PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-35
"Bagaimana, Tejo?" Ibunya mendesak melihat puteranya seperti orang melamun.
Pertanyaan ini menarik Sutejo kembali ke alam sadar dan dia menjawab gugup.
"Ah, apa ibu... ah, saya belum memikirkan soal itu?"
"Jadi engkau belum mempunyai pasangan atau kekasih hati?" tanya ibunya.
Dengan wajah kemerahan Sutejo menggeleng kepala tanpa menjawab, lalu menundukkan mukanya.
"Bagus, itu yang aku harapkan!" seru Padmosari gembira. "Sekarang aku memindahkan pertanyaan kepada nak Retno Susilo. Maafkan, ya nak Retno, aku memang ingin bicara blak-blakan dalam suasana kekeluargaan dan mengharapkan jawaban yang blak-blakan dan jujur pula. Nah, aku hendak bertanya kepadamu. Apakah sampai sekarang engkau belum terikat oleh seorang pria? Ataukah sudah ada pasangan atau pilihan hati? Barang kali oleh orang tuamu engkau sudah ditunangkan dengan seorang pemuda?"
"Ihhh..., bibi ini!" jawab Retno Susilo dan kedua pipinya kemerahan, akan tetapi matanya mengerling kepada Sutejo. "Aku... aku belum bertunangan..."
"Tapi sudah mempunyai pilihan hati?" kejar Padmosari.
Retno Susilo tersipu dan menunduk akan tetapi matanya mengerling berkali-kali ke arah Sutejo yang duduk di depannya, lalu ia menggeleng kepala dan menjawab lirih. "Aku tidak tahu..."
Padmosari dan suaminya, Harjodento, memandang kepada putera mereka dan kepada Retno Susilo bergantian dan mereka tersenyum maklum melihat kedua orang muda itu menundukkan muka.
"Baik sekali kalau begitu, nak Retno. Sekarang aku ingin menyatakan rencana kami. Kami menghendaki agar kalian berdua dapat berjodoh. Bagaimana pendapatmu, Tejo? Engkau tentu setuju kalau kami menjodobkanmu dengan Retno Susilo, bukan?"
Sutejo memandang kepada Retno Susilo yang masih menundukkan mukanya dan dia pun menarik napas panjang. "Hal perjodohan saya serahkan saja kepada kebijaksanaan bapa dan ibu. Akan tetapi saya sama sekali belum berpikir tentang pernikahan. Seperti yang telah saya katakan tadi, saya masih mengemban tugas-tugas yang teramat penting. Saya harus merampas kembali Pecut Bajrakirana, dan saya juga tidak boleh tinggal diam saja membiarkan Kakang Priyadi berbuat sewenang wenang mengkhianati Jatikusumo. Saya harus membalas atas kematian Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal, kematian Eyang Guru Resi Limut Manik, kematian Uwa Guru Bhagawan Sindusakti. Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini. Saya harus menghukum orang-orang jahat seperti Bhagawan Jaladara dan Priyadi. Kemudian saya harus membela Mataram menghadapi Kadipaten Wirosobo dan para bupati dan adipati yang memberontak. Sebelum semua kewajiban itu terlaksana, bagaimana saya dapat mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan, ibu?"
"Tentu saja semua tugas mulia itu harus dilaksanakan dan dipenuhi, anakku, ada pun pelaksanaan pernikahan dapat diadakan kemudian, akan tetapi yang penting engkau sudah menyetujui ikatan perjodohan ini. Bagaimana?"
Sutejo menundukkan mukanya, "Terserah kepada bapa dan ibu, saya akan menaatinya."
Padmosari tersenyum senang dan dia lalu memandang kepada Retno Susilo. "Nak Retno Susilo. Sebagai orang tua kami dapat melihat betapa hubungan persahabatanmu dengan anak kami Tejo amatlah akrabnya, oleh karena itu kami ingin mengikat dan mengekalkan hubungan antara kalian, dari sahabat menjadi suami isteri. Bagaimana kalau kami pergi berkunjung ke rumah orang tuamu dan mengajukan pinangan atas dirimu untuk menjadi jodoh anak kami Tejomanik? Engkau setuju, bukan?"
