidak ingin nanti dikecewakan oleh penolakan pemuda tampan itu, maka ia mengeluarkan sebuah botol kecil, memercikkan cairan yang terdapat dalam botol kecil ke muka Sutejo. Itulah racun perangsang yang disebut Tirto Asmoro.

Racun perangsang ini kuat sekali. Baru tercium saja sudah cukup membuat seseorang terangsang nafsu berahinya. Sesudah memercikkan racun perangsang ini, Sekarsih lalu mengambil air dan memercikkan air dingin ke muka dan kepala Sutejo.

Pemuda itu mengeluh kemudian membuka matanya. Ia masih agak nanar dan mengejap-ngejapkan matanya mengusir kepeningan.

Sutejo merasa heran dan terkejut sekali ketika melihat dirinya rebah di atas sebuah dipan, dirangkul dan dicumbu oleh seorang wanita cantik. Otomatis dia hendak meronta dan melepaskan diri, akan tetapi pada saat itu dia merasa betapa ada dorongan kuat sekali dari dalam dirinya yang membuat dia membalas rangkulan wanita itu dan merasakan kenikmatan ketika wanita menciuminya! Sutejo merasa dirinya seperti terayun-ayun di angkasa, seperti dalam mimpi yang mengasyikkan. Tiba-tika saja terdengar suara keras.

"Brakkkkk!"

Pintu depan pondok itu jebol diterjang Retno Susilo. Sesudah memaksa tawanannya sampai di depan pondok, gadis ini lalu mengayun tangannya menampar tawanan itu yang segera terguling dan tewas seketika. Kemudian ia menerjang daun pintu hingga jebol dan matanya terbelalak melihat Sutejo sedang berangkulan dengan seorang wanita cantik di atas dipan! Wajahnya terasa panas, hatinya juga panas sekali.

"Perempuan iblis yang hina dina!" bentaknya sambil mencabut Pedang Naga Wilis dari punggungnya.

Melihat Retno Susilo, Sekarsih teringat bahwa dia adalah gadis yang tadi makan bersama Sutejo dan yang dia serahkan kepada empat orang perampok untuk dibuat sesuka hati mereka. Kiranya gadis itu telah menyusul ke sini dan mengancamnya dengan pedang di tangan!

"Dari mana datangnya bocah yang berani menggangguku? Agaknya engkau sudah bosan hidup!" bentak Sekarsih.

Pada saat itu pula Sutejo seperti telah menemukan kesadarannya kembali. Ia cepat-cepat merenggutkan dirinya sehingga terlepas dari pelukan Sekarsih dan melompat turun dari pembaringan, akan tetapi dia terhuyung-huyung karena kepalanya terasa pening. Maka dia cepat menjatuhkan dirinya duduk bersila di atas lantai dan mengerahkan tenaga sakti Bromokendali untuk mengusir hawa beracun yang menguasainya.

Sekarsih yang merasa terganggu menjadi demikian marah sehingga dia sudah melompat dan menerjang dengan sambaran pedangnya ke arah leher Retno Susilo. Akan tetapi Retno Susilo yang juga marah sekali itu menggerakkan pedangnya menyambut sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Cringggg...!"

Dua batang pedang itu bertemu di udara dan bunga api berpijar menyilaukan mata, sekilas menerangi kamar atau ruangan pondok yang remang-remang itu.

Sekarsih terkejut bukan main ketika merasa tangan kanannya tergetar hebat, ia melompat ke belakang dan dengan mata terbelalak memandang lawannya. Hampir ia tidak dapat percaya bahwa lawannya yang masih demikian muda itu memiliki tenaga yang demikian kuatnya. Dan pedang lawannya itu! Mencorong kehijauan dan amat mengerikan. Biasanya pedang seorang lawan tentu akan patah-patah kalau bertemu dengan pedangnya yang terbuat dari baja pilihan dan ia gerakkan dengan pengerahan tenaga saktinya. Karena terkejut dan heran, ia menjadi penasaran dan semakin marah.

"Haiiittttt...!" Sekarsih berseru melengking dan tubuhnya sudah menerjang maju mengirim serangan kuat yang bertubi-tubi ke arah tubuh Retno Susilo.

