PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-38
“Dunia terasa kiamat, diajeng. Sudah terjadi mala petaka hebat menimpa Jatikusumo. Hampir semua murid Jatikusumo terbantai, baik Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini, bahkan Bapa Sindusakti sudah tewas.” Cangak Awu tidak dapat melanjutkan ceritanya karena lehernya seperti tercekik kesedihan dan keharuan.
Sepasang mata yang tajam dan indah itu terbelalak, wajah itu menjadi pucat dan Puteri Wandansari bangkit berdiri, mengepal kedua tangan.
“Ya Tuhan...! Siapakah yang melakukan semua pembunuhan itu?” tanyanya setengah berteriak.
“Kakang Priyadi manusia murtad yang durhaka itu!”
“Kakang Priyadi? Akan tetapi bagaimana mungkin? Kakang Priyadi adalah seorang murid yang baik dan sangat berbakti, bahkan kita semua tahu bahwa dia adalah murid terkasih dari Bapa Guru!”
“Akan tetapi dia telah berubah, diajeng. Entah iblis mana yang sudah memasuki dirinya. Dia merampas kedudukan ketua Jatikusumo dan dia tega membunuh Bapa Guru.”
“Maaf, kakang Cangak Awu. Bagaimana aku dapat mempercayai ceritamu ini? Sepandai-pandainya Kakang Priyadi, tidak mungkin dia mampu mengalahkan Bapa Guru, apa lagi membunuhnya!”
“Entah apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dia telah berubah seperti iblis sendiri, selain jahat kejam juga amat sakti mandraguna.”
“Akan tetapi bagaimana mungkin dia mengalahkan semua murid Jatikusumo? Bukankah di samping Bapa Guru ada pula Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan engkau sendiri, kakang? Tak mungkin dia dapat mengalahkan pengeroyokan kalian semua!”
“Dia tidak datang sendiri, diajeng. Dia dibantu oleh Paman Bhagawan Jaladara dan kawan kawannya, para jagoan dari Wirosobo, bahkan di antara mereka terdapat Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo! Kami semua melawan mati-matian, akan tetapi pihak musuh lebih kuat sehingga akhirnya Bapa Guru. Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan banyak murid Jatikusumo tewas...”
Tiba-tiba Puteri Wandansari menatap wajah Cangak Awu penuh selidik dan dia bertanya, “Akan tetapi mengapa engkau masih dapat terhindar dari maut. Kakang Cangak Awu?”
“Itulah yang menyedihkan hatiku, diajeng. Seharusnya aku pun melakukan pembelaan sampai titik darah terakhir. Akan tetapi ketika aku melihat betapa Bapa Guru dan kedua orang kakak seperguruan kita itu roboh, aku tahu bahwa kalau aku nekat, aku pun akan mati. Pada saat itu kupikir, bila aku juga mati lalu siapa yang akan membalaskan semua sakit hati itu? Itulah sebabnya kenapa aku melarikan diri membawa luka tendangan yang amat parah.”
“Hemm, kiranya Priyadi sudah bersekutu dengan Bhagawan Jaladara yang menjadi kaki tangan kadipaten Wirosobo! Lalu bagaimana, kakang? Lanjutkan ceritamu.”
“Agaknya Priyadi hendak membawa Jatikusumo membantu gerakan kadipaten Wirosobo, diajeng. Aku sudah terluka parah, lalu aku melarikan diri sekuat tenaga dan akhirnya aku jatuh pingsan di tepi sungai. Aku ditolong oleh nimas Pusposari puteri Paman Harjodento ketua perkumpulan Nogo Dento. Kiranya Paman Harjodento itu adalah ayah kandung Adi Sutejo, diajeng.”
Wajah sang puteri itu berseri. “Ahh, benarkah? Jadi Kakangmas Sutejo telah menemukan orang tuanya? Syukurlah, kabar ini cukup menggembirakan walau pun tidak mengurangi kedukaan mendengar Jatikusumo terbasmi.”
