PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-34


"Akulah yang akan menghadapimu!" Tiba-tiba Retno Susilo membentak nyaring.

Nyi Rukmo Petak terbelalak memandang muridnya. "Apa katamu? Retno Susilo, lupakah engkau dengan siapa engkau berhadapan?"

"Aku tidak lupa! Aku berhadapan dengan seorang iblis betina yang sangat jahat! Nyi Dewi, mengingat budi kebaikan yang pernah kau limpahkan kepadaku, kunasehatkan engkau, pergilah dari sini dan jangan menganggu orang yang tidak bersalah. Kalau engkau nekat, terpaksa aku melupakan budimu dan akan melawanmu mati-matian!”

"Heh-heh-heh, engkau hendak melawanku pula? Kalau begitu engkau pun akan mampus. Kalian semua sudah terluka. Aku akan membunuh kalian semua dengan mudah. Hari ini aku akan membasmi perkumpulan Nogo Dento dan membunuh semua orang termasuk mereka yang berada di sini dan yang membelanya."

"Keparat, wanita berhati iblis! Jadi engkau kiranya Ken Lasmi yang telah menculikku dan memisahkan aku dari orang tuaku, bahkan kini mengelabui aku sehingga aku bertanding melawan orang tuaku sendiri! Iblis macam engkau ini sudah sepatutnya dienyahkan dari permukaan bumi!" bentak Sutejo.

"Engkaulah yang akan mampus lebih dulu!" Nyi Rukmo Petak berteriak dan ia pun sudah menerjang ke arah Sutejo sambil menyerang dengan menggunakan Aji Wiso Sarpo yang ganas dan dahsyat. Tampak uap hitam yang berbau amis keluar dari sepasang telapak tangannya ketika ia menyerang kepada Sutejo. Pemuda ini juga segera mengerahkan Aji Bromokendali menyambut serangan itu.

"Wuuuuttt...! Dessss!"

Biar pun tubuh Ny Rukmo Petak terpental ke belakang sampai lima langkah, tapi karena Sutejo yang sudah terluka itu hanya dapat mengerahkan tenaganya sebagian saja, maka dia sendiri pun terpental ke belakang kemudian terhuyung-huyung. Dari mulutnya kembali mengalir darah segar lagi karena lukanya yang tadi belum sembuh.

Retno Susilo membentak nyaring. "Hyaaaatttt...!"

Dan sinar kehijauan menyambar ke arah dada Nyi Rukmo Petak. Itulah pedang Nogo Wilis yang telah dicabut oleh gadis itu dan dipergunakan untuk menyerang setelah nenek itu bersama Sutejo masing-masing terpental ke belakang.

Akan tetapi Nyi Rukmo Petak yang tadi telah mengintai dan tahu bahwa muridnya itu pun telah menderita luka ketika mengadu tenaga sakti melawan Harjodento, dapat mengelak dengan mudah lalu balas menyerang muridnya dengan Aji Wiso Sarpo. Retno Susilo tidak berani menerima pukulan ampuh itu. Ia melompat ke kiri untuk menghindar.

Nyi Rukmo Petak mengejar dan kembali mengirim pukulan dengan Aji Wiso Sarpo. Dia tidak peduli akan rasa nyeri di dadanya sebagai akibat dari pertemuan tenaganya dengan Sutejo tadi. Akan tetapi Sutejo yang telah bersiap kembali, tiba-tiba maju dan menyambut pukulan yang ditujukan kepada Retno Susilo itu dengan Aji Bromokendali pula.

"Wuuuttt...! Desss...!"

Kembali Sutejo terjengkang dan terguling-guling di atas tanah. Namun Nyi Rukmo Petak juga terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat itu pula puluhan orang murid Nogo Dento dipimpin oleh Pusposari dan Cangak Awu dengan senjata di tangan, sudah maju untuk mengepung dan mengeroyok Nyi Rukmo Petak.

Nenek ini merasa kecewa sekali. Tidak disangkanya sama sekali bahwa Sutejo dan Retno Susilo yang telah terluka parah itu masih mampu menandinginya, bahkan benturan tenaga sakti Sutejo membuat dia terluka di sebelah dalam dadanya. Kini tidak mungkin lagi dia membunuh Harjodento dan Padmosari, demikian banyaknya orang yang mengeroyoknya, di antaranya Retno Susilo dan Sutejo yang merupakan lawan berat. Kini bahkan puluhan orang murid Nogo Dento siap untuk mengeroyoknya.