Retno Susilo sudah dapat mengatasi rasa malunya. Gadis ini tidak akan menyembuyikan perasaannya terhadap Sutejo. Dia memang mencinta pemuda itu, mencinta mati-matian semenjak pertama kali berjumpa dengan Sutejo. Orang tuanya memang mempunyai niat untuk menjodohkan ia dengan Sutejo. Kalau dilamar, tentu orang tuanya akan menerima dengan senang hati.
"Paman dan bibi, aku adalah seorang anak perempuan. Dalam soal perjodohan tentu saja aku hanya menurut apa yang dikehendaki orang tuaku. Maka hal itu aku serahkan saja untuk diselesaikan antara paman berdua dan orang tuaku. Sekarang keinginanku hanya satu, yaitu membantu kakangmas Sutejo untuk menunaikan tugas-tugasnya."
"Hal itu bagus sekali!" puji Harjodento. "Dengan tingkat kepandaianmu yang sudah tinggi, engkau akan merupakan bantuan yang amat berharga dan boleh diandalkan bagi Sutejo. Kalau kalian berdua maju bersama, kukira segala persoalan akan dapat diselesaikan."
Retno Sasilo mengangguk dan memandang kepada Sutejo. Kebetulan pemuda itu pun sedang memandangnya sehingga dua pasang mata bertemu pandang, penuh pengertian, akan tetapi keduanya membungkam.
Dalam hatinya Retno Susilo merasa berbahagia sekali. Selama ini dia sudah menyatakan perasaan cintanya terhadap Sutejo, akan tetapi pemuda itu bersikap biasa biasa saja dan menganggapnya sebagai seorang sahabat biasa saja. Dan sekarang orang tua pemuda itu sudah menyatakan hendak menjodohkan mereka dan Sutejo tidak menolak! Tentu saja dia merasa berbahagia sekali!
Akan tetapi dalam hati Sutejo terdapat keraguan atas perasaan hatinya sendiri. Dia tahu bahwa dia mencinta Puteri Wandansari. Kalau saja tidak ada sang puteri itu, tentu akan mudah sekali baginya untuk jatuh cinta kepada Retno Susilo yang juga amat disukainya dan yang membuatnya merasa kagum dan tertarik. Akan tetapi dia melihat bahwa tidak mungkin bagi dia untuk mempersunting sang puteri. Karena itulah maka dia tidak menolak usul orang tuanya untuk berjodoh dengan Retno Susilo yang dia tahu amat mencintainya.
"Hatiku senang sekali karena kalian berdua, Tejo dan Retno Susilo, sudah menyetujui ikatan perjodohan ini. Kami tinggal pergi berkunjung ke perkampungan Sardulo Cemeng untuk mengajukan pinangan kepada orang tua Retno Susilo. Nah, sekarang kami hendak membicarakan hal lain. Kali ini kami hendak membicarakan ikatan perjodohan lagi. Anak mas Cangak Awu, kami sudah tahu bahwa andika sekarang sudah yatim piatu dan hidup sebatang kara, oleh karena itu keputusannya terletak di tangan andika sendiri. Anak mas Cangak Awu, kami hendak bicara blak-blakan saja. Bagaimana tanggapan andika kalau kami mengusulkan ikatan perjodohan antara andika dan puteri kami Pusposari?"
Cangak Awu adalah seorang laki laki yang jantan dan jujur, tidak suka memakai banyak tata krama. Mendengar pertanyaan dari Padmosari itu, dia pun menoleh dan memandang sebentar kepada Pusposari, kemudian memandang kepada Harjodento dan Padmosari, lalu berucap dengan nada suara lantang terbuka.
"Paman Harjodento sekeluarga telah menolong dan menyelamatkan saya. Budi itu sangat besar dan sekarang paman berdua bahkan hendak memberi penghormatan yang besar sekali kepada saya dengan menjodohkan saya dengan Nimas Pusposari. Bagaimana saya berani menolaknya? Saya hanya dapat mengucap syukur dan menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya bahwa saya seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan papa, telah mendapatkan kehormatan dan kemuliaan yang demikian besar."
