PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-33


"Anak mas Cangak Awu, di manakah orang tuamu tinggal? Tentu engkau akan pulang ke sana, bukan?"

Pertanyaan itu seperti pisau menikam hati yang telah luka itu. Cangak Awu menundukkan mukanya dan suaranya demikian lirih sampai hampir tidak dapat didengar.

"Ayah bunda saya telah tiada. Sejak kecil saya telah sebatang kara tiada sanak keluarga. Saya diambil murid oleh mendiang Bapa Guru dan beliau yang menjadi pengganti orang tua saya. Akan tetapi sekarang beliau telah tiada pula... saya... saya kehilangan segala-galanya..."

Kembali suasana menjadi hening dan Harjodento yang berpemandangan tajam itu melihat betapa anak angkatnya, Pusposari, sepasang matanya menjadi merah seperti menahan tangisnya. Dan tiba-tiba pada saat itu sebuah gagasan timbul dalam pikirannya.

Mengapa tidak? Cangak Awu adalah seorang murid Jatikusumo, jelas bahwa dia adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan sangat baik. Tidak akan mengecewakan kalau pemuda seperti ini menjadi suami Pusposari!

"Anak mas Cangak Awu..." katanya, namun hatinya diliputi keraguan dan kesungkanan sehingga kata-katanya tertahan.

Cangak Awu mengangkat mukanya menatap wajah pendekar besar yang menjadi ketua Nogo Dento itu dan sinar matanya memandang penuh selidik.

"Ada apakah, paman?"

"Anak mas, kalau boleh kami mengetahui, apakah rencanamu selanjutnya? Apakah yang ingin kau lakukan sekarang?"

"Rencana dan keinginan saya hanya satu, paman, yaitu pergi berkelana mencari guru yang pandai untuk memperdalam ilmu kepandaian saya, kemudian saya akan kembali ke Jatikusumo untuk membalas dendam kepada si jahanam Priyadi!"

"Kalau begitu, anak mas Cangak Awu. kenapa engkau tidak tinggal saja bersama kami di sini? Di sini engkau bisa memperdalam ilmu kepandaianmu dan kami akan membantumu sedapat mungkin," kata Harjodento. Orang tua ini melihat betapa wajah puteri angkatnya sejenak bersinar dan berseri.

"Paman, saya hanya akan mendatangkan kerepotan kepada paman sekeluarga," kata Cangak Awu.

"Sama sekali tidak!" kata Padmosari. "Anak mas Cangak Awu, benar apa yang dikatakan suamiku tadi, Engkau dapat tinggal di sini dan memperdalam ilmu kepandaianmu. Biar pun ilmu aliran Nogo Dento tidak terlalu tinggi, akan tetapi kalau digabung dengan aliran Jatikusumo tentu akan menjadi ilmu. yang cukup kuat. Dan sama sekali tidak membuat kami repot kalau engkau tinggal di sini."

Cangak Awu menjadi bimbang dan dia pun menoleh kepada Pusposari. Biar pun ayah dan ibu gadis itu setuju kalau dia tinggal di situ, akan tetapi bagaimana kalau gadis itu merasa keberatan?

Agaknya pandang matanya yang mengandung pertanyaan ini bisa terasa oleh Pusposari. Dengan sikap agak tersipu gadis ini pun berkata lirih. "Aku pun akan senang kalau engkau mau tinggal di sini, Kakang Cangak Awu."

Seluruh keluarga itu telah setuju. Perasaan lega menyusup dalam bati Cangak Awu. Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, dua orang murid Nogo Dento memasuki ruangan itu dengan sikap gugup dan tegang.

"Maafkan kami kalau mengganggu, Bapa Guru ..." kata mereka gugup.

Harjodento mengerutkan alisnya. "Hmm, apakah yang telah terjadi di luar? Kalian hendak melaporkan apa? Katakanlah!"

"Bapa Guru, wanita yang dulu itu... dia datang lagi...!"

"Wanita yang mana?"

"Yang dulu menyerbu ke sini...!"