Maka maklumlah Nyi Rukmo Petak bahwa kaiau dia nekat, tentu dia yang akan tewas di situ. Ia lalu menggunakan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dari kepungan para murid Nogo Dento dan ia sudah melarikan diri. Hanya suara tawanya saja yang terdengar semakin jauh, suara tawa yang seperti juga suara tangis.

Sesudah wanita itu pergi, Sutejo yang menderita luka berat itu masih berdiri. Tubuhnya bergoyang-goyang dan dia memandang kepada Harjodento dan Padmosari. Suami isteri itu juga berdiri, berusaha menguatkan diri karena mereka pun menderita luka dalam yang cukup parah, memandang kepada pemuda itu dengan wajah diliputi penuh ketegangan, keraguan dan harapan. Sepasang mata Padmosari sudah menitikkan air mata, sedangkan Harjodento memandang pemuda itu seperti orang berada dalam mimpi.

Padmosari menghampiri Sutejo dengan langkah kaki gemetar. Ia memandang pemuda itu melalui genangan air matanya dan suaranya terdengar lirih gemetar.

"Engkau... engkau... benarkah kata-kata Ken Lasmi tadi... bahwa... bahwa engkau adalah anakku...?"

Sutejo juga merasa betapa sesuatu mengganjal kerongkongnya. Keharuan membuat dia hampir tidak mampu mengeluarkan suara. Dia telah yakin bahwa dia berhadapan dengan ayah dan ibunya. Kini terasa olehnya betapa wajah wanita di depannya ini demikian akrab di hatinya, sama sekali tidak asing. Dia tidak mampu bicara dan perlahan-lahan, sambil mengerahkan sisa tenaga untuk melawan rasa nyeri di dalam dadanya, kedua tangannya lalu membuka bajunya.

Kedua tangan itu gemetar dan sepasang mata Sutejo juga sudah basah. Dia memandang Harjodento yang terhuyung-huyung menghampiri pula, kemudian berpegang pada lengan isterinya supaya tidak terkulai jatuh. Suami isteri ini memandang Sutejo yang kini sudah menanggalkan bajunya dan melepaskan baju itu ke atas tanah.

"Andika berdua... mengenal ini...?" katanya lirih dengan suara gemetar, lalu membalikkan tubuh memperlihatkan punggungnya di mana terdapat sebuah noda tembong kebiruan selebar tiga jari tangan. Kemudian dia memutar tubuhnya dan menghadapi suami isteri itu kembali sambil memperlihatkan kalung dengan bandul ukiran naga putih yang tergantung di lehernya.

Harjodento dan Padmosari terbelalak memandang ke tanda tembong di punggung Sutejo, kemudian mata mereka melekat pada kalung dengan bandul naga putih itu. Otomatis tangan Harjodento yang gemetar itu meraba lehernya dan mengeluarkan bandul kalung yang tergantung di lehernya, bandul yang persis sama dengan yang tergantung di leher Sutejo.

"Tejomanik anakku...!" Suami isteri itu menjerit dan menubruk.

"Bapa...! Ibuuu...!" Sutejo juga menubruk dan mereka bertiga berangkulan di antara isak tangis memilukan. Ketika berangkulan itu, tiba-tiba tubuh Sutejo dan Harjodento terkulai dan kedua orang laki-laki yang menderita luka parah ini roboh pingsan.

Retno Susilo cepat berlari menghampiri dan memapah Sutejo. "Kakangmas Sutejo...!" ia memanggil dengan hati teharu dan kedua matanya mengeluarkan air mata.

Pusposari dan Cangak Awu juga mendekat dan membantu Padmosari untuk memapah Harjodento.

"Cepat bawa mereka masuk ke dalam," perintah Padmosari yang telah mampu menekan keharuan hatinya dan sekarang dia merasa khawatir sekali akan keselamatan suami dan puteranya.

Beberapa orang murid Nogo Dento datang membantu dan tubuh ayah dan anak itu lalu digotong masuk ke dalam perkampungan, langsung ke rumah induk yang menjadi tempat tinggal keluarga Harjodento.