Akan tetapi gadis ini dapat bergerak dengan tangkas dan cepat bukan main, mengelak ke sana sini dan kadang kala pedangnya menangkis dengan kekuatan yang besar sehingga beberapa kali pedang di tangan Sekarsih terpental.

Dua orang wanita itu bertanding dengan seru di dalam ruangan pondok itu. Retno Susilo sekarang tidak hanya bertahan saja, melainkah juga membalas serangan lawan sehingga mereka saling serang dengan tusukan dan bacokan pedang yang dapat mendatangkan maut. Keduanya sama lincahnya dan dalam hal tenaga sakti, biar pun Retno Susilo lebih kuat, namun selisihnya tidak banyak sehingga pertandingan itu menjadi seru sekali.

Semakin lama hati Sekasih menjadi semakin tidak enak. Diam-diam ia pun mengeluh dan merasa kecelik sekali. Sama sekali tak disangkanya bahwa sekali ini ia tertumbuk dengan batu! Gadis yang menjadi lawannya itu demikian tangguhnya dan tiba-tiba saja ia teringat kepada pemuda yang tadi dirayunya. Kalau gadis ini demikian tangguhnya, tentu pemuda itn juga bukan orang sembarangan!

Ia mulai merasa khawatir, apa lagi setelah ia mengerling dan melihat pemuda itu duduk bersila dan uap putih mengepul dari atas kepalanya. Tahulah ia bahwa pemuda itu sedang mempergunakan tenaga saktinya untuk mengusir pengaruh hawa beracun dari tubuhnya. Hal ini merupakan tanda bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang memiliki kesaktian. Kalau dia sampai pulih kembali dan ikut maju mengeroyoknya, maka akan celakalah ia!

Karena hatinya mulai gentar, Sekarsih lalu mengerahkan aji andalannya, mengisi tangan kirinya dengan Aji Singarodra lalu ia mengeluarkan lengkingan nyaring dan mendorongkan tangan kirinya ke arah Retno Susilo. Akan tetapi gadis ini menyambut serangan pukulan jarak jauh itu dengan Aji Gelap Sewu yang amat dahsyat.

"Wuuuttt...! Desss...!"

Tubuh Sekarsih terpental ke arah pintu depan dan ia pun menahan rasa sesak di dalam dadanya, terus melompat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam. Retno Susilo cepat mengejar keluar, akan tetapi kegelapan malam di hutan itu sudah menelan lenyap bayangan lawannya. Terpaksa ia masuk kembali ke dalam rumah itu.

Ketika memasuki pondok itu, Retno Susilo melihat Sutejo sedang bangkit dari duduknya dan pemuda itu memandangnya dengan sinar mata membayangkan rasa syukur.

"Terima kasih atas pertolonganmu, diajeng Retno Susilo. Perempuan iblis itu benar-benar berbahaya. Tentu ia yang telah menaruh racun ke dalam makananku. Sekarang di mana iblis itu? Apakah engkau telah mengusirnya?"

Retno Susilo teringat akan pemandangan yang dilihatnya tadi, ketika Sutejo berpelukan dengan wanita iblis yang oleh perampok yang ditawannya tadi dikatakan bernama Ni Dewi Sekarsih. Kemarahan menyesak di dadanya ketika ia membayangkan penglihatan tadi.

"Engkau... engkau tidak tahu malu!" bentaknya.

Ia pun membalikkan tubuh, dengan marah melangkah keluar. Pada saat melewati lampu gantung yang tergantung di dekat pintu, tangannya meraih dan ia telah mengambil lampu gantung itu lalu membawanya keluar.

"Diajeng Retno...!" Sutejo mengejarnya keluar. "Engkau tahu, aku berada dalam keadaan tidak sadar, tadi aku keracunan...!"

Akan tetapi Retno Susilo tidak menjawab melainkan melemparkan lampu gantung ke atap pondok itu. Lampu itu meledak dan api berkobar cepat melahap pondok yang terbuat dari kayu dan bambu itu.

"Ahh, mengapa engkau lakukan itu, diajeng? Malam ini kita memerlukan pondok itu untuk melewatkan malam." Sutejo menegur.

"Aku... aku benci pondok itu!" jawab Retno Susilo sambil memandang ke arah api yang berkobar besar.