Harjodento tampak terkejut. Demikian pula Padmosari telah melompat bangkit dari tempat duduknya.

"Hemm, tentu orang yang mengaku murid Nyi Rukmo Petak dan yang hendak membunuh kita itu,” katanya kepada isterinya. "Mari kita jumpai dia."

Suami isteri itu berlari keluar. Tanpa diminta Pusposari dan Cangak Awu juga mengikuti mereka keluar. Setelah tiba di luar perkampungan Nogo Dento, mereka berempat melihat Retno Susilo dan Sutejo telah berdiri di situ.

Cangak Awu sangat heran melihat Sutejo berada di dekat seorang gadis yang menurut Harjodento dulu pernah datang hendak membunuh Harjodento dan isterinya. Akan tetapi bukankah gadis itu kabarnya ditemani oleh Priyadi? Kenapa sekarang yang menemaninya ternyata Sutejo? Di lain pihak, Sutejo juga terkejut dan heran melihat Cangak Awu berada di antara keluarga yang dimusuhi oleh Retno Susilo dan gurunya itu.

"Adi Sutejo, mau apa engkau datang ke sini?" tegur Cangak Awu.

"Kakang Cangak Awu, kenapa engkau berada di situ?" tanya pula Sutejo dengan heran.

"Hmm, engkau mengenal mereka? Katakan, engkau hendak memihak aku atau mereka?" Retno Susilo menoleh kepada Sutejo dan mengajukan pertanyaan itu dengan suara kaku.

"Ehh, tentu saja aku berpihak padamu," kata Sutejo walau pun hatinya menjadi bimbang melihat kehadiran Cangak Awu di situ.

Sekarang Retno Susilo menghadapi Harjodento dan suaranya terdengar nyaring ketika dia berkata, "Nah, Harjodento. Sekarang aku bersama kawanku ini telah datang berhadapan denganmu. Aku tantang engkau untuk melakukan pertandingan satu lawan satu! Jangan main keroyokan kalau engkau memang seorang gagah!"

Harjodento tersenyum memandang wajah Retno Susilo yang cantik jelita dan sinar matanya yang mencorong tajam itu. Diam-diam pendekar ini harus mengakui bahwa gadis itu selain cantik jelita, juga gugah berani, patut menjadi seorang pendekar wanita. Akan tetapi mengapa gadis itu diutus oleh seseorang yang tidak dikenalnya untuk membunuh dia dan isterinya?

"Nona, kami benar-benar tidak tahu mengapa engkau menantang kami untuk mengadu kepandaian. Tetapi kalau engkau menantang, tentu saja kami tidak dapat menolaknya. Kami bersedia melayani tantanganmu untuk bertanding satu lawan satu tanpa keroyokan. Akan tetapi katakan lebih dulu, sebenarnya mengapa gurumu mengutus engkau untuk membunuh kami?"

"Tidak perlu kau tanyakan. Pendeknya aku harus membunuh kalian berdua dan itu adalah tugasku sebagai seorang murid terhadap gurunya. Mari kita mulai. Siapa di antara kalian yang akan maju? Aku akan maju menandinginya dan bila aku kalah, masih ada temanku ini yang akan maju sebagai penggantiku!"

"Bapa, biar aku yang menandinginya!" tiba-tiba Pusposari berseru dan ia sudah melompat ke depan Retno Susilo.

Karena gadis itu sudah maju, Harjodento tidak dapat mencegahnya karena mencegahnya menunjukkan kelemahan di pihaknya, maka dia dan isterinya hanya memandang dengan khawatir. Sutejo yang teringat bahwa Retno Susilo memiliki aji pukulan yang ampuh dan mematikan, berkata lirih kepadanya.

"Diajeng Retno, harap jangan mudah membunuh orang."

Retno Susilo tidak menjawab, hanya memandang calon lawannya dengan alis berkerut. Dua orang gadis yang sama centil dan menariknya ini sudah saling berhadapan dan sinar mata mereka mencorong, bagaikan dua ekor singa betina yang hendak berlaga.