Dengan cekatan sekali Padmosari lalu menyiapkan rempah-rempah untuk membuatkan jamu dan mengobati suami dan anaknya. Ternyata selain ilmu kanuragan, wanita ini pun seorang ahli pengobatan. Dia juga membuatkan jamu untuk diri sendiri, untuk Pusposari dan Canguk Awu.

Retno Susilo membantu Padmosari merawat Sutejo. Kehadiran gadis ini diterima dengan baik oleh keluarga Nogo Dento. Walau pun tadinya Retno Susilo melakukan tugas yang diperintahkan gurunya memusuhi dan ingin membunuh Harjodento dan Padmosari, akan tetapi semua itu ia lakukan karena ia dibohongi gurunya. Ia melakukan perintah itu hanya untuk menaati gurunya dan sesudah menyadari akan kejahatan gurunya, gadis ini lantas membalik, bahkan melawan gurunya mati-matian sehingga hampir saja ia sendiri tewas di tangan gurunya. Bahkan Pusposari yang tadinya amat membenci Retno Susilo, dapat memaafkannya dan Retno Susilo diterima sebagai seorang sahabat baik, dan terutama sekali sebagai sahabat Sutejo.

Pagi hari itu mereka semua duduk menghadapi meja besar, mengelilingi meja itu. Sutejo dan Harjodento sudah sembuh dan kesehatan mereka telah pulih kembali. Demikian pula Padmosari, Pusposari dan Cangak Awu yang menderita luka ringan, sudah sembuh sama sekali. Kini mereka semua, untuk pertama kalinya setelah sepekan mereka yang terluka dirawat, duduk bersama di sekeliling meja untuk bercakap-cakap.

Sutejo duduk diapit ayah ibunya. Padmosari tampak rindu sekali kepada puteranya yang baru saja ditemukan sesudah menjadi seorang perjaka dewasa itu. Pusposari duduk di sebelah ibunya. Retno Susilo duduk berhadapan dengan Sutejo dan Cangak Awu duduk di sebelah Pusposari. Pagi yang cerah itu tampak makin cerah karena hati mereka semua bergembira.

"Nah, sekarang ceritakanlah, anakku, apa yang kau alami selama engkau diculik dari kami ketika engkau berusia tiga tahun itu," kata Padmosari kepada Sutejo.

"Ibu, saya sendiri sudah tidak ingat apa-apa karena ketika itu saya masih terlampau kecil. Seingat saya hanyalah bahwa saya adalah murid mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal yang juga menjadi pengganti ayah ibu karena beliau yang merawat dan mendidik saya. Kemudian, setelah Bapa Guru terluka parah dan menghadap kematiannya, barulah beliau menceritakan kepada saya tentang keadaan diri saya pada waktu beliau temukan. Menurut cerita Bapa Guru itu, saya dirampas oleh Bapa Guru dari tangan seorang wanita bernama Ken Lasmi setelah melalui perkelahian sengit. Akhirnya Ken Lasmi melarikan diri dan saya dibawa pulang Bapa Guru Sidik Paningal. Menurut beliau, pada waktu itu saya mengaku bernama Tejo, maka Bapa Guru menamakan saya Sutejo dan tanda-tanda yang ada pada diri saya adalah tembong di punggung dan seuntai kalung naga putih ini."

"Angger, namamu sebenarnya adalah Tejomanik!" kata Padmosari terharu.

"Lalu bagaimana, Tejo?" tanya Harjodento "Lanjutkan ceritamu."

"Karena mendiang Bapa Guru sendiri tidak tahu siapa orang tua saya, maka saya harus dapat menemukan Ken Lasmi karena dialah satu-satunya sumber yang dapat memberi-tahu kepada saya siapa orang tua saya yang sebenarnya. Akan tetapi Ken Lasmi tidak pernah dapat saya temukan. Bahkan setelah saya bertemu dengan diajeng Retno Susilo dan berhadapan dengan Ken Lasmi, saya tidak tahu bahwa sebenarnya Nyi Rukmo Petak guru diajeng Retno Susilo itu adalah Ken Lasmi."

"Bahkan saya sendiri pun tidak pernah tahu bahwa dia adalah Ken Lasmi," kata Retno Susilo.

