PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-29
Priyadi juga mengembangkan kedua lengannya dan ketika dua orang itu bertemu, mereka saling berangkulan dengan sangat mesranya. Wanita itu bukan lain adalah Sekarsih yang telah beberapa lamanya menjadi kekasih Priyadi.
"Kau tampak semakin cantik saja, Sekarsih!" puji Priyadi setelah mencium wanita itu.
Sekarsih merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan Priyadi dan bibirnya cemberut manja. "Kau bocah nakal! Kenapa sampai berbulan-bulan tidak pernah muncul? Aku susah payah mencarimu tanpa hasil, ke mana saja engkau pergi? Apakah engkau sudah melupakan aku?"
"Aku sama sekali tidak pernah bisa melupakanmu, sayang. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan wanita cantik jelita yang juga menjadi guruku dalam seni bercinta? Tidak, aku pergi karena untuk memperdalam ilmuku dan aku telah berhasil baik. Bahkan sekarang aku ingin agar engkau menguji kepandaianku, Sekarsih. Aku ingin melihat sampai di mana kemajuanku, maka engkaulah orang yang paling tepat untuk mengujiku. Dulu sukar sekali bagiku untuk menandingimu, terus terang saja aku masih kalah satu tingkat olehmu. Akan tetapi sekarang, mari kita coba-coba, Sekarsih."
Wajah wanita itu berseri dan matanya bersinar-sinar. "Ahh, benarkah? Aku girang sekali kalau engkau memperoleh kemajuan dalam ilmu kanuragan, Priyadi. Mari aku mengujimu. Bersiaplah dan sambut seranganku!" Setelah berkata demikian, sambil tersenyum girang Sekarsih menyerang dengan cengkeraman tangan kirinya yang membentuk cakar singa ke arah pundak Priyadi.
Wanita ini mengira bahwa ilmu kepandaian Priyadi hanya maju begitu saja dan mengira bahwa pemuda itu tentu belum mampu menandinginya. Ia memang menyerang dengan Aji Singarodra, ilmu silat yang gerakannya seperti seekor singa, sambil membentak dan sepasang tangan menjadi seperti cakar. Akan tetapi dalam penyerangannya itu dia hanya mempergunakan sebagian kecil saja dari tenaganya.
Priyadi melihat ini. Dia tahu bahwa kekasihnya itu masih belum percaya bahwa dia telah menguasai ilmu ilmu yang hebat, maka melihat serangan yang lemah saja itu, dia lalu memutar lengannya dan menangkis ke atas dengan pengerahan tenaga.
"Wuuutt...! Desss ...!"
Tubuh Sekarsih terpelanting dan hampir saja ia jatuh. Ia terkejut sekali dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.
"Salahmu sendiri Sekarsih. Engkau terlalu memandang rendah padaku. Sudah kukatakan bahwa kepandaianku telah maju pesat. Untuk dapat mengujiku dengan baik maka engkau harus mengeluarkan semua ilmu simpananmu dan mengerahkan seluruh tenagamu. Mari seranglah, makin hebat makin baik!"
Timbul kegembiraan di hati Sekarsih, juga penasaran. Dia tahu benar bahwa sebelum ini tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi sedikit dibandingkan ilmu kepandaian Priyadi.
"Baik, Priyadi. Awas, aku akan menyerangmu dengan Aji Singarodra. Haiiiitttt...!"
Kini dia menerjang dengan dahsyatnya, gerakannya laksana seekor harimau menerkam domba. Namun Priyadi yang kini telah memiliki tenaga sakti hebat, dapat bergerak cepat dan tahu-tahu dia sudah mengelak dengan mudah. Biar pun dia bersilat dengan Aji Gelap Musti dari aliran Jatikusumo, namun gerakannya sekarang jauh berbeda dengan dahulu. Gerakannya cepat bukan main seolah tubuhnya itu menjadi ringan sekali, dan gerakan tangannya mendatangkan angin yang sangat kuat, tanda bahwa dia kini memiliki tenaga dalam yang hebat sekali.
Sekarsih dapat melihat dan merasakan ini. Wanita itu menjadi kagum dan juga gembira, tetapi juga penasaran dan ia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya untuk mencoba mengalahkan Priyadi. Akan teapi semua serangannya bisa dihindarkan Priyadi dengan elakan atau tangkisan dan setiap kali lengannya bertemu dengan lengan Priyadi yang menangkisnya, Sekarsih tentu terpental dan terhuyung!
Sesudah lewat tiga puluh jurus, mendadak Priyadi berseru, "Sekarsih, sekarang aku akan membalas. Sambutlah!"
Tangannya menampar dengan kecepatan kilat. Ia menggunakan Aji Margopati akan tetapi membatasi tenaganya karena dia tidak ingin mencelakai kekasihnya itu. Melihat tamparan yang demikian dahsyat, Sekarsih cepat mengerahkan tenaganya dan menangkis.
"Wuuuttt...! Desss...!"
Tubuh Sekarsih terlempar sampai jauh dan ia terpelanting jatuh. Priyadi sudah melompat dekat kemudian mengulurkan tangannya membantu wanita itu bangkit. Sekarsih meringis, dadanya terasa agak sesak namun dia memandang kepada Priyadi dengan kedua mata terbelalak.
"Bukan main...! Engkau hebat sekali, Priyadi! Dari mana engkau memperoleh kemajuan yang demikian hebatnya dalam waktu hanya beberapa bulan saja?"
Priyadi tersenyum. "Itu adalah rahasiaku sendiri, Sekarsih. Tamparanku tadi mengandung kekuatan Aji Margopati, hanya kupergunakan setengahnya saja. Kalau aku mengerahkan seluruh tenagaku, tentu engkau sudah rebah untuk tidak dapat bangkit kembali. Akan tetapi bukan hanya itu ilmu-ilmu yang kukuasai. Coba kau pertahankan aji penyirepanku kalau engkau mampu!"
Priyadi lalu membungkuk untuk mengambil segenggam tanah, berkemak-kemik membaca mantera sambil mengerahkan kekuatan batinnya, kemudian dia menaburkan tanah itu ke arah Sekarsih. Tiba-tiba saja Sekarsih terkulai lantas jatuh ke atas tanah dalam keadaan tidur pulas!
Priyadi tertawa bergelak sambil menengadahkan kepalanya. Hatinya merasa girang dan bangga sekali. Semenjak mendapat ilmu-ilmu yang ampuh dari Resi Ekomolo, dia belum pernah mencoba ilmu-ilmu itu. Sekarang dia dapat mencobanya kepada Sekarsih. Kalau seorang seperti Sekarsih yang dia tahu memiliki kesaktian dapat dia tundukkan dengan ilmu-ilmunya, hal itu berarti bahwa semua ilmu yang dikuasainya itu benar-benar ampuh dan dahsyat!
Dia menggunakan Aji Penyirepan Begonondo membuat Sekarsih seketika jatuh tertidur, dan tadi dia hanya menggunakan sedikit tenaga dari Margopati yang membuat wanita itu terlempar dan terjatuh! Sambil tersenyum dengan wajah berseri Priyadi lalu menyadarkan Sekarsih dengan ilmunya itu.
Sekarsih terbangun lalu mengusap-usap kedua matanya. Dia bangkit dan dibantu berdiri oleh Priyadi, "Apa yang telah terjadi...? Apa yang terjadi denganku...?" Sekarsih bertanya agak bingung.
Priyadi tertawa. "Ha-ha-ha-ha, tadi engkau tertidur pulas. Sekarsih. Engkau tidak tahan menghadapi Aji Penyirepan Begonondo yang kulepaskan padamu."
Sekarsih terkejut, terheran juga kagum sekali. Ia merangkul pemuda itu.
"Priyadi, engkau sungguh hebat! Dua macam aji kesaktianmu tadi benar-benar sudah mengalahkan aku!"
"Bukan hanya itu, Sekarsih. Masih ada aji-aji lain lagi yang aku kuasai. Di antaranya ada yang akan membahagiakanmu. Marilah kita masuk ke dalam pondokmu, di dalam pondok nanti engkau akan menikmati aji lain yang kukuasai, yaitu Aji Pengasihan Mimi Mintuno!"
Mereka masuk ke dalam pondok sambil bergandeng tangan. Di dalam pondok itu Priyadi mencoba ajinya yang lain, yaitu mengerahkan Aji Pengasihan Mimi Mintuno dan Sekarsih begitu terpengaruh sehingga ia hampir gila tenggelam ke dalam buaian asmara sehingga ia semakin tergila-gila kepada Priyadi.
Tanpa menggunakan aji apa pun Sekarsih memang sudah tergila-gila kepada Priyadi. Ia mencinta pemuda itu. Belum pernah wanita ini jatuh cinta dalam arti yang sesungguhnya. Biasanya para pria yang jatuh ke dalam pelukannya hanya menjadi permainannya saja, pemuas nafsunya. Akan tetapi kepada Priyadi ia benar-benar jatuh cinta dan rasanya ia mau melakukan apa saja untuk pemuda ini, bahkan mau membelanya dengan taruhan nyawa sekali pun.
Apa lagi sesudah Priyadi menggunakan Aji Pengasihan Mimi Mintuno, wanita itu benar-benar jatuh dan rasanya rela menjadi budak dari pemuda itu. Lebih lagi setelah kini ia tahu bahwa Priyadi mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, sakti mandraguna, membuat Ia tunduk dan takluk.
"Sekarsih," kata Priyadi sesudah mereka puas berkasih mesra, "aku membutuhkan bantuanmu "
Sekarsih bangkit duduk dan memandang dengan wajah berseri. "Engkau membutuhkan bantuanku? Katakanlah, Priyadi, bantuan apa yang dapat kuberikan kepadamu? Aku akan mengerahkan seluruh kemampuanku untuk membantumu!" Sikapnya penuh gairah seolah permintaan bantuan itu merupakan suatu hal yang amat menggembirakan hatinya.
"Kau sungguh mau membantuku sampai aku berhasil?"
"Tentu aku mau membantumu, biar pun untuk itu aku harus menyeberangi lautan api dan mempertaruhkan nyawa!" kata Sekarsih penuh semangat.
Priyadi tersenyum. "Engkau tak perlu harus mempertaruhkan nyawa, sayang. Aku hanya ingin engkau membantuku untuk membujuk gurumu, Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo itu agar mereka mau bersekutu denganku."
Sekarsih mengerutkan alis dan menjawab, "Tentu saja aku mau memenuhi permintaanmu untuk membujuk mereka. Akan tetapi guruku dan Resi Wisangkolo adalah orang-orang yang berwatak aneh. Perguruan Jatikusumo pernah bermusuhan dengan mereka, bahkan mereka sudah dipukul mundur, sedangkan engkau adalah murid Jatikusumo, bagaimana mungkin mereka mau bersekutu denganmu, Priyadi?"
"Aku akan menguasai perguruan Jatikusumo. Aku yang akan menjadi ketua Jatikusumo dan sebagai ketua aku berhak memutuskan bahwa Jatikusumo tidak lagi menganggap mereka sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat."
"Akan tetapi engkau bukan murid kepala Jatikusomo dan perguruan itu masih dipimpin oleh Bhagawan Sindusakti, gurumu."
“Aku akan mengambil alih kedudukan ketua Jatikusumo!"
"Dengan kekerasan?"
"Kalau perlu dengan kekerasan!"
"Engkau akan melawan gurumu dan saudara-saudara seperguruanmu sendiri?"
"Apa boleh buat. Untuk mencapai cita-cita, kalau perlu harus mengorbankan sesuatu."
"Bagus sekali! Engkau memang sangat hebat, kekasihku! Kalau engkau sudah menjadi ketua Jatikusumo, tentu guruku dan Resi Wisangkolo akan memandangmu sebagai orang yang sederajat. Akan tetapi aku mengenal watak mereka yang aneh. Mereka tentu akan menguji lebih dulu apakah engkau pantas untuk menjadi sekutu mereka."
"Aku siap untuk menguji kesaktian melawan mereka," kata Priyadi penuh kepercayaan kepada diri sendiri.
"Aku pun percaya bahwa engkau akan mampu menandingi mereka, Priyadi. Akan tetapi, apa maksudmu mengajak mereka untuk bersekutu denganmu? Apa tujuannya?"
"Hmm, mereka adalah orang-orang sakti mandraguna yang patut untuk kujadikan sekutu. Bersama mereka aku dapat meraih kedudukan tinggi. Kita dapat membantu gerakan kadipaten Wirosobo untuk bersama para kadipaten lainnya meruntuhkan Mataram. Kalau usaha itu berhasil, aku akan dapat meraih kedudukan tinggi. Di samping itu aku juga ingin disebut pendekar tanpa tanding di seluruh nusantara!"
"Bagus sekali cita-citamu. Aku akan membantumu dengan sekuat kemampuanku. Tetapi apakah engkau sudah mengadakan hubungan dengan pihak kadipaten Wirosobo?" tanya Sekarsih, merasa gembira sekali mendengar cita-cita Priyadi yang muluk-muluk itu. Cita cita semuluk itu tidak pernah terpikirkan oleh Sekarsih. Bahkan gurunya juga tidak pernah memiliki cita-cita setinggi itu sehingga kini ia merasa gembira bukan main.
"Tentang kadipaten Wirosobo, mudah. Seorang paman guruku, Bhagawan Jaladara telah menjadi seorang pembantu Wirosobo yang berpengaruh. Kalau aku dapat membujuk dan meyakinkannya sehingga pusaka Jatikusumo yaitu Pecut Sakti Bajrakirana dapat dia serahkan kepadaku, maka kadipaten Wirosobo tentu akan menerima bantuanku dengan senang hati. Sekarang kita membagi tugas, Sekarsih. Eagkau temuilah gurumu dan Resi Wisangkolo. membujuk mereka agar mau bergabung dan membantuku. Aku sendiri akan pergi menemui Paman Guru Bhagawan Jaladara di kadipaten Wirosobo."
"Jangan sekarang, Priyadi!" Sekarsih membujuk sambil merangkul. "Biar malam ini kita bersama di sini, besok baru kita berpisah melakukan tugas masing-masing."
Priyadi tertawa dan dia pun menuruti kehendak wanita yang sudah tergila-gila kepadanya itu. Ia merasa gembira sekali. Dalam diri Sekarsih dia menemukan seorang kekasih yang sangat mencintanya dan sangat menyenangkan hatinya, juga sebagai seorang pembantu yang boleh diandalkan dan dapat dipercaya kesetiaannya.....
********************
Bhagawan Jaladara sudah diangkat menjadi penasihat oleh Adipati Wirosobo. Pangkat ini cukup tinggi dan berpengaruh, bahkan lebih tinggi dari pada pangkat senopati karena dalam banyak hal, Sang Adipati Wirosobo banyak minta pendapat dan nasihat Bhagawan Jaladara. Dia pun mendapatkan sebuah rumah gedung sebagai tempat tinggalnya. Dua orang yang sejak semula membantunya, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, juga tinggal di gedung itu dan ikut membonceng kemuliaan yang dinikmati Bhagawan Jaladara.
Bhagawan Jaladara adalah seorang yang mempunyai keinginan muluk. Dia ingin menjadi seorang yang memiliki kekuasaan besar karena dia tahu benar bahwa kekuasaan dapat mendatangkan kemuliaan, juga dapat mendatangkan kekayaan dan kesenangan. Biar pun sejak mudanya dia sudah mendapat gemblengan dan mendiang Resi Limut Manik, bukan hanya gemblengan jasmani melainkan juga gemblengan rohani, namun nafsunya yang merajalela sudah menyeretnya ke dalam pengejaran kesenangan dengan menghalalkan segala cara.
Dia bukan lupa akan semua pelajaran tentang budi pekerti itu, melainkan dia sengaja tidak mengacuhkannya karena semua anggota jasmaninya, termasuk hati akal pikirannya, telah dikuasai oleh nafsunya sendiri sehingga apa pun yang dilakukannya untuk mengejar kesenangan, akan selalu dibenarkan oleh hati akal pikirannya.
Manusia yang berada dalam keadaan seperti itu seperti orang mabok, bisikan hati nuraninya sudah amat lemah, hanya bisik-bisik dan lapat-lapat sehingga hampir tidak terdengar. Kalah oleh suara bujukan yang lantang dan manis dari nafsu daya rendah yang memegang tampuk kendali.
Rumah kediaman Bhagawan Jaladara amat besar dan megah. Di pintu halaman terdapat sebuah gardu yang siang malam dijaga oleh lima orang prajurit, sebagaimana layaknya seorang pejabat tinggi atau orang penting. Juga dia mempunyai belasan orang pelayan wanita, masih muda-muda dan cantik-cantik yang siap melayaninya untuk keperluan apa pun juga yang dikehendakinya.....
********************
Pada suatu pagi yang cerah...
Lima orang prajurit baru saja datang untuk menggantikan lima orang prajurit yang sudah berjaga sepanjang malam di gardu depan pekarangan rumah gedung Bhagawan Jaladara itu. Karena baru saja memulai dengan tugas mereka hari itu, lima orang prajurit ini masih segar dan bersemangat. Mereka menjaga di depan gardu, berdiri tegak dan gagah sambil memegang tombak dengan wajah kereng sehingga kelihatan menyeramkan bagi orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya depan gedung itu.
Kepala jaga, seorang laki-laki tinggi besar dan gagah yang membawa sebatang pedang di pinggangnya duduk di atas bangku sambil mengamati orang yang berlalu lalang dengan sikap angkuh. Pada saat seperti itu, sadar akan kekuasaan yang dipegangnya dalam regunya yang melakukan penjagaan, dia tidak merasa sebagai seorang kepala jaga biasa, melainkan merasa sebagai seorang senopati yang memimpin sepasukan prajurit!
Priyadi melangkah dengan tenang menghampiri gardu di depan halaman rumah Bhagawan Jaladara. Para penjaga segera memalangkan tombaknya menghadang dan mata mereka memandang kepada Priyadi dengan melotot galak.
"Ki sanak, siapakah engkau dan mau apa engkau datang ke sini?" tanya kepala jaga yang tinggi besar dan kumisnya sekepal sebelah itu, tangan kanannya meraba gagang pedang dengan sikap mengancam.
Priyadi tetap bersikap tenang. "Aku bernama Priyadi, dan aku datang untuk menghadap Paman Bhagawan Jaladara dan bicara dengannya. Harap laporkan kedatanganku kepada Paman Bhagawan Jaladara."
Kepala jaga itu mengerutkan alisnya yang tebal dan sepasang matanya mengamati wajah Priyadi penuh kecurigaan. "Mau apa engkau hendak menghadap Sang Bhagawan?"
Priyadi tersenyum. "Aku mempunyai urusan pribadi yang sangat penting dengan dia dan aku hanya dapat membicarakan urusan itu dengan dia, tidak dengan orang lain."
"Hemm, kau kira mudah saja hendak bertemu dengan Sang Bhagawan? Tidak mudah, sobat!"
"Hemm, apa syaratnya untuk dapat bertemu dengan Sang Bhagawan?"
"Engkau harus membawa surat ijin dari seorang pejabat tinggi di sini."
"Tetapi aku tidak mempunyai kenalan pejabat tinggi, sobat, harap laporkan saja kepada Paman Bhagawan bahwa Priyadi hendak menghadap. Tentu dia akan menerimaku."
Kepala jaga itu tampak ragu-ragu. "Akan tetapi sepagi ini dia belum bangun. Sebaiknya engkau kembali saja siang nanti."
"Akan tetapi aku perlu bicara sekarang."
"Tidak bisa. Pergilah dan kembali nanti siang saja!" hardik kepala jaga itu.
"Kalau aku nekat masuk?"
Kepala jaga itu mencabut pedangnya. "Berarti engkau memang mencari penyakit. Kami akan menangkapmu sebagai seorang penjahat!"
Priyadi tersenyum, membungkuk dan mengambil segenggam tanah. Dia memandang lima orang prajurit yang menghadapinya dengan sikap galak itu kemudian secara diam-diam dia mengerahkan Aji Penyirepan Begonondo dan menyebarkan tanah itu ke arah muka lima orang iiu. Lima orang prajurit itu terkejut dan hendak menyerang, akan tetapi tiba-tiba mereka semua terhuyung.
Kepala jaga memasuki gardu dan menjatuhkan diri di atas bangku, meletakkan kepala di atas meja dan tidur mendengkur. Empat orang anak buahnya juga sudah terkulai, ada yang duduk di atas lantai bersandarkan gardu, ada yang menjatuhkan diri di atas bangku dan semuanya sudah tertidur. Sungguh merupakan penglihatan yang lucu sekali melihat semua penjaga itu tertidur di pagi hari itu.
Orang-orang yang berlalu lalang di jalan depan gedung itu memandang dengan terheran-heran, juga ada yang menahan ketawa melihat lima orang penjaga itu tidur mendengkur di pos penjagaan mereka. Tidak ada yang melihat ketika Priyadi menyerang mereka dengan Aji Penyirepan Begonondo tadi.
Dengan langkah tenang Priyadi memasuki pekarangan rumah. Ketika dia tiba di ruangan depan, seorang pelayan wanita melihatnya dan pelayan ini ketakutan melihat seorang asing memasuki ruangan depan. Ia segera berlari masuk ke dalam dan memberi laporan kepada Bhagawan Jaladara yang baru saja terbangun dari tidurnya.
Melihat pelayan wanita itu berlari, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda cepat mengejarnya dan memasuki ruangan di mana Bhagawan Jaladara sedang duduk menghadapi minuman panas.
Pelayan wanita yang berlari-larian itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bhagawan Jaladara. Kakek itu mengerutkan alisnya dan menjadi semakin heran melihat Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda juga berlari memasuki ruangan itu.
"Eh, ada apakah ini? Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, kenapa kalian berlarian masuk ke ruangan ini tanpa dipanggil?"
"Kami melihat pelayan wanita ini berlari-lari, maka kami mengejar dan ingin tahu apa yang telah terjadi," kata Ki Warok Petak.
"Heii kamu! Kenapa berlari-larian seperti dikejar setan?"
"Ampun, Kanjeng Bhagawan. Ada seorang pemuda asing memasuki ruangan depan. Karena curiga dan khawatir maka saya datang melaporkan."
"Siapa dia?" Bhagawan Jaladara berseru kaget.
"Aku yang datang menghadap, Paman Bhagawan Jaladara!" terdengar jawab«n dan Priyadi muncul di pintu ruangan itu. Tiga orang Jagoan Wirosobo itu terkejut, akan tetapi Bhagawan Jaladara segera mengenal Priyadi.
"Hmm, bukankah engkau murid Jatikusumo, murid Kakang Bhagawan Sindusakti?" tanya Bhagawan Jaladara.
"Benar, Paman Bhagawan. Aku adalah Priyadi, murid Jatikusumo."
"Hei, orang muda! Berani engkau masuk tanpa ijin? Engkau hendak membuat kekacauan di sini?" bentak Ki Warok Petak yang berwatak brangasan dan dia sudah melangkah lebar menghampiri Priyadi dengan sikap mengancam.
"Ki Warok Petak, mundurlah! Dia adalah murid keponakanku sendiri!" bentak Bhagawan Jaladara dan mendengar ini, Ki Warok Petak menahan langkahnya dan mundur.
"Paman Bhagawan Jaladara, maafkan aku kalau kunjunganku ini sudah mengganggu dan mengagetkan paman," kata Priyadi dengan sikap lembut.
"Ahh, tidak mengapa, Priyadi. Engkau sama sekali tidak mengganggu. Tetapi bagaimana engkau dapat masuk ke sini? Bukankah di luar terdapat para prajurit berjaga di gardu?" tanya Bhagawan Jaladara.
Pada saat itu seorang laki-laki yang bekerja sebagai tukang kebun datang dengan wajah pucat dan napas terengah-engah dan segera melapor. "Celaka, Kanjeng... para prajurit yang berjaga di gardu itu... mereka semua tertidur pulas...!"
Bhagawan Jaladara mengerutkan alisnya, tetapi dia lalu menoleh kepada Priyadi. "Engkau yang melakukan itu, Priyadi?"
"Maaf, paman. Tadi mereka tidak mengijinkan aku masuk. Terpaksa aku menggunakan aji penyirepan untuk membuat mereka tertidur."
Bhagawan Jaladara tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, ampuh sekali aji penyirepanmu itu, Priyadi. Sekarang bangunkan mereka!"
Priyadi mengambil segenggam tanah dari pot bunga yang berada di ruangan itu kemudian meniupnya dan menyerahkannya kepada tukang kebun. "Taburkan tanah ini ke muka mereka dan mereka akan terbangun," katanya.
Tukang kebun menerima segenggam tanah itu lalu bergegas keluar dari ruangan.
"Ha-ha-ha-ha, engkau pantas menjadi murid Jatikusumo, Priyadi. Aku kagum kepadamu. Sekarang katakan apa keperluanmu datang menghadapku? Apakah engkau diutus oleh Kakang Bhagawan Sindusakti?"
"Tidak, paman. Aku datang atas kehendakku sendiri karena ada hal yang teramat penting hendak kubicarakan dengan paman."
"Ah, begitukah? Urusan penting apakah itu? Cepat katakan!"
Priyadi melirik ke arah dua orang pembantu Bhagawan Jaladara dan wanita pembantu yang masih berlutut di situ. Bhagawan Jaladara mengerti akan isyarat ini.
"Engkau mundurlah!" katanya kepada wanita pembantu yang segera menyembah dan mengundurkan diri. Ketika melihat Priyadi masih melirik kepada Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, dia berkata dengan halus kepada mereka berdua.
"Kalian mundurlah dulu, aku hendak bicara berdua saja dengan murid keponakanku ini,"
Dua orang jagoan itu mengerutkan alisnya memandang kepada Priyadi, tapi mereka tidak berani membantah lalu keluar dari ruangan itu.
"Nah, sekarang katakan, sesungguhnya apa yang hendak kau bicarakan, Priyadi?" Dia berhenti sebentar, menduga-duga. "Tentu gurumu yang mengutusmu untuk mengatakan bahwa dia sudah menyetujui usulku untuk membantu Wirosobo, bukan?"
"Sayang sekali tidak begitu, Paman Bhagawan," kata Priyadi sambil menggeleng kepala.
"Lalu apa yang hendak kau bicarakan? Duduklah."
Priyadi duduk di atas sebuah bangku berhadapan dengan Bhagawan Jatadara, kemudian dia berkata dengan sikap tenang. "Justru sebaliknya, paman. Bapa guru mengajak kami para murid-muridnya berbincang-bincang mengenai penawaran paman. Bapa Bhagawan Sindusakti, didukung oleh Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan Adi Cangak Awu, menyatakan bahwa mereka setia kepada Mataram dan sekali-kali tidak mau membantu Wirosobo yang dianggap memberontak."
Bhagawan Jaladara mengerutkan alisnya. "Akan tetapi di depanku Kakang Sindusakti tidak menyatakan demikian!"
"Tentu saja, paman. Bapa Guru menyatakan setuju karena dia menghendaki agar paman menyerahkan Pecut Bajrakirana! Kalau pecut pusaka itu telah paman serahkan, barulah Bapa Guru akan menyatakan pendiriannya dan menentang paman."
"Akan tetapi mengapa bisa demikian?"
"Karena Sutejo sudah datang dan pemuda itu yang mengadu kepada Bapa Guru bahwa Paman Bhagawan Jaladara yang membunuh Eyang Resi Limut Manik dan mencuri Pecut Sakti Bajrakirana."
Bhagawan Jaladara bangkit berdiri dengan marah. "Ahh! Bedebah Sutejo itu! Dan gurumu percaya?"
"Harap paman duduk dengan tenang. Agaknya Bapa Guru percaya walau pun masih ragu. Akan tetapi yang jelas, Bapa Guru menghendaki agar paman menyerahkan Pecut Bajrakirana dan aku yakin Bapa Guru tidak akan mau membantu Wirosobo. Bahkan ada tanda-tandanya Bapa Guru dan para muridnya, kecuali aku, akan menentang paman."
"Kenapa kecuali engkau, Priyadi? Sesudah gurumu dan semua saudara seperguruanmu menentangku, kenapa engkau tidak? Dan mau apa pula engkau datang menemui aku?" Sepasang mata Bhagawan Jaladara mengamati wajah Priyadi penuh selidik.
"Aku tidak sependapat dengan Bapa Guru dan para saudara seperguruanku. Aku datang menemui paman untuk mengajak bekerja sama! Aku dapat menghimpun tenaga dan kelak membantu Kadipaten Wirosobo menggempur Mataram."
"Hemm, engkau orang muda dapat berbuat apakah? Apa usulmu dalam kerja sama ini?" tanya Bhagawan Jaladara yang tentu saja memandang rendah murid keponakannya yang masih muda itu.
"Paman, aku mengusulkan agar paman suka menyerahkan Pecut Bajrakirana kepadaku."
"Hemm, enak saja kau katakan demikian! Lalu apa yang dapat kau lakukan untukku?"
"Aku dapat menguasai Jatikusumo dan mengangkat diriku menjadi ketua Jatikusumo. Aku pun bisa menarik Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo, dua orang yang sakti mandraguna untuk bergabung dan membantu gerakan Kadipaten Wirosobo!" kata Priyadi dengan suara mengandung penuh keyakinan.
Bhagawan Jaladara tertawa. "Ha-ha-ha, sesumbarmu seperti geledek di tengah hari terik, Priyadi! Apa yang dapat kau lakukan terhadap Kakang Bhagawan Sindusakti, Maheso Seto, Rahmini dan Cangak Awu? Engkau tidak akan mampu menandingi gurumu dan kakak-kakak seperguruanmu sendiri! Belum lagi para murid perguruan Jatikusumo yang tentu saja akan membela guru mereka dan menentangmu."
"Aku dapat mengalahkan Bapa Guru dan para saudara seperguruanku, dan dengan Pecut Bajrakirana di tanganku, aku akan bisa menguasai semua anak buah Jatikusumo, Paman Bhagawan Jaladara."
“Hmm, jangan main-main dan jangan mempermainkan aku, Priyadi. Aku sendiri saja tidak akan mampu menandingi Kakang Bhagawan Sindusakti, apa lagi engkau! Apa yang kau andalkan?"
"Paman, aku telah mempelajari banyak ilmu yang akan cukup untuk mengalahkan Bapa Guru Sindusakti. Kalau paman tidak percaya, paman boleh menguji kemampuanku."
Bhagawan Jaladara mengerutkan alisnya. "Benarkah itu? Baiklah, aku akan mengujimu. Akan tetapi jangan salahkan aku kalau engkau sampai cedera karena hal itu pantas untuk menghukummu yang mempermainkan seorang tua." Bhagawan Jaladara bertepuk tangan tiga kali dan muncullah Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, dua orang pembantunya yang setia dan tangguh.
Dua orang pembantu itu memandang heran kepada atasan mereka. Di sana tidak ada bahaya apa pun, mengapa Bhagawan Jaladara memberi isyarat panggilan seperti dalam keadaan bahaya?
"Kakang Bhagawan memanggil kami?" tanya Ki Warok Petak yang bertubuh tinggi besar dan kumisnya tebal sekepal sebelah itu.
"Benar," kata Bhagawan Jaladara. "Aku memanggil kalian berdua karena ada keperluan penting. Priyadi beranikah engkau menghadapi mereka?”
Priyadi mengangguk tenang. "Tentu saja aku berani, paman."
"Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, aku ingin menguji kedigdayaan murid keponakanku ini dan kalian sudah mendengar sendiri. Dia berani menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Coba kalian maju bersama menguji sampai di mana kemampuannya dan jangan sungkan, keluarkan semua kemampuan kalian untuk merobohkan dan mengalahkannya."
KI Warok Petak saling pandang dengan Ki Baka Kroda lalu mereka tertawa.
"Ahh, kakang Bhagawan harap jangan main-main! Mana bisa kami berdua harus maju mengeroyok pemuda ini? Seorang dari kami saja kiranya sudah lebih dari cukup untuk menandinginya!" kata Ki Baka Kroda yang bertubuh pendek kecil namun gerak geriknya gesit sekali.
"Tidak, kalau Priyadi hanya mampu mengalahkan seorang di antara kalian, itu masih belum ada artinya bagiku. Akan tetapi kalau sudah mampu mengalahkan pengeroyokan kalian berdua barulah aku mau percaya bahwa dia memang digdaya dan aku sendiri yang akan mengujinya. Priyadi, aku hendak bertanya sekali lagi, beranikah engkau menandingi pengeroyokan mereka berdua ini?"
"Tentu saja aku berani, paman. Memang kedua paman ini tampaknya tangguh dan sakti, tetapi aku yakin akan dapat menandingi dan mengalahkan mereka." jawab Priyadi dengan sikap tenang dan serius.
Kini dua orang jagoan itu merasa ditantang. Sebenarnya mereka merasa tidak senang diharuskan mengeroyok seorang pemuda. Hal ini mereka anggap merendahkan martabat mereka sebagai jagoan-jagoan terkenal di Wirosobo. Akan tetapi karena ini merupakan perintah Bhagawan Jaladara, tentu saja mereka tidak berani menolak dan mereka ingin melampiaskan kedongkolan hati mereka kepada Priyadi. Pemuda yang mereka anggap sombong itu perlu diberi hajaran biar tahu rasa, demikian pikir mereka.
"Kakang Bhagawan, kapan kita harus mengujinya dan di mana?" tanya Ki Warok Petak.
"Sekarang juga dan di ruangan ini cukup luas untuk mengadu ilmu. Bersiaplah engkau menghadapi mereka berdua, Priyadi!"
Priyadi bangkit dari bangku yang didudukinya dan berdiri di tengah ruangan yang luas itu. "Aku sudah siap, paman." katanya sambil berdiri santai dengan kedua tangan bergantung di kanan kiri tubuhnya.
"Nah, kalian boleh mulai dan ingat, jangan sungkan dan main-main, kerahkan segenap tenaga dan keluarkan semua kepandaian kalian! Mulailah!" kata Bhagawan Jaladara.
Sungguh pun merasa direndahkan karena harus mengeroyok seorang pemuda, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda tidak berani membantah, tetapi diam-diam mereka mengambil keputusan untuk cepat merobohkan pemuda sombong itu.....
Komentar
Posting Komentar