"Sebutkan dulu siapa namamu agar engkau tidak roboh tanpa nama!" kata Retno Susilo.

Pusposari cemberut. "Engkau yang datang mengacau, katakan dulu siapa namamu baru engkau boleh mengenal aku!"

Retno Susilo tersenyum mengejek. "Aku Retno Susilo dan sebaiknya engkau anak kecil ini jangan ikut-ikutan. Aku datang hanya untuk membunuh Harjodento dan Padmosari!"

"Hemm, ketahuilah bahwa aku Pusposari yang siap membela ayah ibuku dengan taruhan nyawa!"

"Bagus! Kalau begitu aku akan menghajarmu! Jagalah!"

"Aku sudah siap!" jawab Pusposari gagah.

"Hyaaaattt...!" Retno Susilo sudah menerjang dengan dahsyatnya.

Pusposari mengelak dari tamparan yang amat kuat itu dan dari samping ia pun membalas dengan pukulan tangan kanannya.

"Dukk!"

Retno Susilo menepis dan lengan Pusposari tertangkis, membuat gadis manis ini hampir terpelanting. Pusposari terkejut, akan tetapi ia tidak takut dan menyerang lagi dengan kuat dan cepatnya. Retno Susilo menyambutnya dan dua orang gadis ini sudah saling serang dengan seru. Akan tetapi segera dapat dinilai bahwa tingkat kepandaian Retno Susilo masih jauh lebih unggul.

"Haaaiiiit!" Tiba-tiba tangan Retno Susilo menyambar ke arah kepala Pusposari dan ketika gadis Nogo Dento ini mengelak dengan merendahkan tubuhnya, tiba-tiba kaki kiri Retno Susilo menyambar dan samping dan menyerampang, mengenai kaki Pusposari sehingga gadis ini terpelanting dan tidak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya lagi.

Pada saat itu pula Cangak Awu telah melompat maju menghadapi Retno Susilo sehingga gadis ini tidak dapat mengejar atau mendesak Pusposari yang sudah terpelanting.

"Gadis jahat! Kenapa engkau hendak membunuh orang-orang yang tak berdosa?" bentak Cangak Awu dengan sikap kereng.

"Hemm, siapa kau?" tanya Retno Susilo sambil menatap wajah pemuda tinggi besar itu.

"Namaku Cangak Awu dan aku adalah murid Jatikusumo!" jawab pemuda itu.

Retno Susilo mengerling ke arah Sutejo, akan tetapi pemuda ini hanya menonton saja dan tidak bereaksi apa-apa, maka dia pun membentak, "Engkau murid Jatikusumo, mengapa mencampuri urusanku dengan orang-orang Nogo Dento?"

"Aku adalah tamu dan sahabat mereka, tentu saja tidak dapat kubiarkan engkau berbuat sewenang-wenang di sini!" kata Cangak Awu sambil memandang ke arah Sutejo dengan sinar mata mengandung penasaran.

"Kalau begitu engkau pun perlu kuhajar!" teriak Retno Susilo dengan marah.

"Engkau yang pantas dihajar!" kata Cangak Awu.

"Keparat, terimalah ini!" bentak Retno Susilo dan gadis ini sudah menerjang maju dengan tamparan ke arah kepala.

Melihat betapa tamparan itu cukup hebat, Cangak Awu lalu mempergunakan Aji Harina Legawa untuk mengelak. Ilmu meringankan tubuh ini membuat dia dapat bergerak dengan cepat dan dia pun membalas dengan pukulan tangannya yang kokoh kuat.

Tetapi Retno Susilo dapat pula menghindarkan diri dengan mudah dari serangan balasan Cangak Awu. Mereka saling serang dengan seru, akan tetapi Sutejo dapat melihat bahwa murid Jatikusumo yang tinggi besar itu pun tidak dapat menandingi ketangguhan Retno Susilo. Gadis Itu telah memperoleh kemajuan yang luar biasa.