"Ah, anak mas Cangak Awu, bukan seperti itu yang kami kehendaki. Kami tak ingin kalau andika menyetujui ikatan pernikahan ini sebagai balas budi terhadap kami. Kami hanya menghendaki ikatan perjodohan ini terjadi karena rasa cinta dari kedua pihak. Sekarang katakan terus terang, anak mas Cangak Awu. Apakah engkau setuju menjadi calon suami Pusposari karena andika mencintanya?" tanya Harjodento dengan blak-blakan.
Sutejo yang mendengarkan semua ini, merasa kagum dan bangga sekali terhadap ayah ibunya. Sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan bijaksana sekali, yang berbicara secara jujur dan blak-blakan demi kebaikan mereka semua!
Mendengar pertanyaan yang langsung dari Harjodento, Cangak Awu tentu saja merasa rikuh. Akan tetapi pemuda ini segera membusungkan dada menegakkan kepalanya dan menjawab dengan tegas.
"Ya benar, saya mencintanya, paman!"
"Bagus, kami menghargai kejujuranmu, anak mas Cangak Awu!" kata Padmosari yang kemudian menoleh kepada puterinya. "Nah, Pusposari, bagaimana pendapatmu tentang usul ikatan perjodohanmu dengan anak mas Cangak Awu?"
Sebagai seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun, tentu saja Pusposari tersipu malu mendengar pertanyaan blak-blakan tentang perjodohan itu. Ia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara lirih seperti berbisik.
"Ibu, saya hanya menurut dan menaati kehendak bapa dan ibu dalam urusan ini. Terserah kepada bapa dan ibu saja."
Harjodento tersenyum dan berkata, "Pusposari, kami tidak menghendaki jawaban seperti itu. Kami tidak menghendaki kelak dikatakan memaksakan kehendak kami sendiri kepada anak. Sejak semula kami sudah melihat sikap dan gerak-gerik kalian berdua, karena itu kami menghendaki agar engkau menjawab dengan tegas Ya atau tidak engkau mencinta anak mas Cangak Awu?"
Muka Pusposari menjadi merah sekali. Ingin rasanya ia menghilang supaya terbebas dari perasaan rikuh dan malu seperti itu. Mau tidak mau ia harus menjawab. Ingin rasanya ia menutupi rasa malunya dengan jawaban tidak, namun hal itu akan bertentangan dengan suara hatinya. Maka ia lalu mengangguk dan kepalanya semakin menunduk!
"Bagus! Cukuplah jawaban itu! Jadi kalian berdua telah sama menyetujui! Tinggal menanti saat peresmiannya." kata Harjodento dengan gembira. "Nah, bila semua persoalan dapat dibicarakan dari hati ke hati, dengan hati jujur dan blak-blakan, lebih enak, bukan? Kita mempunyai hak dan kewajiban masing-masing, hak menentukan pendapat dan kewajiban untuk memenuhi apa yang telah kita utarakan."
"Ahh, alangkah senang hatiku!" kata Padmosari. "Bukan saja aku mendapatkan kembali puteraku yang hilang, akan tetapi sekaligus aku mendapatkan dua orang mantu!"
Semua orang tersenyum dan Sutejo berkata kepada Cangak Awu dengan hati geli. "Lalu bagaimana hubunganku dengan Kakang Cangak Awu? Ia terhitung kakak seperguruanku dan lebih tua dariku, akan tetapi dia akan menjadi adik iparku. Aku harus menyebutmu kakang atau adi?"
"Karena Cangak Awu akan menjadi adik iparmu, tentu saja engkau menjadi kakaknya," kata Harjodento dengan gembira.
"Paman dan bibi, ada satu hal yang ingin saya sampaikan kepada paman dan bibi, yaitu bahwa di dalam hati saya telah mengambil keputusan untuk membalas si jahanam Priyadi dan orang-orang yang telah membunuh Bapa Guru serta saudara-saudara seperguruan saya. Karena itu, saya ingin membantu Kakangmas Sutejo lebih dulu sebelum... sebelum dilangsungkan pernikahan."
