PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-31


"Blarrrr...!"

Kolor itu bertemu dua buah lengan yang sangat kuatnya. Tampak asap mengepul ketika kolor itu bertemu dengan kedua lengan dan beberapa helai lawe runtuh bertebaran!

Kembali resi Wisangkolo tertegun. Pemuda itu dapat menangkis hantaman kolor saktinya dengan lengan telanjang!

"Bagus...!" Sekarsih berseru saking gembiranya.

Hal ini membuat Resi Wisangkolo merasa diejek. Wajahnya berubah merah dan dia cepat menyambar tongkatnya yang berbentuk ular hitam dan tadi diletakkannya di atas sebuah meja. Dia berdiri tegak, memalangkan tongkat ular hitamnya di depan dada lalu berkata.

"Priyadi, kau sudah mampu menyambut dua kali seranganku. Sekarang awas, sambutlah seranganku yang ke tiga!" Sesudah berkata demikian, dia lalu memutar-mutar tongkatnya di atas kepala. Bentuk tongkat lenyap berubah menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung dibarengi suara bercuitan yang amat mengerikan. Untuk ketiga kalinya Sekarsih terbelalak memandang penuh dengan kekhawatiran.

Akan tetapi Priyadi telah memperhitungkan. Ketika sinar hitam itu menyambar dahsyat ke arah kepalanya, dia pun menggunakan tangan kanannya yang terbuka untuk menyambut dengan pukulan. Karena dia tahu betapa berbahayanya tongkat ular hitam itu, dia sudah mengerahkan Aji Margopati untuk menyambutnya.

"Darrrr...!"

Terdengar suara seperti ledakan dan tongkat ular hitam itu terpental, hampir saja terlepas dari pegangan tangan Resi Wisangkolo yang cepat menahan dengan pengerahan tenaga agar tongkat itu tak sampai terlepas. Akan tetapi dia terhuyung tiga langkah ke belakang.

Melihat tongkatnya terpukul membalik, kakek itu menjadi semakin penasaran. Dia segera membuang tongkatnya ke samping hingga jatuh berkerontangan di atas lantai, kemudian dia menggerak-gerakkan kedua tangannya di udara.

"Priyadi, sambutlah seranganku yang ke empat ini." Dia lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah pemuda itu sambil membentak dengan suara nyaring.

"Aji Guntur Bumi...!"

Ruangan itu bagaikan dilanda gempa bumi ketika Resi Wisangkolo mengerahkan aji ini dan serangkum hawa yang dahsyat dan kuat sekali seperti gelombang menyerang ke arah Priyadi. Akan tetapi sejak tadi pemuda ini telah mempersiapkan diri. Dia pun cepat menekuk kedua lututnya dan mendorongkan kedua tangan ke depan menyambut sambil berseru lantang.

"Aji Gelap Musti!" Dia mengerahkan aji aliran Jatikusumo yang telah dikuasainya dengan baik itu. Bahkan setelah dia digembleng Resi Ekomolo, Aji Gelap Musti yang dikuasainya itu menjadi berlipat ganda kuatnya.

"Desss...!"

Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara. Demikian hebat benturan tenaga sakti itu sehingga terasa benar oleh Sekarsih mau pun Ki Klabangkolo. Akibat dari benturan tenaga ini, tubuh Resi Wisangkolo terhuyung ke belakang sampai tiga langkah sedangkan Priyadi yang juga terdorong, dapat mempertahankan diri dan hanya mundur satu langkah!

Resi Wisangkolo terkejut bukan kepalang dan menjadi semakin penasaran. Ajinya Guntur Bumi itu sangat hebat, akan tetapi pemuda itu mampu menandingi kekuatannya, bahkan lebih kuat dari padanya. Karena penasaran, dia menjadi marah dan untuk serangan yang terakhir, dia mengerahkan seluruh kekuatannya pada kedua lengannya.

"Hemm, sekarang sambutlah seranganku yang kelima, ini yang terakhir!" Setelah berkata demikian, dia menggereng seperti seekor harimau, kemudian dia melontarkan pukulan melalui kedua telapak tangannya sambil membentak. "Aji Guntur Geni...!"

