PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-37
“Aku yakin akan dapat menang melawan Sutejo. Besok pagi Pecut Bajrakirana tentu akan memecahkan kepalanya. Tadi pun kalau tidak keburu gelap tentu aku sudah merobohkan dia karena dia sudah terdesak,” kata Priyadi.
“Memang andika tidak kalah,” kata Ki Klabangkolo. “Akan tetapi menurut penglihatanku andika juga tidak akan mudah merobohkannya, Anak mas Priyadi. Si Sutejo itu benar-benar tangguh sekali, gerakannya luar biasa cepatnya sehingga dia mampu menghindar dari setiap sambaran pecut pusaka andika.”
“Kurasa lebih baik jangan main-main menghadapi orang yang berbahaya seperti dia,” kata Sekarsih. “Untuk apa menunda-nunda lagi? Sebaiknya besok pagi, secara sembunyi kita semua mendatangi tempat itu, mengepung lalu menangkapnya.”
“Hm, aku sendiri sudah merasakan ketangguhan Sutejo. Lebih baik memang begitu. Kita sergap dan kita bunuh dia supaya lain waktu tidak akan mengganggu kita lagi,” kata Resi Wisangkolo.
“Jangan kalian bergerak lebih dulu,” kata Priyadi. “Kalian boleh datang mengepung tempat itu dan biarkan aku lebih dulu menandinginya. Hal ini menyangkut nama dan kehormatan, menyangkut harga diriku. Kalau ternyata memang sukar bagiku untuk mengalahkannya, barulah kalian boleh menyergap Akan tetapi berhati-hatilah, jangan sampai melukai atau membunuh Retno Susilo. Aku sudah mengambil keputusan hendak menjadikan gadis itu sebagai isteriku, mendampingiku dalam memimpin Jatikusumo!”
“Aku akan menjaga agar dia tidak sampai terluka atau terbunuh, tetapi kuharap, sesudah ada yang baru, yang lama agar jangan dilupakan!” kata Sekarsih dengan sikap genit dan tanpa malu-malu lagi. Priyadi tersenyum lalu bangkit berdiri.
“Jangan khawatir, aku tidak akan melupakan kawan-kawan semua yang sudah membuat jasa. Sekarang aku harus mengaso dan tidur untuk menghadapi pertandingan besok, Kalau tidak ada hal yang teramat penting, jangan ada yang mengganggu tidurku.” Setelah berkata demikian, Priyadi meninggalkan ruangan besar itu dan menuju ke kamarnya yang berada di sebelah dalam.
Baru saja Priyadi sampai di depan kamarnya, Sumarni sudah menyongsongnya. Gadis itu mendekat dan Priyadi melihat betapa gadis itu tampak segar, kedua pipinya kemerahan, matanya redup dan senyumnya manis sekali, juga keharuman bunga menerpa hidungnya.
“Kakangmas Priyadi...!” ucap gadis itu dengan suara merdu merayu.
Priyadi tertegun. Semenjak kemarin Sumarni tampak lesu dan seperti marah kepadanya sesudah kemarin dulu dia menyerahkan gadis itu ke dalam pelukan Ki Klabangkolo dan memaksanya melayani Ki Klabangkolo semalam suntuk. Hal ini harus dilakukannya untuk menyenangkan hati pembantu itu yang tampaknya tergila-gila kepada Sumarni.
“Engkau, Sumarni? Mau apa engkau menemuiku?”
“Kakangmas... saya... saya rindu padamu, kalau boleh... malam ini saya ingin menemani dan melayanimu. Bukanlah kakangmas habis bertanding seperti yang kudengar dari para anggota? Biarlah saya memijiti tubuh kakangmas agar hilang semua kelelahan...”
Priyadi tersenyum. Perempuan ini masih belum membuatnya bosan, masih memiliki daya tarik yang kuat untuk menggairahkannya.
“Engkau tidak marah lagi setelah kusuruh melayani Ki Klabangkolo tempo hari?”
“Bagaimana saya dapat marah kepadamu, kakangmas? Saya amat mencintamu, apa lagi baru diperintahkan seperti itu, biar kakangmas memerintahkan saya terjun ke lautan api sekali pun tentu akan saya lakukan dengan senang hati.”