"Adimas Cangak Awu," kata Sutejo dengan suara serius. "Aku mempunyai pendapat lain. Engkau bahkan lebih dibutuhkan di sini untuk menjaga keselamatan orang tuaku. Siapa tahu Ken Lasmi masih belum berhenti dan kalau ia datang menyerang lagi, engkau dapat membantu keluarga di sini untuk menghadapinya. Biarlah aku yang akan membereskan jahanam Priyadi itu, bersama diajeng Retno Susilo."
"Apa yang dikatakan kakangmas Tejo itu benar sekali. Kakang Cangak Awu. Jika engkau hendak membantu Kakangmas Tejo dan Mbakayu Retno Susilo, aku pun ingin membantu mereka. Lalu siapa yang akan membantu bapa dan ibu kalau iblis wanita itu datang lagi?" kata Pusposari yang kini sudah tidak lagi merasa canggung dan malu.
Harjodento dan Padmosari saling pandang, kemudian Harjodento berkata. "Sebenarnya kami berdua tidak berhak menghalangi niat kalian semua untuk menentang orang-orang jahat itu dan mendapatkan kembali pecut pusaka yang dirampas orang, walau pun dalam penunaian tugas itu kalian akan menghadapi lawan-lawan tangguh yang membahayakan keselamatan kalian. Seorang pendekar sejati harus berani menghadapi bahaya demi memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Dan mengenai kami berdua di sini, tidak perlu kalian khawatirkan, kami berdua dapat menjaga diri. Andai kata Ken Lasmi berani datang lagi mengacau, kiranya kami berdua masih sanggup untuk menandingi Ken Lasmi. Pula, menurut keterangan anak mas Cangak Awu, Priyadi yang telah menguasai Jatikusumo itu bergabung dengan orang-orang sakti dari Wirosobo, bahkan dibantu oleh datuk sesat Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo dengan Sekarsih yang semuanya merupakan lawan-lawan yang amat tangguh. Bagaimana kalian berdua saja, atau bahkan berempat akan mampu menandingi mereka? Belum lagi diperhitungkan anak buah mereka yang banyak. Kami harap engkau akan bertindak bijaksana dan cerdik, angger Tejo dan jangan sembrono. Tidak boleh nekat mengandalkan keberanian belaka melawan pihak musuh yang jauh lebih kuat keadaannya. Kenekatan tanpa perhitungan seperti itu bukan merupakan perbuatan yang gagah berani, melainkan merupakan sebuah kebodohan, angger."
"Lalu, apa yang harus saya lakukan, bapa?"
"Engkau harus memperkuat keadaanmu. Biarlah anak mas Cangak Awu dan adikmu Pusposari membantu engkau dan Retno Susilo, dengan berempat keadaanmu akan lebih kuat lagi. Dan bukan hanya itu. Untuk menghadapi anak buah mereka, biarlah para murid Nogo Dento mengikutimu. Ada lima puluh orang murid Nogo Dento yang dapat dikerahkan untuk membantumu.”
"Kakangmas Sutejo, apa yang dikatakan ayahmu memang benar. Kita harus memperkuat diri dan aku pun akan minta bantuan para murid Sardulo Cemeng. Aku bisa mengerahkan sedikitnya lima puluh orang untuk memperkuat pasukan kita."
"Dan aku akan pergi ke Mataram untuk melaporkan tentang pemberontakan Priyadi dan hancurnya Jatikusumo kepada diajeng Puteri Wandansari. Ia tentu tidak akan tinggal diam begitu saja mendengar akan kematian Bapa Guru dan kehancuran Jatikusumo"
Harjodento mengangguk angguk. "Bagus sekali. Kalau begitu kau lakukan tugas masing-masing. Jangan tergesa-gesa pergi ke Jatikusumo, Tejo. Kita menanti dulu sampai bala bantuan itu datang berkumpul di sini, barulah kita berangkat dan mengerahkan semua kekuatan untuk menghancurkan Priyadi dan sekutunya itu."
"Kita...?" Padmosari bertanya, memandang kepada suaminya dengan wajah berseri.
"Ya, kita, juga termasuk engkau dan aku! Bagaimana mungkin kita berdiam diri saja dan membiarkan anak-anak menanggulangi kejahatan orang-orang yang hendak memberontak terhadap Mataram itu?"