Sutejo mengamati wajah gadis itu yang tampak jelas di bawah sinar api yang berkobar. Wajah yang cantik jelita dan di bawah sinar api yang berkobar, wajah itu tampak seperti wajah seorang bidadari dari kahyangan!

"Diajeng Retno Susilo, sesungguhnya apakah yang sudah terjadi? Ketika kita keluar dari warung nasi, tiba-tibu kepalaku pening, pandang mataku gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Apa yang sudah terjadi? Begitu sadar aku mendapatkan diriku di dalam pondok bersama perempuan iblis itu. Aku... aku sungguh tidak menyadari keadaan dan barulah aku benar-benar sadar sesudah aku berhasil meng usir hawa beracun yang menguasai diriku. Ceritakanlah, diajeng, apa yang telah terjadi?"

Mulut yang bentuknya indah itu masih cemberut. Sejenak matanya mengerling ke arah Sutejo, lalu ia membuang muka.

"Engkau marah kepadaku, diajeng? Maafkanlah aku kalau aku sudah membuatmu tidak senang dan marah. Aku menyadari apa yang kau lihat tadi, akan tetapi aku berada dalam keadaan tidak sadar, tidak wajar dan terpengaruh racun."

Akhirnya Retno Susilo dapat memaklumi dan ia menghela napas panjang, mencoba untuk mendinginkan hatinya yang panas dan menenteramkan pikirannya yang membayangkan penglihatan yang membuatnya marah tadi.

"Ketika engkau jatuh pingsan tiba-tiba muncul empat orang lelaki kasar yang mengeroyok dan hendak menangkap aku. Tentu saja aku menghajar mereka dan selagi aku berkelahi melawan pengeroyokan empat orang itu, aku melihat wanita iblis itu membawamu lari. Aku menjadi marah lalu kubunuh tiga orang pengeroyok, yang seorang lagi kutangkap dan kupaksa menunjukkan ke mana perempuan itu melarikanmu. Dia membawaku ke sini dan aku lalu membunuhnya pula. Ketika aku menjebol pintu pondok, Aku melihat engkau dan perempuan itu sedang..." Retno Susilo tidak dapat melanjutkan ceritanya, karena hatinya sudah menjadi panas kembali.

"Sekarang aku mulai ingat. Kemunculan dan bentakanmu itu menyadarkan aku, diajeng. Yang amat mengherankan aku, siapakah perempuan itu? Tadi kulihat ilmu kepandaiannya cukup tinggi."

"Aku sendiri juga tidak mengenalnya. Akan tetapi menurut orang yang kujadikan tawanan dan penunjuk jalan tadi, ia bernama Ni Dewi Sekarsih. Ilmu kepandaiannya memang cukup tinggi dan beruntung aku dapat mengatasinya."

Karena mereka berada di tengah hutan dan malam itu gelap sekali, mereka tidak mungkin dapat keluar dari hutan tanpa bahaya tersesat. Maka terpaksa mereka harus melewatkan malam di dalam hutan itu, di dekat pondok yang kini telah dimakan api.

Akan tetapi Retno Susilo telah menemukan kegembiraannya kembali, kegembiraan dapat melakukan perjalanan dengan Sutejo. Tadi kegembiraan ini sempat terusik oleh perasaan cemburu dan marah melihat Sutejo dibelai Sekarsin. Ia kini menyadari benar bahwa ketika itu Sutejo berada dalam keadaan tidak sadar dua dipengaruhi hawa beracun.

Sutejo membuat api unggun di bawah sebatang pohon yang tumbuh tak jauh dan pondok itu. Retno Susilo mengumpulkan daundaun kering lalu menaruhnya di bawah pohon untuk menjadi semacam tiiam, kemudian ia duduk di atas rumput dan daun kering itu sambil memandang pada Sutejo yang sedang membuat api unggun. Api yang membakar pondok masih bernyala sehingga menerangi bawah pohon itu.

Retno Susilo duduk bersandar batang pohon. Hatinya merasa senang bukan main. Ia menyadari sepenuhnya bahwa ia amat mencinta pemuda itu. Dalam keadaan bagaimana pun juga, kalau bersama Sutejo, ia akan selalu merasa senang dan berbahagia.