Harjodento menarik napas panjang. "Tidak pernah kuduga bahwa yang menolong anakku adalah Sang Bhagawan Sidik Paningal yang sudah kukenal dengan baik! Kalau saja aku tahu, tentu sudah sejak dahulu kami dapat menemukan engkau kembali! Ahh, akan tetapi agaknya memang Gusti menghendaki demikian. Aku percaya bahwa pendidikan yang kau terima dari mendiang Bhagawan Sidik Paningal tentu membuat engkau menjadi seorang pendekar berjiwa ksatria. Akan tetapi mengapa engkau dapat membantu Ken Lasmi yang kejam dan ganas itu?"

Sutejo atau yang nama aslinya Tejomanik itu mengerling ke arah Retno Susilo. Dia tidak mau menyalahkan gadis itu. Sebenarnya bukan Ken Lasmi atau Nyi Rukmo Petak yang dibantunya, melainkan Retno Susilo.

"Sebetulnya semua itu salahku. Paman Harjodento!" kata Retno Susilo dengan lantang.

"Aku menaati guruku yang memberi tugas kepadaku untuk membunuh paman berdua. Usaha itu telah kulakukan, akan tetapi aku gagal ketika untuk pertama kali aku dalang ke sini. Lalu aku bertemu dengan Kakangmas Sutejo dan aku minta bantuannya. Kakangmas Sutejo membantu aku untuk menghadapi paman sekalian, bukan membantu guruku."

"Bapa dan ibu, dalam hal ini diajeng Retno Susilo hanya bertindak karena dia berhutang budi kepada gurunya dan hendak membalas budi dengan menaati pesannya. Ia tidak tahu sama sekali bahwa gurunya itu jahat. Bahkan ketika saya bertemu dengan Ken Lasmi saya pun tak menduga bahwa ia yang jahat melainkan mengira bahwa ia menjadi korban kejahatan seperti yang ia ceritakan kepada kami," Sutejo membela Retno Susilo.

"Kami dapat menduga akan hal itu," kata Harjodento. "Kami tidak menyalahkan nak Retno yang ternyata kemudian malah membela dan membantu kami setelah ia mengetahui akan kejahatan gurunya. Akan tetapi apakah yang diceritakan oleh Ken Lasmi kepada kalian sehingga kalian mau membantunya untuk membunuh kami?"

"Diajeng Retno Susilo, engkau saja yang memberi-tahu ayah dan ibuku tentang apa yang diceritakan oleh Ken Lasmi kepada kita tempo hari." kata Sutejo yang merasa tidak enak terhadap gadis itu.

Retno Susilo mengangguk, menghela napas dan berkata, "Sebenarnya berat rasa hatiku untuk membeberkan kebusukan seorang yang sudah melimpahkan budi kebaikan kepada diriku. Akan tetapi, demi kebenaran, apa boleh buat. Beginilah cerita guruku itu kepada kami, Paman Harjodento dan Bibi. Menurut guruku, ketika masih muda terjalin pertalian cinta kasih antara Ken Lasmi dengan Paman Harjodento. Akan tetapi katanya, Paman Harjodento mengkhianati cintanya dan menikah dengan bibi Padmosari. Ketika Ken Lasmi mendatangi paman berdua untuk menuntut, katanya paman berdua malah memukul dan mengusirnya. Ken Lasmi merasa sakit hati kemudian memperdalam ilmunya, akan tetapi berkali-kali dia selalu dapat dikalahkan oleh paman berdua. Nah, demikianlah ceritanya mengapa dia mendendam kepada paman berdua. Sama sekali dia tidak pernah bercerita bahwa dia telah menculik putera paman berdua."

"Memang demikianlah yang diceritakan Ken Lasmi atau Nyi Rukmo Petak kepada kami berdua, bapa," kata Sutejo membenarkan keterangan Retno Susilo.