Dari sepasang telapak tangan kakek itu mengepul asap dan hawa di seluruh ruangan itu menjadi panas sekali. Itulah pengaruh aji yang amat dahsyat ini. Hawa yang seolah mengandung api berkobar yang tidak tampak menyerbu ke arah Priyadi. Itulah Aji Guntur Geni yang dapat membakar lawan yang terlanda pukulan aji itu sehingga tubuh lawan akan terbakar sampai hangus dan dapat tewas seketika.

Akan tetapi Priyadi yang pernah melihat Resi Wisangkolo mengeluarkan aji ini pada saat menghadapi Sutejo, sudah mengerahkan aji pamungkas yang menjadi andalannya, yaitu Aji Margopati yang hebat.

"Aji Margopati...!" Serunya sambil menghantamkan kedua telapak tanganaya ke depan, menyambut serangan lawan.

"Blaarrrr...!"

Kali ini pertemuan dua tenaga sakti itu sedemikian hebatnya sehingga meja dan bangku yang berada di ruangan itu terpental seperti dilontarkan orang yang amat kuat.

Sekarsih sudah cepat memejamkan kedua matanya sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi dirinya agar isi dadanya tidak sampai terguncang oleh benturan tenaga yang demikian dahsyatnya. Juga Ki Klabangkolo langsung memejamkan kedua mata dan mengerahkan tenaga saktinya.

Tubuh Resi Wisangkolo terdorong jauh ke belakang lantas terhuyung-huyung. Wajahnya pucat dan napasnya terengah-engah. Masih untung baginya bahwa tadi Priyadi hanya menyambut dan menahan serangannya saja. Pemuda itu tidak menggunakan ajiannya untuk menyerang maka dia hanya terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan tidak mengalami luka berat dalam dadanya.

Setelah dapat menguasai dirinya, Resi Wisangkolo mengangkat kedua tangannya ke atas dan memuji. "Anak mas Priyadi, engkau hebat sekali! Aku harus mengakui bahwa engkau memang pantas untuk menjadi sekutuku dan bekerja sama denganku. Kesaktianmu telah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Dengan bekerja sama kita akan mampu menaklukkan apa saja "

"Bagus! Engkau telah lulus ujian kami, anak mas Priyadi. Duduklah dan mari kita bicara baik-baik. Sesungguhnya apakah rencanamu maka engkau mengajak kami untuk bekerja sama? Sekarsih belum menjelaskannya secara terperinci kepada kami." Ki Klabangkolo berkata dan mempersilakan Priyadi untuk duduk.

Mereka membetulkan lagi letak meja dan bangku yang tadi sempat terlempar berserakan kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja.

"Anakmas Priyadi. Perguruan Jatikusumo bermusuhan dengan kami, bagaimana mungkin sekarang engkau mengajak kami untuk bekerja sama?" tanya Resi Wisangkolo sambil menatap wajah pemuda itu dengan rasa kagum dan hormat.

"Inilah yang akan kubicarakan, Paman Resi dan Paman Klabangkolo. Sesudah paman berdua menerima usulku untuk bekerja sama, maka pertama-tama yang kulakukan adalah merampas kedudukan ketua di Jatikusumo."

"Apa? Engkau hendak menentang dan melawan gurumu sendiri, Bhagawan Sindusakti?" tanya Ki Klabangkolo dengan kaget dan heran. Biar pun dia tergolong tokoh sesat, akan tetapi mendengar ada murid hendak menentang dan melawan gurunya sendiri, ia merasa sangat heran dan terkejut sekali.

“Aku akan minta secara baik-baik supaya Bapa Bhagawan Sindusakti mengundurkan diri sebagai ketua Jatikusumo dan menyerahkan kedudukan ketua kepadaku. Tapi kalau dia menolak, apa boleh buat, aku akan menggunakan kekerasan. Untuk gerakan ini aku akan mendapat bantuan Paman Bhagawan Jaladara dan para pembantunya, dan sekarang aku mengharapkan paman berdua juga akan suka membantuku. Apa bila aku sudah menjadi ketua Jatikusumo, kita bersama akan memperluas kekuasaan dengan cara menundukkan perkumpulan-perkumpulan lain sehingga Jatikusumo menjadi sebuah perkumpulan besar yang banyak cabangnya. Dengan demikian kita dapat mengumpulkan banyak anggota dan akhirnya kita akan mengerahkan pasukan Jatikusumo untuk membantu Kadipaten Wirosobo menggempur Mataram. Apa bila gerakan Wirosobo itu berhasil dan Mataram dapat ditalukkan, kita semua tentu akan mendapatkan kedudukan yang tinggi dan mulia sebagai balas jasa."