Sutejo telah berhasil menyalakan api unggun dan pemuda itu pun duduk di atas tumpukan daun kering, berhadapan dengan Retno Susilo dalam jarak dua meter. Mereka saling pandang di bawah sinar api unggun dan api yang membakar pondok.

Melihat wajah Retno Susilo yang cerah serta mulutnya yang terhias senyum manis, hati Sutejo merasa lega. Kini gadis itu sudah tidak marah lagi. pikirnya. Dia merasa mukanya panas bila membayangkan pengalamannya tadi. Biar pun tadi terpengaruh hawa beracun, namun lapat-lapat dia masih teringat betapa tadi dia hanyut dan hampir saja bertekuk lutut menyerah terhadap cengkeraman dan dorongan hasrat yang merangsangnya ketika dia dirangkul dan dicium perempuan bernama Sekarsih itu! Cepat dia mengusir kenangan itu dan mengajak Retno Susilo bercakap-cakap untuk mengalihkan perhatian.

"Diajeng. untung kita tadi telah makan. Kalau tidak, malam ini kita bisa kelaparan di sini."

Akan tetapi ucapan itu justru kembali mengingatkan Retno Susilo tentang peristiwa yang mereka alami tadi.

"Kakangmas Sutejo, mbakyu penjaga warung nasi itu tentu mempunyai hubungan dengan Sekarsih itu! Dialah yang meracunimu tadi. Besok aku akan mendatanginya dan memberi hajaran kepadanya!"

"Nanti dulu, diajeng. Jangan terburu nafsu. Sebaiknya besok kita selidiki dulu mengenai racun yang dicampurkan ke dalam nasi yang kumakan. Herannya, mengapa hanya dalam nasi yang disuguhkan kepadaku saja yang beracun, sedangkan yang kau makan tidak," kata Sutejo.

Retno Susilo mengangguk-angguk "Engkau benar. Aku pun merasa ragu apakah penjaga warung itu dapat melakukan kejahatan. Tampaknya dia orang baik-baik, seorang wanita penjaga warung nasi yang sederhana dan ramah."

"Sudahlah, diajeng, tak ada gunanya membicarakan peristiwa tadi. Besok kita tentu akan mengetahuinya. Aku ingin engkau bicara dan bercerita tentang musuh besar gurumu itu. Kita akan menghadapi mereka, maka aku ingin mengetahui keadaan mereka."

"Apa yang ingin kau tanyakan,kakangmas?"

"Siapa pula nama musuh besar gurumu itu?"

"Namanya Harjodento dan isterinya bernama Padmosari."

"Bagaimana keadaan orangnya? Berapa usianya?"

"Harjodento itu seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, tampaknya gagah perkasa den isterinya yang bernama Padmosari berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, terutama sekali Harjodento itu. Kalau melawan isterinya aku masih mampu menandinginya, akan tetapi menghadapi Harjodento, aku harus mengakui keunggulannya. Dia benar-benar tangguh dan memiliki tenaga yang amat kuat."

"Di mana mereka tinggal?"

"Mereka tinggal di tepi Bengawan Solo di daerah Ngawi."

"Benarkah mereka itu jahat sekali, diajeng?"

Retno Susilo mengerutkan alisnya. "Aku tidak tahu, kakangmas. Menurut guruku mereka jahat sekali terhadap guruku. Akan tetapi apakah mereka itu orang jahat, aku tidak tahu. Harjodento adalah seorang ketua dari sebuah perkumpulan yang bernama Nogo Dento. Ketika aku berhadapan dengan Harjodento, aku katakan terus terang bahwa aku hendak membunuhnya untuk membalaskan sakit hati guruku, Nyi Rukmo Petak. Tapi Harjodento menyangkal dan mengatakah bahwa dia tidak mengenal Nyi Rukmo Petak. Aku paksa dia bertanding. Dia hadapi pedangku dengan senjata tombak dan ternyata dia tangguh sekali. Aku terdesak oleh tombaknya yang dahsyat. Dalam keadaan terdesak itu muncul seorang pemuda yang pernah kukenal dalam perjalanan. Kemudian dia membantuku menghadapi Harjodento."