"Hmm, ia telah memutar balikkan kenyataan. Tidak aneh, karena memang sejak muda ia memiliki watak yang curang, ganas dan keji. Sesungguhnya beginilah ceritanya. Memang ketika kami masih muda, aku bertemu dan berkenalan dengan Ken Lasmi. Dengan terus terang dia menyatakan cinta kepadaku dan mengharapkan untuk menjadi isteriku. Tetapi biar pun pada waktu itu dia adalah seorang wanita yang cantik jelita dan gagah perkasa menarik hati, namun ia memiliki watak yang kejam, culas dan ganas. Karena itulah maka aku tidak dapat membalas cintanya dan aku menikah dengan wanita pilihan hatiku, yaitu Padmosari. Pada malam pengantin, malam-malam ia datang seperti pencuri dan berusaha untuk membunuh Padmosari. Tetapi kami berdua dapat mencegahnya dan mengusirnya. Sesudah itu, dalam waktu tiga tahun berulang kali dia berusaha untuk membunuh kami namun selalu dapat kami gagalkan. Nah, ketika itu kami telah mempunyai seorang putera, yaitu Tejomanik atau yang sekarang disebut Sutejo. Pada suatu hari, anak kami itu hilang dan kami tahu bahwa penculiknya bukan lain tentulah Ken Lasmi. Kami sudah berusaha mencarinya. Bertahun-tahun kami mencari, akan tetapi Ken Lasmi seperti lenyap ditelan bumi. Tidak ada kabar ceritanya lagi sampai sekarang. Tidak tahunya ia telah mengubah namanya menjadi Nyi Rukmo Petak. Itulah sebabnya pada saat nak Retno yang datang menyerang kami mengatakan bahwa dia disuruh oleh gurunya yang bernama Nyi Rukmo Petak, kami menjadi bingung karena merasa tidak pernah mendengar nama itu, apa lagi bermusuhan. Baru setelah ia sendiri muncul tempo hari. kami mengenalnya sebagai Ken Lasmi. Gusti masih melindungi kita semua sehingga dia kembali gagal membunuh kita berkat ketangkasan nak Retno Susilo dan engkau sendiri, Tejo."

Sutejo menghela napas panjang "Kita semua sepatutnya bersyukur kepada Gusti Yang Maha Kasih yang telah melindungi kita semua, terutama saya benar-benar bersyukur dan berterima kasih karena sudah dipertemukan kembali dengan orang tua saya. Selesailah sudah satu di antara beberapa buah tugas yang harus saya lakukan dan penuhi dalam hidup ini, sesuai dengan petunjuk mendiang bapa Guru."

"Tugas lain apa lagi yang harus kau laksanakan, Tejo?' tanya Harjodento.

"Pertama, saya harus merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan pencurinya dan kedua saya harus menggunakan pusaka itu untuk berjuang membantu dan membela Mataram dalam menghadapi para pemberontak," jawab Sutejo,

Ayahnya mengangguk-angguk. "Tentang membela Mataram itu aku setuju sepenuhnya, karena memang sudah menjadi kewajiban setiap orang kawula Mataram untuk membela negaranya dari ancaman para pemberontak. Akan tetapi tentang Pecut Sakti Bajrakirana itu, aku tidak mengerti. Pusaka apakah itu dan siapa pencurinya?"

"Ceritanya panjang, Bapa. Pecut Sakti Bajrakirana adalah sebuah pusaka yang dijunjung tinggi dan dikeramatkan oleh para murid Jatikusumo, perguruan yang dulu didirikan oleh Eyang Guru Resi Limut Manik. Pusaka itu tadinya disimpan oleh Eyang Resi, akan tetapi pada suatu hari Paman Guru Bhagawan Jaladara telah mencurinya dari Padepokan Eyang Resi."

"Kalau begitu Bhagawan Jaladara itu adalah saudara dari mendiang gurumu, Bhagawan Sidik Paningal?" tanya Harjodento.

"Benar, Bapa. Eyang Guru Resi Limut Manik mempunyai tiga orang murid. Yang pertama adalah Uwa Guru Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua perguruan Jatikusumo menggantikan Eyang Resi, dan Kakang Cangak Awu ini adalah murid beliau. Yang kedua adalah mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal yang merawat dan mendidik saya, kemudian yang ketiga adalah Paman Bhagawan Jaladara itulah."

Ayahnya mengangguk-angguk. "Lalu bagaimana kelanjutannya?"

"Setelah mencuri Pusaka Bajrakirana, Paman Bhagawan Jaladara yang sudah menjadi ponggawa Kadipaten Wirosobo itu mengajak teman-temannya dari Wirosobo mendatangi mendiang Bapa Guru. Dia membujuk Bapa Guru supaya membantu Kadipaten Wirosobo yang hendak memberontak terhadap Mataram. Namun Bapa Guru menolak dan Paman Bhagawan Jaladara lalu mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana untuk menyerang Bapa Guru. Melihat pecut yang menjadi pusaka perguruannya, Bapa Guru tidak berani melawan dan membiarkan dirinya disiksa oleh Paman Bhagawan Jaladara yang juga menyiksa saya yang mencoba untuk membela Bapa Guru. Ia lalu pergi setelah mengancam bahwa kalau selama satu bulan Bapa Guru belum juga mau tunduk dan menuruti kehendaknya maka dia akan kembali dan membunuh kami."