Dua orang kakek itu mengangguk-angguk. Selama ini mereka tak pernah membayangkan kemungkinan itu. Menjadi seorang pembesar yang berkuasa dan dimuliakan! Gambaran ini amat menarik hati mereka.

"Paman berdua tentu ingat mengenai kemunculan seorang pemuda yang bernama Sutejo. Sesungguhnya dia masih terhitung saudara seperguruan atau sealiran dengan aku, akan tetapi kemunculannya itu akan menjadi penghalang bagi kita. Paman berdua juga sudah merasakan betapa sakti mandraguna pemuda itu. Agaknya yang mampu menandinginya hanyalah aku seorang. Kalau paman berdua membantuku, dengan mudah kita akan dapat membunuh Sutejo. Dia adalah seorang yang setia dan mendukung Mataram, maka akan merupakan penghalang besar dan harus dilenyapkan."

"Kami bisa mengerti dan juga menghargai niatmu untuk bekerja sama, anak mas Priyadi. Baiklah, kami siap untuk membantumu." kata Ki Klabangkolo.

"Terima kasih, paman Klabangkoko. Kalau begitu, marilah kita pergi menghadap Paman Bhagawan Jaladara di Kadipaten Wirosobo agar paman berdua dapat berkenalan dengan dia. Sesudah itu, bersama-sama kita akan pergi ke perguruan Jatikusumo dan aku akan merampas kedudukan sebagai ketua."

Dua orang kakek itu menyetujuinya dan berangkatlah mereka berempat menuju Kadipaten Wirosobo.

Tentu saja kedatangan mereka disambut gembira oleh Bhagawan Jaladara. Dia merasa senang dan beruntung sekali mendapatkan tenaga bantuan yang begitu tangguh seperti empat orang itu. Namun dia belum mau menyerahkan Pecut Bajrakirana sebelum Priyadi membuktikan kesanggupannya untuk merampas kedudukan ketua perguruan Jatikusumo. Dia lalu mengajak Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda, dan juga Tumenggung Janurmendo untuk bersama-sama empat orang itu pergi menuju ke perguruan Jatikusumo di tepi pantai daerah Pacitan, di tepi Laut Kidul.....

********************

Bhagawan Sindusakti duduk bersila di atas dipan yang berada di ruang depan rumahnya. Kakek yang usianya sudah enam puluh tujuh tahun dan rambut serta jenggotnya sudah putih semua itu tampak termenung dan murung sehingga dia tampak lebih tua dari pada biasanya. Agaknya ada sesuatu yang diresahkan oleh ketua perguruan Jatikusumo itu.

Seorang pemuda tanggung yang menjadi murid Jatikusumo, juga yang bertugas sebagai pembantu ramah tangga, datang membawa baki berisi poci dan cangkir minuman air teh. Dengan sikap hormat dia menaruh poci dan cangkir itu ke atas meja kecil di dekat dipan.

"Bapa Guru, silakan minum the," katanya dengan hormat.

Bhagawan Sindusakti melambaikan tangan. "Pergilah mencari kakak-kakakmu Maheso Seto, Rahmini, Priyadi dan Cangak Awu kemudian beri-tahukan pada mereka bahwa aku memanggil mereka untuk menghadap sekarang juga."

"Baik, Bapa Guru," kata pemuda remaja itu yang segera keluar dari ruangan itu untuk melaksanakan perintah gurunya.

Tak lama kemudian Maheso Seto, Rahmini, dan Cangak Awu memasuki ruangan itu dan mereka lalu berlutut di depan guru mereka, menyembah dan duduk bersila di atas lantai.

"Bapa Guru memanggil kami?" tanya Maheso Seto dengan hormat.

"Perintah apakah yang hendak Bapa Guru berikan kepada kami? Kami selalu siap untuk melaksanakan perintah Bapa Guru," kata Cangak Awu yang suaranya lantang.

