PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-36


"Kalau dia muncul seerang diri, tanpa keroyokan, biarlah aku yang akan menandinginya, diajeng. Aku ingin membalas kematian Uwa Guru Bhagawan Sindusakti, Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini serta para murid Jatikusumo. Juga aku ingin menandingi Bhagawan Jaladara untuk membalaskan kematian Bapa Guru dan Eyang Guru!"

"Aku heran sekali, ketika dahulu dia membantu melawan ayah ibumu, tingkat kepandaian Priyadi itu masih belum terlampau tinggi, tidak akan melebihi tingkatku sendiri. Akan tetapi bagaimana dia tiba-tiba dapat begitu sakti hingga mampu mengalahkan dan membunuh ketua Jatikusumo yang menjadi gurunya sendiri?"

"Tentu ada rahasianya, diajeng. Kita tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Perubahan secara tiba-tiba mungkin saja terjadi pada diri seseorang. Contohnya aku sendiri. Tanpa diduga-duga aku menerima aji kesaktian dari mendiang Eyang Guru Resi Limut Manik. Seperti juga engkau yang tadinya hanya menerima pelajaran dari ayahmu, lalu bertemu dengan Nyi Rukmo Petak yang memberi gemblengan kepadamu hingga engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi."

"Mungkin saja begitu. Apa lagi sekarang dia memiliki Pecut Bajrakirana, tentu dia menjadi semakin tangguh. Kalau saja dia berani melawan satu sama satu, aku berani menghadapi dia!"

"Sudahlah, diajeng Retno Susilo. Kalau terjadi pertempuran, engkau boleh menghadapi yang lain, tapi yang satu ini, Priyadi, harus kau serahkan kepadaku untuk menandinginya. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kita mengambil jalan mengitari daerah perkampungan Jatikusumo ini untuk melihat bagian mana yang lemah dan dapat diserbu kelak."

Mereka lalu turun dari atas batu dan melanjutkan perjalanan mereka. Mereka melakukan perjalanan dengan sangat hati-hati dan waspada. Setiap kali bertemu orang mereka cepat bersembunyi di balik semak-semak atau batang pohon dan batu besar.

Mereka melihat betapa perkampungan Jatikusumo terjaga ketat oleh puluhan orang yang rata-rata kelihatan kuat. Juga perkampungan itu dikitari dinding dari kayu yang ujungnya dibikin runcing seperti tombak, tingginya tidak kurang dari dua setengah meter. Di pintu gerbang terdapat kurang lebih tiga puluh orang penjaga, sementara pada pintu belakang perkampungan itu terdapat belasan orang penjaga. Sering terlihat empat orang penjaga melakukan perondaan mengelilingi bagian luar dinding itu.

Hari sudah menjelang sore ketika Sutejo dan Retno Susilo akhirnya menghentikan perjalanan mereka melakukan penyelidikan dan kini mereka berada di pantai berpasir, tak jauh dari perkampungan Jatikusumo yang memang terletak di pantai Laut Kidul itu.

"Ke mana kita sekarang, kakangmas?"

"Sudah cukup kita menyelidiki. Akan tetapi aku masih ingin mengetahui siapa saja yang berada di perkampungan Jatikusumo. Siapa yang membantu Priyadi untuk memperkuat perkumpulannya dan sejauh mana hubungannya dengan Wirosobo."

"Akan tetapi bagaimana caranya? Engkau kan tidak akan menyelundup masuk ke dalam perkampungan itu?"

"Ah, tidak. Semua orang tentu sudah mengenalku maka pasti akan ketahuan. Kita harus menangkap seorang anggota mereka, kemudian kita paksa dia agar menceritakan semua keadaan di perkampungan Jatikusumo itu."

"Ah, bagus sekali akal itu, kakangmas! Aku tahu! Peronda-peronda itu. Mereka setiap kali mengitari perkampungan dengan berempat. Kalau malam telah tiba dan mereka berempat melakukan perondaan, kita dapat menyergap mereka dan menangkap salah seorang di antaranya. Begitu, bukan?"

"Tepat! Engkau cerdik, diajeng Nah, mari kita bersiap untuk melakukan penyergapan itu begitu malam tiba dan cuaca menjadi gelap."

"Akan tetapi malam ini terang bulan. Kalau tidak salah, malam ini bahkan bulan purnama akan muncul."

"Kita jangan menanti sampai bulan menjadi terang betul. Lewat senja nanti keadaan tentu masih gelap dan kita bergerak... ssstt... itu ada orang!" mendadak Sutejo menarik tangan Retno Susilo lalu rnengajak gadis itu melompat dan bersembunyi di belakang sebuah batu besar yang berada di atas pantai berpasir itu.

Mereka lalu mengintai dari balik batu itu. Tampak dua orang sedang berjalan menuju ke tempat itu. Mereka berjalan menyusuri pantai sambil bercakap-cakap.