"Siapakah pemuda itu, diajeng?"

"Namanya Priyadi..."

"Ahh...! Orangnya tampan dan gagah, gerak geriknya lembut?"

"Benar. Engkau mengenalnya, kakangmas?"

"Tentu saja. Dia adalah murid perguruan Jatikusumo. Gurunya adalah uwa guruku. Lalu bagaimana setelah Kakang Priyadi muncul membantumu?"

"Kami dapat menandingi Harjodento akan tetapi isterinya, Padmosari lalu maju membantu suaminya. Aku menghadapi Padmosari ada pun Kakangmas Priyadi melawan Harjodento. Keadaan kami seimbang, akan tetapi karena kami dikepung anak buah Nogo Dento yang berjumlah banyak itu, Kakangmas Priyadi lalu mengajakku untuk melarikan diri sebelum kami dikeroyok dan dalam bahaya."

"Hm, agaknya keluarga itu digdaya dan sukar dikalahkan," kata Sutejo. "Apa lagi mereka mempunyai banyak anak buah."

"Nanti kalau sudah tiba di sana, aku akan menantang mereka untuk mengadu ilmu dan bertanding secara satu lawan satu. Apa engkau gentar menghadapi mereka, kakangmas Sutejo?"

Sutejo tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tentu saja tidak, diajeng. Aku hanya merasa ragu, khawatir salah menentang orang-orang yang tidak jahat. Akan tetapi hal itu bagaimana nanti sajalah, kita lihat kalau sudah berhadapan dengan mereka. Yang amat mengherankan adalah kenapa mereka tidak mengenal gurumu, padahal menurut gurumu, mereka telah membuat gurumu sengsara karena cintanya dikhianati. Bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Kakangmas Priyadi, diajeng?"

"Bila kuingat peristiwa yang mengerikan itu, aku masih bergidik. Ketika itu aku menolong dan membebaskan seorang gadis dusun yang hendak dipaksa menikah dan menjadi selir seorang hartawan di Kalurahan Sintren, sebagai selir ke lima. Aku menghajar hartawan mata keranjang itu dan ketika aku dikeroyok para tukang pukulnya, aku mengamuk. Akan tetapi seorang di antara para tamu itu maju menghadapiku. Dan tahukah engkau siapa orang itu, kakangmas? Bukan lain adalah Mahesa Meta, perampok tunggal tokoh Gunung Kelud itu!"

"Ahh. yang dulu memusuhi ayahmu itu?" tanya Sutejo.

"Benar dia! Agaknya dia masih ingat kepadamu, maka hendak membalas dendam dan dia bersama banyak anak buah hartawan itu berhasil menawanku dengan menggunakan jala. Aku tertawan dan nyaris tertimpa bencana. Mendadak muncul seorang kakek yang amat menggiriskan. Dia membunuh Mahesa Meta kemudian dia membawaku pergi dari rumah hartawan di mana aku ditawan itu dan membawaku ke dalam hutan, ke sebuah goa yang menyeramkan. Kakek itu benar-benar menyeramkan dan seperti orang setengah gila yang agaknya mempunyai niat yang buruk terhadap diriku."

"Hemm, siapakah kakek itu?"

"Orangnya amat menyeramkan, usianya kurang lebih lima puluh tahun, mukanya brewok seperti muka singa, tinggi besar dan pakaiannya seperti pakaian pertapa."

"Ahh, apakah dia memiliki sebuah tahi lalat besar di dagunya?

"Ya, benar."

"Dia itu Ki Klabangkolo, seorang yang sakti mandraguna."

"Memang dia sakti sekali, kakangmas. Aku sudah hampir putus asa karena tidak dapat melepaskan ikatan kaki tanganku ketika aku ditinggalkannya di goa itu dan dia katanya hendak mencari makanan. Untunglah pada saat dia pergi itu muncul Kakangmas Priyadi yang membebaskan aku."

"Bagaimana dia dapat berada di hutan itu?"

"Menurut ceritanya, dia melihat ketika aku mengamuk di rumah hartawan itu dan melihat pula aku tertawan, kemudian ketika kakek itu membawaku pergi, dia membayangi sampai ke dalam hutan. Ketika kakek itu meninggalkan aku untuk mencari makan, Kakangmas Priyadi lalu muncul dan membebaskan ikatan kaki tanganku. Untung pedangku Nogo Wilis oleh kakek itu ditinggalkan di situ, maka dapat kupergunakan untuk membela diri."