“Paman Harjodento lalu menjodohkan aku dengan diajeng Pusposari.”
“Ahh, begitukah, Kakang Cangak Awu? Aku ikut bergembira dan mengucapkan selamat bagimu.”
“Terima kasih, diajeng. Adi Sutejo juga dijodohkan dengan Retno Susilo yang menjadi sahabat baik Sutejo dan yang telah banyak membantunya”
“Kakang Sutejo adalah seorang pemuda yang amat baik dan gagah perkasa, yang telah dipercaya oleh mendiang Eyang Resi Limut Manik untuk mewarisi Aji Bajrakirana, sudah sepantasnya dia memperoleh jodoh yang sepadan dan pantas. Aku percaya bahwa gadis yang bernama Retno Susilo itu tentu seorang gadis yang sangat baik, bijaksana dan juga sakti mandraguna.”
“Dara itu adalah puteri Ki Mundingsosro ketua Sardula Cemeng dan ia memang memiliki kesaktian, maka cocok sekali kalau menjadi jodoh Adi Sutejo,” kata Cawak Awu dengan sejujurnya.
“Kakang Cangak Awu, berita yang kau bawa ini benar-benar penting karena menyangkut keamanan di Mataram. Kalau Jatikusumo kini dipimpin Priyadi yang bersekutu dengan Wirosobo, maka hal ini tidak boleh kami diamkan saja, karena berarti daerah Mataram telah kemasukan pengaruh Wirosobo. Mari engkau ikut aku menghadap Kanjeng Rama, karena hal ini perlu beliau ketahui dan aku akan minta ijin Kanjeng Rama untuk memimpin pasukan menggempur Priyadi beserta antek-anteknya.”
Cangak Awu berasa gentar untuk menghadap Sang Prabu, akan tetapi karena di situ ada Puteri Wandansari yang mengajaknya, maka meski pun jantungnya berdebar tegang dia lalu mengikuti sang puteri memasuki istana. Tentu saja para pengawal membiarkan sang puteri masuk, bahkan memberi hormat dan pengawal bagian dalam lalu melapor kepada Sultan Agung bahwa Puteri Wandansari mohon menghadap.
Pada waktu itu Sultan Agung sedang berbincang-bincang dengan para senopatinya. Di antaranya yang hadir adalah Ki Mertoloyo yang melaporkan tentang hasil penyelidikannya terhadap para kadipaten di sebelah timur. Juga hadir Ki Suroantani, Kyai Sujonopuro dan Kyai Juru Kiting, keduanya merupakan senopati-senopati yang terkenal dari Mataram.
Mendengar pelaporan pengawal dalam bahwa puterinya, Puteri Wandansari dan seorang pemuda mohon untuk menghadap, Sultan Agung segera memerintahkan pengawal untuk mempersilakan kedua orang muda itu masuk dan menghadap.
Pada waktu Puteri Wandansari dan Cangak Awu menghadap dan menghaturkan sembah, Sultan Agung dan para senopati memandang kepada Cangak Awu dengan hati kagum. Memang Cangak Awu merupakan seorang pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa seperti Sang Bimasena.
“Nini Wandansari. Siapakah pemuda yang gagah perkasa ini?” tanya Sang Prabu kepada puterinya sambil memandang dan mengamati wajah Cangak Awu yang membayangkan keterbukaan dan kejujuran.
“Kakang Cangak Awu, Kanjeng Rama hendak mengetahui keadaanmu. Perkenalkanlah dirimu sendiri kepada Kanjeng Rama.”
Cangak Awu lalu menghaturkan sembah dengan sikap hormat. Biar pun dia seorang yang jujur dan kasar, akan tetapi di bawah bimbingan mendiang Bhagawan Sindusakti, dia pun tahu akan sopan santun atau tata-krama di depan Sang Prabu.
“Mohon paduka sudi mengampuni hamba yang berani menghadap tanpa dipanggil, Gusti Sinuwun. Hamba murid perguruan Jatikusumo bernama Cangak Awu. Kedatangan hamba adalah untuk memberi laporan kepada Gusti Puteri Wandansari, dan oleh beliau hamba diajak menghadap paduka.”