"Kenapa ada bhagawan yang begitu jahat?" seru Pusposari penasaran.

"Baik buruknya seseorang tidak dapat diukur dari jubahnya atau kedudukannya. Banyak pendeta palsu di dunia ini, diajeng Pusposari," kata Retno Susilo.

"Hemm, dia tentu mempunyai pandangan sendiri dan berdasarkan pandangannya itu, dia tentu merasa bahwa dirinya baik dan benar," kata Harjodento. "Teruskan ceritamu, Tejo."

"Bapa Guru mengutus saya menghadap Eyang Guru Resi Limut Manik. Dari beliau saya tahu bahwa pecut pusaka itu dicuri oleh Paman Jaladara. Sesudah mendengar laporan saya, Eyang Resi lalu memindahkan tenaga saktinya kepada saya dan memerintahkan saya agar merampas kembali pusaka itu untuk digunakan membantu Mataram. Akhirnya saya dapat bertemu dengan Paman Jaladara dan berhasil merampas pecut pusaka itu dari tangannya. Pada waktu itulah saya bertemu dan berkenalan dengan diajeng Retno Susilo."

"Dan selanjutnya kami menjadi sahabat baik." Sambung Retno Susilo yang takut kalau-kalau pemuda itu akan menceritakan tentang kenakalannya sebagai seorang ‘pemuda’. Akan tetapi tentu saja Sutejo tidak mau menceritakan peristiwa itu.

"Dengan membawa Pecut Bajrakirana saya pulang ke lereng Kawi, ke padepokan Bapa Guru. Akan tetapi setelah sampai di sana saya melihat Bapa Guru sudah terluka parah. Paman Jaladara mengancam akan membunuh Bapa Guru kalau saya tidak menyerahkan pecut pusaka itu. Maka, untuk menyelamatkan Bapa Guru terpaksa saya menyerahkan pecut pusaka kepadanya dan mereka melepaskan Bapa Guru. Saya lalu mengamuk dan mereka melarikan diri sambil membawa pecut pusaka itu bersama mereka."

"Hemm, sayang sekali pecut pusaka itu terjatuh lagi ke tangan mereka." kata Harjodento. "Kemudian bagaimana?" Dia merasa tertarik sekali akan cerita puteranya itu.

"Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal akhirnya tewas akibat luka-lukanya. Saya lalu pergi ke puncak Semeru untuk menghadap Eyang Guru Resi Limut Manik, akan tetapi begitu tiba di sana saya melihat Eyang Resi telah terluka parah dikeroyok Paman Jaladara dan tiga orang kawannya, dan agaknya Eyang Resi juga tidak melawan karena Bhagawan Jaladara memegang Pecut Sakti Bajrakirana yang dikeramatkan. Akan tetapi saya melihat ada seorang pemuda perkasa yang membela Eyang Resi sehingga Eyang Resi belum terbunuh. Pemuda Itu ternyata adalah Sang Puteri Wandansari yang juga merupakan murid termuda dari Jatikusumo."

"Memang diajeng Wandansari adalah adik seperguruan saya," kata Cangak Awu yang juga mendengarkan semua cerita Sutejo dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Kini semakin yakinlah dia bahwa Sutejo sama sekali tidak membunuh Eyang Resi Limut Manik seperti yang dituduhkan Bhagawan Jaladara, melainkan paman gurunya sendiri itu yang jahat dan licik.