"Baik, paman. Akan tetapi, sebelum kita melakukan penyerbuan ke sana, kupikir lebih baik kalau Kakangmas Sutejo dan aku pergi melakukan penyelidikan terlebih dulu," kata Retno Susilo.
"Apa yang dikatakan diajeng Retno itu benar, bapa. Kami akan menyelidiki lebih dahulu, melihat keadaan pihak musuh dan kalau mungkin saya akan berusaha untuk merampas Pecut Bajrakirana."
"Tetapi kalian berdua harus berhati-hati sekali dan jangan nekat melawan pengeroyokan mereka," pesan Harjodento.
"Kami akan berhati-hati, bapa."
Mereka semua membuat persiapan dan pada keesokan bannya, Sutejo dan Retno Susilo berangkat untuk melakukan penyelidikan ke Jatikusumo, juga mereka hendak singgah ke tempat tinggal Ki Mundingsosro untuk minta bantuan pengerahan para anggota Sardulo Cemeng.
Cangak Awu sendiri pergi ke kota raja Mataram untuk menemui Puteri Wandansari dan melaporkan tentang pengkhianatan Priyadi, betapa saudara seperguruan itu bersekongkol dengan orang-orang Wirosobo. Harjodento dan Padmosari bersama puteri mereka pun mengadakan persiapan di perkampungan Nogo Dento dan mempersiapkan pasukan yang dilatih untuk menghadapi pertempuran.....
********************
Seorang pemuda berjalan menyusuri sungai itu bersama seorang kakek yang berusia enam puluh lima tahun. Pemuda itu adalah Priyadi dan kakek itu bukan lain adalah Resi Wisangkolo yang telah menjadi sekutu pemuda itu. Kini pakaian kedua orang itu mewah, seperti pakaian bangsawan saja layaknya.
Mereka berdua baru saja datang dari sebuah hutan di lereng Gunung Wilis. Hanya berdua saja mereka menghadapi gerombolan Gagak Abang, sebuah gerombolan penjahat yang berjumlah tiga puluh orang lebih dan mereka menaklukkan gerombolan itu sehingga ketua gerombolan menyatakan tunduk dan takluk, kemudian berjanji untuk membantu perguruan Jatikusumo yang dipimpin Priyadi. Dua orang ini terlalu tangguh bagi gerombolan Gagak Abang.
Priyadi mengajak Resi Wisangkolo, sekutunya yang paling boleh diandalkan karena sakti mandraguna, dan mereka berdua mendatangi perkumpulan-perkumpulan dan gerombolan orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan untuk mencari kekuasaan kemudian menaklukkan mereka. Dengan cara demikian Priyadi dapat memperoleh banyak sekutu yang siap membantunya memperkuat pasukan Wirosobo kalau waktunya sudan tiba bagi Kadipaten Wirosobo untuk bergerak dan berperang melawan Mataram.
Melihat kekuatan yang dihimpun Priyadi, bekas murid keponakannya yang kini memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu, Bhagawan Jaladara merasa senang sekali. Priyadi dan para sekutunya merupakan kekuatan besar yang akan berguna sekali bagi Wirosobo. Oleh karena itu dengan senang hati Bhagawan Jaladara menyerahkan Pecut Bajrakirana kepada Priyadi, ditambah lagi harta benda yang diberikan oleh Sang Adipati Wirosobo kepada pemuda itu.
Priyadi telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua Jatikusumo. Akan tetapi kini tidak ada seorang pun murid Jatikusumo yang lama. Para murid Jatikusumo itu sebagian besar telah terbunuh ketika Priyadi dan kawan kawannya menyerbu dan sisanya melarikan diri cerai berai. Kini Jatikusumo memang memiliki anak buah baru, akan tetapi kesemuanya adalah anak buah yang sama sekali baru. yaitu anak buah yang diberikan oleh Bhagawan Jaladara, yaitu pasukan dari Wirosobo, bercampur dengan anak buah Sekarsih dan Ki Klabangkolo.