“Murid Jatikusumo? Kalau begitu masih saudara seperguruanmu, nini Wandansari?”
“Memang demikianlah, Kanjeng Rama. Kakang Cangak Awu ini masih terhitung kakak seperguruan hamba, dia adalah murid kepala ke empat sedangkan hamba murid kepala ke lima.”
“Lalu apa maksudmu mengajak Cangak Awu untuk menghadap kami?” tanya Sang Prabu dengan ramah. Dia merasa bangga dan sayang kepada puterinya ini karena walau pun seorang wanita, namun amat berbakat dan tekun mempelajari ilmu kanuragan sehingga menjadi seorang gadis yang sakti mandraguna dan berwatak gagah perkasa.
“Ampun, Kanjeng Rama, kalau hamba berdua telah lancang dan mengganggu kesibukan paduka. Tetapi karena kakang Cangak Awu datang membawa berita tentang mala petaka yang menimpa perguruan Jatikusumo dan juga mengenai ancaman yang membahayakan keamanan di Mataram, maka hamba pikir berita ini penting sekali untuk paduka ketahui.”
Sang Prabu memandang Cangak Awu dan bertanya, “Cangak Awu, berita apakah yang kau bawa? Mala petaka apakah yang telah menimpa perguruan Jatikusumo?”
“Kanjeng Gusti, perguruan Jatikusumo telah dihancur binasakan oleh seorang murid kepala yang murtad bernama Priyadi. Dalam kerusuhan itu Bapa Guru Bhagawan Sindusakti, Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini, juga para murid Jatikusumo, telah terbunuh.”
“Jagad Dewi Bathara...!” Sang Prabu berseru. “Paman Bhagawan Sindusakti terbunuh, dan oleh muridnya sendiri? Jahat sekali murid durhaka yang bernama Priyadi itu! Akan tetapi, Wandansari, apa hubungannya ini dengan terancamnya keamanan di Mataram?”
“Kanjeng Rama, Priyadi yang murtad dan durhaka itu sudah menguasai Jatikusumo dan menjadi ketua di sana. Dia menyerbu Jatikusumo dengan bantuan beberapa tokoh dari Kabupaten Wirosobo. Sekarang dia menyusun kekuatan di Jatikusumo untuk membantu Wirosobo yang berniat memberontak terhadap Mataram. Oleh karena itu, Kanjeng Rama, apa bila paduka mengijinkan, hamba ingin memimpin pasukan untuk membantu Kakang Cangak Awu dan Kakang Sutejo yang dibantu oleh keluarga perkumpulan Nogo Dento untuk menyerang dan menghancurkan persekutuan gerombolan pemberontak itu, dan juga untuk membalaskan kematian Bapa Guru Bhagawan Sindusakti serta para saudara seperguruan hamba yang terbunuh oleh jahanam Priyadi itu.”
“Ampunkan hamba, Kanjeng Sinuwun. Jika hanya menumpas gerombolan pemberontak, perkenankan hamba yang memimpin pasukan untuk menumpas mereka, tidak perlu harus menyusahkan Gusti Puteri,” kata Tumenggung Wiroguno, seorang senopati.
“Tidak, Paman Tumenggung Wiroguno. Penumpasan ini harus saya lakukan sendiri sebab urusan ini menyangkut kehancuran perguruanku. Kanjeng Rama, hamba mohon perkenan paduka.”
Sang Prabu mengangguk-angguk dan tersenyum. “Nini Wandansari, kami percaya akan kemampuanmu untuk melaksanakan penumpasan terhadap gerombolan itu. Akan tetapi engkau tadi mengatakan bahwa murid yang murtad dari Jatikusumo itu dibantu oleh para tokoh Wirosobo. Siapakah mereka itu?”
“Kakang Cangak Awu lebih mengetahui akan hal itu, Kanjeng Rama.”