Bhagawan Sindusakti memandang kepada tiga orang muda itu, lalu bertanya dengan suaranya yang lembut. "Mana Priyadi? Kenapa aku tidak melihat dia datang menghadap bersama kalian bertiga?"

"Bapa Guru, Kakang Priyadi sudah ada sepekan ini pergi meninggalkan perkampungan kita," kata Cangak Awu.

"Hemm, pergi? Ke mana dia pergi? Dan mengapa dia tidak pamit kepadaku?" Bhagawan Sindusakti bertanya heran. Priyadi merupakan murid yang disayangnya, dan biasanya pemuda yang wataknya lembut itu amat berbakti, ke mana pun dia pergi tentu pamit dan minta ijin dulu darinya.

"Bapa Guru, Adi Priyadi pergi tanpa pamit. Kami semua juga tidak tahu ke mana dia pergi dan kenapa pula sampai sepekan lamanya dia belum juga pulang. Akan tetapi ada urusan apakah yang hendak Bapa perintahkan kepada kami? Kami bertiga pun kiranya sudah cukup untuk dapat melaksanakan perintah bapa." kata Maheso Seto.

Sang Bhagawan menghela napas panjang. "Ahh, aku hanya ingin mengajak kalian untuk bercakap-cakap. Hatiku selalu merasa tidak enak dan resah setelah peristiwa penyerbuan Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo tempo hari. Aku tidak memikirkan mereka berdua yang sudah dipukul mundur oleh Sutejo, akan tetapi justru kemunculan Sutejo itulah yang membuat hatiku resah. Apa yang diceritakan tentang Adi Bhagawan Jaladara benar-benar membuatku merasa bingung dan khawatir, karena cerita Sutejo dan Adi Jaladara saling bertentangan. Lalu siapa di antara mereka itu yang bicara benar?"

"Memang sukar mengambil keputusan mana yang bicara benar, Bapa Guru. Mereka berdua saling menuduh sebagai pembunuh Eyang Resi Limut Manik. Akan tetapi yang jelas mereka berdua itu berpihak kepada dua kekuasaan yang saling bermusuhan. Adi Sutejo berpihak kepada Mataram dan sebaliknya Paman Bhagawan Jaladara berpihak kepada Kadipaten Wirosobo. Sikap Adi Sutejo yang mati-matian membela Jatikusumo ketika kita diserbu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo membuat hati kami para murid condong mempercayai Adi Sutejo. Tetapi tentu saja kami menyerahkan keputusannya kepada Bapa Guru. Bagaimana kalau menurut pendapat Bapa Guru?"

Bhagawan Sindusakti menghela napas panjang. "Sejak semula aku memang sudah curiga pada Adi Bhagawan Jaladara. Sukar untuk mempercayai bahwa Nini Puteri Wandansari tega mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik. Pula, aku ingat benar bahwa biar pun Bapa Guru Limut Manik tidak turun tangan sendiri membela Mataram, tetapi dalam hatinya beliau setia terhadap Mataram. Maka rasanya sangat tidak mungkin kalau Puteri Wandansari dan Sutejo yang jelas membela Mataram itu membunuhnya. Sebaliknya, Adi Bhagawan Jaladara adalah seorang yang menghambakan dirinya kepada Kadipaten Wirosobo, jadi lebih masuk akal kalau dia yang melakukan pengeroyokan dan pembunuhan terhadap Bapa Resi Limut Manik."

"Kalau saya lebih condong untuk membenarkan Adi Sutejo, Bapa Guru. Kalau pun dia tidak mau menyerahkan kitab Bajrakirana kepada Bapa, hal itu tentu karena dia menaati pesan terakhir Eyang Resi Limut Manik. Sutejo sudah membuktikan bahwa dia membela kita, membela Jatikusumo. Kalau dia mempunyai hati yang memusuhi Jatikusumo, tentu dia tidak akan mempertaruhkan nyawanya untuk membela Jatikusumo menghadapi Resi Wisangkolo yang demikian sakti mandraguna dan berbahaya," kata Cangak Awu.