Akan tetapi dia menjadi terkejut ketika melihat Cangak Awu yang agaknya penasaran itu kini mempergunakan Aji Gelap Musti untuk menyerang Retno Susilo. Dia melihat betapa dengan berani gadis itu pun menyambut pukulan jarak jauh dengan dorongan telapak tangannya pula. Retno Susilo mengerahkan Aji Gelap Sewu untuk memapaki serangan lawannya.

"Wuuuuttt...! Desss!"

Akibat dua tenaga sakti yang saling berbenturan di udara itu, tubuh Cangak Awu segera terdorong dan terpelanting roboh! Pemuda ini tidak menderita luka dalam, akan tetapi tentu saja dia menjadi terkejut bukan main. Pada saat itu Padmosari sudah meloncat ke depan.

"Anak mas Cangak Awu, engkau mundurlah. Ia ingin membunuhku, maka biar aku yang menghadapinya!" bentak wanita perkasa ini.

"Bagus, Padmosari! Memang kedatanganku ini untuk menghadapi engkau dan suamimu!" kata Retno Susilo.

"Diajeng Retno, harap jangan membunuh orang!" kembali Sutejo mengingatkan gadis itu.

Akan tetapi sebelum Retno Susilo menjawab, Padmosari yang sudah marah melihat anak angkatnya dan Cangak Awu kalah, sudah maju menerjang sambil berseru. "Sambutlah seranganku!"

Serangan itu cepat dan kuat sekali, bahkan lebih cepat dari lebih kuat dari pada serangan yang tadi dilakukan Cangak Awu. Maklum bahwa lawannya ini memiliki ilmu kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang amat berbahaya, Retno Susilo juga telah mengerahkan tenaga dan kepandaiannya.

Dengan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya berkelebat cepat menghindar dari serangan lawan, kemudian dengan cepat sekali dia membalas dengan tendangan menyamping. Kakinya mencuat dan menyambar ke arah dada lawan.

Akan tetapi Padmosari yang memiliki dasar ilmu silat tinggi dan banyak pengalamannya itu pun dapat menghindar dengan cepat lalu menyerang lagi. Saling serang terjadi dan pertandingan sekali ini berjalan amat seru karena tingkat kepandaian mereka seimbang.

Akan tetapi Sutejo melihat bahwa wanita cantik isteri ketua Nogo Dento itu pun masih tidak akan mampu mengungguli kedigdayaan Retno Susilo. Dia hanya khawatir kalau Retno Susilo sampai membunuh wanita itu seperti yang dipesankan gurunya.

Harjodento juga memandang dengan hati khawatir. Gerakan kedua orang wanita itu cepat sekali dan mereka tampak seimbang, tetapi dia juga melihat betapa cepatnya gerakan gadis penyerang itu sehingga dia khawatir bahwa isterinya takkan mampu menandinginya pula. Untuk maju menggantikan isterinya, dia merasa malu. Isterinya belum lagi kalah, bagaimana mungkin menggantikannya? Tentu pihak lawan akan menganggapnya sebagal penakut. Maka dia pun mengeraskan hatinya dan hanya menonton.

Padmosari merasa kewalahan dan penasaran sebab semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis, sedangkan serangan lawan membuat dia kerepotan sekali. Mendadak dia melakukan serangan dengan dorongan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan tenaga saktinya. Itulah Aji pukulan Nogo Dento yang merupakan aji khas dari perguruan Nogo Dento.

Aji ini belum dimiliki oleh para murid. Hanya Harjodento, Padmosari dan Pusposari saja yang telah menguasai. Itu pun baru dikuasai Pusposari sekitar setengah bagian saja, ada pun Padmosari telah memiliki tiga perempat bagian. Maka pukulannya itu mendatangkan angin yang kuat menyambar ke arah Retno Susilo.

Akan tetapi Retno Susilo tak menjadi gentar dan gadis ini segera menyambutnya dengan Aji Gelap Sewu, mendorongkan telapak tangannya menyambut serangan lawannya.

"Wuuuuttt...! Desss...!"