“Siapakah mereka, Cangak Awu?” tanya Sang Prabu kepada pemuda itu.
“Selain Priyadi sendiri yang rupanya sudah mempunyai kesaktian luar biasa yang entah didapatkannya dari mana, juga dia dibantu oleh Paman Bhagawan Jaladara yang menjadi antek Kadipaten Wirosobo bersama dua orang pembantunya, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda. Selain itu dia dibantu pula oleh dua orang kakek sakti mandraguna dan jahat, yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo, juga seorang wanita iblis yang bernama Sekarsih. Karena para murid Jatikusumo melawan sampai tewas, tentu sekarang Priyadi membentuk pasukan baru di Jatikusumo yang terdiri dari orang-orang Wirosobo.”
“Ahhhh...! Kami pernah mendengar akan nama Resi Wisangkolo dan kabarnya dia sakti mandraguna. Dan yang membantu demikian banyak, terdiri dari jagoan-jagoan Wirosobo, bahkan tentu masih ada senopati Wirosobo yang membantu. Bukankah begitu, Cangak Awu?”
“Sepanjang pengetahuan hamba, senopati yang membantu Priyadi adalah Tumenggung Janurmendo, Kanjeng Sinuwun,” jawab Cangak Awu.
“Ampun, Kanjeng Sinuwun!” tiba-tiba Senopati Ki Suroantani menyembah.
“Apa yang hendak kau katakan, Suroantani?” tanya Sang Prabu.
“Tumenggung Janurmendo adalah seorang digdaya. Karena itu perkenankanlah hamba yang memimpin pasukan menghadapi dia!”
“Bagaimana, Nini Wandansari? Keadaan pihak musuh demikian kuatnya, apakah engkau seorang diri akan mampu menandingi dan mengalahkan mereka?” Sang Prabu bertanya kepada puterinya. “Terutama sekali Resi Wisangkolo, aku khawatir kalau engkau tidak mampu menandinginya.”
“Harap paduka tidak perlu khawatir, Kanjeng Rama. Di pihak hamba pun banyak terdapat pembantu yang memiliki kesaktian. Terutama sekali Kakang Sutejo seperti pernah hamba ceritakan kepada paduka. Kakang Sutejo dan hamba adalah dua orang yang menerima warisan aji kesaktian dari mendiang Eyang Resi Limut Manik. Jadi biarlah hamba berdua Kakang Sutejo yang mewakili mendiang Eyang Resi Limut Manik untuk menyelamatkan Jatikusumo dari tangan pengkhianat. Selain hamba berdua, di pihak hamba masih ada Kakang Cangak Awu ini. Ada pula seorang gadis yang memiliki kesaktian bernama Retno Susilo dan juga pihak hamba dibantu oleh perkumpulan Nogo Dento dan ketuanya yang menurut Kakang Cangak Awu juga merupakan seorang pendekar yang gagah perkasa bernama Harjodento dan isterinya, Padmosari.”
“Harjodento? Hmm, kami pernah mendengar nama besar pendekar itu!” kata Sang Prabu sambil mengangguk-angguk.
“Juga menurut keterangan Kakang Cangak Awu, Retno Susilo akan minta bantuan dari perkumpulan Sardula Cemeng yang dipimpin ayahnya yang bernama Ki Mundingsosro dan pamannya Ki Mundingloyo. Hamba pikir kedudukan kami cukup kuat, Kanjeng Rama, sehingga belum perlu para paman senopati turun tangan sendiri. Karena urusan ini hanya menyangkut Jatikusumo dan belum menyangkut kerajaan, maka biar hamba yang turun tangan sendiri bersama Kakang Sutejo dan Kakang Cangak Awu.”
Tiba-tiba Ki Mertoloyo menyembah. “Ampun, Kanjeng Sinumun. Hamba juga mempunyai keterangan tentang diri pendekar muda bernama Sutejo itu.”
“Apa yang kau ketahui tentang Sutejo, Mertoloyo?”