"Saya juga berpendapat seperti Adi Cangak Awu, Bapa Guru. Rasanya sama sekali tidak dapat dipercaya kalau Diajeng Puteri Wandansari dan Sutejo mengeroyok dan membunuh Eyang Resi Limut Manik," kata Rahmini.

Bhagawan Sindusakti menghela napas panjang.

"Pendapat kalian memang sejalan dengan apa yang aku pikirkan. Akan tetapi kita tidak mempunyai bukti-bukti yang menunjukkan siapa sesungguhnya yang telah membunuh Adi Bhagawan Sidik Paningal dan Bapa Resi Limut Manik. Sebaiknya kita tunggu saja untuk membuktikan apakah Adi Bhagawan Jaladara betul-betul akan menyerahkan Pecut Sakti Bajrakirana kepadaku,"

Pada saat itu, seorang murid muda tergopoh-gopoh memasuki ruangan itu dan berkata, "Bapa Guru, ampunkan kalau saya mengganggu. Akan tetapi saya hendak melaporkan peristiwa yang amat aneh dan membingungkan."

"Cepat katakan saja apa yang hendak kau laporkan?" kata Bhagawan Sindusakti dengan lembut walau pun alisnya berkerut mendengar ucapan murid muda itu.

"Kakang Priyadi datang bersama serombongan orang, di antaranya juga terdapat Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kakek yang tempo hari datang menyerbu ke sini, yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo!"

Bhagawan Sindusakti dan para muridnya terbelalak, berloncatan bangkit dan Bhagawan Sindusakti berkata kepada murid-muridnya.

"Kalian tenanglah, akan tetapi harus waspada dan mari kita bersama keluar untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi."

Dengan sikap tenang Bhagawan Sindusakti melangkah keluar dari ruangan itu, diikuti oleh Maheso Seto, Rahmini, dan Cangak Awu. Karena khawatir nantinya akan terjadi hal-hal yang buruk, mereka tidak lupa mempersiapkan senjata masing-masing.

Mereka melihat Priyadi sudah berdiri di pekarangan yang luas itu, berdiri dengan tegak dan di belakangnya tampak berdiri Bhagawan Jaladara, Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda. Tumenggung Janurmendo, Ki Klabangkolo, Sekarsih dan Resi Wisangkolo! Melihat adik seperguruannya, Bhagawan Sindusakti lalu menegurnya.

"Kiranya Adi Bhagawan Jaladara yang datang. Keperluan apakah gerangan yang andika bawa datang ke sini?" Sambil bertanya, ketua Jatikusumo itu memandang ke arah Ki Klabangkolo, dan Resi Wisangkolo, akan tetapi kedua kakek itu hanya tersenyum-senyum saja, berdiri di belakang Priyadi, tidak bersikap sebagai pimpinan.

Bhagawan Jaladara tersenyum. "Kakang Bhagawan Sindusakti. Ketahuilah bahwa kami semua ini datang hanya untuk mengantarkan anak mas Priyadi. Dialah yang akan bicara denganmu."

Mendengar kata-kata adik seperguruannya ini, tentu saja Bhagawan Sindusakti menjadi heran sekali dan otomatis pandang matanya kini menyambar ke arah muridnya. Akan tetapi Priyadi menyambut tatapan mata gurunya itu dengan berani, dan sinar matanya pun mencorong penuh tantangan, sedikit pun tidak ada sikap menghormat kepada gurunya itu.

"Priyadi! Apa maksudmu? Apa yang hendak kau bicarakan dengan aku dan kalau hendak bicara, kenapa kita tidak bicara di dalam saja?" Bhagawan Sindusakti masih menyangka bahwa mungkin muridnya itu menjadi tawanan rombongan orang itu dan sekarang dipaksa untuk menghadapnya.

Tetapi sikap Priyadi bukan seperti seorang tawanan, bahkan dia tersenyum sinis. Pemuda itu bahkan tidak menjawab pertanyaan gurunya, melainkan menoleh kepada Bhagawan Jaladara dan mengulurkan tangan kanannya.

"Paman, kini tiba saatnya paman menyerahkan Pecut Bajrakirana kepadaku!"

Bhagawan Jaladara juga masih tersenyum dan kini tanpa ragu-ragu dia melolos sebatang pecut yang tadinya dilibatkan melingkari pinggangnya dan menyerahkan pecut itu kepada Priyadi. Itulah Pecut Sakti Bajrakirana!