"Kemudian bagaimana, diajeng? Ceritamu semakin menarik!" kata Sutejo.

"Ketika kakek itu muncul lagi, aku bersama Kakangmas Priyadi mengeroyoknya. Kalau kami maju satu satu, tentu kami tidak akan mampu menandingi kakek yang amat sakti itu. Akan tetapi dengan maju bersama, kakek itu dapat kami desak hingga dia melarikan diri."

"Lalu Kakangmas Priyadi menemanimu pergi menemui Harjodento?"

"Tidak! Kami berpisah dan aku meninggalkannya, kemudian aku pergi seorang diri ke tepi Bengawan Solo dan bertemu dengan Harjodento, menantangnya bertanding. Aku terdesak dan kewalahan, tapi tiba-tiba saja muncul Kakangmas Priyadi yang tanpa diminta segera membantuku. Seperti telah kuceritakan tadi, kami terpaksa melarikan diri karena terdesak dan akan terancam bahaya kalau anak buahnya ikut mengeroyok. Setelah itu kami saling berpisah lagi dan melakukan perjalanan hendak menghadap guruku untuk menceritakan kegagalanku ketika aku melihat engkau menolong gadis itu...!" dan suaranya tersendat.

Gadis itu tiba-tiba berhenti bicara. Di bawah sinar api unggun yang kemerahan, keadaan tidak begitu terang lagi karena api yang melahap pondok itu sudah hampir padam setelah menghabiskan seluruh bagian pondok, Sutejo melihat betapa mulut gadis itu cemberut dan sepasang mata itu berapi.

Sutejo tersenyum, maklum bahwa lagi-lagi Retno Susilo merasa cemburu kepada gadis itu, yaitu Winarti puteri Senopati Mertoloyo!

"Diajeng Retno, ketahuilah bahwa antara aku dan nimas Winarti tidak ada hubungan apa-apa kecuali hubungan persahabatan. Ia adalah puteri Paman Mertoloyo, seorang senopati besar dari Mataram. Kebetulan saja aku melihat Paman Mertoloyo dan puterinya sedang dikeroyok banyak orang Wirosobo sehingga aku turun tangan membantu mereka"

"Aku tak peduli gadis puteri senopati atau bahkan puteri raja sekali pun, akan tetapi gadis itu begitu memperhatikanmu dan engkau... engkau begitu baik pada gadis itu, sedangkan kepadaku engkau tidak peduli sama sekeli!"

"Ini tidak benar, diajeng Retno Susilo. Bukankah sekarang ini kita melakukan perjalanan bersama dan aku akan membantumu menghadapi musuh besar gurumu?"

Retno Susilo menundukkan mukanya dan suasana menjadi lengang. Kini yang terdengar hanya kerik jangkerik dan nyanyian kutu-kutu walang ataga diseling bunyi letupan ranting kering dimakan api unggun. Agaknya ucapan Sutejo itu menyadarkan Retno Susilo dan meredakan rasa cemburunya.

"Sekarang engkau memang bersikap baik kepadaku, kakangmas Sutejo, dan kuharapkan sekali mudah-mudahan engkau selanjutnya akan bersikap baik kepadaku," katanya lirih.

"Tentu saja, diajeng. Bukankah sudah lama sekali kita menjadi sahabat? Sudah banyak pula peristiwa penting kita alami bersama. Sekarang mengaso dan tidurlah, diajeng. Biar aku yang menjaga api unggun ini agar tidak sampai padam karena kalau sampai padam tentu banyak nyamuk akan menyerang kita."

"Baiklah, aku akan tidur lebih dahulu, kakangmas. Nanti kalau aku terbangun, aku akan menggantikanmu menjaga api unggun dan engkau boleh mengaso," kata gadis itu sambil menyandarkan tubuhnya pada batang pohon dan memejamkan matanya. Agaknya gadis itu memang lelah sekali karena sebentar saja pernapasannya menjadi halus dan teratur, tanda bahwa ia telah tertidur.

