PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-32
Ujung pecut Bajrakirana melecut dengan kecepatan kilat memagut tubuh Rahmini.
"Brettt! Brettt...!"
Pakaian Rahmini pada bagian dada dan pinggang terobek oleh lecutan Pecut Bajrakirana sehingga tampaklah kulit di balik robekan kain penutup tubuh itu. Rahmini terkejut sekali, tetapi dia tidak mempedulikan bajunya yang cabik-cabik dan menyerang terus semakin ganas. Namun semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis dengan mudahnya oleh Priyadi yang kini makin sering menyerang dengan lecutan ujung pecutnya.
"Tar-tarr-tarr-tarrr...!"
Kembali ujung pecut itu merobek pakaian Rahmini sehingga kini dadanya tidak terlindung lagi!
Rahmini menggunakan tangan kirinya untuk menutupkan robekan kain pada dadanya dan terus melancarkan serangan cambuknya dengan tangan kanan. Namun semua usahanya sia-sia belaka. Ujung pecut Bajrakirana masih menari-nari dan pakaiannya dicabik-cabik sedikit demi sedikit sehingga perlahan-lahan ia ditelanjangi. Kini perutnya juga sudah tidak terlindung lagi dan pahanya juga sudah tampak.
Rahmini mulai kebingungan dan merasa terhina sekali. Ia tahu bahwa ia sengaja hendak dipermalukan dan keadaannya akan lebih mengerikan dari pada mati. Pada saat lecutan Pecut Bajrakirana merenggut kain yang terakhir sebagai penutup tubuhnya, Rahmini melompat ke dekat mayat suaminya, lalu membalikkan gagang cambuknya dan memukul ubun-ubunnya sendiri dengan gagang cambuknya.
"Prakk...!"
Ubun-ubun kepalanya pecah dan tubuh yang sudah hampir telanjang bulat itu terkulai roboh menindih mayat Maheso Seto.
Melihat ini sejenak Priyadi tercengang, tetapi dia lalu mengangkat mukanya memandang para murid Jatikusumo yang masih diamuk oleh lima orang rekannya, kemudian berseru lantang.
"Para murid Jatikusumo! Siapa yang menyerah akan diampuni dan yang melawan akan dibunuh!"
Akan tetapi, para anggota Jatikusumo yang melihat betapa guru dan para murid kepala sudah tewas, tidak ada yang mau bertekuk lutut menyerah. Mereka melarikan diri cerai berai, tidak sudi dijadikan anak buah Priyadi yang durhaka dan kejam. Kurang lebih tiga puluh orang murid Jatikusumo tewas dalam pertempuran ini dan selebihnya melarikan diri cerai berai meninggalkan perkampungan Jatikusumo.
Tertegun juga hati Priyadi melihat kenyataan ini. Dia telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua perguruan Jatikusumo, tetapi di sana tidak ada seorang pun anggota Jatikusumo! Bagaimana mungkin dia dapat menjadi ketua perkumpulan yang tidak ada anggotanya seorang pun?
Ternyata tak ada seorang pun bekas murid Jatikusumo yang mau menyerah kepadanya. Kini dia sudah menjadi ketua baru Jatikusumo yang memegang Pecut Bajrakirana yang merupakan pusaka perguruan Jatikasumo, akan tetapi tanpa anggota. Bagaikan seorang raja tanpa seorang pun rakyatnya!
Melihat ini, Bhagawan Jaladara yang mengerti apa yang terkandung di dalam hati Priyadi yang berwajah muram, tertawa dan berkata, "Ha-ha-ha, anak mas Priyadi. Jangan kecewa dan jangan gelisah. Ada baiknya jika seluruh anggota Jatikusumo pergi dari sini sehingga tidak ada di antara mereka yang mengandung dendam di hati tinggal di sini. Engkau dapat menghimpun anggota-anggota baru yang lebih bisa dipercaya. Jangan khawatir, aku akan mengirimkan beratus-ratus orang muda dari Kadipaten Wirosobo untuk menjadi anggota Jatikusumo yang baru!"
"Aku juga akan membantumu mengumpulkan anggota baru, Priyadi. Kita kumpulkan para orang muda, laki-laki dan wanita yang kita gembleng dan latih sehingga menjadi pasukan Jatikusumo yang tangguh." kata Sekarsih menghibur. Wanita ini merasa gembira sekali melihat betapa langkah-langkah pertama yang diambil Priyadi menuju ke tercapainya cita-cita telah berhasil dengan baik.
"Aku juga mempunyai dua puluhan orang pengikut dan aku dapat membawa mereka ke sini untuk menjadi anggota Jatikusumo, anak mas Priyadi," kata pula Ki Klabangkolo yang juga girang melihat keberhasilan Priyadi mengangkat diri menjadi ketua Jatikusumo. Dia merasa senang bekerja sama dengan pemuda yang ternyata sakti mandraguna itu.
Mendengar ucapan para sekutunya, tentu saja hati Priyadi menjadi girang sekali. "Terima kasih, aku akan menerima semua anak buah itu dan akan menggembleng mereka hingga Jatikusumo memiliki sebuah pasukan istimewa yang dapat diandalkan."
Janji Bhagawan Jaladara, Ki Klabangkolo dan Sekarsih itu segera dipenuhi dan tak lama kemudian, perkampungan Jatikusumo kembali menjadi ramai, bahkan kini memiliki anak buah yang jauh lebih banyak lagi. Kalau dulu jumlah anak buah Jatikusumo hanya kurang lebih lima puluh orang jumlahnya, kini anak buah yang dipimpin Priyadi berjumlah hampir seratus lima puluh orang! Mulailah Priyadi membentuk dan menggembleng pasukannya, dibantu dengan setia oleh Sekarsih.....
********************
Cangak Awu melarikan diri dengan menahan rasa nyeri di perutnya. Meski tadi dia sudah mengerahkan aji kekebalannya ketika Ki Klabangkolo menendang perutnya, namun tetap saja tendangan yang sangat kuatnya itu mengguncangkan isi perutnya dan dia merasa nyeri. Dengan menahan rasa nyeri dia melarikan diri. Akan tetapi hatinya lebih nyeri lagi.
Tadi dia sudah melihat betapa gurunya, Bhagawan Sindusakti dan kakak seperguruannya, Maheso Meto, telah tewas. Demikian pula banyak murid Jatikusumo bergelimpangan. Dia terpaksa melarikan diri karena dia tahu benar bahwa kalau dia melawan terus, maka dia pun akan mati.
Bukan sekali-kali dia berjiwa pengecut dan takut mati. Akan tetapi kalau dia mati pu!a, lalu siapa yang akan membalaskan sakit hati itu kelak? Dia harus tetap hidup supaya kelak dapat membalas dendam sakit hati yang besar ini kepada Priyadi! Dia melarikan diri terus tanpa hentinya, khawatir kalau-kalau Priyadi dan kawan-kawannya itu akan mengejarnya.
Sehari semalam Cangak Awu terus berlari tanpa henti dan pada keesokan harinya, pagi-pagi tibalah dia di tepi sebuah kali yang besar. Dia tidak tahu bahwa dia telah tiba di tepi Bengawan Solo yang airnya penuh karena tadi malam di daerah hulu sungai turun hujan lebat. Airnya kemerahan bercampur lumpur.
Cangak Awu sudah tidak dapat menahan rasa nyeri dan lelahnya lagi. Dia terkulai lemas di tepi sungai itu, di atas rumput yang tebal dalam keadaan setengah pingsan. Dia rebah menelentangkan dirinya dan mengeluh lirih. Perutnya terasa nyeri dan kepalanya pening.
Ketika teringat akan peristiwa yang terjadi di perkampungan Jatikusumo, membayangkan gurunya dan kakak seperguruannya, juga saudara-saudara seperguruannya yang banyak jumlahnya bergelimpangan tewas, dia mengeluh lagi dan tanpa dapat ditahan lagi dia pun menangis, merasa hatinya seperti diremas-remas!
Dia lalu teringat betapa dia terpaksa harus melarikan diri meninggalkan semua penghuni perkampungan Jatikusumo yang dibantai, tanpa berdaya menolong mereka dan tangisnya membuat dia sesenggukan dan hatinya seperti ditusuk rasanya. Cangak Awu mengeluh dan jatuh pingsan, tidak kuat menahan siksa dalam hatinya.
Cahaya matahari pagi menyinari muka Cangak Awu yang masih pingsan. Muka itu pucat. Tiba-tiba wajah yang disinari matahari pagi itu tertutup bayang-bayang hitam. Seorang wanita menghampirinya dan bayangan wanita inilah yang menutupi wajah Cangak Awu.
Wanita muda itu seorang gadis yang manis sekali dengan kulit tubuh agak kehitaman, hitam manis. Usianya kurang lebih sembilan belas tahun, tubuhnya padat ramping dan gerak geriknya gesit! Ia seorang gadis yang pemberani. Kalau gadis lain melihat seorang pria seperti mati atau tidur di situ tentu akan menjauhkan diri. Akan tetapi gadis ini malah menghampiri dan mengamati wajah laki-laki itu penuh perhatian.
"Matikah dia...?" Gadis itu menggumam seorang diri. Akan tetapi dia lalu melihat bahwa dada laki-laki itu masih bernapas, walau pun pernapasan itu lemah sekali, dan di atas kedua pipi yang pucat itu masih terdapat butir-butir air mata!
"Tertidurkah dia? Kenapa ada orang tidur di atas rumput basah seperti ini?" kembali gadis itu bicara seorang diri. Lalu ia melihat betapa baju dan celana laki-laki itu cabik-cabik.
"Ki sanak, bangunlah. Kenapa engkau tidur di sini?" Gadis itu menyentuh pundak Cangak Awu dan mengguncang-guncangnya. Pundak dan kepala itu ikut bergoyang-goyang, akan tetapi Cangak Awu yang pingsan tidak dapat terbangun.
Setelah mengguncang lebih keras dan tetap saja Cangak Awu tidak terbangun, gadis itu mengerutkan alisnya yang kecil hitam dan panjang melengkung, dan mengamati wajah Cangak Awu dengan seksama.
"Ah, jangan-jangan orang ini pingsan!" gumamnya.
Jari telunjuk kanannya lalu digerakkan menotok bawah hidung Cangak Awu, di atas bibir atas pada bagian tengahnya, lalu menepuk tengkuk pemuda itu beberapa kali. Terdengar Cangak Awu mengeluh lirih, pertanda bahwa dia telah siuman dari pingsannya. Gadis itu cepat berdiri dan mundur beberapa langkah.
Cangak Awu membuka kedua matanya dan otomatis dia menggerakkan kedua tangannya untuk melindungi matanya yang tertimpa sinar matahari pagi sehingga dia menjadi silau. Ketika pandang matanya menyapu sekelilingnya, dia melihat seorang gadis yang berdiri tak jauh dari situ, sedang memandangnya.
Cangak Awu terkejut sekali dan segera mengira bahwa wanita ini tentu seorang di antara kawan-kawan Priyadi karena dia melihat ada seorang wanita cantik datang bersama Priyadi ketika rombongan itu datang menyerbu Jatikusumo. Teringat akan ini, sekali bergerak tubuhnya sudah meloncat bangun dan berdiri menghadapi gadis itu. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan siap di pinggang, siap menghadapi serangan dan sepasang matanya menatap tajam wajah gadis hitam manis itu.
Tetapi gadis itu bahkan tersenyum melihat sikap Cangak Awu yang seperti menghadapi seorang musuh itu.
"Siapakah engkau?"
"Siapakah engkau?"
Pertanyaan yang serupa itu keluar dari dua mulut hampir bersamaan sehingga suasana menjadi lucu. Tetapi karena Cangak Awu tetap mengira bahwa wanita itu tentu seorang musuh, dia tidak merasa lucu. Gadis itu yang tertawa, menyembunyikan mulutnya di balik punggung tangannya.
Pada saat itu pula terdengar gerakan orang di belakangnya. Cangak Awu cepat memutar tubuhnya dan dia melihat belasan orang laki-laki kasar telah berdiri di hadapannya dengan sikap mengancam! Semakin keras dugaannya bahwa wanita hitam manis itu tentulah seorang musuh dan belasan orang ini tentu anak buahnya! Maka dia menjadi marah sekali dan siap untuk mengamuk.
"Kalian mau apa?!" bentaknya, ditujukan kepada belasan orang itu, juga kepada wanita hitam manis tadi.
Seorang di antara belasan orang itu, yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok, segera melangkah maju menghadapi Cangak Awu dan tertawa bergelak sambil mencabut golok dari pinggangnya dan mengamangkan golok itu kepada Cangak Awu.
"Ha-ha-ha-ha, orang muda. Kalau engkau menghadiahkan gadis manis ini kepada kami maka kami akan mengampunimu dan engkau boleh pergi dari sini tanpa kami ganggu. Nah, pergilah sebelum aku mengubah pikiranku!"
Cangak Awu terkejut. Tahulah dia kini bahwa gadis manis itu sama sekali bukan kawan-kawan belasan orang itu. Dia menoleh dan memandang heran. Gadis itu sama sekali tidak tampak ketakutan, bahkan tersenyum manis! Padahal biasanya seorang gadis yang melihat belasan orang laki-laki kasar yang jelas mempunyai sifar buruk terhadap dirinya, akan menjadi ketakutan dan menangis!
"Kalau aku tidak mau, kalian mau apa?" tantangnya sambil membusungkan dadanya yang bidang.
"Jahanam! Kalau begitu engkau akan kami bunuh dan gadis ini akan kami rampas!" kata si brewok yang agaknya menjadi pimpinan gerombolan itu dan langsung saja dia sudah menerjang maju, mengayun goloknya dan agaknya ia hendak memenggal kepala Cangak awu dengan sekali tebas!
"Wuuuuttt...!"
Golok yang mengkilap saking tajamnya itu menyambar. Cangak Awu mengelak dengan mudah dan golok itu luput tidak mengenai sasarannya.
Si brewok menjadi penasaran dan marah sekali. Dia mengayun balik goloknya yang kini menyambar ke arah pinggang Cangak Awu, agaknya dia hendak membabat putus tubuh pemuda itu menjadi dua potong! Kembali Cangak Awu mengelak, akan tetapi golok itu terus mengejarnya, dengan serangan-serangan mematikan yang cukup dahsyat. Ternyata si brewok itu memiliki kapandaian lumayan dan goloknya amat berbahaya.
Pada saat itu, empat orang anak buah gerombolan itu sudah menerjang dan mengeroyok Cangak Awu dengan golok mereka! Cangak Awu yang dikeroyok lima orang itu melompat dan bergulingan di atas tanah. Pada waktu dia melompat bangkit lagi, tangannya sudah memegang sebatang tongkat dari dahan pohon yang dia temukan di atas tanah.
Pada saat itu empat orang anak buah itu telah menerjangnya lagi dan empat batang golok menyambar ke arah tubuh Cangak Awu dari empat jurusan. Cangak Awu tidak menjadi gentar. Menghadapi pengeroyok itu, dia seperti melupakan rasa nyeri dalam perutnya, sudah lupa bahwa dia sedang terluka dalam yang cukup parah. Dia memutar tongkat kayunya dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali sehingga bentuk tongkat lenyap menjadi amat panjang yang menangkis empat batang golok itu berturut-turut.
"Trang-trang-trang-trang...!"
Empat batang golok itu terpental dan terlepas dari pegangan empat orang anak buah gerombolan itu. Cangak Awu tidak berhenti sampai di situ saja. Kedua kakinya bergantian mencuat dan menyambar ke arah empat orang pengeroyok itu.
"Des-des-des-dess...!"
Tubuh empat orang itu berpelantingan terpental dan terbanting ke atas tanah.
Melihat betapa tangguhnya Cangak Awu, belasan orang itu segera menyerbu maju dan mengeroyok. Cangak Awu tidak menjadi gentar. Bagaikan seekor banteng terluka dia lalu mengamuk. Tongkat kayunya diputar menyambar-nyambar dan menghalau semua senjata tajam yang mendekatinya.
Sementara itu, si Brewok yang melihat betapa pemuda tinggi besar yang amat tangguh itu sudah dikeroyok oleh semua anak buahnya, lalu menghampiri gadis hitam manis sambil menyeringai memperlihatkan deretan gigi besar-besar yang hitam menguning.
"Heh-heh, marilah manis, ikut dengan kakangmas! Engkau akan hidup senang. Marilah kupondong, kutimang dan kuayun ambing!” Setelah berkata demikian, si Brewok tiba-tiba menggunakan dua lengannya yang panjang untuk merangkul. Kedua tangan itu bergerak menyambar dari kanan kiri untuk menangkap pinggang yang kecil ramping dari gadis itu.
"Wuuuuttt...!"
Si Brewok terkejut sekali karena kedua tangannya hanva menangkap angin dan dengan gerakan yang lincah sekali gadis itu telah dapat mengelak dan terhindar dari terkamannya. Bukan itu saja, bahkan tiba-tiba saja dari samping gadis itu menggerakkan kakinya yang mencuat dengan cepat sekali menyambar ke arah perut si Brewok yang sama sekali tidak menyangka sehingga perutnya kena disambar tendangan kaki kiri gadis itu.
"Desss...!"
Walau pun si Brewok sudah mengerahkan kekebalannya untuk melindungi perutnya yang tertendang tadi, namun karena tendangan gadis itu mengandung tenaga dalam yang cukup kuat tetap saja perutnya terasa mulas dan dia terhuyung ke belakang.
Bukan main marahnya si Brewok ini. Dia memberi isyarat kepada sebagian anak buahnya yang mengeroyok Cangak Awu dan empat orang di antara mereka segera membantu dia mengepung gadis itu. Dia sendiri sudah mencabut goloknya dan menyerang kalang kabut.
Gadis itu dengan lincah melompat jauh ke belakang dan dia pun melihat betapa Cangak Awn terhuyung dikeroyok banyak orang itu. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang sakit dan memang sebenarnya demikian. Karena, andai kata Cangak Awu tidak sedang menderita sakit di perutnya yang terkena tendangan Ki Klabangkolo, tentu saja dia telah mengamuk dan semua pengeroyoknya itu sudah dapat dia robohkan.
"Berhenti semua! Kalian berani mati mengganggu Nogo Dento?" teriak gadis itu yang sudah meloncat ke atas sebuah batu besar lalu berdiri dengan tegak dan wajahnya yang manis itu tampak amat berwibawa.
Mendengar disebutnya Nogo Dento ini, Si Brewok dan anak buahnya terkejut dan mereka menahan gerakan senjata mereka kemudian semuanya memandang kepada gadis itu.
"Nona... kau... kau siapakah? Apa hubunganmu dengan Nogo Dento?" tanya si Brewok dengan gagap.
"Aku adalah Pusposari, murid dan anak angkat dari Ki Harjodento, ketua Nogo Dento!" jawab gadis itu.
Mendengar ini, si Brewok cepat merangkapkan kedua tangannya melakukan sembah, lalu berkata, "Maafkan kami, nona. Kami tidak tahu..." dia lalu memberi isarat kepada kawan-kawannya, "Mari kita pergi!"
Dan mereka semua lalu pergi dengan cepat dari tempat itu, menyusup ke balik pohon-pohon dan semak-semak. Cangak Awu yang tadi mengerahkan seluruh sisa tenaganya, sekarang baru merasakan kenyerian yang hebat pada perutnya. Dia memegangi perutnya lalu terkulai roboh.
Pusposari melompat dan menghampirinya, berjongkok di dekat pemuda itu.
"Engkau... sakitkah?" tanyanya.
Gadis ini tadi melihat betapa Cangak Awu mengamuk dengan hebatnya biar pun dalam keadaan sakit, maka Pusposari merasa kagum bukan main. Juga melihat betapa pemuda itu berusaha melindunginya dari para penjahat tadi sehingga mendatangkan kesan baik di dalam hatinya terhadap pemuda itu.
Mendapat pertanyaan itu, Cangak Awu mengangguk dan meringis kesakitan.
"Siapakah engkau, ki sanak? Bagaimana engkau sampai terluka?" tanya pula Pusposari. Melihat pemuda itu agak meragu untuk menjawab, ia tahu bahwa pemuda itu bersangsi karena belum mengenalnya, maka disambungnya dengan cepat. "Aku Pusposari, murid sekaligus anak angkat Ki Harjodento ketua perkumpulan Nogo Dento. Tadi engkau sudah memaksa diri untuk melindungi aku, maka aku pun ingin sekali menolongmu."
"Aku... bernama Cangak Awu... aku adalah murid perguruan Jatikusumo... aku... terkena tendangan yang ampuh sekali dan kini menderita luka dalam yang parah..." Dia terbatuk dan muntahkan darah segar.
"Ah, lukamu parah, ki sanak. Mari ikut aku pulang ke tempat tinggal kami. Ayah angkatku tentu akan dapat mengobatimu sampai sembuh. Marilah...!" Pusposari membantu Cangak Awu untuk berdiri, kemudian tanpa canggung dan rikuh lagi karena menganggap pemuda itu sebagai penolongnya, ia memapah pemuda itu melangkah perlahan-lahan dan tempat itu.
Cangak Awu yang berada dalam keadaan tersiksa rasa nyeri dan setengah pingsan itu pun tidak ingat lagi betapa dia merangkulkan sebelah lengannya pada pundak gadis itu untuk bertumpu agar tidak sampai terguling jatuh.
Keadaan Cangak Awu parah sekali. Walau pun sudah dipapah oleh Pusposari, dia harus mengerahkan seluruh sisa tenaganya dan itu pun hanya dapat membuat dia melangkah perlahan-lahan saja. Sesudah mereka tiba di depan pintu gerbang perkampungan Nogo Dento, Cangak Awu tidak kuat lagi dan dia pun roboh pingsan dan tentu telah terguling roboh kalau tidak dirangkul oleh Pusposari.
Beberapa orang anak buah Nogo Dento segera datang berlarian ketika mereka melihat Pusposari datang bersama seorang pemuda yang agaknya terluka parah.
"Gotong dia masuk, cepat!" kata Pusposari.
Empat orang murid Nogo Dento menggotong tubuh Cangak Awu yang berat itu ke dalam perkampungan Nogo Dento, didahului Pusposari yang menyuruh para murid Nogo Dento membawa tubuh Cangak Awu yang pingsan itu ke dalam rumah.
Harjodento dan isterinya, Padmosari, menyambut kedatangan anak angkat mereka itu dengan heran.
"Pusposari, siapakah pemuda ini?" tanya Padmosari heran memandang kepada Cangak Awu yang sudah dibaringkan ke atas sebuah dipan.
"Apa yang telah terjadi?" tanya pula Harjodento.
"Bapa dan Ibu, orang ini bernama Cangak Awu. Dia adalah murid perguruan Jatikusumo. Semula saya menemukannya menggeletak pingsan di tepi sungai. Ketika saya berusaha menyadarkannya, tiba-tiba saja muncul belasan orang penjahat yang hendak menangkap saya. Orang ini yang sedang menderita luka parah di sebelah dalam tubuhnya, membela saya mati-matian dan akhirnya kami berdua dapat mengusir para penjahat sesudah saya menyebut nama Nogo Dento. Setelah semua penjahat pergi, orang ini lalu kuajak pulang ke sini untuk berobat, dan setibanya di luar perkampungan kita, dia jatuh pingsan kembali. Bapa, karena dia telah menolong saya dari ancaman para penjahat, maka saya sudah membawanya ke sini agar Bapa suka mengobatinya. Salahkah tindakan saya itu, Bapa?"
Harjodento mengangguk-angguk. "Engkau tidak salah, Sari. Memang sudah semestinya kalau engkau membalas budi kebaikan orang yang diberikan kepadamu. Kau bilang tadi dia murid Jatikusumo?"
"Benar, Bapa. Demikianlah menurut pengakuannya."
Harjodento lalu membuka baju Cangak Awu dan mulai memeriksa keadaan tubuh pemuda itu. Dia kagum melihat tubuh yang kokoh kuat itu, dada yang bidang dan lengan serta kaki yang berotot. Akan tetapi setelah memeriksa keadaan perut pemuda itu, dia mengerutkan alisnya.
"Hemm, dia sudah terkena pukulan yang kuat sekali pada perutnya. Masih untung bahwa agaknya dia memiliki kekebalan maka isi perut itu tidak sampai hancur, hanya terguncang hebat. Dia memerlukan perawatan selama beberapa hari."
Harjodento lalu membuatkan racikan jamu-jamu untuk diminumkan kepada Cangak Awu, juga untuk dilumurkan pada bagian perut yang di kulitnya ada tanda menghitam bekas tendangan.
Tanpa diminta atau disuruh, Pusposari turun tangan sendiri merawat Cangak Awu. Tidak lama kemudian pemuda itu siuman, akan tetapi keadaannya sangat lemah sehingga dia harus tetap beristirahat.
Dia merasa rikuh dan juga terharu sekali melihat betapa Pusposari merawatnya, bahkan ketika dia masih belum kuat duduk, gadis itu yang menyuapinya untuk minum jamu atau makan bubur yang dimasak sendiri oleh tangan Pusposari.
Jamu yang diberikan olah Harjodento sungguh ampuh. Tiga hari kemudian Cangak Awu sudah sembuh dan tenaganya pulih kembali. Dia lalu bangkit duduk dan melihat Pusposari berada di dalam kamar itu, duduk di atas sebuah kursi, Cangak Awu cepat-cepat turun dari pembaringan.
"Eh, kakang Cangak Awu, engkau harus istirahat dulu," Pusposari berkata sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Aku telah sembuh dan sudah pulih kembali, nimas Pusposari. Aku sungguh berterima kasih sekali kepada keluargamu, terutama kepadamu yang sudah begitu baik hati untuk mengurus dan merawatku sewaktu aku sakit. Kalau aku tidak sempat membalas kebaikan hatimu, semoga Gusti Yang Maha Kasih yang akan membalasmu dengan berkah yang berlimpahan."
"Ahh, kakang Cangak Awu, mengapa bicara seperti itu? Kalau mau bicara tentang budi, engkaulah yang lebih dahulu melepaskan budi kepadaku, ketika engkau menolongku dari pengeroyokan gerombolan penjahat itu. Tanpa sengaja kita sudah saling berjumpa dan saling menolong sehingga pertolongan itu sudah bukan merupakan pertolongan lagi melainkan merupakan kewajiban antara sesama hidup antara sahabat. Bukankah begitu?"
Cangak Awu memandang dengan hati kagum. Bukan main gadis ini. Masih begini muda, paling banyak baru sembilan belas tahun usianya, cantik manis, digdaya dan mempunyai pandangan yang demikian bijaksana.
"Terima kasih, nimas. Aku merasa berbahagia sekali mendapatkan seorang sahabat sepertimu."
Pada saat itu, Harjodento dan Padmosari memasuki ruangan itu. Melihat mereka, Cangak Awu segera memberi hormat dengan sembah sambil berdiri.
"Paman dan bibi, saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan paman dan bibi yang telah menampung dan menyembuhkan saya. Paman dan bibi telah menyelamatkan nyawa saya.”
"Tidak perlu berterima kasih, anak mas Cangak Awu. Engkau juga sudah menolong dan menyelamatkan puteri kami Pusposari. Duduklah dan coba ceritakan bagaimana engkau sampai pingsan di tepi sungai itu. Ketahuilah bahwa antara Nogo Dento dan Jatikusumo pernah ada hubungan persahabatan yaitu antara aku dan gurumu Bhagawan Sindusakti ketua Jatikusumo."
Mendengar pertanyaan itu maka teringatlah Cangak Awu akan semua yang sudah terjadi, kemudian terbayanglah kembali semua peristiwa pembantaian terhadap guru dan saudara-saudaranya di Jatikusumo. Ingin dia berteriak penuh penasaran, dua tangannya mengepal tinju, giginya berkerot dan matanya bersinar-sinar, mukanya kemerahan penuh kemarahan sehingga dia tidak mampu menjawab pertanyaan itu.
"Tenangkanlah hatimu, anak mas. Jangan biarkan hatimu dikuasai nafsu amarah, karena hal itu tidak baik untuk kesehatanmu lahir batin. Sebutlah Nama Tuhan untuk memperkuat hatimu."
Mendengar ucapan yang sangat tenang dan tegas ini, Cangak Awu tersadar dan dia lalu mengusap mukanya dengan kedua telapak tangan sambil menghela napas panjang dan keadaannya sudah tenang kembali.
"Paman, mala petaka besar sudah menimpa perguruan kami. Mala petaka besar sudah terjadi dan menewaskan guru saya dan kakak seperguruan saya, bahkan mungkin semua murid Jatikusumo sudah dibantai!" Cangak Awu menahan isaknya, menahan tangis yang hendak membanjir keluar karena dia teringat akan guru dan kakak-kakaknya.
Mendengar ucapan ini, Harjodento, Padmosari dan Pusposari menjadi kaget bukan main.
"Jagad Dewa Bathara...!" Harjodento menyebut sambil berdongak, lalu memandang pada pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, "Apa yang telah terjadi di Jatikusumo, anak mas Cangak Awu?"
Setelah menghela napas tiga kali untuk merendahkan badai kemarahan yang bergolak di dadanya, Cangak Awu berkata, "Seorang kakak seperguruan saya telah murtad. Jahanam durhaka itu bergabung dengan paman guru Bhagawan Jaladara, merampas kedudukan ketua Jatikusumo. Bersama Bhagawan Jaladara dan para jagoan Wirosobo, mereka menyerang dan kami semua mengadakan perlawanan mati-matian. Saya melihat betapa Bapa Guru Bhagawan Sindusakti, Kakang Maheso Seto dan banyak murid Jatikusumo tewas dibantai orang-orang jahat itu. Melihat robohnya Bapa Guru dan Kakang Maheso Seto, maklumlah saya bahwa akan sia-sia saja kalau saya melawan terus. Saya tentu akan mati pula, oleh karena itu sesudah terkena tendangan Ki Klabangkolo, saya lalu menguatkan diri dan melarikan diri. Harap paman jangan salah mengerti. Saya lari bukan karena saya takut mati, sama sekali bukan! Saya rela mati untuk membela Jatikusumo, akan tetapi pada waktu itu saya pikir bahwa kalau saya mati, lalu siapa lagi yang akan membalaskan dendam setinggi langit ini? Saya harus hidup agar kelak bisa membalaskan kematian Bapa Guru!" Cangak Awu mengepal kedua tinjunya.
"Ahh, bagaimana sampai ada murid yang demikian murtad dan jahat?" seru Harjodento.
"Siapakah orang itu dan mengapa pula dia memberontak dan membunuh guru dan kakak-kakak seperguruannya sendiri?"
Cangak Awu menarik napas panjang. "Saya sendiri masih merasa heran, bingung dan tidak mengerti. Dia adalah Kakang Priyadi dan biasanya dia adalah seorang murid yang amat dikasihi Bapa Guru, seorang pemuda yang bersikap lembut dan baik. Saya tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia berubah menjadi seperti iblis. Dia membunuh Bapa Guru bersama teman-temannya karena dia menghendaki kedudukan ketua Jatikusumo."
"Akan tetapi mengapa pula Bhagawan Jaladara yang menjadi adik seperguruan Bhagawan Sindusakti malah membantu murid keponakannya?" tanya pula Harjodento yang merasa penasaran sekali mendengar terjadinya peristiwa itu.
"Paman Bhagawan Jaladara adalah seorang pejabat tinggi Kadipaten Wirosobo. Tadinya dia membujuk Bapa Guru untuk membantu gerakan Kadipaten Wirosobo yang hendak memberontak terhadap Mataram, akan tetapi Bapa Guru masih ragu-ragu dan sangsi."
Pusposari yang sejak tadi mendengarkan saja penuh perhatian, kini tiba-tiba bertanya,
"Kakang Cangak Awu, gurumu Paman Bhagawan Sindusakti itu adalah ketua Jatikusumo, tentu seorang yang sakti mandraguna. Bagaimana dia sampai kalah, dan dapat terbunuh oleh muridnya dan adik seperguruannya sendiri?"
"Tadi aku pun ingin mengajukan pertanyaan seperti itu," kata Padmosari. "Tentu tingkat kepandaian Bhagawan Sindusakti lebih tinggi kalau dibandingkan adik seperguruan dan muridnya, bagaimana dia sampai dapat terbunuh? Dan bukankah di sana terdapat banyak murid Jatikusumo yang dapat membela guru mereka?"
"Priyadi yang murtad itu datang dengan banyak kawannya yang kesemuanya mempunyai kesaktian. Selain Paman Guru Bhagawan Jaladara, ikut pula dalam rombongan iblis itu Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo, seorang wanita yang juga digdaya sekali, Ki Janurmendo, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, semuanya jagoan-jagoan dari Wirosobo. Terutama sekali Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo itu amat sakti sehingga tidak dapat terlawan oleh Bapa Guru. Juga si jahanam keparat Priyadi itu ternyata diam-diam telah menguasai aji-aji yang amat dahsyat, entah dari mana dia mendapatkan semua aji itu."
"Ah, sekarang aku ingat. Anak mas Cangak Awu, belum lama ini kami telah kedatangan seorang gadis yang berusaha membunuh kami. Ia ditemani seorang pemuda yang juga menyerang kami dan dari pukulannya aku mengenal Aji Gelap Musti, maka aku menduga bahwa pemuda itu tentu seorang murid Jatikusumo. Siapakah gerangan pemuda itu?"
Cangak Awu memandang Harjodento kemudian bertanya, "Paman, seperti apakah wajah pemuda itu?"
"Dia berwajah tampan gagah dengan tubuh sedang dan ada tahi lalat di dagunya."
Cangak Awu mengepal tinjunya, "Itulah dia! Si laknat Priyadi, murid yang murtad itu!"
"Akan tetapi... ketika beberapa bulan yang lalu dia membantu gadis itu datang menyerang kami, tingkat kepandaiannya tidak begitu hebat, walau pun sudah cukup tinggi sehingga merepotkan kami. Akan tetapi kami masih dapat memukul mundur mereka. Bagaimana mungkin pemuda itu mampu menandingi gurunya sendiri?"
"Entahlah, paman. Mungkin sesudah itu dia menemukan ilmu-ilmu yang dahsyat. Saya sendiri juga tidak mengerti. Akan tetapi akibat ulahnya itu, guru saya dan mungkin semua murid Jatikusumo telah dibunuhnya!"
Suasana menjadi hening, keheningan yang membuat Cangak Awu tenggelam ke dalam kesedihan. Kemudian terdengar pertanyaan Pusposari dengan suara lirih dan penuh haru dan rasa iba kepada pemuda tinggi besar itu.
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan, Kakang Cangak Awu? Ke mana engkau hendak pergi?"
Ditanya begini, Cangak Awu menghela napas, panjang. "Aku tidak tahu, nimas Pusposari, aku masih bingung. Mala petaka yang menimpa Jatikusumo telah menghancurkan hatiku membuat aku seperti kehilangan akal d»n tidak tahu apa yang harus kulakukan..."
Jawaban pemuda tinggi besar dan kokoh kuat itu demikian lemas dan menyedihkan.....
Komentar
Posting Komentar