Tergerak hati Priyadi. Dia pun merangkul leher Sumarni lalu diciumnya bibir yang sangat menantang itu. Sumarni langsung membalas dengan gairah yang sama besarnya. Priyadi lalu menggandengnya masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamar dari dalam.
Orang yang sedang dibuai nafsu berahi kehilangan kewaspadaannya. Priyadi menjadi terlena dan lengah. Padahal kalau saja dia tidak mabok oleh nafsunya sendiri, tentu dia dapat melihat perubahan yang luar biasa pada sikap Sumarni. Belum pernah Sumarni memperlihatkan gairah yang demikian besar dan berlebihan, memperlihatkan kemesraan yang membuat dia mabok. Apa bila dia waspada, tentu saja hal ini akan mendatangkan kecurigaan.
Namun Priyadi tenggelam ke dalam gelombang nafsu dan lupa segala. Akhirnya Priyadi tertidur karena kepuasan dan kelelahan. Sumarni pura-pura tertidur sambil merangkulnya, akan tetapi diam-diam sepasang mata wanita ini melirik ke arah Pecut Bajrakirana yang oleh Priyadi diletakkan di tepi bantal dekat dinding.
Lewat tengah malam, setelah merasa yakin bahwa Priyadi sudah benar-benar pulas, yang ditandai dengan dengkurnya yang dalam. Sumarni lalu bergerak perlahan dan hati-hati. Tangannya dijulurkan meraih pecut sakti itu. Dilibatkan ujung pecut yang panjang itu kepada batang pecut dan dia lalu turun perlahan-lahan. Dibetulkan letak pakaiannya dan tanpa mempedulikan lagi akan pakaiannya yang kusut dan rambutnya yang terlepas dan terurai panjang, ia pun berjingkat ke arah pintu kamar, membuka pintu kamar kemudian melangkah menuju ke pintu belakang. Keadaan rumah itu sudah sunyi, agaknya semua orang telah tertidur pulas, merasa aman karena perkampungan itu terjaga ketat.
Sumarni telah mempelajari keadaan perkampungan itu. Ia tahu bagian dinding mana yang dapat diterobosnya untuk keluar tanpa diketahui oleh para penjaga. Untuk itu dia harus memanjat pagar kayu yang tinggi. Ia membelit dan mengikatkan pecut itu di pinggangnya, mengikatkan ujung kain di pinggang dan memanjat pagar itu.
Akhirnya dengan susah payah dan hati-hati dia pun berhasil meninggalkan perkampungan Jatikusumo tanpa terlihat oleh penjaga, maka larilah wanita ini menuju ke pantai. Untung baginya bahwa bulan purnama cukup terang sehingga dia dapat melihat jalan. Dia berlari menuju ke pantai berpasir di mana tadi dia hendak membunuh diri dan bertemu dengan Sutejo dan Retno Susilo.....
********************
Retno Susilo sudah kembali ke mulut goa dan menjaga api unggun supaya tidak sampai padam. Dia duduk di depan api unggun tetapi matanya selalu dilayangkan ke arah pantai pasir penuh harap, menanti kemunculan orang yang ditunggu-tunggu, yaitu Sumarni.
Maka, begitu melihat bayangan Sumarni berlarian ke pantai pasir itu, Retno Susilo cepat bangkit berdiri, lalu melompat dan berlari cepat sekali menghampiri Sumarni yang sudah berhenti di pantai dan memandang ke sekeliling.
“Mbakayu Sumarni...!” Retno Susilo memanggil dan dengan cepat dia sudah berhadapan dengan wanita itu.
“Ahh, engkau sudah datang, den roro?” kata Sumarni dengan lega.
Napasnya masih terengah-engah karena ia tadi berlari terus, pakaiannya kusut masai dan rambutnya terurai. Tanpa bicara lagi ia segera melepaskan libatan Pecut Bajrakirana dan menyerahkannya kepada Retno Susilo.
Retno Susilo menerima pecut itu. mengamatinya sejenak dan dia mengenal pecut pusaka yang pernah dimilikinya untuk beberapa hari dahulu. Dengan hati girang sekali ia memeluk Sumarni dan mencium kedua pipi wanita itu.
“Mbakayu Sumarni! Terima kasih banyak, mbakayu, engkau telah menyelamatkan nyawa kakangmas Sutejo. Terima kasih, engkau baik sekali!”