Sutejo menambahkan ranting pada api unggun dan ketika api bernyala lebih terang, dia memandangi api sambil termenung. Teringatlah dia akan semua wejangan yang pernah didengarnya dari mulut mendiang gurunya, Sang Bhagawan Sidik Paningal. Seolah-olah terngiang di telinganya kata-kata mendiang gurunya ketika memberi wejangan kepadanya.

Hidup adalah perjuangan, demikian antara lain gurunya berkata. Perjuangan menghadapi segala macam tantangan berbentuk permasalahan, persoalan dan problema-problema. Segala tantangan itu harus dihadapi dengan tabah, dengan dasar pemasrahan diri lahir batin kepada Tuhan, dengan penuh kepercayaan bahwa Kekuasaan Tuhan pasti akan memberi bimbingan. Menghadapi segala tantangan itu, tidak melarikan diri, melainkan menanggulangi dan mengatasi.

Hati akal pikiran adalah sarang suka dan duka yang datang silih berganti, dan itulah romantika kehidupan yang harus kita terima dengan penuh kesadaran bahwa yang disebut suka dan duka itu bukan lain hanya sekadar penilaian dari hati akal pikiran. Sesungguhnya semua yang terjadi adalah suatu kewajaran, terjadi karena memang telah digariskan demikian, terjadi karena sudah DIKEHENDAKI Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita tidak boleh tenggelam ke dalam duka di kala menghadapi peristiwa yang pada akhirnya merugikan, juga kita tidak boleh mabok dan lupa diri dalam suka di kala menghadapi peristiwa yang pada lahirnya menguntungkan. Dengan menjenguk dan melihat hikmah dari segala peristiwa yang menimpa diri kita, dengan penuh keyakinan bahwa segala yang terjadi itu dapat terjadi hanya karena telah dikehendaki Tuhan, maka kita akan terbebas dari seretan gelombang suka dan duka.

Hidup adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban. Kewajiban sebagai seorang ayah atau ibu, sebagai seorang anak sebagai seorang saudara, sebagai seorang sahabat, sebagai seorang warga negara, sebagai seorang manusia. Semua kewajiban harus dilaksanakan sebaik mungkin, menjadi ayah yang baik, menjadi ibu yang baik, menjadi anak yang baik dan seterusnya. Dan untuk melaksanakan kewajiban dengan sebaiknya kita harus berusaha, berikhtiar sekuat kemampuan kita.

Menyerahkan diri lahir batin kepada Tuhan bukan berarti kita lalu tak acuh, bukan berarti kepasrahan yang pasip atau penyerahan yang mati. Kita wajib berikhtiar, berusaha sekuat kemampuan kita. Akan tetapi semua usaha itu didasari kepasrahan, penyerahan kepada Tuhan dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Kepasrahan yang disertai keyakinan sebulatnya bahwa Tuhan pasti akan memberi bimbingan kepada kita, dalam keadaan bagaimana pun juga.

Yang mendorong kita bergerak di dalam kehidupan ini adalah nafsu-nafsu kita. Tanpa adanya nafsu, kita tidak mungkin hidup sebagai manusia yang demikian maju dalam keduniawian. Tapi tanpa bimbingan Tuhan, tanpa adanya Kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam diri kita, kita dapat terseret oleh nafsu-nafsu kita sendiri yang mengakibatkan kehancuran lahir batin. Jiwa kita akan tertutup dan tak tampak sinarnya seperti sinar matahari yang tertutup awan mendung. Namun, dengan Kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam diri kita, kekuasaan yang membimbing, digerakkan oleh kepasrahan kita yang total, maka nafsu-nafsu kita tidak akan meliar dan bersimaharajalela! Hanya Tuhan yang dapat menjinakkan daya-daya rendah sehingga nafsu-nafsu itu kembali kepada fungsinya semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan kita dalam kehidupan di dunia ini.

Sutejo menghela napas panjang ketika teringat tentang semua ini.