Dua tenaga sakti bertemu di udara dan kedua orang wanita itu sama-sama terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung Ternyata tenaga mereka cukup seimbang dan hal ini membuat keduanya menjadi semakin penasaran.

Padmosari hampir tidak dapat percaya betapa seorang gadis muda seperti itu mampu menandingi tenaga saktinya. Ia melompat lagi ke depan dan kini ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang lagi dengan Aji Nogo Dento dengan keyakinan bahwa sekali ini ia tentu ak»n dapat merobohkan gadis itu.

Tetapi Retno Susilo sudah tahu akan kekuatan serangan lawan, maka dia menyambutnya dengan Aji Wiso Sarpo yang hebat! Hawa sakti yang mengandung racun ular itu keluar dari telapak tangannya menyambut pukulan lawan.

"Wuuuttt...! Bresss...!"

Sekali ini Retno Susilo hanya mundur tiga langkah, akan tetapi tubuh Padmosari langsung terjengkang dan roboh terguling-guling!

Harjodento terkejut sekali dan ia cepat melompat ke depan. Maksudnya untuk mencegah agar Retno Susilo tidak menyusulkan serangan kepada isterinya yang sudah roboh. Akan tetapi gadis itu salah mengerti. Ia mengira bahwa Harjodento akan menyerangnya, maka ia pun mendahuluinya dengan serangan Aji Wiso Sarpo sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya karena ia maklum betapa digdaya musuh gurunya ini.

Menghadapi serangan ini, Harjodento tidak ada pilihan lain kecuali menyambutnya, Dia pun mengerahkan Aji Nogo Dento yang sudah dikuasai sepenuhnya untuk menyambut pukulan Retno Susilo.

"Wuuuutttt...! Blarrr...!"

Pertemuan dua tenaga sakti kali ini demikian hebatnya sehingga getarannya terasa oleh semua orang yang berada di sekeliling tempat itu. Retno Susilo terjengkang dan roboh terguling-guling sedangkan Harjodento hanya mundur dua langkah.

Sutejo cepat menangkap lengan Retno Susilo dan membantunya bangkit. Wajah gadis itu pucat dan napasnya terengah-engah. Sutejo menepuk punggungnya dan berkata, "Cepat engkau bersila dan mengatur pemapasan, diajeng."

Retno Susilo yang maklum bahwa ia telah terluka karena pukulannya tadi membalik ketika berbenturan dengan hawa pukulan lawan, menurut. Ia segera duduk bersila di atas tanah dan mengatur pernapasannya.

"Kakangmas Sutejo, sekarang engkau majulah," katanya lirih, lalu ia memejamkan kedua matanya untuk mencurahkan perhatiannya kepada usahanya mengobati luka dalam yang dideritanya.

Sutejo mengangkat muka dan melihat bahwa Harjodento juga telah mengurut punggung isterinya dan kini Padmosari juga sedang duduk bersila di alas tanah. Kini Harjodento juga sudah bangkit berdiri dan memandang ke arah Sutejo yang melangkah menghampirinya. Mereka sudah saling berhadapan.

Melihat mereka berhadapan, Cangak Awu segera berseru kepada Sutejo. "Adi Sutejo, harap jangan berkelahi. Paman Harjodento tidak bersalah!"

"Kakang Cangak Awu, aku sudah berjanji untuk membantu diajeng Retno Susilo!" jawab Sutejo, lalu disambungnya. "Seperti engkau juga telah membantu mereka!"

"Biarlah, anak mas Cangak Awu. Seorang gagah tidak akan mundur menghadapi setiap tantangan. Orang muda, sekarang tinggal kita berdua untuk bertanding satu lawan satu. Majulah, aku telah siap!" kata Harjodento sambil menatap wajah Sutejo, pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya akan tetapi yang sikapnya mendatangkan rasa suka dalam hatinya.

"Andika sebagai golongan lebih tua, silakan mulai, paman!" kata Sutejo yang tidak dapat merasa benci kepada orang tua yang sikapnya gagah ini.