“Pada saat hamba bersama anak perempuan hamba mengadakan penyelidikan ke daerah Wirosobo, anak hamba tertawan oleh Bhagawan Jaladara beserta para pembantunya, di antara mereka terdapat pula Tumenggung Janurmendo. Untuk menghadapi mereka dan menolong anak hamba, muncul Sutejo dan hamba menyaksikan sendiri betapa saktinya pendekar muda itu, dan dia sanggup mengalahkan Bhagawan Jaladara dan Tumenggung Janurmendo yang mengeroyoknya. Karena itu hamba tidak khawatir dengan keselamatan Gusti Puteri Wandansari kalau Sutejo membantu beliau.”
Sang Prabu mengangguk-angguk. “Kami juga sudah mendengar dari puteri kami tentang pemuda itu. Dia dan puteri kami telah menerima warisan dua aji simpanan mendiang Resi Limut Manik, bahkan kami sendiri sudah menguji keampuhan aji yang dikuasai oleh Nini Wandansari. Baiklah, Nini Wandansari. Kami memberikan ijin kepadamu untuk memimpin seratus orang prajurit. Akan tetapi, Mertoloyo, supaya engkau persiapkan pasukan pilihan yang kuat untuk dipimpin Nini Wandansari.”
“Sendiko, Gusti.” kata Ki Mertoloyo.
Persidangan dibubarkan dan Wandansari segera membuat persiapan. Sepasukan prajurit gemblengan yang dikenal dengan pasukan Pasopati yang merupakan pasukan pengawal Sang Prabu dan rata-rata memiliki kedigdayaan, segera dipersiapkan.
Pada keesokan harinya berangkatlah Puteri Wandansari memimpin pasukan Pasopati itu. Pasukan itu merupakan barisan berkuda dan melakukan perjalanan cepat. Cangak Awu juga ikut dalam pasukan ini.....
********************
Pakaiannya compang camping, telapak kakinya yang halus itu pecah-pecah, rambutnya kusut, namun semua itu tidak mengurangi kecantikan perempuan muda yang berjalan seorang diri di atas jalan di tepi hutan itu. Ia adalah Sumarni, gadis berusia delapan belas tahun yang melarikan diri dari Jatikusumo setelah berhasil mencuri Pecut Bajrakirana dan menyerahkan pecut pusaka itu kepada Retno Susilo.
Sumarni menangis di sepanjang jalan, meratapi nasibnya. Kalau ia mengenangkan semua pengalaman yang menimpa dirinya, hatinya penuh penyesalan dan kesedihan. Sekarang baru ia menyesal bukan main mengapa ia demikian mudah terkecoh, terbujuk cumbu rayu pemuda yang mengaku sebagai Dewa Sungai bernama Permadi itu. Demikian mudahnya ia menyerahkan dirinya kepada pemuda itu.
Kemudian pemuda itu muncul lagi dan barulah ia ketahui bahwa Permadi itu sebenarnya bernama Priyadi dan menjadi ketua Jatikusumo. Pada mulanya ia merasa gembira karena betapa pun juga harus ia akui bahwa ia sudah tergila-gila kepada pemuda yang tampan, halus dan sakti itu. Tetapi kemudian terjadilah hal yang menghancurkan hatinya sekaligus menghancurkan kehidupannya.
Priyadi menyuguhkan dirinya kepada Ki Klabangkolo. Malam itu, ketika Ki Klabangkolo mempermainkan dirinya, ia benar-benar hancur. Rasanya dia ingin mati saja. Kenyataan bahwa dirinya ternoda oleh Ki Klabangkolo sudah merupakan hal yang menghancurkan hatinya. Akan tetapi yang lebih parah lagi hingga membuat dia ingin mengakhiri hidupnya adalah kenyataan betapa Priyadi telah tega menyuguhkan dirinya kepada Ki Klabangkolo. Berarti Priyadi tidak mencintainya dan menganggapnya sebagai barang permainan dan hiburan saja yang mudah dipinjamkan kepada laki-laki lain!