Sumarni sesenggukan dalam rangkulan Retno Susilo. Wanita ini merasa nelangsa sekali. Ia telah mengorbankan perasaannya, menahan rasa benci dan muaknya terhadap Priyadi yang telah menghancurkan hatinya, dengan bersikap mesra dan penuh cinta kasih. Akan tetapi ia juga merasa bersedih karena ia harus mengkhianati orang yang sesungguhnya ia cinta. Tidak disangkanya cintanya yang demikian tulus dan murni terhadap Priyadi sudah dihancurkan pemuda itu dengan perbuatan keji, menyerahkan dia untuk diperkosa oleh Ki Klabangkolo!
“Den roro, semoga engkau hidup berbahagia dengan denmas Sutejo...” katanya lirih.
Retno Susilo melepaskan rangkulannya dan ia mengeluarkan sekantung uang yang sejak tadi sudah dipersiapkannya.
“Terimalah ini, mbakayu, untuk bekalmu dalam perjalanan. Sekarang cepat pergilah dari sini dan lakukan perjalanan, terus saja menuju ke utara dan pergilah ke daerah Ngawi, tanyakan perkampungan Nogo Dento yang berada di tepi bengawan. Pergilah engkau ke sana, katakan kepada Ki Harjodento yang menjadi ketua di sana bahwa engkau datang karena aku yang menyuruhmu dan ceritakan semua kepada mereka. Engkau pasti akan diterima dengan baik dan engkau akan aman di sana. Cepat pergilah!”
Sumarni menoleh ke arah utara, lalu mengangguk. “Selamat tinggal, den roro!” katanya terisak.
“Selamat jalan, mbakayu!”
Sumarni segera melangkah pergi, menuju ke utara dan akhirnya lenyap di balik batu-batu karang.
Dengan gembira sekali Retno Susilo memainkan pecut itu lalu berlari kembali ke dalam goa. Dia melihat Sutejo masih tidur pulas. Hatinya merasa khawatir. Bagaimana kalau Priyadi sudah tahu bahwa Pecut Bajrakirana telah dicuri oleh Sumarni? Tentu dia akan datang mencari ke sini dengan membawa para pembantunya. Gawat kalau begitu!
Malam telah larut dan Sutejo telah tidur cukup. Dia harus dibangunkan untuk diberi-tahu akan kenyataan yang menggembirakan itu dan untuk berjaga-jaga bila Priyadi dan kawan-kawannya datang mencari pecutnya.
“Kakangmas Sutejo...!” Ia mengguncang pundak pemuda itu.
Sutejo tidur dalam keadaan siap, maka begitu pundaknya terguncang, dia segera bangkit duduk dan memandang Retno Susilo.
“Diajeng Retno! Ada apakah? Apakah sudah pagi?”
“Belum, kakangmas. Akan tetapi sudah lewat lengah malam. Bangunlah, kakangmas, ada suatu kabar gembira untukmu!”
Sutejo tersenyum. Gadis aneh, membangunkannya hanya untuk memberi kabar gembira. Mana ada kabar gembira di situ?
“Kabar apakah, diajeng?” katanya sambil bangkit berdiri dan mengambil tempat duduk di depan api unggun, dekat Retno Susilo.
“Lihat ini...!” kata Retno Susilo sambil mengambil pecut yang tadi disembunyikan di balik tubuhnya dan dia mengangkat pecut itu tinggi-tinggi sehingga terkena cahaya api unggun.
Sutejo terbelalak, mengejap-ngejapkan matanya seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Bajrakirana...?!” Dia berseru, kaget dan heran, juga penuh keraguan.
“Yang asli dan murni!” kata Retno Susilo gembira sambil menyerahkan pecut itu. “Kalau tidak percaya, periksalah sendiri, kakangmas.”
Sutejo mengambil pecut itu dari tangan Retno Susilo dan mengamati pecut itu. Matanya terbelalak, wajahnya berseri dan jantungnya berdebar penuh rasa gembira luar biasa. Dia tidak ragu lagi. Ini memang Pecut Sakti Bajrakirana yang asli. Dia mencium pecut itu dan menjunjung tinggi di atas kepalanya, lalu memandang kepada Retno Susilo.