Jumlah anak buah Jatikusumo yang baru ada seratus lima puluh orang, di antaranya ada belasan orang wanita bekas anak buah Sekarsih. Seratus lima puluh orang ini merupakan orang-orang gemblengan yang sudah terlatih, rata-rata memiliki kedigdayaan. Dan Priyadi sudah menggembleng mereka semua dengan mengajarkan Aji Gelap Musti yang menjadi ciri khas aji pukulan Jatikusumo.
Kini Priyadi bersama Resi Wisangkolo sedang berjalan untuk kembali ke Pantai Selatan yang menjadi perkampungan Jatikusumo setelah selama berpekan-pekan mereka berdua pergi menaklukkan banyak perkumpulan dan gerombolan penjahat, dan menarik mereka menjadi sekutu mereka.
Priyadi terlihat gagah dan tampan dengan pakaiannya sebagai seorang bangsawan muda. Resi Wisangkolo juga berpakaian mewah. Kakek yang usianya sudah enam puluh lima tahun ini, yang bertubuh tinggi kurus, berambut putih dan mukanya seperti muka orang muda tampak pesolek, jauh berbeda dengan sebelum dia bergabung dengan Priyadi. Akan tetapi dia masih tetap memegang tongkat andalannya, yaitu tongkat ular hitam.
Ketika mereka tiba di luar dusun Jaten, di tepi sungai, Priyadi berhenti melangkah. Dia memandang ke arah sungai itu dan melayangkan pandangan matanya ke arah beberapa buah batu hitam yang tersembul di permukaan sungai, di bagian pinggirnya. Ia termenung seperti ada yang dipikirkan. Melihat sikap pemuda ini, Resi Wisangkolo menjadi heran.
"Anak mas Priyadi, kenapa andika berhenti dan termenung? Apa yang andika pikirkan?"
Resi Wisangkolo adalah seorang yang sakti mandraguna, akan tetapi dia bersikap hormat terhadap pemuda itu sebab dia tahu benar bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kedigdayaan yang mampu menandingi bahkan mengatasinya.
Priyadi sadar dari lamunannya dan menoleh, memandang wajah kakek itu dan menghela napas panjang. "Paman Resi Wisangkolo, begitu tiba di tempat ini teringatlah aku akan pengalamanku dahulu, beberapa bulan yang lalu. Aku teringat akan seorang gadis yang denok ayu bernama Sumarni..."
Resi Wisangkolo terkekeh. "He-heh-heh, tentu gadis itu hebat sekali maka andika sampai tidak dapat melupakannya."
Priyadi tersenyum. "Dia memang manis sekali, paman. Andika sendiri tentu akan kagum kalau melihatnya."
"Wah, kalau sampai aku dapat menjadi kagum, itu berarti bahwa gadis itu tentu menarik sekali. Tidak banyak wanita di dunia ini yang dapat menimbulkan kekaguman di dalam hatiku."
"Kalau begitu mari kita mencarinya paman. Aku yakin paman pun akan terpesona melihat gadis itu!" kata Priyadi penuh semangat dan mereka berdua lalu memasuki dusun Jaten yang terletak di dekat sungai itu.
Tidak sukar bagi Priyadi untuk mendapatkan keterangan dari penduduk dusun Jaten di mana rumah gadis bernama Sumarni, maka dua orang itu segera menuju ke rumah yang ditunjukkan orang.
Kebetulan sekali pada pagi hari itu Sumarni sedang menyapu pekarangan depan. Gadis ini berpakaian sederhana sekali, rambutnya juga tidak tersisir rapi, tapi kesederhanaannya itu bahkan lebih menonjolkan kecantikannya yang asli.
Sumarni memang seorang gadis yang denok dan ayu, tubuhnya sedang tumbuh bagaikan setangkai bunga sedang mekar dan wajahnya yang manis itu amat menarik. Biar pun ia seorang dusun namun kulitnya putih kuning mulus, rambutnya ngandan-andan, matanya bening dan terutama sekali mulutnya berbibir amat indah, kemerahan berbentuk gendewa. Resi Wisangkolo sendiri menelan ludah bagaikan seekor serigala melihat sepotong daging kelinci yang segar.
Sumarni yang tengah menyapu itu mendengar kedatangan dua orang itu. Ia menghentikan pekerjaannya dan mengangkat muka memandang. Semula dia mengerutkan alis karena merasa sangat heran melihat dua orang asing berpakaian seperti bangsawan memasuki pekarangannya. Akan tetapi ketika ia melihat wajah Priyadi, sepasang mata yang jeli dan bening itu segera terbelalak, mulut yang mungil itu pun terbuka dan sapu itu terlepas dari tangannya. Dia meragu, akan tetapi mulutnya mengeluarkan seruan yang hampir berupa bisikan penuh harap
"...kakangmas... Permadi...?"
Priyadi tersenyum sambil mengembangkan kedua lengannya. "Sumarni, manisku, andika masih ingat kepadaku?"
"Paduka... kakangmas... Permadi...?" kembali gadis itu berseru, sekarang suaranya lebih nyaring dan ia melangkah maju.
"Benar, aku kekasihmu Permadi!" kata Priyadi.
"Ahh... kakangmas Permadi... akhirnya paduka datang juga...!" Sumarni lari menghampiri, menubruk dan tenggelam ke dalam dekapan Priyadi. Gadis itu menangis terisak-isak dan menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu.
"...kakangmas Permadi... berbulan-bulan saya menunggu, kenapa paduka tidak kunjung datang?" Sumarni mengusap air matanya. "katanya paduka hendak meminang saya...?"
Priyadi merangkul lebih erat. "Sekarang aku sudah datang untuk menjemputmu, sayang. Marilah kau ikut denganku, sekarang juga." Setelah berkata demikian Priyadi melepaskan rangkulannya dan menggandeng tangan gadis itu, menariknya untuk diajak pergi dari situ Akan tetapi Sumarni menahan diri dengan ragu.
"Akan tetapi, kakangmas, saya harus memberi tahu bapa ibu lebih dulu...!"
"Tidak usah! Engkau mau ikut denganku atau tidak?" Priyadi mendesak.
"Saya mau... saya mau... akan tetapi ayah ibu..."
Priyadi menarik tangan Sumarni. "Sudahlah, jangan pikirkan ayah ibumu. Mari engkau ikut denganku dan engkau akan hidup mulia di sampingku." Dia setengah memaksa gadis itu mengikutinya dengan menggandeng tangannya.
"Sumarni, engkau hendak pergi ke mana?" Tiba-tiba terdengar seruan suara wanita dan muncullah seorang wanita setengah baya, berusia kurang lebih empat puluh tahun, keluar dari pintu rumah itu. Di belakangnya keluar pula seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih. Mereka bergegas keluar menghampiri Sumarni yang digandeng seorang pemuda tampan berpakaian mewah.
"Bapak! Simbok! Aku mau pergi, diajak oleh kakangmas Permadi ini!" Sumarni berseru.
"Hai... berhenti dulu!” ayah Sumarni membentak sambil mengejar. Ketika Priyadi berhenti dan memutar tubuh menghadapinya, petani itu menegur. "Orang muda, siapakah andika dan andika tidak boleh membawa anak kami pergi begitu saja!"
"Bapak, jangan menghalangi kami. Dia ini adalah Kakangmas Permadi. Dia adalah Dewa penjaga Sungai dan sudah menjadi suamiku," kata Sumarni.
"Tidak, engkau tidak boleh dibawa pergi begitu saja!" Ayah gadis itu tetap berkeras dan melangkah ke depan untuk memegang lengan puterinya dan hendak merenggutnya dari gandengan Priyadi.
Melihat ini Resi Wisangkolo menggerakkan tangan ke depan mendorong. Angin yang kuat menyambar dan membuat suami isteri itu terdorong ke belakang dan roboh.
"Apa kalian sudah bosan hidup?!" bentak kakek itu.
Suami isteri itu terkejut dan ketakutan. Priyadi memberi isarat agar Resi Wisangkolo tidak menyerang lagi. Dia mengeluarkan sekantung uang dan melemparkan ke atas tanah di depan suami isteri yang mencoba untuk merangkak bangun itu.