Teringat mengenai itu semua, air mata bercucuran dari kedua mata Sumarni. Akan tetapi ketika ia teringat betapa ia telah mencuri pecut pusaka itu, menyerahkan kepada musuh Priyadi, hatinya agak terhibur seperti sebatang lilin dinyalakan di tengah kegelapan yang menyelimuti hatinya. Setidaknya dia sudah dapat membalas dendam! Cintanya terhadap Priyadi yang tadinya menjulang setinggi langit penuh harapan dan cita cita, kini berubah menjadi kebencian yang sedalam lautan!
Tanpa kita sadari, cinta yang begitu kita agung-agungkan, kita anggap sebagai perasaan yang murni, yang suci, ternyata bergelimang nafsu untuk menyenangkan diri sendiri. Sebenarnya bukan si dia yang kita cinta, melainkan diri kita sendiri. Kita menginginkan kemenangan diri sendiri melalui orang yang katanya kita cinta! Karena itu, di kala orang yang kita cinta itu, yang kita inginkan agar selalu menyenangkan hati kita, melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan, maka cinta kita terbalik menjadi benci! Cinta yang kita dengung-dengungkan sebagai cinta suci itu ternyata dasarnya demikian. Kita mencinta dia karena dia baik kepada kita dan menyenangkan hati kita dan kalau dia tidak lagi baik kepada kita dan menyusahkan hati kita, kita lalu membencinya!
Apakah perasaan yang bisa berubah ini, yang berdasarkan kepentingan dan kesenangan diri sendiri ini, dapat disebut cinta? Apa lagi cinta murni dan suci? Bukankah cinta seperti itu tiada lain adalah cinta nafsu belaka? Kalau kita mau membuka mata dan mengamati ‘cinta’ yang berada dalam hati kita, maka akan terbukalah mata batin kita dan melihat betapa hal yang kita agungkan dan sucikan itu ternyata amatlah kotornya.
Jelaslah bahwa yang kita sebut cinta itu tiada lain adalah merupakan jual beli belaka. Kita beli dengan cinta kita dengan pamrih memperoleh imbalan atau balasan yang berlipat ganda. Mendapatkan cinta, perhatian, pelayanan, kesetiaan, pendeknya segala hal yang menyenangkan hati kita. Cinta yang kita tujukan kepada seseorang saja, sudah pasti mengandung pamrih dan yang begitu jelaslah bukan cinta, melainkan nafsu ingin menyenangkan diri sendiri.
Patut kita telusuri dan amati, adakah cinta yang lain? Cinta yang tidak ditujukan kepada seseorang tertentu saja, cinta yang tidak berpamrih, cinta yang benar-benar perasaan kasih sayang terhadap sesamanya?
Adakah api itu masih bernyala dalam hati sanubari kita, walau pun hanya kecil? Ataukah api itu sudah padam sama sekali? Kalau demikian halnya, maka amat perlulah bagi kita untuk mohon kepada Tuhan Yang Maha Kasih agar api cinta itu bisa dihidupkan kembali dalam hati sanubari kita. Kalau api kasih sayang itu sudah benar-benar bernyala dalam hati sanubari kita, maka cinta asmara antara pria dan wanita tidak merupakan persoalan lagi! Nafsu hanya sebagai peserta dan hamba, tidak lagi menjadi pemimpin dan majikan!
Sumarni yang tenggelam ke dalam lamunannya, tidak tahu bahwa ada lima pasang mata yang mengikuti gerak geriknya, bahkan pemilik lima pasang mata itu lalu mengikutinya, membayanginya. Lima pasang mata yang liar itu memandang kepadanya penuh nafsu berahi, pakaian yang compang camping dari Sumarni itu tidak tampak oleh lima pasang mata itu. Yang tampak adalah kulit putih kuning mulus yang tampak di sana sini, di antara pakaian yang compang camping itu. Sumarni memang seorang gadis muda yang ayu dan memiliki kulit dan tubuh yang mudah membangkitkan gairah nafsu para pria.