“Diajeng, mukjijat apakah yang sudah kau lakukan ini? Bagaimana mungkin pecut pusaka yang kemarin sore masih digunakan oleh Priyadi, kini dapat berada di tanganmu? Apakah yang telah kau lakukan? Apa yang telah terjadi?”
“Kecerdikan, kakangmas. Apa bila kekuatan sudah tidak berdaya, maka kecerdikan dapat menolong. Dengan mempergunakan akal aku berhasil memperoleh Pecut Bajrakirana dari tangan si jahanam Priyadi.”
“Bagaimana caranya, Diajeng?” tanya Sutejo kagum. “Apakah engkau tadi berkunjung ke sana? Sungguh berbahaya sekali!”
“Jika aku sendiri berkunjung ke sana dan. menggunakan kekerasan, itu berarti perbuatan yang nekat dan bodoh. Tidak, aku tetap ada di sini, hanya menunggu, kakangmas. Yang melakukan bukan aku, melainkan Sumarni.”
“Sumarni?” Sutejo terbelalak. “Akan tetapi bagaimana...?”
“Engkau tentu tahu bahwa Sumarni memendam dendam sakit hati yang sangat besar terhadap Priyadi, kakangmas. Ia demikian bersedih sehingga hampir saja ia membunuh diri kalau tidak tertolong olehmu. Nah, aku menggunakan dendamnya itu, memberi jalan kepadanya untuk membalas dendam dengan cara mencuri pecut pusaka ini untukku dan untukmu. Ia hendak membalas dendamnya kepada Priyadi dan membalas budimu dengan mencuri pecut pusaka ini untukmu, dan dia berhasil.”
“Ahh...! Itu berbahaya sekali! Dan di mana Sumarni sekarang?”
“Aku telah memberinya bekal yang cukup dan menyuruh ia pergi ke perkampungan Nogo Dento. Ia akan aman di sana. Baru saja ia pergi sehingga tidak mungkin akan tertangkap oleh Priyadi yang tentu tidak tahu ke mana ia melarikan diri.”
“Bagus, mudah-mudahan ia dapat sampai di sana dengan selamat. Akan tetapi, diajeng, perbuatan ini... mencuri Pecut Bajrakirana... merupakan perbuatan yang curang...!”
Retno Susilo mengerutkan alisnya dan menatap wajah pemuda itu dengan marah.
“Kakangmas Sutejo! Menghadapi seorang jahanam busuk semacam Priyadi itu, engkau masih hendak menggunakan kejujuran? Ingatlah, engkau sendiri yang bercerita mengenai Pecut Sakti Bajrakirana. Bukankah pecut itu tadinya dicuri oleh Bhagawan Jaladara dari padepokan Resi Limut Manik? Engkau sudah berhasil merampasnya lagi, tetapi kemudian Bhagawan Jaladara menggunakan kecurangan lagi, memaksamu mengembalikan pecut itu kepadanya dengan mengancam akan membunuh gurumu. Sudah dua kali Bhagawan Jaladara menguasai pecut itu dengan kecurangan dan kejahatan, lalu dia menyerahkan pecut kepada Priyadi. Kalau sekarang aku menggunakan akal, ingat, bukan engkau tetapi akulah yang menggunakan akal mencuri pecut itu dari tangan Priyadi, bukankah hal itu sudah sewajarnya? Aku yang mencuri, kakangmas, bukan engkau. Dan aku memberikan pecut itu kepadamu, seperti Bhagawan Jaladara memberikannya kepada Priyadi!”
Melihat gadis itu marah-marah dan mendengar ucapannya yang mengandung kebenaran, Sutejo tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Terima kasih, diajeng. Aku menerima pemberianmu karena sekarang aku dapat melihat bahwa memang sudah sewajarnya dan sepantasnya kalau Pecut Bajrakirana ini kembali ke tanganku karena memang aku yang berhak.”
Setelah berkata demikian, Sutejo segera berlatih silat, memainkan pecut itu dengan ilmu pecut Aji Bajrakirana. Semenjak dia menguasai aji itu, baru sekali ini dia dapat berlatih dengan menggunakan pecut aslinya. Terasa cocok dan enak sekali bersilat dengan aji itu menggunakan Pecut Bajrakirana, sudah pas dan tepat sekali. Pecut meledak-ledak dan tampak bunga api berpijar ketika ujung pecut itu mematuk udara. Ledakan diselingi sinar bunga api sehingga cocok benar dengan nama pecut itu Bajrakirana (Sinar Kilat).