Alangkah mudahnya dipikirkan dan dibicarakan, tetapi betapa sukarnya untuk menyerah! Menyerah lahir batin, berarti penyerahan tanpa ikutnya hati akal pikiran karena kalau yang menyerah itu hati akal pikiran, pasti di situ muncul pamrihnya. Menyerah agar begini dan begitu, pokoknya agar menguntungkan lahir mau pun batin! Penyerahan seperti itu bukan penyerahan namanya, melainkan penyuapan! Penyogokan! Menyogok dengan kepasrahan untuk mendapatkan sesuatu yang tentu saja menyenangkan dan menguntungkan.

Nafsu yang dibiarkan meliar melahirkan keinginan-keinginan. Keinginan akan sesuatu yang lebih membuat apa saja yang telah didapatkan kehilangan keindahannya sehingga kita tidak lagi dapat menikmati apa yang telah kita dapatkan. Ini berarti bahwa kita tidak dapat mensyukuri apa yang sudah iberikan Tuhan kepada kita. Karena keinginan untuk mendapatkan yang lebih membuat apa yang berada di tangan tampak tidak berharga, tidak cukup dan kurang menyenangkan.

Keinginan akan hal yang lebih membuat kita tidak pernah dapat merasakan kepuasan. Keinginan jugalah yang menyeret kita untuk melakukan pengejaran dan sering kali terjadi, dalam pengejaran ini kita lupa diri. mementingkan pengejarannya sehingga menghalalkan segala cara. Padahal bukan TUJUAN yang terpenting, melainkan CARA mencapai tujuan.

Berbahagialah orang yang tidak mengejar keinginan apa pun juga karena orang demikian itu akan selalu menerima apa yang ada dengan penuh rasa syukur dan berterima kasih kepada Tuhan. Orang demikian itu melihat keindahan pada apa yang didapatkannya dan dapat menikmati segala macam hasil pekerjaannya.

Sutejo tersenyum sendiri. Dia teringat akan kehidupan para petani di dusun-dusun. Para petani itu tidak mempunyai banyak keinginan dan karenanya dapat menikmati apa yang mereka dapatkan sehingga pada umumnya kehidupan mereka tenteram.

Semakin sederhana kehidupan seseorang, semakin sederhana pula kebutuhan hidupnya sehingga mudah terjangkau. Sebaliknya orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dan berharta mempunyai kebutuhan yang semakin tinggi pula sehingga sukar dijangkau dan karenanya menimbulkan kesengsaraan batin.

Tanpa terasa tengah malam telah lewat. Sutejo mendengar gerakan di belakangnya. Dia cepat menoleh dan melihat Retno Susilo menggeliat seperti seekor kucing manja. Dalam keadaan baru setengah sadar gadis itu menggeliat dan Sutejo terpaksa harus membuang muka dan tidak berani memandang lebih lama lagi karena penglihatan itu begitu menarik hatinya dan membuat jantungnya berdebar. Dia pura-pura tidak tahu saja bahwa gadis itu hampir terbangun.

"Kakangmas Sutejo..." terdengar gadis itu menyapanya.

Sutejo menoleh. "Ahh, engkau terbangun, diajeng Retno? Tidurlah kembali, malam masih larut."

"Tidak, kakangmas Aku harus menggantikanmu menjaga api unggun. Sekarang giliran engkau yang mengaso!" Gadis itu bangkit berdiri dan menghampiri api unggun, lalu duduk berhadapan dengan Sutejo, terhalang api unggun.

"Diajeng Retno, engkau adalah seorang wanita dan aku seorang pria. Sepantasnya kalau wanita mengaso dan tidur sedangkan pria melakukan penjagaan. Aku tidak mengantuk, biarlah aku yang berjaga sampai pagi."

"Aku sudah mengaso dan tidur. Sudah cukup bagiku dan sekarang aku tidak lelah atau mengantuk lagi. Pria atau wanita sama saja dalam hal menjaga keamanan, kakangmas. Apa lagi aku bukan seorang wanita lemah yang selalu harus dilindungi, melainkan seorang wanita yang mampu melindungi diri sendiri. Engkau tidurlah. Besok kalau kita berhadapan dengan Harjodento, engkau membutuhkan tenaga sepenuhnya.” Retno Susilo membujuk.

Karena kata-katanya tegas dan agaknya tidak dapat dibantah lagi, Sutejo mengangguk kemudian dia duduk di bawah pohon, bersandar pada pohon dan mengaso.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)