Sumarni baru terkejut setengah mati ketika tiba-tiba lima orang laki-laki tinggi besar dan kasar berlompatan menghadang di hadapannya. Muka mereka yang kasar dan bengis itu menyeringai seperti lima ekor srigala melihat seekor domba. Sumarni menoleh ke kanan kiri seperti hendak minta pertolongan, akan tetapi ia berada di atas jalan di tengah hutan. Sepi sekali di tempat itu, yang ada hanya ia dan lima orang laki-laki yang usianya antara Tiga puluh sampai empat puluh tahun itu.
Salah seorang di antara lima orang laki-laki itu, yang berambut hitam bermata lebar dan kumisnya sekepal sebelah, agaknya merupakan pemimpin mereka, melangkah maju dan sinar matanya seakan-akan hendak menelan bulat-bulat tubuh Sumarni.
“Heh-heh-heh, wong ayu, wong manis denok merak ati! Siapakah engkau dan mengapa engkau seorang diri di sini, hendak pergi ke manakah, sayang?”
Baru melihat sikap dan mendengar ucapan orang itu saja, seluruh bulu di tubuh Sumarni sudah bangkit meremang karena ia merasa ngeri dan takut. Jantungnya berdebar tegang sampai terdengar berdegup di dalam telinganya. Ia memandang laki-laki itu seperti mata seekor kelinci memandang harimau dan suaranya lirih gemetar ketika ia menjawab.
“Saya... saya bernama Sumarni... saya hendak pergi... ke Ngawi.” hampir Sumarni tidak dapat mengeluarkan kata-kata saking takutnya, Orang di depannya itu mengingatkan dia kepada Ki Klabangkolo dan hatinya menjadi ngeri dan takut sekali.
“Ha-ha-ha-ha, jangan takut, wong ayu! Aku Wiro Gembong tidak pernah galak terhadap wanita cantik seperti engkau! Engkau hendak pergi ke Ngawi? Mari kuantar, Sumarni cah ayu!” Berkata begini, laki laki bermuka hitam bermata lebar dan berkumis sekepal sebelah itu telah menjulurkan tangannya yang besar dan berbulu untuk memegang lengan tangan Sumarni.
Sumarni terkejut, menarik lengannya dan mundur ketakutan. “Tidak...!” katanya gemetar. “Saya... saya hendak berjalan sendiri, tidak ingin menyusahkan andika sekalian. Biarkan saya lewat...!”
“Ha-ha-ha-ha, tentu saja, bahkan aku akan mengantarmu sampai ka Ngawi. Akan tetapi engkau harus menjadi isteriku lebih dahulu. Kebetulan sekali aku masih belum beristeri. Sumarni, engkau akan hidup terhormat sebagai isteri Wiro Gembong!” kata laki-laki itu dan kembali dia bergerak ke depan.
Sekali ini Sumarni tidak dapat mengelak dan dia sudah dirangkul Wira Gembong. Sumarni meronta-ronta, tetapi dia bagaikan seekor tikus dalam cengkeraman kucing. Empat orang kawan atau anak buah Wiro Gembong tertawa bergelak melihat hal ini. Karena Sumarni meronta-ronta, mencakar dan menggigit. Wiro Gembong lalu mengangkat tubuh wanita muda itu dan memanggulnya!
“Lepaskan aku...! Lepaskan...! Ahh, toloonggg...!” Sumarni meronta dan menjerit-jerit.
Pada saat itulah terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda datang dengan cepat sekali. Ketika tiba di tempat itu, penunggangnya, seorang laki-laki gagah berusia sekitar empat puluh tahun segera melompat dari atas punggung kuda dan menghadapi Wiro Gembong serta empat orang kawannya. Orang itu bertubuh sedang, akan tetapi sikap dan pandang matanya penuh wibawa dan kegagahan.
“Lepaskan gadis itu, keparat!” bentaknya kepada Wiro Gembong, suaranya memerintah dan tegas.