Tentu saja Bhagawan Sindusakti menjadi makin heran melihat betapa Bhagawan Jaladara menyerahkan pecut pusaka itu kepada Priyadi. Kini Priyadi memegang pecut pusaka itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya. Dia memandang kepada Bhagawan Sindusakti, para muridnya dan semua anggota Jatikusumo yang telah berdatangan dan berkumpul di situ. Ada kurang lebih lima puluh orang murid Jatikusumo berdiri di belakang Bhagawan Sindusakti.

"Bhagawan Sindusakti dan kalian semua murid-murid Jatikusumo!" terdengar Priyadi yang biasanya bicara lembut itu kini berseru lantang.

"Lihatlah kalian apa yang kupegang ini! Kini akulah pemegang dan pemilik Pecut Sakti Bajrakirana dan aku yang berkuasa di Jatikusumo. Sebagai murid-murid Jatikusumo yang taat akan peraturan, aku perintahkan agar kalian semua berlutut menghormat Pecut Sakti Bajrakirana!"

"Priyadi!" Suara Bhagawan Sindusakti yang biasanya lembut itu sekarang terdengar keras membentak penuh kemarahan dan juga keheranan. "Apakah engkau sudah menjadi gila? Apa yang kau lakukan ini dan apa maksudmu?"

Karena melihat betapa Bhagawan Sindusakti tidak menjatuhkan diri berlutut menaati perintah yang keluar dari mulut Priyadi, maka semua murid Jatikusumo juga tidak ada yang berlutut.

"Maksudku. Bhagawan Sindusakti, bahwa mulai saat ini, akulah sebagai pemegang Pecut Sakti Bajrakirana yang berhak menjadi ketua Jatikusumo. Engkau harus mengundurkan diri dan kalau engkau dan semua murid Jatikusumo suka membantu aku, maka kalian semua akan diampuni dan selanjutnya menaati perintahku. Siapa yang membangkang dan melawan akan mati!"

Kemarahan Bhagawan Sindusakti memuncak.

"Engkau murid murtad, murid durhakn, jahanam keparat yang terkutuk!" bentaknya dan dia pun langsung menerjang kepada muridnya itu dengan maksud untuk merampas Pecut Bajrakirana yang berada di tangan Priyadi.

Akan tetapi Priyadi menyambut terjangan gurunya itu dengan tendangan kaki kirinya yang mencuat dengan cepat dan kuat sekali menyambar ke arah dada sang bhagawan.

Bhagawan Sindusakti terkejut melihat perlawanan muridnya dan cepat tangan kirinya membuat gerakan memutar untuk menangkis tendangan itu.

"Plakk!"

Tendangan itu dapat tertangkis, akan tetapi Bhagawan Sindusakti terkejut ketika merasa betapa lengannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga yang terkandung dalam tendangan muridnya yang ketiga itu sangat kuatnya. Dia kini yakin bahwa muridnya itu benar-benar hendak melawannya, maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya dan menyerang dengan sungguh-sungguh untuk merobohkan murid yang murtad itu. Dia mengerahkan Aji Harina Legawa sehingga tubuhnya berkelebatan seperti bayang-bayang cepatnya dan gerakan kedua tangannya mengandung Aji Gelap Musti yang dahsyat dan mematikan!

Maheso Seto. Rahmini dan Cangak Awu hanya menonton melihat guru mereka hendak menghajar Priyadi yang mereka anggap kurang ajar dan murtad itu. Mereka merasa pasti bahwa guru mereka akan segera dapat merobohkan Priyadi dan merampas Pecut Sakti Bajrakirana, dan mereka hanya berjaga-jaga kalau-kalau ada peserta rombongan itu yang akan membantu Priyadi.

Akan tetapi para peserta rombongan yang datang itu tidak ada yang bergerak membantu Priyadi, bahkan mereka menonton sambil tersenyum menyeringai.

Para murid Jatikusumo ini menjadi amat heran dan terkejut ketika melihat betapa Priyadi melawan guru mereka dengan gerakan yang sama, akan tetapi betapa gerakan Priyadi itu begitu cepatnya melebihi kecepatan gerakan guru mereka. Juga mereka melihat betapa setiap kali dua lengan mereka yang bertanding itu saling bertemu, tampak Bhagawan Sindusakti terdorong mundur dan terhuyung, tanda yang jelas menyatakan bahwa tenaga sakti Priyadi jauh lebih kuat dari tenaga gurunya!

Yang paling kaget dan merasa penasaran adalah Bhagawan Sindusakti sendiri. Semua ilmu yang dikuasai Priyadi adalah karena gemblengannya. Bagaimana mungkin kini dia kalah cepat dan kalah kuat dibandingkan murid ke tiga itu? Dan dari serangan yang dia lakukan terhadap Priyadi, yang semua dapat dipunahkan pemuda itu dengan elakan atau tangkisan, tahulah dia bahwa muridnya itu entah secara bagaimana sudah mendapatkan kemajuan yssg pesat sekali.

"Tar-tarr-tarrr...!"

Tiga kali pecut pusaka itu menyambar ke arah kepala Bhagawan Sindusakti dan ketua Jatikusumo ini cepat mengelak secara beruntun untuk menghindarkan diri dari ancaman serangan pecut yang amat berbahaya itu.

Kini tahulah dia bahwa Priyadi bersungguh-sungguh dalam membalas serangannya. Jelas bahwa lecutan dengan pecut itu merupakan serangan maut dan yang dapat mematikan. Karena itu, bangkit amarahnya dan Bhagawan Sindusakti lalu menyerang dengan pukulan ampuhnya, yaitu Aji Gelap Musti!

"Murid durhaka, engkau patut dienyahkan dari muka bumi!" bentaknya.

Dia pun mendorongkan kedua tangannya ke arah dada Priyadi dengan Aji Gelap Musti, dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Akan tetapi Priyadi menyambut pukulan kedua tangan gurunya itu dengan tangan kirinya saja, sambil mengerahkan tenaga Aji Margopati.

"Wuuuutttt...! Blaarrrr...!”

Dua tenaga sakti yang sangat kuat bertemu di udara dan akibatnya tubuh Bhagawan Sindusakti terjengkang. Sebelum kepala kakek itu terbanting dan membentur tanah, tiba-tiba Priyadi menggerakkan Pecut Bajrakirana.

"Tarrrr...! Tarrrr...!"

Dua kali pecut itu menyambar dan ujungnya melecut ke arah kepala Bhagawan Sindusakti yang sedang terjengkang, sekali mengenai ubun-ubun kepalanya dan yang kedua kalinya mengenai tengkuknya. Tubuh Sang Bhagawan itu terbanting roboh dan dia tidak dapat bergerak lagi karena dua kali lecutan pecut sakti itu telah merenggut nyawanya!

Bisa dibayangkan betapa kaget dan marahnya tiga orang murid kepala Jatikusumo. Sekali pandang saja mereka dapat menduga bahwa guru mereka telah tewas oleh Priyadi.

"Murid durhaka!" teriak Maheso Seto dan dia telah mencabut pedangnya lalu menyerang Priyadi dengan ganas, penuh dendam dan kemarahan.

"Jahanam busuk!" Rahmini juga menjerit dan ia pun sudah melolos cambuknya kemudian terdengarlah bunyi meledak-ledak ketika cambuknya menyerang Priyadi dengan dahsyat pula.

"Manusia iblis!" Cangak Awu juga membentak dan orang tinggi besar ini sudah maju sambil menggerakkan tongkatnya menyerang.

Melihat guru mereka tewas dan tiga orang murid kepala itu sudah mulai maju menyerang, kurang lebih lima puluh orang murid atau anggota perguruan Jatikusumo itu serentak maju dengan bermacam senjata di tangan, menyerang rombongan orang yang datang bersama Priyadi itu.

Resi Wisangkolo yang melihat Priyadi memutar pecut sakti itu untuk menangkis serangan tiga orang murid kepala Jatikusumo, segera menggerakkan tongkat hitamnya membantu Priyadi. Dia lalu berhadapan dengan Maheso Seto yang bersenjata pedang dan mereka sudah bertanding dengan seru. Priyadi dikeroyok dua oleh Rahmini dan Cagak Awu. Akan tetapi Cangak Awu segera di sambut oleh Ki Klabangkolo yang juga membantu Priyadi.