"Saya segera membantu pemuda itu dan akhirnya kami dapat memukul mundur mereka yang melarikan diri. Dua orang cantrik padepokan terbunuh oleh Bhagawan Jaladara dan Eyang Resi terluka parah sekali. Akan tetapi Eyang Resi dapat menahan diri sampai dua pekan lamanya dan selama dua pekan itu Eyang Resi melatih saya dengan ilmu pecut Bajrakirana dan melatih Puteri Wandansari dengan ilmu pedang Kartika Sakti. Eyang Resi juga menyerahkan pedang Kartika Sakti kepada Sang Puteri, dan menyerahkan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana kepada saya. Eyang Resi berpesan kepada saya agar merampas kembali Pecut Barjakirana dan menggunakannya untuk membela Mataram. Demikianlah kisahnya, Bapa. Dan dalam perjalanan saya untuk mencari Paman Jaladara untuk merampas kembali pecut pusaka, saya bertemu dengan diajeng Retno Susilo yang minta supaya saya suka membantunya menghadapi musuh-musuh gurunya. Untung saya memenuhi permintaannya itu sehingga dengan jalan itu dapatlah saya berjumpa kembali dengan Bapa dan Ibu."

Harjodento menarik napas panjang. "Hmm, semua ini gara-gara Kadipaten Wirosobo yang hendak memberontak. Kalau saja Bhagawan Jaladara tidak menjadi pejabat di Wirosobo dan kadipaten itu tidak memberontak, agaknya semua peristiwa menyedihkan ini tak akan terjadi. Bahkan Bhagawan Jaladara tega untuk menghancurkan Jatikusumo."

"Apa maksud Bapa? Menghancurkan Jatikusumo?" tanya Sutejo heran.

"Biarlah anak mas Cangak Awu yang akan menceritakan peristiwa itu yang menyebabkan anak mas Cangak Awu sekarang berada di sini," kata Harjodento.

"Kakang Cangak Awu, apakah yang telah terjadi dengan Jatikusumo?" tanya Sutejo.

"Adi Sutejo, mala petaka besar sudah menimpa Jatikusumo sehingga mengakibatkan tewasnya Bapa Guru Sindusakti, Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan mungkin semua murid Jatikusumo yang berada di perguruan itu mati semua," kata Cangak Awu dan wajahnya berubah merah sekali, kedua matanya sayu dan seperti orang yang hendak menangis.

Saking kagetnya Sutejo sampai melompat berdiri dengan mata terbelalak.

"Apa...?! Siapa yang melakukan perbuatan keji itu?"

"Duduklah dulu, Adi Sutejo. Urusan ini memang dapat membuat orang mati penasaran. Kakang Priyadi telah murtad. Dia menuntut agar kedudukan ketua Jatikusumo diserahkan kepadanya. Dia datang dibantu Paman Jaladara yang datang bersama kawan-kawannya para jagoan Wirosobo itu. Juga dibantu oleh dua orang datuk sesat yang bernama Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo. Si jahanam murtad Priyadi itu membunuh Bapa Guru, juga Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini tewas oleh kawan-kawannya yang amat sakti."

"Tetapi... tetapi bagaimana mungkin Priyadi mampu membunuh Uwa Guru Bhagawan Sindusakti? Aku pernah melihat ketika dia melawan wanita iblis bernama Sekarsih itu, ilmu kepandaiannya tidak sangat tinggi."

"Memang demikian, akan tetapi entah bagaimana, pada waktu dia datang menyerbu, dia bukanlah Priyadi yang biasa. Kepandaiannya hebat sekali seperti iblis, dan dia telah dapat pula menarik Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo serta wanita iblis itu menjadi sekutunya. Juga Pecut Bajrakirana telah berada di tangannya. Aku pun melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi aku terkena tendangan Ki Klabangkolo sehingga terluka berat. Lalu aku melarikan diri karena aku bertekad harus hidup supaya dapat membalaskan semua sakit hati itu, Adi Sutejo! Kalau aku terus melawan, tentu aku akan mati pula. dan kalau aku mati, siapa yang kelak akan membalaskan dendam ini?"

Sutejo mengangguk. "Aku mengerti pendirianmu itu, Kakang Cangak Awu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat datang ke sini? Sungguh merupakan suatu hal yang kebetulan sekali!"

"Aku jatuh pingsan di tepi bengawan, dan diajeng Pusposari yang menolongku kemudian membawaku ke sini dan di sini aku diobati sampai sembuh. Aku berhutang nyawa kepada keluarga pimpinan Nogo Dento yang ternyata adalah keluargamu juga. Aku merasa girang sekali engkau telah bertemu dengan ayah bunda dan adikmu."

"Adikku...?" Sutejo memandang kepada ayah dan ibunya dan wajahnya berseri.

"Pusposari ini adalah anak angkat kami, akan tetapi sudah kami anggap sebagai anak kandung sendiri. Dialah adikmu, Tejo," kata Padmosari.

Sutejo memandang kepada Pusposari dan wajahnya berseri gembira. "Wah, untung sekali aku! Tahu-tahu sudah memiliki seorang adik yang sudah begini besar dan cantik manis!"

"Aaahh, Kakang Tejo, kata-katamu membuat aku menjadi malu!" kata Pusposari sambil menundukkan mukanya yang berubah kemerahan, akan tetapi bibirnya terhias senyuman senang. Hati gadis mana yang tidak akan menjadi bangga dan senang kalau menerima pujian bahwa dia cantik manis?

"Sekarang kita sudah mendengar semua pengalaman dan mengetahui keadaan masing-masing. Bahkan kami pun telah mengetahui keadaan anak mas Cangak Awu yang sudah sebatang kara. Akan tetapi kami belum mengetahui tentang keluarga nak Retno Susilo. Siapakah keluargamu, nak Retno, dan di mana mereka berada?"

"Ayah ibuku masih hidup dan sekarang mereka tinggal dalam Hutan Kebojambe di kaki Gunung Kelud. Ayahku bernama Ki Mundingsosro dan dia adalah Ketua perkumpulan Sardulo Cemeng," Retno Susilo menerangkan dengan singkat.

"Bapa, diajeng Retno Susilo adalah puteri Paman Mundingsosro yang gagah perkasa. Perkumpulan Sardulo Cemeng adalah perkumpulan yang menampung para pelarian dari tanah timur yang tidak mau tunduk terhadap para pemberontak," Sutejo menjelaskan.

"Bagus sekali. Sekarang kita semua telah mengetahui keadaan masing-masing. Ternyata kita berada di antara keluarga sendiri. Biar pun anak mas Cangak Awu dan Retno Susilo merupakan orang luar, akan tetapi sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Aku ingin membicarakan masalah yang serius dan terus terang." kata Padmosari dengan wajah serius dan ia memandangi wajah orang-orang muda itu satu demi satu dengan sepasang matanya yang bersinar tajam.

Sutejo, memandang kepada ibunya sambil tersenyum. Hatinya dipenuhi kemesraan dan kekaguman, kasih sayang yang mendalam terhadap wanita yang dikenal sebagai ibu kandungnya ini dan dia merasa bangga memiliki ibu yang demikian anggun dan cantik.

"Wah, Ibu agaknya hendak berteka-teki. Ada rahasia apakah gerangan yang hendak ibu sampaikan kepada kami?"

"Aku adalah seorang tua, jadi aku tidak main-main dan juga tidak berteka-teki, melainkan mengharapkan kejujuran kalian orang-orang muda. Pertanyaanku yang pertama kuajukan kepada puteraku sendiri, engkau, Tejo. Semua pertanyaan yang akan kuajukan kepada kalian ini sudah kurundingkan dengan suamiku dengan matang. Nah, Tejo, kau jawablah. Apakah sejauh ini engkau telah mengikatkan dirimu dengan seorang wanita? Maksudku, apakah engkau telah memiliki pilihan seorang wanita untuk menjadi isterimu?"

Ditanya seperti itu, Tejo merasa seolah dadanya seperti ditodong ujung keris sehingga dia gelagapan juga. Sepasang mata ibunya mencorong seperti hendak menembus dadanya dan menjenguk isi hatinya. Segera terbayang sebuah wajah yang cantik jelita dengan sepasang mata yang bersinar tajam berwibawa, wajah yang anggun dan agung, wajah Puteri Wandansari!

Dia memandang kosong ke depan dan wajah elok itu tersenyum kepadanya. Barulah dia menyadari bahwa wajah Puteri Wandansari itu telah berubah menjadi wajah Retno Susilo yang memandangnya dengan senyum simpul karena gadis itu duduk berhadapan dengan dia sehingga kini pandang mata mereka bertemu!

Seketika itu teringatlah dia bahwa tidak pantas bagi seorang pemuda biasa seperti dia mencinta seorang dara bangsawan tinggi, puteri sang prabu Pandan Cokrokusumo atau Sultan Agung di Mataram. Bagaimana mungkin seekor burung gagak merindukan seekor burung cenderawasih.....?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)