Retno Susilo menonton dengan takjub dan kagum sekali. Sungguh luar biasa sekali ilmu silat yang dimainkan kekasihnya itu dan ia merasa yakin bahwa Sutejo pasti akan mampu mengalahkan Priyadi kalau dia menggunakan Pecut Bajrakirana.
Akan tetapi padu saat itu terdengar suara nyaring, “Sutejo, pencuri hina, manusia curang. Kembalikan Bajrakirana kepadaku!”
Itulah teriakan Priyadi yang dilakukan dari jarak jauh dan tampaklah banyak obor dibawa banyak orang yang berlari-larian menuju ke goa itu. Melihat ini, Sutejo juga mengerahkan tenaga saktinya dan berteriak lantang.
“Priyadi, ini adalah pecut pusaka milikku! Engkaulah yang telah mencurinya dariku melalui tangan Bhagawan Jaladara!”
Akan tetapi Retno Susilo sudah menyambar tangan kiri Sutejo dan ditariknya pemuda itu, diajaknya lari dari situ. “Kakangmas Sutejo, mari kita lari!”
“Tidak, aku hendak menghajar Priyadi!”
“Kakangmas! Aku sudah mendengar dari mbakayu Sumarni bahwa Priyadi dibantu oleh banyak orang. Ada Resi Wisangkolo, Ki Klabangkolo, Sekarsih serta tiga orang perwira Wirosobo. Belum lagi kalau diperhitungkan anak buahnya yang berjumlah seratus lima puluh lebih. Bagaimana kita mampu melawan mereka? Sekarang belum waktunya untuk membasmi mereka. Marilah kita lari!” Kembali Retno Susilo menarik tangan Sutejo untuk diajak melarikan diri.
Kini Sutejo juga tidak membantah lagi karena dia menyadari bahwa seorang diri, bahkan dibantu oleh Retno Susilo sekali pun, melawan demikian banyaknya orang, sama saja dengan membunuh diri. Perbuatan nekat yang tidak dapat perhitungkan dan bodoh.
“Mari!” katanya dan kedua orang itu lalu melompat keluar dari goa dan melarikan diri.
Para pengejar masih sempat melihat bayangan dua orang yang melarikan diri ini. Mereka berteriak-teriak dan dipimpin oleh Priyadi dan Resi Wisangkolo, cepat mereka melakukan pengejaran. Akan tetapi Sutejo menggunakan Aji Harina Legawa yang sudah mencapai tingkat tertinggi sehingga tubuhnya meluncur seperti terbang cepatnya. Retno Susilo juga tidak mau kalah. Dengan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya juga berlari cepat bukan kepalang. Sebentar saja bayangan dua orang ini sudah lenyap dan para pengejar kehilangan jejak.
“Jahanam keparat!” Priyadi membanting-banting kaki dengan marah, kemudian ia teringat akan Sumarni. Bangkit kemarahannya karena dia menyadari bahwa tentu Sumarni yang sudah melakukan pencurian terhadap pecut pusaka itu dan entah bagaimana wanita itu agaknya telah menyerahkan pecut pusaka itu kepada Sutejo.
“Cari Sumarni!” teriaknya sehingga terdengar oleh semua anak buahnya. “Cari perempuan khianat itu sampai ketemu, hidup atau mati!”
Karena sudah tidak mungkin mengejar kedua orang muda yang telah lenyap dan tidak diketahui lari ke arah mana itu, anak buah Priyadi kini melaksanakan perintah pimpinan mereka. Mereka menyangka bahwa mencari Sumarni tentu lebih mudah karena Sumarni adalah seorang wanita lemah dan tentu belum lari jauh.
“Cari dia! Kalau perlu susul dan cari sampai ke desanya di Jaten!” teriak pula Priyadi.
Dia sendiri sudah ikut mencari dengan dada yang rasanya bagaikan mau meledak saking marahnya. Namun semua pencari itu salah arah. Tidak ada yang mengira bahwa sejak malam tadi Sumarni sudah melarikan diri dan arahnya ke utara.....