Wiro Gembong memandang dengan alis berkerut dan mata penuh selidik. Dia melihat laki-laki itu bertubuh sedang saja, pakaiannya seperti seorang pejabat dan di pinggangnya terselip sebatang keris. Melihat sikap orang itu, dia menjadi marah dan menoleh kepada empat orang anak buahnya.
“Bunuh dia, rampas bawaannya dan kudanya!”
Empat orang anak buah adalah orang-orang yang sudah biasa menggunakan kekerasan dan memaksakan kehendak sendiri. Mereka sudah biasa membunuh orang. Entah sudah berapa banyaknya orang yang mereka bunuh. Kini mendengar perintah pimpinan mereka, empat orang itu sudah mencabut golok dari pinggang mereka dan sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring, mereka seolah berlomba untuk membunuh orang yang berani menentang mereka.
Akan tetapi ternyata orang itu cekatan bukan main menghadapi terjangan empat orang yang memegang golok itu, sama sekali dia tidak gentar atau gugup. Dengan lincahnya tubuhnya bergerak cepat mengelak, kaki tangannya bergerak dan dua orang penyerang terkena tamparan tangan kirinya dan tendangan kaki kanannya.
Dua orang itu terputar dan terpelanting hingga tak dapat bangun lagi! Dua orang yang lain menjadi terkejut akan tetapi kemarahan membuat mereka seperti buta, tidak menyadari bahwa mereka berhadapan dengan orang yang digdaya. Dua orang itu menyerang dari kanan kiri, golok mereka membacok ke arah kepala dan perut.
Laki-laki itu menghindarkan diri dengan melangkah ke belakang. Ketika dua batang golok itu menyambar dan lewat, kakinya bergerak mencuat ke kiri dan menghantam dada lawan yang berdiri di kiri.
“Dessss...!”
Orang itu terjengkang dan terbanting keras.
Orang yang berada di kanan kembali membacokkan goloknya ke arah kepala. Akan tetapi sekali ini orang yang diserang itu tidak menjauhkan diri, bahkan dia melangkah maju ke kanan, mendahului gerakan orang itu dan menangkap tangan yang membacokkan golok dari bawah. Sekali dia memutar dan memuntir lengan yang dipegangnya, penyerang itu berteriak dan tubuhnya terputar lalu terbanting ke bawah. Laki-laki yang gagah perkasa itu menyusulkan tendangan.
“Desss...!”
Orang terakhir dari empat anggota gerombolan itu terpental dan tubuhnya terguling-guling, dan setelah berhenti tubuh itu terkapar tidak dapat bangun lagi!
Wiro Gembong terbelalak dan dia menjadi marah sekali. Dia menurunkan tubuh Sumarni dari pondongannya, mendorong wanita itu sehingga terhuyung dan roboh ke atas tanah, kemudian dia melompat ke depan laki-laki yang sudah merobohkan empat orang anak buahnya.
“Babo babo, keparat jahanam! Siapakah engkau yang berani menjual lagak di hadapan Warok Wiro Gembong? Apakah engkau sudah bosan hidup?”
Laki-laki itu memandang dengan sinar mata tajam. Sesudah dia melirik ke arah Sumarni dan melihat bahwa gadis itu tidak terluka dan kini sudah bangkit berdiri dan memandang dengan sepasang mata ketakutan seperti mata seekor kelinci yang tersudut.
“Kiranya engkau yang bernama Warok Wiro Gembong! Kebetulan sekali karena sudah menjadi tugasku untuk membasmi gerombolan dan penjahat seperti kau ini. Aku adalah Senopati Suroantani yang siap untuk menumpas dan mengakhiri kejahatanmu!”
Warok Wiro Gembong terkejut juga mendengar bahwa dia berhadapan,dengan seorang senopati dari Mataram. Akan tetapi karena dia sudah tidak dapat menyingkir lagi, timbul kenekatannya. Ia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang, kemudian tanpa mengeluarkan kata-kata dia sudah menubruk ke depan, kedua lengannya dikembangkan dan kedua tangan menerkam ke arah leher senopati itu.
Ki Suroantani bergerak cepat. