PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-30


Namun dengan sikap tenang sekali Priyadi menarik bagian tubuh atasnya ke belakang sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong. Akan tetapi pada detik berikutnya, tamparan tangan kanan Ki Baka Kroda sudah menyambar ke arah lebernya. Walau pun tubuhnya pendek kecil, namun Ki Baka Kroda dapat menggerakkan tangannya yang kecil itu dengan tenaga yang sangat dahsyat, serangan itu tidak kalah berbahaya dibandingkan serangan Ki Warok Petak tadi, bahkan datangnya lebih cepat lagi.

Priyadi melihat betapa cepat gerakan Ki Baka Kroda, juga serangan Ki Warok Petak tadi cukup berbahaya. Dia tidak dapat melindungi dirinya hanya dengan mengelak saja, maka dia pun menggerakkan tangan kirinya menangkis sambaran tangan kanan Ki Baka Kroda yang menamparnya.

"Wuuuut...! Dukkkk!"

Tangkisan yang dilakukan Priyadi mengandung tenaga Aji Margopati yang demikian kuat sehingga tubuh Ki Baka Kroda terpental dan terdorong ke belakang sehingga terhuyung-huyung! Pada saat itu serangan Ki Warok Petak sudah datang lagi, dengan tamparan tangan kanan ke atah pelipis Priyadi sementara tangan kirinya menyambar dalam bentuk cengkeraman ke arah dada. Serangan berganda yang hebat sekali.

Namun Priyadi yang telah membuat Ki Baka Kroda terhuyung itu menghadapinya dengan tenang saja. Kali ini dia tidak mengelak, akan tetapi tamparan tangan Ki Warok Petak itu ditangkisnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyambar dan menangkap pergelangan tangan kiri lawan yang tangannya mencengkeram ke arah pundaknya itu.

"Plakk! Plakk!"

Tamparan Ki Warok Petak itu tertangkis dan tahu-tahu tangan kirinya telah ditangkap oleh Priyadi sehingga dia tidak mampu bergerak.

Ki Warok Petak mengerahkan tenaga untuk merenggut lepas tangannya yang tertangkap, tetapi tak berhasil. Tangan Priyadi yang menangkap pergelangan lengan itu seperti jepitan baja saja. Ki Warok Petak menjadi penasaran. Dia terkenal dengan tenaga badaknya, bagaimana mungkin kini tangannya dipegang oleh seorang pemuda dan dia tidak mampu merenggutnya lepas? Dia mengerahkan lagi seluruh tenaganya dan membetot, dan pada saat itu pula Priyadi melepas tangkapannya sambil mendorong dengan kuatnya.

Tanpa dapat tertahankan lagi tubuh KI Warok Petak terlempar ke belakang lalu terbanting keras ke atas tanah, di dekat tubuh Ki Baka Kroda yang tadi telah roboh terlebih dulu!

Dua orang jagoan itu terkejut bukan main. Baru beberapa gebrakan saja mereka berdua sudah dapat dirobohkan oleh pemuda itu! Mereka menjadi penasaran sekali dan mereka merangkak bangkit sambil meraba gagang senjata mereka. Ki Warok Petak meraba gagang golok yang menempel di punggungnya sedangkan Ki Baka Kroda meraba gagang kerisnya. Akan tetapi mereka tidak berani mencabut senjata sebelum mendapat perkenan Bhagawan Jaladara, maka mereka hanya meraba gagang senjata sambil memandang ke arah sang bhagawan.

Bhagawan Jaladara sendiri terbelalak heran dan hampir saja dia tidak dapat mempercayai penglihatannya sendiri. Mungkinkah dua orang pembantunya yang tangguh itu dirobohkan Priyadi hanya dalam beberapa gebrakan saja? Bagaimana mungkin ini? Ataukah hal itu hanya kebetulan saja karena kedua orang pembantunya memandang rendah dan kurang berhati-hati?

Melihat dua orang pembantunya meraba gagang senjata dan memandang kepadanya dia pun lalu mengangguk. Biarlah mereka menguji Priyadi karena dia pun ingin sekali melihat apakah pemuda ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga pemuda ini berani bersumbar untuk mengalahkan Bhagawan Sindusakti.

"Priyadi, keluarkanlah senjatamu untuk melawan senjata mereka!" Dia berteriak kepada pemuda itu.

Akan tetapi Priyadi memandang ke arah kedua orang lawannya itu sambil tersenyum dan menggeleng kepalanya. Tentu saja kini dia sudah dapat mengukur tingkat kepandaian dua orang pengeroyoknya itu dan merasa sanggup untuk mengalahkan mereka walau pun mereka berdua menggunakan senjata dan dia sendiri bertangan kosong.

"Paman berdua boleh menggunakan senjata, akan kuhadapi dengan tangan kosong saja. Silakan!" katanya sambil tersenyum dan berdiri tegak di depan kedua orang itu.

Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda menjadi marah bukan main. Wajah mereka berubah kemerahan karena sekali ini mereka benar-benar merasa dipandang rendah sekali oleh seorang pemuda. Namun karena mereka harus mengakui bahwa dengan bertangan kosong mereka sudah kalah, keduanya melupakan rasa malunya dan mencabut senjata masing-masing.

"Bocah sombong, jangan sesalkan kami kalau nanti engkau tewas di ujung senjata kami!" bentak Ki Warok Petak.

"Sambutlah ini, bocah sombong!" Ki Baka Kroda berseru dan kedua tangannya bergerak bergantian.

Mendadak tiga sinar menyambar ke arah Priyadi! Ternyata jagoan yang kecil pendek itu telah mempergunakan tiga batang cundrik terbangnya yang kini menyambar berturut-turut ke arah tubuh Priyadi. Yaug dijadikan sasaran, adalah leher, dada, dan perut!

Priyadi sama sekali tidak mengelak dari sambaran tiga batang cundrik terbang itu. Dia hanya menggerakkan kedua tangannya dengan cepat sekali dan tahu-tahu tiga batang cundrik itu sudah ditangkapnya, dua dengan tangan kanan dan satu dengan tangan kiri. Sambil tersenyum dia lalu membuang tiga batang senjata rahasia itu ke atas lantai hingga menimbulkan suara berdencing. Dia lalu memandang kepada dua orang lawannya sambil tersenyum.

Ki Warok Petak mengeluarkan suara menggereng seperti seperti harimau luka. Tiba-tiba tubuhnya telah melompat ke depan dan dia langsung menerjang Priyadi dengan bacokan goloknya. Ki Baka Kroda juga bergerak ke depan sambil menggerakkan keris di tangan kanannya untuk menyerang.

Akan tetapi tiba-tiba mereka kehilangan pemuda yang mereka serang. Demikian cepatnya gerakan Priyadi yang menggunakan Aji Tunggang Maruto sehingga tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu telah hinggap di belakang dua orang pengeroyoknya. Dia berdeham seperti memberi tanda kepada kedua orang lawannya yang tampak bingung kehilangan dia. Dua orang jagoan Wirosobo itu cepat memutar tubuh dan melihat Priyadi ternyata telah berdiri di belakang mereka, keduanya lalu menyerang lagi dengan dahsyat dan cepat.

Priyadi ingin memperlihatkan kesaktiannya di hadapan Bhagawan Jaladara, maka dia lalu mengerahkan Aji Tunggang Maruto. Tubuhnya berkelebatan dengan cepat menyelinap di antara gulungan sinar golok dan keris lawan yang menyambar-nyambar.

Dua orang jagoan Wirosobo itu menjadi penasaran sekali karena ke mana pun senjata mereka menyerang selalu mengenai tempat kosong belaka, tak pernah dapat menyentuh tubuh Priyadi!

Bhagawan Jaladara terbelalak kaget dan kagum. Dari mana Priyadi mendapatkan semua ilmu itu? Dia sendiri akan berpikir dua kali untuk menghadapi pengeroyokan Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang bersenjata itu dengan tangan kosong saja. Akan tetapi pemuda itu agaknya malah dapat mempermainkan kedua orang pengeroyoknya!

"Roboh!" tiba-tiba terdengar bentakan suara Priyadi.

Mendadak tangannya yang kiri membuat gerakan membacok, dengan tangan miring dia memukul dan tepat mengenai pergelangan tangan kanan Ki Warok Petak. Keras sekali pukulan ini sehingga Ki Warok Petak berseru dan goloknya terlepas dari pegangan. Pada saat itu kaki Priyadi mencuat dalam tendangan yang mengenai perut Ki Warok Petak.

"Bukk...!" Tubuh Ki Warok Petak terjengkang dan terlempar lalu jatuh terbanting ke atas lantai.

Ki Baka Kroda merasa mendapat kesempatan. Dia cepat menerjang maju dari samping dan menusukkan kerisnya ke arah lambung Priyadi. Akan tetapi dengan cekatan sekali Priyadi memutar tubuh ke kanan, menangkap pergelangan tangan yang memegang keris itu lalu menekuknya dan selagi mereka bersitegang mengadu tenaga, Priyadi mengangkat lutut kirinya, Dengan sentakan tiba-tiba tekukan lututnya mengenai perut Ki Baka Kroda.

"Ngekk...!" Ki Baka Kroda terjengkang dan roboh pula.

Dua orang jagoan itu sudah jelas kalah, akan tetapi mereka masih merasa penasaran. Mereka seolah-olah tak percaya bahwa mereka berdua yang bersenjata dapat dikalahkan pemuda itu. Dengan wajah geram mereka merangkak bangkit.

Bhagawan Jaladara segera bangkit dari tempat duduknya, mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru.

"Cukup! Kalian berdua mundurlah!"

Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda terpaksa mengundurkan diri dengan wajah berubah kemerahan. Selama hidup baru sekali ini mereka merasa kecil dan tidak berguna.

"Paman Bhagawan Jaladara, apakah kini paman sudah percaya akan kemampuanku?" tanya Priyadi sambil tersenyum.

"Engkau memang hebat, Priyadi. Akan tetapi untuk menerimamu sebagai sekutu, aku sendiri harus mengujimu lebih dulu. Aku akan menyerangmu dengan kekuatan Aji Gelap Musti. Sambutlah agar aku dapat mengukur tenaga saktimu!"

Sang Bhagawan itu lalu merendahkan tubuhnya dan dia mengerahkan tenaga Aji Gelap Musti, lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Priyadi. Angin pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah Priyadi.

Pemuda ini sudah siap. Dia pun menggunakan Aji Gelap Musti untuk menandingi paman gurunya, menyambut serangan dengan tenaga sakti itu dengan dorongan kedua telapak tangannya.

"Syuuuttt...! Dess...!"

Dua tenaga sakti bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Bhagawan Jaladara terdorong mundur sampai lima langkah sedangkan Priyadi masih berdiri tegak!

Bhagawan Jaladara hampir tidak percaya. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa pemuda itu mempunyai tenaga sakti yang jauh lebih kuat dari pada tenaga saktinya! Akan tetapi dia belum yakin benar. Dia harus menguji sampai dia yakin benar bahwa pemuda ini memang sakti mandraguna dan boleh diandalkan.

Sekarang di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda sudah disuruh mengundurkan diri keluar dari ruangan itu.

"Priyadi, coba engkau menyerangku dengan ajimu yang paling tinggi. Aku ingin mendapat keyakinan bahwa engkau memang berharga untuk menjadi sekutuku!" katanya sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang dan dia mengerahkan tenaga saktinya untuk menjaga diri, bahkan mengerahkan Aji Kawoco, yaitu aji kekebalan yang dapat membuat tubuhnya seolah terlapis baja.

"Paman Bhagawan, bersiaplah. Aku menyerang dengan Aji Margopati!" seru Priyadi.

Dia pun menerjang dengan aji pukulan yang amat ampuh itu yang dipelajarinya dari Resi Ekomolo. Tapi karena dia membutuhkan Bhagawan Jaladara yang dapat dia manfaatkan untuk meraih cita-citanya, maka dia tidak mengerahkan segenap tenaganya melainkan membatasi agar jangan sampai membunuh bhagawan itu.

"Wuuuutttt...! Blarrrr...!"

Bhagawan Jaladara merasa seolah-olah dirinya disambar geledek. Walau pun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan, bahkan telah melindungi tubuhnya dengan Aji Kawoco, tetap saja dia merasa seluruh tenaganya seperti lenyap dan tanpa dapat dipertahankan lagi tubuhnya terkulai roboh!

"Paman! Engkau tidak apa-apa...?" Priyadi lari menghampiri dan membantunya bangkit berdiri.

Untung Priyadi membatasi tenaganya, kalau tidak, keampuhan Aji Margopati tentu telah merenggut nyawa Bhagawan Jaladara. Bhagawan itu bangkit dengan tubuh lemas dan dia dituntun oleh Priyadi sehingga dapat duduk kembali di atas kursinya. Dia memejamkan kedua matanya, mengatur pernapasan sejenak. Setelah guncangan dalam dadanya mulai tenang barulah dia membuka matanya dan memandang kepada pemuda itu dengan penuh keheranan.

"Priyadi, sekarang aku percaya kepadamu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat memiliki kesaktian seperti itu? Aji Gelap Musti yang kau kerahkan tadi dahsyat bukan main dan tenaga pukulan terakhir tadi aji apakah itu dan dari siapa engkau mempelajarinya?"

Priyadi tidak ingin membuka rahasia Resi Ekomolo, maka dia tersenyum dan menjawab, "Secara kebetulan aku menemukan kitab-kitab kuno dan dari kitab-kitab itulah aku belajar semua aji kesaktian tadi, paman. Bagaimana pendapat paman tentang usulku tadi? Ingat, paman. Paman mempunyai seorang musuh yang amat tangguh, yaitu Sutejo dan kiranya hanya akulah seorang yang akan mampu menandinginya. Kalau aku sudah menjadi ketua Jatikusumo dan memegang Pecut Bajrakirana, bergabung dengan paman dan dengan dua orang sakti yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo, membunuh Sutejo merupakan hal yang amat mudah bagiku. Dan dengan kekuatan kita bersama, kita pasti akan mampu menghancurkan Mataram! Kadipaten Wirosobo akan menjadi jaya!"

Bhagawan Jaladara mengangguk-angguk. "Aku percaya padamu, Priyadi. Akan tetapi aku belum yakin akan maksud baikmu sebelum aku melihat engkau merampas kedudukan sebagai ketua Jatikusumo. Setelah engkau menjadi ketua barulah aku akan menyerahkan Pecut Bajrakirana kepadamu."

"Baik, paman. Aku akan membuktikan janjiku, akan tetapi kalau saatnya sudah tiba, aku mengharapkan bantuan paman, selain untuk menjadi saksi, juga untuk membantu kalau-kalau aku menghadapi pengeroyokan."

"Aku setuju. Kalau saatnya tiba, kau beri-tahukan padaku dan aku akan membawa para pembantuku untuk membantumu. Priyadi."

"Kalau begitu aku mohon pamit, paman. Aku akan menghubungi kedua orang sakti yang kuceritakan tadi, yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo untuk mengajak mereka agar dapat bergabung dengan kita."

Kemudian Priyadi meninggalkan Kadipaten Wirosobo. Sesudah keluar dari Kadipaten, dia melakukan perjalanan cepat sekali, langsung menuju ke tempat tinggal Sekarsih.

Sekarsih menyambut kedatangannya dengan gembira karena wanita itu sudah amat rindu kepadanya. Sesudah keduanya melepaskan kerinduan masing-masing, Priyadi bertanya tentang tugas yang diserahkan kepada wanita kekasihnya itu.

"Bagaimana hasilnya usahamu menghubungi dan membujuk Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo untuk bekerja sama dengan aku Sekarsih?”

"Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, mereka ingin melihat dulu orang macam apa yang mengajak mereka untuk bekerja sama. Mereka ingin melihat dulu kemampuanmu untuk mempertimbangkan apakah engkau pantas untuk menjadi sekutu mereka."

"Hemm, mereka tidak percaya kepadaku! Apakah engkau belum bercerita kepada mereka akan kemampuanku?"

"Sudah, Priyadi. Tetapi orang-orang seperti mereka itu bagaimana dapat mempercayai sesuatu kalau mereka belum membuktikan sendiri?"

"Baiklah! Aku akan memperlihatkan kemampuanku kepada mereka. Di manakah mereka sekarang?"

"Sekarang mereka berdua berada di padepokan Resi Wisangkolo yang berada di Lembah Kali Brantas."

"Mari kita ke sana. Sekarsih."

Pada hari itu juga keduanya lalu berangkat menuju Lembah Brantas. Mereka melakukan perjalanan berdua dan bersenang-senang di sepanjang perjalanan.....

********************

Pondok yang berada di tepi Kali Brantas itu cukup besar, terbuat dari pada kayu jati yang kokoh kuat. Pondok itu berdiri terpencil di tepi kali itu, jauh dari pedesaan. Suasana di situ sepi sekali. Pondok itu menghadap ke sungai dan di kanan kiri dan belakang pondok itu terdapat ladang yang cukup luas dan subur. Empat orang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun sedang bekerja di ladang. Mereka adalah para cantrik yang membantu Sang Resi Wisangkolo yang bertempat tinggal di pondok itu.

Pada pagi hari yang sangat cerah itu Resi Wisangkolo duduk di ruangan depan, ditemani adik seperguruannya, yaitu Ki Klabangkolo. Dua orang kakek ini duduk di atas tikar sambil menghadapi meja rendah di mana terdapat hidangan ketela rebus dan air teh panas. Namun wajah kedua orang kakek sakti Itu tampak termenung dan keruh. Mereka berdua masih merasa penasaran dan mendongkol sekali karena teringat akan kekalahan mereka melawan Sutejo di perguruan Jatikusumo beberapa waktu yang lalu.

Setelah kedua orang kakek itu makan beberapa potong ketela dan minum beberapa teguk air teh. Ki Klabangkolo menghela napas dan berkata,

"Aku masih penasaran dan tidak mengerti akan kegagalan kita di perguruan Jatikusumo itu, Kakang Resi. Sudah jelas bahwa para murid Jatikusumo memiliki kedigdayaan yang biasa-biasa saja. Murid kepala yang terpandai adalah Maheso Seto. Memang aku pernah kewalahan menghadapi pengeroyokan yang dilakukan Maheso Seto dan isterinya yang bernama Rahmini itu. Tetapi ketika mereka maju satu lawan satu, aku dapat mengalahkan mereka tanpa banyak kesukaran. Dari mana datangnya pemuda bernama Sutejo itu yang memiliki kesaktian yang demikian hebat? Sungguh aku tidak mengerti!"

Resi Wisangkolo menarik napas panjang. "Aku pun merasa amat heran, Adi Klabangkolo. Belum pernah selama hidupku aku bertemu lawan yang demikian tangguh, padahal dia masih begitu muda. Semua kekuatan sihirku dapat dia punahkan. Ilmu silat simpananku juga dapat dikalahkannya, bahkan ajiku Guntur Bumi dan Guntur Geni dapat dia lawan sehingga aku sampai terluka. Luar biasa sekali dan sukar untuk dipercayai"

"Kurasa dia bukan murid Jatikusumo, Kakang Resi."

"Tetapi dia dapat menggunakan Aji Gelap Musti yang merupakan aji aliran Jatikusumo, hanya tenaganya luar biasa kuatnya. Dia tentu murid Jatikusumo."

"Akan tetapi, ketika menghadapi seranganmu yang terakhir, dia menggunakan aji yang disebutnya Aji Bromokendali. Aji ini tentu bukan milik Jatikusumo.”

"Siapa pun adanya dia, pemuda itu merupakan lawan yang berbahaya sekali. Lain kali kalau bertemu lagi dengannya, kita harus maju berdua. Kalau kita maju berdua, aku yakin pasti kita akan mampu membunuhnya," kata Resi Wisangkolo dengan penasaran.

"Kakang Resi, aku masih merasa heran dan menduga-duga siapa orangnya yang hendak diperkenalkan kepada kita oleh Sekarsih. Menurut Sekarsih, dia adalah seorang pemuda murid Jatikusumo, akan tetapi mengapa dia mengajak kita untuk bergabung dan bekerja sama membantu Kadipaten Wirosobo?"

"Hemm, kita lihat saja nanti orang macam apa adanya dia. Kita sudah melihat bahwa kepandaian para murid Jatikusumo tidak seberapa tinggi, akan tetapi mengapa Sekarsih mengatakan bahwa kepandaian orang itu tinggi sekali?"

“Tadinya aku menyangka dia adalah Sutejo yang pernah mengalahkan kita, akan tetapi ternyata bukan. Sekarsih mengatakan bahwa pemuda itu bernama Priyadi dan katanya memiliki kesaktian yang luar biasa."

Percakapan mereka berhenti ketika mereka melihat Sekarsih memasuki pekarangan itu bersama seorang pemuda yang tampan dan gagah. Karena yang datang adalah Sekarsih, murid Ki Klabangkolo, dan seorang pemuda, maka dua orang tokoh sakti itu tidak bangkit dari tempat duduknya, hanya memandang dengan sinar mata penuh selidik.

Sekarsih adalah seorang wanita yang aneh dan berwatak liar, apa lagi di samping sebagai seorang murid, dia pun dapat dibilang menjadi kekasih gurunya sendiri, maka dia biasa bersikap terbuka terhadap gurunya, sama sekali tidak bersikap menghormat sebagaimana seharusnya sikap seorang murid terhadap gurunya. Bahkan terhadap Resi Wisangkolo yang masih terhitung uwa gurunya dia bersikap biasa-biasa saja. Melihat kedua orang kakek itu duduk menghadapi meja, Sekarsih juga mengajak Priyadi duduk di atas lantai bertilam tikar pandan itu. Priyadi duduk bersila dan Sekarsih duduk bersimpuh.

"Bapa Guru dan Uwa Guru, aku datang untuk memperkenalkan pemuda yang pernah kuceritakan tempo hari. Inilah dia Priyadi, murid perguruan Jatikusumo itu!" Sekarsih memperkenalkan dengan suara mengandung kebanggaan mengingat bahwa pemuda yang diperkenalkannya itu adalah kekasihnya.

Dua orang kakek itu mengamati wajah Priyadi dan mereka berdua meragukan kebenaran keterangan Sekarsih. Pemuda ini masih muda, paling banyak dua puluh enam tahun usianya. Bagaimana seorang semuda itu mengajak mereka berdua untuk bekerja sama? Apa lagi hanya seorang murid perguruan Jatikusumo! Akan tetapi karena dia teringat akan Sutejo, seorang lain yang bahkan lebih muda namun telah dapat mengalahkan dia, Ki Klabangkolo bersikap hati-hati dan bertanya dengan suaranya yang besar.

"Anak mas. engkau ingin bertemu dengan kami, apa yang hendak kau bicarakan?"

Priyadi tersenyum dan sikapnya tenang sekali. "Mungkin Sekarsih sudah menceritakan kepada paman berdua akan maksudku. Aku mengajak paman berdua untuk bekerja sama membantu Kadipaten Wirosobo menggempur Mataram. Kalau usaha kita berhasil, maka kelak kita akan mendapatkan kedudukan tinggi dan kekuasaan sehingga kita akan hidup penuh kemuliaan dan dihormati semua orang."

"Hmm, anak mas Priyadi. Menurut Sekarsih engkau adalah murid perguruan Jatikusumo. Murid Bhagawan Sindusakti yang keberapakah engkau?"

"Aku murid ke tiga, paman." jawab Priyadi sejujurnya.

Mendengar jawaban ini, dua orang kakek itu saling pandang lalu tertawa bergelak. Priyadi hanya memandang sambil tersenyum, maklum bahwa dua orang kakek itu memandang rendah kepadanya.

"Kenapa paman berdua tertawa?” tanyanya tanpa memperlihatkan kemarahan.

"Ha-ha-ha-ha, engkau hanya murid ke tiga dari Bhagawan Sindusakti dan engkau berani mengajak kami berdua untuk bekerja sama? Orang muda, engkau tidak pantas untuk menjadi sekutu kami, bahkan menjadi pembantu kami pun masih harus dilihat dulu sampai di mana kemampuanmu."

"Paman Klabangkolo, aku telah melihat sepak terjang paman berdua di Jatikusumo tempo hari. Menurut penilaianku, kesaktian paman berdua juga terbatas, buktinya masih dapat dikalahkan oleh pemuda bernama Sutejo itu."

"Hemm, engkau merasa bahwa engkau mempunyai kesaktian yang hebat! Kalau begitu, mengapa ketika kami menyerbu Jatikusumo, engkau tidak maju menandingi kami?" tanya Klabangkolo, mukanya agak kemerahan karena diingatkan akan kekalahannya terhadap pemuda bernama Sutejo itu.

"Aku memang tidak berniat menandingi paman berdua, karena pada saat itu telah timbul niatku untuk bekerja sama dengan paman berdua, untuk menjadi kawan bukan menjadi lawan. Dan itu merupakan bukti bahwa aku benar-benar ingin bersekutu dengan paman berdua."

Sejak tadi Resi Wisangkolo hanya mendengarkan saja. Kini dia berkata dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita. "Orang muda, apakah engkau bermaksud mengatakan bahwa engkau mampu menandingi kesaktianku?"

"Kukira aku mampu, Paman Resi Wisangkolo!" kata Priyadi dengan tegas.

Jawabannya ini tentu saja mengejutkan dan membuat penasaran hati Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo.

"Babo-babo, orang muda. Hal ini perlu dibuktikan dulu. Kalau engkau mampu menahan lima kali seranganku, baru aku percaya dan barulah engkau pantas untuk bekerja sama dengan kami. Beranikah engkau menghadapi lima kali seranganku, dengan kemungkinan engkau tewas oleh seranganku?"

"Tentu saja aku berani Paman Resi!" kata Priyadi dengan gagah.

"Bagus, aku yang menjadi saksi, anak mas Priyadi. Mari kita pergi ke ruangan belakang yang lebih luas," kata Ki Klabangkolo.

Mereka berempat segera bangkit kemudian pergi ke ruangan belakang, didahului oleh Ki Klabangkolo. Hanya Sekarsih yang tampak mengerutkan alisnya karena bagaimana pun juga wanita cantik ini mengkhawatirkan Priyadi. Ia tahu betapa saktinya uwa gurunya dan tentu saja dia khawatir kalau-kalau dia akan kehilangan Priyadi yang merupakan kekasih barunya yang amat menyenangkan hatinya.

Mereka memasuki ruangan belakang yang luas.

"Kalian berdua dapat bertanding di sini!" kata Ki Klabangkolo sambil duduk di atas sebuah bangku yang berada di sudut.

Sekarsih tidak dapat menahan kegelisahan hatinya, sebab itu ia pun berkata kepada Resi Wisangkolo. "Uwa guru, saya harap uwa guru suka menahan diri agar tidak mengerahkan seluruh tenaga dan tidak mencelakai Priyadi."

Resi Wisangkolo tertawa mendengar ini. "Ha-ha-ha, kalau dia tidak berani dan takut mati, lebih baik pertandingan untuk menguji kesaktian ini dibatalkan saja dan selanjutnya tidak perlu bicara lagi tentang kerja sama!"

"Sekarsih, jangan khawatir. Aku pasti dapat menghadapi dan menahan lima kali serangan Paman Resi Wisangkolo ini,” kata Priyadi yang sudah berdiri di tengah ruangan itu dan berkata kepada calon pengujinya. "Paman Resi, aku telah siap menyambut seranganmu!"

Terpaksa Sekarsih juga mengambil tempat duduk di sudut ruangan. Kini Resi Wisangkolo telah berhadapan dengan Priyadi di tengah ruangan. Dua orang ini saling pandang seperti dua ekor ayam jago yang saling mengamati dan menilai calon lawan. Suasana menjadi hening dan amat menegangkan hati, terutama bagi Sekarsih.

Resi Wisangkolo adalah seorang pertapa yang batinnya sudah tersesat. Dia bertapa dan menguasai ilmu-ilmu tinggi bukan dengan niat untuk mencari jalan ke arah kebaikan dan kesempurnaan, melainkan untuk menjadi sarana mengejar dan mencapai kesenangan, pengumbaran nafsu-nafsunya. Sifat ini membentuk watak yang kejam dan kadang tidak mengenal peri0kemanusiaan, merasa puas kalau melihat orang lain menderita dan segala tindakannya didasari pamrih untuk menyenangkan dan memuaskan dirinya sendiri.

Sekarang menghadapi Priyadi, dia bukan sekadar hendak menguji, melainkan bermaksud untuk memperlihatkan kesaktiannya, kalau perlu membunuh pemuda itu. Jika pemuda itu sanggup menahan serangannya, tentu saja pemuda itu patut menjadi sekutunya karena hal itu akan menguntungkan dirinya.

Karena Resi Wisangkolo bermaksud untuk menyerang dengan sungguh-sungguh, maka sesudah berhadapan dengan Priyadi, diam-diam dia segera mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk melakukan penyerangan pertama dengan ilmu sihirnya!

"Priyadi, sambutlah seranganku yang pertama ini!" katanya dengan suaranya yang tinggi.

Dia lalu bersedakap melipat kedua lengan di atas dadanya sambil matanya mencorong memandang kepada Priyadi. Dari dalam dadanya keluar suara gerengan aneh dan tiba-tiba dari kepalanya keluar uap hitam yang membubung tinggi ke atas kemudian uap hitam itu bergerak membentuk bayangan seekor harimau hitam yang besar sekali!

Melihat ini. Priyadi juga sudah bersiap-siap. Dia pun cepat mengerahkan tenaga batinnya untuk menghadapi serangan pertama yang dilakukan dengan ilmu sihir itu.

"Priyadi, sambutlah!" teriak Resi Wisangkolo.

Terdengar gerengan seperti seekor harimau. Harimau hitam yang berada di atas udara itu tiba-tiba menubruk ke depan, hendak mencengkeram kepala Priyadi! Melihat ini Sekarsih menjadi pucat wajahnya dan ia menaruh punggung tangan kirinya ke depan mulut untuk mencegah mulutnya yang hendak mengeluarkan jeritan.

Priyadi yang berdongak memandang harimau hitam itu tiba-tiba saja mengeluarkan suara melengking. Lengkingan suara ini seolah menggetarkan ruangan itu. Itulah Aji Jerit Nogo yang dipelajarinya dari Sang Resi Ekomolo, jeritan yang mengandung kekuatan hebat dari tenaga saktinya.

Jeritan melengking ini seolah menghantam harimau hitam itu dan bayangan harimau itu pun membuyarl Gumpalan uap hitam itu buyar dan kacau seperti asap tertiup angin dan surut kembali memasuki kepala Resi Wisangkolo.

Resi Wisangkolo menggoyang-goyang kepalanya seperti mengusir kepeningan dan kedua lengannya yang tadinya dilipat di atas dada, kini diturunkan. Dia terbelalak memandang kepada Priyadi, seolah tak percaya bahwa pemuda itu dapat membuyarkan ilmu sihirnya dengan pekik melengking tadi. Alangkah mudahnya pemuda itu membuyarkan pengaruh sihirnya.

"Priyadi, sambutlah seranganku yang kedua," bentaknya.

Tangan kanannya lalu melepaskan kolor yang diikat pinggangnya. Dia memutar-mutar tali kolor yang panjangnya ada satu meter itu dan kolor itu berubah menjadi gulungan sinar yang mengeluarkan angin menderu-deru! Kemudian dia menerjang ke depan, gulungan sinar kolor itu menyambar dengan amat dahsyatnya ke arah Priyadi.

Sekarsih yang tadinya memandang dengan wajah berseri-seri melihat betapa kekasihnya mampu membuyarkan ilmu sihir yang mengerikan itu, kini kembali memandang ke arah Priyadi dengan khawatir. Dia sudah mengetahui kedahsyatan senjata kolor sakti dari uwa gurunya itu.

Kolor itu bukan benda biasa, bukan senjata biasa, melainkan benda yang dikeramatkan, dibawa bertapa dan sudah ‘diisi’ dengan kekuatan sihir. Biar pun hanya merupakan benda terbuat dari pada lawe, akan tetapi kalau kolor itu dipergunakan sebagai senjata oleh Resi Wisangkolo, hebatnya bukan kepalang. Batu karang sekali pun akan remuk bila dihantam kolor sakti itu, apa lagi kepala manusia.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)