********************
Pemuda gagah perkasa tinggi besar itu melangkah tanpa ragu menuju ke pintu gerbang keputren yang berada di bagian belakang istana kerajaan Mataram. Dia memanggul sebatang tongkat dan sikapnya santai saja ketika dia menghampiri belasan orang prajurit yang bertugas menjaga pintu gerbang keputren itu.
Daerah keputren ini merupakan daerah terlarang bagi orang luar, terutama bagi pria untuk memasukinya dan kalau ada yang mempunyai keperluan penting dengan keputren maka dia harus mempunyai surat ijin dari pejabat pengawas keamanan istana.
Pemuda itu adalah Cangak Awu. Seperti yang kita ketahui, dia datang ke kota raja untuk menemui adik seperguruannya, yaitu Puteri Wandansari. Dia hendak melaporkan tentang keadaan Jatikusumo yang telah dibasmi oleh Priyadi.
“Berhenti!” bentak kepala jaga pada saat melihat Cangak Awu menghampiri pintu gerbang dengan sikap santai dan melangkah seenaknya.
Cangak Awu berhenti melangkah dan segera menghadapi belasan orang penjaga yang menghadangnya dengan pandang mata galak penuh curiga.
“Heii, siapa engkau dan mau apa engkau berani mendekati pintu gerbang keputren?”
Cangak Awu bersikap tenang saja menghadapi teguran yang galak itu. Memang ia belum pernah berkunjung ke tempat tinggal Puteri Wandansari dan tidak tahu tentang peraturan di tempat itu. Berbeda dengan mendiang Maheso Seto dan Rahmini yang tempo hari datang berkunjung. Mereka tidak mau repot-repot, maka memasuki keputren dengan cara menyelundup, mempergunakan kepandaian mereka untuk melompati pagar tembok yang mengelilingi keputren dan langsung menemui Puteri Wandansari di dalam.
Cangak Awu adalah seorang yang kasar dan jujur, maka dia tidak mempunyai akal untuk melakukan hal seperti itu, melainkan langsung saja hendak masuk melalui pintu gerbang seperti memasuki perkampungan sendiri saja.
“Namaku Cangak Awu. Aku ingin memasuki pintu gerbang ini untuk bertemu dan bicara dengan Diajeng Wandansari,” kata Cangak Awu dengan nada suara biasa saja.
Belasan orang prajurit itu saling pandang dengan kaget dan heran. Kepala jaga menjadi marah sekali. “Manusia kurang ajar! Berani engkau menyebut Gusti Puteri Wandansari dengan diajeng?! Sudah gilakah engkau? Hayo cepat minggat dari sini atau kami akan menangkapmu dengan tuduhan mempunyai niat buruk yang mencurigakan!”
“Saudara-saudara, aku bicara sebenarnya. Diajeng Wandansari ialah adik seperguruanku. Aku ingin bertemu dan bicara kepadanya karena ada urusan penting sekali. Biarkanlah aku masuk dan mencarinya!”
Setelah berkata demikian Cangak Awu lalu menggerakkan kakinya lagi untuk melangkah maju hendak memasuki pintu gerbang. Akan tetapi empat batang tombak dipalangkan menghadang di depan dadanya. Kepala para prajurit pengawal itu menjadi marah sekali.
“Orang gila! Tangkap dia!”
Belasan orang prajurit pengawal yang berjaga di situ segera mengepung Cangak Awu dan empat orang yang berada paling depan sudah menubruk lantas meringkus kaki tangan Cangak Awu. Diperlakukan demikian, Cangak Awu menjadi marah.
“Haaaaiiittt...!” Dia mengeluarkan teriakkan nyaring dan tubuhnya bergerak mengguncang.
Empat orang yang meringkusnya itu lantas terpental berpelantingan dan roboh terbanting! Melihat ini, para prajurit menjadi marah dan mereka segera mempergunakan tombak dan golok untuk menyerang Cangak Awu yang mereka kira hendak mengamuk.
Cangak Awu menggerakkan tongkatnya melakukan perlawanan, gerakannya hebat sekali. Tombak dan golok yang bertemu tongkatnya tentu terpental dan pemegangnya langsung terhuyung. Diam-diam seorang di antara para prajurit itu berlari memasuki keputren untuk melaporkan amukan pemuda itu kepada Sang Puteri Wandansari.