Dia tidak percaya bahwa orang seperti ini dapat melakukan perbuatan jahat. Akan tetapi karena dia sudah berjanji kepada Retno Susilo, tentu saja dia tak dapat mundur dan harus menghadapi lawan ini. Akan tetapi dia sudah mengambil keputusan dalam hatinya untuk tidak mengerahkan seluruh tenaganya ketika menghadapinya agar tidak membahayakan keselamatan Harjodento.

"Orang muda, walau pun engkau masih muda tetapi engkau datang sebagai penantang. Maka jangan sungkan lagi, mulailah!" kata Harjodento.

Sutejo terpaksa mulai dengan pertandingan itu. "Awas seranganku!" bentaknya dan dia sudah menerjang maju sambil memukul dengan telapak tangan kanannya ke arah dada Harjodento.

Ketua Nogo Dento ini mundur selangkah sambil memiringkan tubuh dan tangan kanannya membuat gerakan memutar untuk menangkis pukulan itu.

"Plaakkk...!"

Lengan Sutejo tertangkis dan Harjodento membalas dengan serangan tangan kirinya yang menampar ke arah kepala Sutejo dari samping. Serangannya datang dengan cepat dan kuatnya.

Sutejo mengerti bahwa lawannya ini memang tangguh. Hal ini dapat dilihatnya tadi betapa hanya sekali mengadu tenaga saja Retno Susilo telah dapat dirobohkan, padahal gadis itu memiliki pukulan yang mengandung hawa beracun. Sekarang melihat betapa tangkas dan cepatnya lawan membalas serangannya, dia pun mengelak ke kiri.

Dia pun menyerang lagi. Harjodento menangkisnya dan membalas. Dua orang itu segera bertanding dengan hebatnya. Gerakan mereka demikian mantap dan kuat. Semakin lama gerakan mereka menjadi makin cepat sehingga yang tampak hanya dua bayangan yang berkelebatan.

Diam-diam Hariodento terkejut sekali. Ternyata pemuda ini jauh lebih sakti dibandingkan murid Jatikusumo yang pernah membantu Retno Susilo pada waktu gadis itu pertama kali datang menantangnya. Karena pemuda itu jelas datang untuk membantu Retno Susilo yang bermaksud membunuh dia dan isterinya. maka Harjodento lalu mengerahkan seluruh tenaga dan menguras semua ilmunya untuk menangkan pertandingan itu.

Pertandingan itu memang amat hebat. Cangak Awu kagum menyaksikan pertandingan itu dan diam-diam dia membandingkan Sutejo dengan Priyadi. Siapakah yang lebih tangguh di antara kedua orang muda itu? Seperti juga Sutejo. Priyadi telah memperoleh ilmu-ilmu yang membuatnya sakti mandraguna.

Kini melihat pertandingan itu, dia pun khawatir kalau-kalau Harjodento kalah. Mungkin Sutejo tidak akan membunuh ketua Nogo Dento itu, akan tetapi bagaimana dengan gadis yang tampak garang dan galak itu? Apakah ia tidak akan membunuh suami isteri itu kalau mereka sudah kalah dan tidak berdaya? Bagaimana pun juga, kalau ada orang hendak membunuh suami isteri itu, dia akan mencegah dan membela mereka dengan taruhan nyawanya!

Setelah merasa betapa guncangan dalam dadanya sudah membaik dan rasanya tidak begitu nyeri lagi, Retno Susilo membuka matanya untuk mengikuti jalannya pertandingan itu. Ia pun kagum bukan main. Ia tahu betapa saktinya orang yang harus dibunuhnya itu. Harjodento merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi kini orang itu mendapat lawan yang seimbang!

Pertandingan yang sangat seru. Setiap kali kedua lengan mereka saling bertemu, seolah Retno Susilo dapat merasakan getaran hebat yang ditimbulkan karena pertemuan dua buah lengan itu. Saling tampar, saling jotos, saling tendang, tapi selalu dapat dihindarkan lawan dengan tangkisan atau elakan, kemudian dibalas dengan tidak kalah hebatnya.