"Itu dia... Priyadi bersama Ki Wisangkolo...!" seru Retno Susilo lirih sambil memegang lengan Sutejo dengan tegang.

Sutejo juga sudah melihat dan mengenal mereka. Hatinya merasa tegang dan berdebar juga. Inilah kesempatan yang bagus sekali. Mereka itu hanya berdua, tidak sempat untuk melakukan pengeroyokan. Apa lagi seorang yang sudah berani mengangkat diri menjadi ketua Jatikusumo seperti Priyadi, tentu memiliki keangkuhan dan akan menerima kalau dia tantang untuk bertanding satu lawan satu. Sesudah mengambil keputusan tetap, dia segera mengajak Retno Susilo untuk keluar dari persembunyian mereka dan melompat ke depan dua orang yang sedang berjalan seenaknya di tepi laut itu.

Priyadi dan Ki Klabangkolo menjadi terkejut sekali setelah mengenal siapa orangnya yang melompat dan menghadang di depan mereka. Akan tetapi begitu melihat Retno Susilo, Priyadi merasa lega dan tersenyum. Dalam pandangannya gadis itu tampak semakin ayu saja sehingga jantungnya berdebar penuh kerinduan dan gairah. Dia tidak mempedulikan Sutejo dan melangkah maju menghampiri Retno Susilo.

"Nimas Retno Susilo...! Ahh, betapa sudah lama sekali aku mengharapkan pertemuan ini betapa setengah mati aku merindukanmu, nimas! Tentu kau datang untuk mengunjungi aku, bukan? Tentu kau belum melupakan aku yang pernah menolong dan membantumu, bukan?" kata pemuda itu dan dia menatap wajah Retno Susilo dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kerinduan!

Akan tetapi gadis itu melangkah mundur dua tindak menjauhi pemuda itu dan matanya mencorong marah. Melihat ini Priyadi menjadi kecewa dan heran.

"Nimas Retno Susilo, apakah engkau lupa padaku? Aku Priyadi yang dulu membantumu dan menolongmu ketika engkau ditawan Ki Klabangkolo! Inilah dia orangnya yang dulu menawanmu, nimas. Lupakah engkau? Sekarang Ki Klabangkolo telah menjadi seorang pembantuku. Ingatkah engkau ketika dulu aku membantumu lari menyelamatkan diri dari perkampungan Nogo Dento? Aku Priyadi!"

"Aku tahu siapa engkau! Seorang manusia berhati iblis yang telah membunuh guru sendiri dan saudara-saudara seperguruan sendiri. Aku tidak sudi menjadi sahabatmu!"

"Akan tetapi, nimas Retno Susilo...! Aku... aku cinta padamu...!" Priyadi melangkah maju.

Akan tetapi Sutejo sudah maju ke depan dan menghadapinya.

"Priyadi!" bentak Sutejo. "Aku sengaja menghadang di sini dan aku ingin bicara padamu!"

Seolah baru sekarang ini Priyadi melihat Sutejo dan dia memandang kerada pemuda itu dengan alis berkerut dan mata mencorong marah. "Engkau kan Sutejo, murid Paman Bhagawan Sidik Paningal itu? Mau apa engkau? Minggirlah dan jangan mengganggu aku bicara dengan nimas Retno Susilo. Engkau anak kecil tahu apa!"

"Priyadi! Dahulu engkau memang terhitung kakak seperguruanku. Akan tetapi sekarang aku tidak sudi mengakui engkau sebagai saudara seperguruan lagi. Engkau murid murtad, manusia jahanam yang khianat, telah membunuh guru dan saudara seperguruan sendiri. Aku menantang engkau untuk bertanding satu lawan satu kalau memang engkau seorang laki-laki!"

Priyadi menjadi marah. "Babo-babo keparat Sutejo! Sesudah memiliki sedikit kepandaian, engkau menjadi sombong! Kau kira aku takut kepadamu? Agaknya engkau sudah bosan hidup. Jika engkau hendak menyusul Bhagawan Sindusakti dan para muridnya yang telah tewas, biarlah aku mengantarmu!"

"Kakangmas Sutejo, jangan takut dikeroyok! Kalau celeng (babi hutan) brewok tua bangka itu hendak maju mengeroyok, biar aku yang membunuhnya!" bentak Retno Susilo yang masih merasa marah sekali kepada Ki Klabangkolo yang pernah menawannya dengan niat keji terhadap dirinya.

"Keparat Sutejo! Hari ini engkau akan mampus di tanganku dan engkau nimas Retno Susilo, mau tak mau engkau harus ikut aku dan hidup mulia bersamaku di perkampungan Jatikusumo!"

"Sudahlah, Priyadi! Seorang jantan tidak perlu banyak bicara. Kalau memang engkau berani, mari kita tentukan siapa di antara kita yang akan mendapatkan perlindungan Sang Hyang Widhi Wasa!" tantang Sutejo.

Mendengar tantangan ini, Priyadi marah bukan main. "Paman Klabangkolo, jangan ikut-ikut. Andika menjadi saksi saja dan lihat bagaimana aku akan menghukum bocah banyak tingkah ini!" Setelah berkata demikian, tubuhnya menggeliat dan kedua lengannya terulur ke atas lalu melengkung ke depan dan dari mulutnya terdengar suara yang amat dahsyat. Suara itu menggeram dan membuat keadaan di pantai itu seperti tergetar.

"Aauuurrrgghhh...!"

Itulah Aji Jerit Nogo yang amat dahsyat. Aji yang mengeluarkan suara yang mengandung tenaga sakti sepenuhnya ini bukan saja dapat menangkis semua kekuatan sihir, namun juga memiliki daya serang membuat jantung lawan terguncang dan dapat membuat lawan lumpuh.

Sutejo sudah waspada dan dia pun maklum akan kedahsyatan aji yang dikeluarkan oleh Priyadi. Maka dia pun langsung mengerahkan tenaga saktinya yang dia dapatkan dari mendiang Resi Limut Manik sehingga aji kekebalan Kawoco yang melindungi seluruh tubuhnya menjadi berlipat ganda kuatnya. Gelombang pekik sakti yang dikeluarkan oleh Priyadi itu bagaikan gelombang samudera yang menerpa batu karang yang kokoh kuat sehingga gelombang itu terpecah dan batu karang itu tidak bergeming sedikit pun!

Melihat ini Priyadi menjadi terkejut sekali dan juga penasaran yang membuatnya menjadi semakin marah.

Dia menyilangkan kedua lengannya, membuat gerakan aneh lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Sutejo sambil mengeluarkan bentakan nyaring, "Aji Margopati...!"

"Aji Bromokendali ...!" Sutejo juga mendorong kedua telapak tangannya seolah membuat gerakan menyembah ke atas.

"Wuuuuttt...! Blaarrrr...!"

Dua tenaga sakti yang amat dahsyat bertemu di udara dan kedua orang muda yang sakti mandraguna itu terpental ke belakang dan napas mereka agak memburu saking kuatnya tenaga mereka sendiri yang terpental dan membalik. Keduanya maklum bahwa mereka memiliki tenaga sakti yang sama kuatnya dan menghamburkan tenaga sakti ini sungguh membahayakan diri sendiri kalau tidak berhasil merobohkan lawan.

Maka Priyadi lalu melompat dan menerkam, mengirim pukulan dengan kedua tangannya bertubi-tubi ke arah bagian tubuh Sutejo yang berbahaya. Namun Sutejo sudah siap dan dia pun cepat mengelak dan menangkis lalu membalas sehingga dua orang jagoan muda itu sudah saling serang dengan hebatnya. Mereka saling pukul, saling tangkis, saling tendang, dorong mendorong bagaikan dua ekor singa muda bergumul dan berkelahi mati-matian. Keadaan di sekeliling mereka tergetar, pasir berhamburan dan angin menyambar-nyambar dari pukulan mereka.

Ki Klabangkolo dan Retno Susilo yang menjadi penonton, memandang dengan mata terbelalak. Hampir gadis itu tidak pernah berkedip. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Kagum, tegang dan juga khawatir. Selama hidup belum pernah dia menyaksikan pertandingan yang demikian hebatnya. Dia semakin kagum kepada Sutejo. Baru sekarang dia menyaksikan kesaktian Sutejo yang dikeluarkan semua.

Tetapi yang membuat dia khawatir adalah ketika dia melihat betapa Priyadi juga tangkas sekali dan juga kebal. Mereka itu saling memukul dan kadang-kadang pukulan mereka mengenai sasaran, akan tetapi tubuh lawan yang terpukul seperti terbuat dari karet dan pukulan itu terpental! Mereka itu hanya saling mengelak kalau pukulan mengarah bagian tubuh yang lemah dan berbahaya, atau menangkis.

Suara lengan mereka yang beradu berulang kali itu mengeluarkan suara dak-duk dak-duk yang menggetarkan, seolah bukan tulang daging kulit yang diadu, melainkan dua baja yang amat kuat.

"Keparat, ambrol dadamu!" Priyadi membentak dan tubuhnya melayang dengan kedua kaki terlebih dulu. Dua batang kaki itu mengandung tenaga dahsyat menghantam ke arah dada Sutejo.

Serangan itu demikian cepatnya sehingga Sutejo tak sempat mengelak atau menangkis, maka terpaksa menyambut dengan dadanya sambil mengerahkan aji kekebalan Kawoco.

"Wuuuuttt...! Desss ...!"

Sutejo tidak terluka karena dadanya dilindungi aji kekebalan, akan tetapi saking kuatnya tendangan terbang itu, tubuhnya terjengkang dan terguling-guling sampai beberapa meter!

"Ha-ha-ha!" Priyadi yang sudah hinggap di atas tanah menertawakannya, akan tetapi tiba-tiba tubuh Sutejo yang tadinya bergulingan, sudah melompat dan meluncur ke depan, dan dua tangannya menerkam ke arah tubuh Priyadi!

Priyadi terkejut, akan tetapi pinggangnya sudah dapat dicengkeram, tubuhnya diangkat oleh Sutejo lalu dibanting.

"Desss...!"

Tubuh Priyadi terbanting dan dia terguling-guling sampai beberapa meter, akan tetapi dia pun cepat melompat berdiri lagi dengan mata bersinar penuh kemarahan. Tidak dikiranya bahwa Sutejo dapat bergerak secepat dan sekuat itu. Pertandingan itu sudah berlangsung hampir satu jam dan mereka baru satu kali saling menjatuhkan, akan tetapi tidak dapat saling melukai.

"Srattt...!"

Tampak sinar berkilat ketika Priyadi mencabut sebatang keris dari pinggangnya. Itulah keris pusaka Ilat Nogo, pemberian Adipati Wirosobo sebagai tanda bahwa Priyadi telah menjadi seorang senopati Wirosobo! Keris pusaka yang sangat ampuh karena Ilat Nogo berarti Lidah Naga. Tentu saja ujung keris itu mengandung racun yang panas dan dapat membuat kulit lawan melepuh kalau sampai tergores sedikit saja!

"Hmm, Priyadi. Belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mengeluarkan pusaka!" kata Sutejo mencela.

"Pusaka Ilat Nogo inilah yang akan mengantarmu ke alam baka!" bentak Priyadi sambil mengacungkan kerisnya yang berluk sembilan berbentuk lidah naga yang rupanya agak kemerahan.

Sutejo melolos kain pengikat rambut kepalanya kemudian menggerakkan kain itu dengan tangan kanan. Kain yang tadinya lemas itu kini berubah menjadi kaku seperti terbuat dari logam yang kuat.

"Majulah kau dengan kerismu itu, Priyadi. Aku sama sekali tidak gentar menghadapinya!" sahut Sutejo dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan, berbeda dengan sikap Priyadi yang dipenuhi kemarahan.

"Mampus kau...!" Priyadi mulai menyerang dengan kerisnya. Gerakannya amat cepat dan juga mengandung tenaga yang amat kuat.

Sutejo maklum akan bahayanya serangan itu. Selain cepat dan mengandung tenaga sakti yang sangat kuat, juga keris itu sendiri merupakan senjata yang amat ampuh. Dia tidak berani mengandalkan aji kekebalannya untuk menerima tikaman keris pusaka itu. Dengan gerakan ringan ia melompat ke samping sehingga tusukan keris itu luput dan dari samping kain ikat kepalanya menyambar ke arah pelipis kiri Priyadi.

Priyadi juga tidak berani memandang rendah serangan dengan keris itu karena dia tahu bahwa lawannya mempergunakan Aji Sihung Nila, dan agaknya aji-aji dari perguruan Jatikusumo yang dikuasai Sutejo sudah sampai pada tingkat paling atas. Dari sambaran angin serangan itu saja maklumlah dia bahwa dia tidak boleh mengandalkan aji kekebalan untuk menghadapi sambaran kain itu. Dia pun cepat menundukkan kepala mengelak, lalu melangkah satu tindak ke belakang dan kembali kerisnya menghunjam ke arah perut Sutejo.

Sutejo menangkis dengan sabetan tangan kirinya ke arah lengan Priyadi.

"Plakk...!"

Tangan Priyadi yang memegang keris terpental dan saat itu, Sutejo melecutkan ujung kain kepalanya ke arah muka Priyadi, mengancam mata!

"Plakk!"

Priyadi membalas dengan tangkisan tangan kirinya sehingga kain itu terpental. Keduanya melangkah mundur untuk mengambil pasangan kuda-kuda, kemudian saling menyerang lagi dengan cepat dan ganasnya.

Retno Susilo hampir tak pernah berkedip. Pertandingan itu hebat bukan main. Gerakan kedua orang itu sangat cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata dan ia tidak tahu pihak manakah yang unggul atau pihak mana yang terdesak. Agaknya mereka saling serang bergantian, kadang dari jarak dekat sekali dan terkadang dari jarak agak jauh.

Lebih setengah jam mereka bertanding mempergunakan keris dan ikat kepala dan tanpa terasa cuaca menjadi semakin gelap sehingga kedua orang yang bertanding itu kini lebih banyak mengandalkan ketajaman pendengaran mereka dari pada ketajaman penglihatan mereka. Dari suara sambaran angin serangan, mereka dapat mengetahui dari arah mana serangan datang menyambar.

Sementara itu Retno Susilo yang menonton menjadi semakin tegang dan gelisah. Dia sangat mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya.

"Anakmas Priyadi, kenapa tidak mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana?" tiba-tiba Ki Klabangkolo berseru nyaring.

Agaknya Priyadi baru teringat akan senjata pusaka keramat ini. Segera dia melompat ke belakang, menyarungkan kerisnya dan melolos pecut sakti itu yang tadinya dilibatkan di pinggangnya. Pecut yang panjang itu digerakkan ke atas dan terdengar bunyi meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar.

Sutejo terkejut sekali. Hatinya menjadi terguncang dan dia merasa agak gentar karena dia tahu benar keampuhan pecut sakti itu.

"Sutejo! Kau melihat pusaka ini? Berlututlah karena setiap orang murid Jatikusumo harus menaati pemegang pecut pusaka ini" bentak Priyadi.

"Hemm, Priyadi. Pecut pusaka itu sesungguhnya sudah menjadi milikku, diwariskan oleh mendiang Resi Limut Manik. Secara licik Bhagawan Jaladara telah mencurinya, kemudian merebut pecut pusaka itu dari tanganku, dan agaknya dia lalu memberikannya kepadamu. Jadi pecut itu adalah milikku. Penghormatan bukan dilakukan terhadap pecut pusaka itu, melainkan terhadap pemegangnya. Dan engkau adalah seorang durjana yang tidak patut untuk dihormati. Kembalikan pecut Bajrakirana itu kepadaku?"

"Mampuslah engkau!" Priyadi membentak dan menggerakkan cambuk itu yang melecut-lecut ke arah kepala Sutejo.

"Tar-tar-tar-tarrrr...!"

Sutejo terpaksa harus berloncatan ke sana sini untuk menghindarkan diri. Lecutan Pecut Bajrakirana itu berbahaya sekali dan kalau mengenai kepalanya, mungkin dia akan roboh tewas.

Dia lalu menggerakkan kain pengikat kepalanya, memainkannya dengan Aji Bajrakirana. Akan tetapi karena yang dimainkan hanya sehelai kain sedangkan aji itu harus dimainkan dengan sebatang pecut dan pecut itu pun harus Pecut Bajrakirana, maka permainannya tidaklah begitu hebat. Sedangkan penyerangan Priyadi datang bertubi, pecut menyambar-nyambar.

Terpaksa Sutejo harus mengerahkan seluruh ilmunya untuk meringankan tubuhnya, yaitu Aji Harina Legawa. Tubuhnya bergerak seperti seekor burung srikatan, dan sudah cepat menghindar sebelum ujung cambuk menyentuh tubuhnya.

Dua kali dia mencoba untuk menangkis dengan kain pengikat kepalanya, namun setiap kali bertemu ujung pecut, kain pengikat kepalanya itu terobek ujungnya! Setelah dua kali senjatanya yang istimewa itu hancur ujungnya bertemu dengan Pecut Sakti Bajrakirana, Sutejo tidak berani menangkis lagi dan hanya mengandalkan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri. Dia berusaha membalas serangan-serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya itu dengan kain yang sudah remuk pinggirnya itu dan.

Memang ilmu silat pecut Bajrakirana yang dimainkannya sempat membuat Priyadi terkejut dan memutar pecutnya melindungi diri. Akan tetapi kain pengikat kepala itu bukan pecut. Kurang panjang dan tidak ada gagangnya. Tentu saja gerakan Sutejo menjadi terbatas dan ilmu yang hebat itu tidak dapat dimainkan sepenuhnya.

Malam telah tiba. Cuaca amat gelapnya. Tiba-tiba Priyadi yang tadinya sempat dikejutkan oleh permainan silat Sutejo yang aneh, melompat ke belakang.

"Tahan dulu!" serunya lantang. "Sutejo! Malam telah tiba. Cuaca terlampau gelap bagi kita untuk melanjutkan pertandingan. Kalau engkau memang jantan, aku menantangmu untuk melanjutkan pertandingan besok pagi sesudah matahari muncul, tempatnya di sini juga. Kalau engkau tidak datang, maka itu berarti bahwa engkau adalah seorang pengecut dan penakut yang hina dan rendah!"

"Priyadi!" Bentak Sutejo. "Siapa takut kepadamu? Sekarang atau pun besok pagi, aku selalu siap menghadapimu! Besok pagi aku akan datang ke sini memenuhi tantanganmu karena sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi seorang manusia berhati iblis seperti kamu!"

"Hati-hati, kakangmas Sutejo. Manusia iblis macam dia tentu tidak segan-segan bertindak curang!" kata Retno Susilo.

"Nimas Retno Susilo, ingatlah bahwa hatiku masih tetap terbuka untukmu. Nah, sampai besok pagi kita bertemu lagi. Mari, paman klabangkolo!" Priyadi lalu meninggalkan tempat itu bersama Ki Klabangkolo, meninggalkan Sutejo dan Retno Susilo.

"Bagaimana, kakangmas? Apakah kiranya engkau mampu menandinginya? Tadi aku amat bingung, tidak tahu siapa yang lebih unggul antara kalian berdua," kata Retno Susilo sambil menghampiri Sutejo.

Sutejo menghela napas panjang dan mengikatkan kembali kain yang tadi dipergunakan sebagai senjata di kepalanya. "Wah, dia memang hebat bukan main. Akan tetapi aku masih dapat mengimbanginya. Hanya setelah dia mempergunakan Pecut Bajrakirana, aku merasa kewalahan. Pusaka itu ampuh sekali sehingga kain pengikat kepalaku menjadi remuk ujungnya. Ahh, kalau saja pecut itu dapat kurampas dan berada di tanganku, aku yakin akan mampu mengalahkan dan merobohkannya!" Sutejo merasa yakin sekali sebab bila pecut itu berada di tangannya dan ia memainkannya dengan Aji Bajrakirana, agaknya Priyadi tidak akan mampu menandinginya.

"Akan tetapi bagaimana jadinya besok pagi kalau dia menggunakan pecut itu? Apakah... tidak berbahaya bagimu, kakangmas?" tanya Retno Susilo dengan suara mengandung kekhawatiran.

"Jangan khawatir, diajeng. Tidak akan mudah bagi dia untuk mengalahkan aku! Aku akan menggunakan segala daya untuk menandinginya."

"Kakangmas, aku merasa khawatir sekali. Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja dari sini? Kelak, kalau kita sudah siap dan melakukan penyerbuan ke sini, baru engkau hadapi lagi dia."

"Ah, bagaimana mungkin aku melakukan hal itu, diajeng? Tentu Priyadi akan menganggap aku pengecut dan penakut. Tidak, aku harus menyambut tantangannya. Kurasa aku masih sanggup untuk menandinginya, walau pun dia mempergunakan Pecut Bajrakirana. Nah, sekarang kita harus mencari tempat untuk beristirahat dan melewatkan malam ini, diajeng. Aku harus menghimpun tenaga untuk menghadapi Priyadi besok pagi."

Retno Susilo tidak mau membantah lagi dan mereka lalu menyusuri pantai itu. Akhirnya mereka menemukan sebuah goa di antara batu-batu karang di pantai itu dan mereka lalu memasuki goa dengan mempergunakan seikat kayu yang dibakar sebagai penerangan. Goa itu cukup lebar dan lantainya pun rata. Sutejo lalu membuat api unggun di mulut goa dan mereka pun beristirahat.

"Engkau tidurlah, kakangmas. Engkau perlu beristirahat untuk memulihkan tenaga agar besok pagi engkau dapat menghadapi musuh dalam keadaan segar. Biar aku saja yang melakukan penjagaan agar api unggun tidak sampai padam."

Sutejo pun tidak sungkan-sungkan lagi. "Baiklah, diajeng, dan terima kasih." Sutejo lalu memasuki goa dan merebahkan dirinya di sudut goa, tidur telentang dan mengendurkan seluruh urat syarafnya untuk beristirahat.

Bulan purnama muncul dengan cahayanya yang lembut dan terang, menciptakan suatu pemandangan yang amat indah penuh rahasia di sepanjang pantai Laut Selatan yang luas itu. Deru dan desis air yang menipis di pantai pasir, debur ombak yang menggelegar menghantam dinding karang, menambah aneh suasana di malam hari itu.

Tiba-tiba Retno Susilo memandang ke arah pantai berpasir dengan mata terbelalak.

"Kakangmas Sutejo...!" Ia memanggil dengan suara tertahan.

Sutejo yang belum pulas karena baru saja merebahkan diri, bangkit duduk.

"Ada apakah, diajeng?"

"Di sana ada orang, kakangmas. Mencurigakan sekali!"

Sutejo menghampiri Retno Susilo di mulut goa dan kini dia pun melihat ada sosok tubuh seseorang terbungkuk-bungkuk menuju ke air.

"Celaka, agaknya orang itu hendak membunuh diri,” kata Sutejo dan dia pun melompat bangun lalu berlari, diikuti Retno Susilo.

Mereka menghampiri orang yang kini sudah masuk ke dalam air dan sudah berada di bagian yang sepinggang dalamnya! Agaknya dia hendak terus ke tengah!

Sutejo cepat berloncatan dalam air dan akhirnya ia dapat meraih pinggang orang itu lalu menariknya ke daratan kembali. Dia merasa heran sekali mendapatkan kenyataan bahwa yang hendak membunuh diri itu adalah seorang wanita. Seorang wanita muda yang cantik manis walau pun rambutnya awut-awutan. Dan di bawah sinar bulan purnama, dia dapat melihat wajah itu dengan jelas. Sutejo tertegun ketika dia mengenal wajah gadis itu.

"Sumarni...! Kau... kau... Sumarni?"

Retno Susilo sudah berada pula di sampingnya dan gadis ini tentu saja sangat terheran mendengar betapa Sutejo agaknya sudah mengenal gadis yang hendak membunuh diri.

Gadis itu memang Sumarni. Tadinya dia meronta di dalam rangkulan Sutejo, akan tetapi ketika ia mendengar Sutejo menyebut namanya, ia pun segera mengenal pemuda itu dan ia pun menjatuhkan dirinya berlutut di atas pasir lantas menangis tersedu-sedu dengan sedih sekali.

"Kakangmas Sutejo, siapakah gadis ini?" Retno Susilo bertanya dengan alis berkerut.

"Dia Sumarni. Aku pernah menolongnya dari tangan orang-orang jahat. Sumarni, kenapa engkau berada di sini dan apa yang hendak kau lakukan tadi?"

Ditanya begini, Sumarni menangis semakin sedih.

"Sumarni, lupakah engkau kepadaku? Tidak percayakah engkau padaku?" tanya Sutejo.

Di antara isak tangisnya, Sumarni berkata, "Saya mengenal andika, denmas Sutejo. Akan tetapi mengapa denmas menolong saya? Biarkan saya tenggelam dan mati saja..."

"Akan tetapi kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Sutejo.

"Denmas ingat cerita saya dahulu tentang pemuda bernama Permadi itu?"

"Hemm, yang meninggalkanmu begitu saja?"

"Benar, denmas, Akhirnya dia datang kemudian dengan paksa dia membawa saya ke sini. Ternyata dia bukan dewa penjaga sungai, melainkan seorang ketua perkumpulan yang bernama Priyadi. Tadinya saya rela mengikutinya, saya cinta padanya, tetapi... ahhhh..."

Retno Susilo tertarik ketika mendengar bahwa yang diceritakan gadis itu adalah mengenai Priyadi. "Akan tetapi apakah... apakah yang dia lakukan terhadap dirimu?" Retno Susilo membantu Sumarni untuk bangkit.

Gadis dusun Jaten itu mengusap pipinya dengan kedua tangan.

"Ternyata dia adalah seorang yang kejam dan jahat sekali, denmas Sutejo. Dia hanya menganggap aku sebagai barang permainan belaka dan yang lebih menghancurkan hatiku, dia... dia... menyuguhkan dan menyerahkan aku kepada Ki Klabangkolo..."

"Keparat jahanam!" Sutejo mengepal tangannya dengan marah. Dia bisa membayangkan bagaimana hancur dan sengsara rasa hati gadis itu yang dipaksa untuk melayani Ki Kiabangkolo, disuguhkan sendiri oleh Priyadi yang dicintanya!

"Aku cinta padanya, denmas. akan tetapi aku juga benci padanya... kalau saja aku dapat, aku ingin membunuhnya... akan tetapi tidak mungkin, dia berkuasa dan sakti. Lebih baik aku mati tenggelam saja..." Gadis itu menangis lagi.

Sutejo tidak dapat berkata apa-apa. Dia menjadi bingung, harus menghibur bagaimana kepada gadis dusun yang bernasib malang itu.

"Kakangmas Sutejo, engkau kembalilah ke dalam goa dan beristirahatlah. Biarkan aku yang bicara dengan mbakayu ini. Aku tahu bagaimana harus manghiburnya," kata Retno Susilo.

Sutejo memandang kepadanya lalu kepada Sumarni yang masih menangis. Kemudian dia mengangguk. Biarlah Retno Susilo yang menghiburnya. Dia sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Dia mengangguk lalu meninggalkan dua orang wanita itu, kembali ke dalam goa, menambahkan kayu pada api unggun, lalu tertidur.

"Mbakayu Sumarni, aku Retno Susilo, aku kasihan padamu dan aku ingin memberi jalan kepadamu untuk melampiaskan dendam sakit hatimu. Bukankah engkau amat membenci Priyadi yang telah menyuguhkan dirimu kepada Ki Klabangkolo?"

"Aku... aku tadinya amat cinta kepadanya, den roro, akan tetapi sekarang aku amat benci kepadanya. Perbuatan itu amat menyakitkan hatiku."

"Engkau ingin membalas dendam dan melihat dia mati?"

"Akan tetapi bagaimana mungkin saya bisa membunuhnya? Dia digdaya sekali dan amat berkuasa di perkampungan Jatikusumo, mempunyai banyak pembantu pula."

"Mbakayu Sumarni, sebelum aku memberi jalan padamu untuk membalas dendam, lebih dulu ceritakan kepadaku tentang keadaan di Jatikusumo. Kami memerlukan keterangan itu. Jawab saja pertanyaanku. Berapa banyak kira-kira jumlah anak buah Jatikusumo?"

"Banyak sekali, den roro. Tidak kurang dari seratus lima puluh orang. Setiap hari mereka berlatih kanuragan dan perang-perangan."

"Selain Ki Klabangkolo, ada siapa lagi yang membantu Priyadi di sana?"

"Banyak, den roro. Ada Resi Wisangkolo yang menyeramkan itu dan ada pula perempuan yang agaknya menjadi kekasih pula dari Priyadi. Wanita itu bernama Sekarsih, cantik dan genit sekali. Dan pernah pula datang empat orang tamu dari Wirosobo, tetapi sekarang mereka telah pergi."

"Bagus, keteranganmu ini sangat berguna bagi kami. Ketahuilah, mbakayu Sumarni, kami berdua juga merupakan musuh besar Priyadi. Kami berusaha untuk membunuhnya sebab dia adalah seorang jahat sekali. Kalau engkau mendendam kepadanya dan ingin Priyadi mati, engkau dapat membantu kami, malam ini juga."

"Den roro, saya adalah seorang gadis dusun yang bodoh dan lemah. Bagaimana saya dapat membantu andika berdua? Tentu saja saya bersedia membantu denmas Sutejo karena saya berhutang budi kepada ksatria yang budiman itu."

"Bagus sekali. Engkau memang harus menolong kakangmas Sutejo, karena kalau tidak kau tolong, mungkin besok pagi dia akan tewas di tangan si jahanam Priyadi."

"Ahh...!" Sumarni terkejut. "Saya akan bantu, akan tetapi bagaimana?"

"Begini, mbakayu Sumarni. Besok pagi setelah matahari terbit, Priyadi akan datang ke sini dan akan bertanding melawan kakangmas Sutejo. Sebenarnya kakangmas Sutejo dapat menandingi dan mengalahkan Priyadi. Akan tetapi Priyadi memiliki sebatang pecut yang sebenarnya milik kakangmas Sutejo. Priyadi mendapatkan pecut itu secara curang. Nah, pecut itulah yang kalau digunakan Priyadi mungkin akan mengalahkan kakangmas Sutejo dan bisa jadi akan membunuhnya. Maka, kalau engkau benar-benar hendak membalas kejahatan Priyadi terhadap dirimu dan hendak membalas budi kebaikan kakangmas Sutejo kepadamu usahakanlah supaya engkau dapat mencuri Pecut Bajrakirana itu dan membawanya ke sini malam ini juga. Hanya dengan begitulah maka Priyadi akan dapat dihukum, bahkan juga Ki Klabangkolo yang membantunya. Kalau engkau tidak bersedia melakukannya, sakit hatimu tidak akan terbalas, engkau tetap menjadi barang permainan Priyadi dan Ki Klabangkolo yang terhina, dan engkau tidak akan dapat membalas budi kebaikan kakangmas Sutejo kepadamu. Bahkan mungkin kakangmas Sutejo akan tewas di tangan Priyadi. Nah, sekarang terserah kepadamu untuk memilih dan bertindak."

Sumarni sudah tidak menangis lagi. Ia termenung.

"Hemm... begitukah? Baik sekali, saya mendapat kesempatan untuk membalas terhadap jahanam-jahanam itu dan membalas budi kepada denmas Sutejo. Akan kulakukan itu, den roro. Akan kuusahakan. Saya tahu apa yang harus saya lakukan! Malam ini akan saya rayu dia sampai dia terlena dan kalau dia sudah tertidur pulas, akan saya curi pecut itu lalu saya bawa ke sini."

Retno Susilo menjadi girang sekali. Melihat Sumarni hendak beranjak dari situ, ia berkata, "Tunggu dulu, Sumarni. Apa bila engkau sudah berhasil membawa pecut itu ke sini dan menyerahkannya kepadaku, engkau harus segera meninggalkan tempat ini dan jangan sampai tertangkap oleh mereka. Sebaiknya engkau jangan pulang ke dusunmu karena mungkin mereka akan mencarimu ke sana. Lebih baik engkau pergi ke daerah Ngawi. Di pinggir bengawan sana terdapat perkampungan Nogo Dento, yaitu tempat tinggal kami. Engkau pergilah ke sana dan engkau akan terlindung di sana. Tak ada seorang pun akan dapat mengganggumu lagi."

"Baik, den roro. Nah, saya akan pergi. Doakan saja usaha saya akan berhasil. Kalau saya berhasil, malam ini juga saya akan mengantarkan pusaka itu ke sini, akan tetapi kalau saya tidak datang, berarti saya tidak berhasil dan mungkin sudah terbunuh."

"Selamat jalan dan selamat berjuang, mbakayu Sumarni. Aku akan menunggumu di sini sampai pagi," kata Retno Susilo dengan hati girang dan penuh harapan.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)