"Terimalah ini sebagai pengganti anak kalian!" Sesudah berkata demikian Priyadi segera menyambar tubuh Sumarni dan memondongnya, kemudian membawanya lari dengan mengerahkan ilmunya sehingga dia dapat berlari secepat terbang.
Resi Wisangkolo mengikutinya sambil tertawa-tawa.
Suami isteri itu hanya bengong memandang dua orang yang berkelebatan begitu cepat, sebentar saja sudah lenyap dari situ. Bahkan mereka berdua masih tetap berlutut dengan mata terbelalak. Mereka mulai percaya bahwa pemuda tampan yang membawa Sumarni adalah seorang dewa, bukan manusia biasa seperti yang dikatakan anak mereka tadi.
Apa yang mampu mereka lakukan terhadap seorang Dewa? Suami isteri yang sederhana dan bodoh itu tidak mampu berbuat apa pun kecuali menangis karena kehilangan anak mereka yang dibawa ‘dewa’ entah ke mana. Sekantung uang yang ditinggalkan dewa memang cukup banyak bagi ukuran keluarga dusun seperti mereka, namun pemberian itu tidak dapat melenyapkan kesedihan mereka kehilangan anak yang mereka sayang.....
********************
Dua orang itu melangkah perlahan-lahan dengan sikap waspada. Matahari sudah naik tinggi dan hari itu amatlah teriknya. Retno Susilo berhenti melangkah ketika mereka tiba di bawah sebatang pohon asem,yang besar.
"Kita berhenti dulu," katanya kepada Sutejo. "Panasnya bukan main dan di sini teduh dan sejuk." Ia mengusap keringatnya yang membasahi leher.
Sutejo tersenyum. "Baiklah, kita mengaso di sini sebentar. Akan tetapi tidak boleh terlalu lama. Kita sudah dekat dengan perkampungan Jatikusumo. Kalau sampai kita ketahuan, tentu kita akan dikepung dan dikeroyok."
"Hemm, aku tidak takut!" kata Retno Susilo yang berwatak keras dan pemberani.
Sutejo tersenyum menatap wajah yang ayu itu. "Aku pun tidak takut, diajeng Retno. Akan tetapi ingat, sekarang belum waktunya bagi kita untuk menyerbu. Kita hanya bertugas melakukan penyelidikan untuk mengetahui kekuatan mereka. Lagi pula, kalau kita nekat menghadapi pengeroyokan mereka, bagaimana mungkin kita akan dapat menang?"
Angin semilir mengipasi tubuh mereka. Memang nyaman setelah tadi terbakar teriknya matahari siang, kini berada di tempat yang teduh dihembus angin semilir. Membuat mata menjadi mengantuk. Mereka duduk di atas batu yang berada di bawah pohon.
Sutejo dan Retno Susilo tiba di luar perkampungan Jatikusumo itu sesudah lebih dahulu singgah di Hutan Kebojambe di kaki Gunung Kelud untuk menghadap Ki Mundingsosro ketua perkumpulan Sardulo Cemeng.
Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo menyambut kedatangan mereka dengan gembira dan keluarga itu mengadakan sebuah pesta keluarga untuk menyambut Sutejo dan Retno Susilo. Apa lagi ketika mendengar bahwa Sutejo sudah bertemu dengan orang tuanya, malah orang tua pemuda itu akan datang untuk meminang Retno Susilo, Ki Mudingsosro yang memang sudah berhasrat untuk bermenantukan Sutejo, menjadi girang bukan main.
Setelah kedua orang muda itu menceritakan tentang keinginan mereka uniuk menyerbu Jatikusumo di mana si murid durhaka Priyadi menjadi ketuanya dan bersekongkol dengan orang-orang Wirosobo, segera Ki Mundingsosro menyatakan kesediaannya mengerahkan seluruh anggota Sardula Cemeng untuk membantu. Retno Susilo minta kepada ayahnya untuk menyiapkan pasukan Sardula Cemeng itu agar sewaktu-waktu bisa diperbantukan.
Setelah tinggal selama tiga hari di Hutan Kebojambe untuk melepas rindu, kedua orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan dan pada siang hari itu tibalah mereka di luar daerah perkampungan Jatikusumo.....
Komentar
Posting Komentar