Perkelahian yang terjadi di depan pintu gerbang keputren itu menarik perhatian banyak orang. Banyak orang datang menonton Cangak Awu yang mengamuk dengan tongkatnya. Prajurit yang berani menyerang dan mendekatinya tentu akan terpental dan terlempar. Akan tetapi pemuda ini tidak berwatak kejam. Dia tahu bahwa para prajurit itu adalah pengawal-pengawal Puteri Wandansari, bukan musuh. Maka ia pun membatasi tenaganya dan hanya membuat mereka berpelantingan tanpa melukai mereka dengan parah.
Para penjaga yang mengandalkan banyak kawan, masih terus mengeroyok. Yang roboh bangkit lagi dan hujan senjata menyerang tubuh Cangak Awu. Akan tetapi pemuda itu cepat memutar tongkatnya. Terdengar suara berdentangan dan banyak senjata golok dan tombak beterbangan, terlepas dari pemegangnya.
“Berhenti semua!” Pada saat itu pula terdengar bentakan nyaring dan mendengar suara bentakan ini, para prajurit segera berlompatan ke belakang, menghentikan pengeroyokan mereka.
Cangak Awu memanggul tongkatnya dan segera memutar tubuh menghadapi orang yang mengeluarkan suara bentakan tadi. Wajahnya berseri ketika melihat bahwa yang datang adalah Puteri Wandansari sendiri.
Tadi Sang Puteri mendengar pelaporan prajurit dan segera ia berlari keluar karena ia tahu bahwa kakak seperguruannya, Cangak Awu, adalah seorang yang berwatak kasar dan jujur sehingga mungkin akan terjadi keributan dengan para penjaga. Benar saja, ketika ia tiba di pintu gerbang, ia melihat kakak seperguruannya itu mengamuk dengan tongkatnya. Akan tetapi ia pun dapat melihat betapa Cangak Awu tidak bermaksud mencederai para pengeroyok, maka ia membentak para prajurit itu untuk mundur.
“Diajeng Wandansari...!” Cangak Awu berseru dengan girang.
“Kiranya engkau, Kakang Cangak Awu!” kata Sang Puteri.
Para prajurit pengawal saling pandang dan tertegun. Kiranya pengakuan pemuda kasar itu benar. Gusti Puteri mereka mengenal baik dan menyebut kakang kepada pemuda itu!
“Maafkan kalau kedatanganku ini membuat kekacauan. Habis, mereka tidak mengijinkan aku masuk menemuimu, diajeng.” kata Cangak Awu sambil memandang kepada belasan orang prajurit yang berkumpul di depan gardu penjagaan.
“Maafkan mereka, Kakang Cangak Awu. Mereka itu hanya melaksanakan tugas menjaga keamanan dan keselamatan keputren. Mari, masuklah. Tentu ada keperluan yang penting sekali maka engkau datang menemuiku.”
“Memang aku membawa berita yang teramat penting, diajeng,” kata Cangak Awu yang melangkah maju dan keduanya segera melangkah memasuki taman keputren yang luas.
Sang Puteri Wandansari mengajak Cangak Awu untuk pergi ke tengah taman di mana terdapat sebuah anjungan, sebuah ruangan terbuka yang terlindung atap yang biasanya digunakan untuk duduk bersantai menikmati keindahan dalam taman.
“Duduklah, Kakang Cangak Awu dan ceritakan urusan penting apakah yang hendak kau sampaikan kepadaku.” kata Puteri Wandansari dengan sikap ramah.
Cangak Awu lalu duduk di atas bangku, beihadapan dengan puteri itu. Dia sudah biasa berhubungan dengan dara bangsawan yang cantik jelita itu sebagai saudara seperguruan, maka dia tidak merasa canggung dan menganggap sang puteri itu seperti adiknya sendiri.
“Diajeng Wandansari. Berita yang kubawa ini amat penting, tapi juga amat menyedihkan. Hatiku masih seperti diremas-remas rasanya kalau teringat akan semua peristiwa itu.”
Wandansari mengerutkan alisnya. Dia mengenal baik pemuda tinggi besar yang gagah perkasa ini. Cangak Awu adalah seorang pemuda yang keras, kasar dan jujur, tabah dan tidak cengeng. Maka kalau sekarang begitu bersedih dan merasa hatinya seperti diremas-remas, tentu telah terjadi sesuatu yang hebat sekali.....
Komentar
Posting Komentar