Mereka semuanya menonton dengan hati tegang. Padmosari, Pusposari, Retno Susilo, Cangak Awu dan para murid Nogo Dento. Pandang mata mereka kabur ketika dua orang itu mengerahkan aji meringankan tubuh dan berkelebatan seperti dua ekor burung walet sedang berkelahi.

Harjodento menjadi semakin kaget dan khawatir. Dia merasa bahwa agaknya dia tidak akan mampu mengalahkan pemuda itu. Dan kalau dia sampai kalah, tentu nyawa dia dan isterinya akan terancam di tangan gadis yang hendak membalaskan sakit hati gurunya itu. Dia harus mendapatkan kemenangan, karena hanya dengan itulah maka dia akan dapat menyelamatkan nyawa keluarganya.

Akan tetapi pemuda ini demikian digdaya! Bahkan beberapa kali tamparannya menyentuh dada pemuda itu seolah-olah tidak terasa, menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki aji kekebalan yang amat kuat. Terpaksa dia harus mengeluarkan aji pamungkasnya, yaitu Aji Nogo Dento seperti yang sudah dipergunakannya terhadap Retno Susilo dan yang telah merobohkan gadis itu tadi.

Tadi, pada waktu dia menggunakan aji itu untuk menyambut pukulan gadis itu, dia hanya mengerahkan sebagian tenaganya saja. Akan tetapi menghadapi pemuda yang luar biasa tangguhnya ini, dia harus mengerahkan tenaga aji itu sepenuhnya kalau dia ingin keluar sebagai pemenang.

Setelah memperhitungkannya Harjodento lalu melangkah ke belakang, memasang kuda-kuda dan mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan Aji Nogo Dento mendorong ke depan sambil membentak nyaring.

"Aji Nogo Dento...!"

Sutejo terkejut dan maklum betapa hebatnya tenaga ini. Tadi pun Retno Susilo roboh oleh tenaga sakti ini, maka dia pun cepat mengeluarkan ajinya yang diandalkan, mendorong kedua tangan ke depan sambil membentak.

"Aji Bromokendali!"

Akan tetapi Sutejo tidak ingin mencelakai lawannya, maka dia membatasi tenaganya dan hanya dipergunakan untuk bertahan saja.

"Wuuuuttt...! Blaarrrrrr...!"

Dua tenaga sakti raksasa bertemu di udara dan akibatnya, kedua orang itu terlempar ke belakang dan terbanting keras ke atas tanah! Baik Harjodento mau pun Sutejo, keduanya muntah darah! Sutejo yang tidak mempergunakan seluruh tenaganya terguncang dadanya dan muntah darah, sedangkan Harjodento terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik demikian kerasnya sehingga dia juga muntah darah, akan tetapi keadaannya jauh lebih parah dibandingkan Sutejo. Keduanya tak mampu segera bangkit, hanya mendeprok dan menekan dada sendiri.

"Kakangmas Sutejo...!" Biar pun ia sendiri sedang terluka, Retno Susilo cepat bangkit dan berlari menghampiri Sutejo yang sudah bergerak bangkit dengan lemah, duduk bersila lalu mengatur pernapasannya.

"Bapa...!" Pusposari dan juga Padmosari juga berlari dan bersimpuh di dekat Harjodento yang masih setengah rebah, belum mampu bangkit. Cangak Awu juga berjongkok dekat ketua Nogo Dento ini.

Tiba-tiba terdengar suara terkekeh nyaring, suara tawa seorang wanita dan di situ sudah muncul Nyi Rukmo Petak!

"Heh-heh-heh-heh-heh! Harjodento dan Padmosari, sekarang mampuslah kalian! Heh-heh-hi-hi-hik, Harjodento! Engkau masih dapat mendengar suaraku?"

Harjodento dan Padmosari menoleh dan semua orang juga memandang kepada nenek itu.

"Ken Lasmi...!” teriak Harjodento dan Padmosari berbareng.

"He-heh-heh, kalian masih mengenal aku? Dan kau lihat siapa yang telah merobohkanmu, Harjodento? Siapa yang mewakili aku mengalahkanmu dan melukaimu? Siapa pemuda yang kini terluka hampir mati karena tanganmu? Heh-heh-heh-heh! Engkau saling bunuh dengan anakmu sendiri. Harjodento! Sekarang puaslah hatiku telah menghancurkan hati kalian berdua, membuat kalian berkelahi mati-matian melawan anakmu sendiri. Nah, kini bersiaplah kalian untuk mati di tanganku!"

Setelah berkata demikian, sambil tersenyum mengerikan wanita berambut putih ini sudah melompat mendekati Harjodento dan Padmosari yang sekarang sudah tak berdaya akibat menderita luka dan kedua tangannya membentuk cakar untuk membunuh suami isteri itu dengan cengkeraman maut.

Akan tetapi Pusposari dan Cangak Awu yang tidak terluka berat, cepat melompat berdiri dan kedua orang ini seperti dikomando saja sudah menerjang Nyi Rukmo Petak. Bahkan Pusposari sudah mencabut kerisnya dan Cangak Awu mendapatkan sepotong kayu yang dipergunakan sebagai senjata tongkat.

Akan tetapi Nyi Rukmo Petak bergerak dengan cepat dan kuat sekali. Tusukan keris yang dilakukan Pusposari dapat ditangkis dengan kuatnya. Jari-jari tangan yang hanya tulang terbungkus kulit itu dengan amat kerasnya mengetuk pergelangan tangan Pusposari yang memegang keris sehingga keris itu lantas terlepas dan terpental dari tangannya. Sebelum Pusposari dapat menghindar, kaki kiri Nyi Rukmo Petak menyambar dan menendang pahanya, membuat gadis itu terpelanting jauh.

Pada saat itu tongkat di tangan Cangak Awu menyambar ke arah kepala Nyi Rukmo Petak. Akan tetapi nenek ini dengan beraninya mengulurkan tangan menyambut tongkat itu, direnggutnya terlepas dari tangan Cangak Awu dan sekali dia membalikkan tongkat, bahu kanan Cangak Awu sudah dihajar keras sekali dengan tongkat itu sehingga tubuh raksasa muda ini pun terpental dan terbanting keras.

Empat orang murid Nogo Dento bergerak maju, akan tetapi sebelum mereka sempat menyerang, baru mendekat saja, kedua lengan Nyi Rukmo Petak sudah bergerak dan empat orang itu pun terpelanting keras.

Melihat ini, Sutejo yang tadinya masih duduk bersila, lalu bangkit berdiri dan berseru nyaring, ditujukan kepada semua murid Nogo Dento yang sudah bergerak hendak maju mengeroyok wanita berambut putih itu.

"Semua mundur! Biarkan aku menghadapinya!"

Biar pun dengan agak terhuyung, Sutejo menghampiri dan menghadapi Nyi Rukmo Petak. Pada saat itu Retno Susilo juga bangkit dan berdiri di samping Sutejo.

Gadis ini marah bukan main. Alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan sinar seperti bercahaya ketika ia memandang kepada gurunya. Ia kini tahu bahwa Nyi Rukmo Petak adalah Ken Lasmi, wanita yang menculik Sutejo ketika pemuda itu masih kecil, berusia tiga tahun.

Kemudian, Nyi Rukmo Petak dapat menduga bahwa Sutejo adalah anak yang diculiknya ketika Sutejo memberi-tahu bahwa dia adalah murid Sang Bhagawan Sidik Paningal yang dulu merampas Sutejo dari tangan Ken Lasmi. Karena itulah maka gurunya itu berkeras membujuk agar Sutejo membantunya menghadapi Harjodento dan Padmosari. Gurunya itu berhati keji, sengaja mengadu antara anak dan orang tuanya. Kini ia dapat menduga bahwa permusuhan antara gurunya dan ketua Nogo Dento itu, tentu kesalahannya berada di pihak gurunya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)