Puluhan orang anak buah Jatikusumo itu diamuk oleh Bhagawan Jaladara yanj dibantu Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda, Tumenggung Janurwendo dan Sekarsih. Lima orang ini adalah orang orang yang memiliki kesaktian, maka puluhan orang anak buah Jatikusumo menjadi kocar kacir diamuk mereka.

Pertandingan antara Maheso Seto yang melawan Resi Wisangkolo juga berat sebelah. Maheso Seto maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi Resi Wisangkolo, tetapi dia sudah menjadi nekat oleh dendam dan kemarahan melihat gurunya tewas, maka dia terus melawan sambil mengeluarkan seluruh kemampuannya dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Tapi bagaimana pun juga tingkatnya menang kalah jauh dibandingkan tingkat yang dimiliki Resi Wisangkolo. Maka, sesudah melawan secara nekat selama kurang lebih lima puluh jurus, tongkat ular hitam di tangan Resi Wisangkolo menyambar dahsyat. Maheso Seto mengerahkan tenaga dan menangkis dengan pedangnya.

"Wuuuttt...! Trakkkk...!"

Pedang itu patah menjadi tiga potong dan selagi tubuh Maheso Seto terhuyung, tongkat ular hitam sudah berubah menjadi sinar hitam yang menyambar ke arah kepala.

"Wuuuuttt...! Praakkk...!"

Tubuh Maheso Seto terguling dan dia tawas seketika dengan kepala pecah.

Ki Klabangkolo juga merupakan lawan yang terlampau kuat bagi Cangak Awu. Ketika Cangak Awu melihat robohnya Maheso Seto, dia maklum bahwa tidak ada harapan bagi pihak perguruan Jatikusumo untuk menang. Dia lalu menghantamkan tongkatnya ke arah lawan. Ki Klabangkolo terkekeh, menyambut hantaman tongkat itu dengan lengan kanan.

"Dukkkk...!"

Tongkat di tangan Cangak Awu terpental dan sebuah tendangan kaki Ki Klabangkolo mengenal perut Cangak Awu yang membuat tubuh pemuda tinggi besar itu terpental jauh. Untung dia masih sempat mengerahkan aji kekebalan Kawoco sehingga di bagian dalam perutnya tidak sampai menderita luka.

"Bukkk...!"

Dia terbanting keras dan melihat para murid atau anggota Jatikusumo banyak yang sudah bergelimpangan tewas, Cangak Awu menjadi putus asa dan dia pun segera melarikan diri karena maklum bahwa melawan terus sama dengan bunuh diri.

Rahmini masih melawan Priyadi dengan nekat. Dua orang saudara seperguruan ini sama-sama menggunakan cambuk, akan tetapi kalau cambuk di tangan Rahmini adalah senjata biasa, sebaliknya di tangan priyadi terpegang Pecut Sakti Bajrakirana!

Kalau Priyadi menghendaki, kiranya wanita cantik itu tidak akan mampu bertahan terlalu lama. Akan tetapi agaknya Priyadi tidak ingin segera merobohkan Rahmini. Semenjak batinnya menjadi budak nafsu berahi, Priyadi memandang mbakayu seperguruannya ini dengan pandang mata lain!

Kalau tadinya ia memandang wanita ini dengan rasa hormat dan sayang sebagai saudara, sekarang dia melihat kecantikan dan kemolekan yang dimiliki Rahmini, yang menggelitik nafsunya! Oleh karena inilah maka dia tidak ingin membunuh Rahmini, melainkan hendak mempermainkan kakak seperguruan yang cantik ini.

"Mbakayu Rahmini, engkau menyerah sajalah kepadaku dan hidup senang bersamaku!" berulang kali Priyadi membujuk dengan kata-kata manis merayu.

Tetapi dengan air mata bercucuran di sepanjang kedua pipinya katena melihat suaminya telah roboh dan tewas. Rahmini tidak menjawab, melainkan menyerang lebih ganas lagi dan mati-matian, tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri. Yang ada dalam hatinya hanya satu keinginan, yakni membunuh adik seperguruan yang murtad dan jahat sekali itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)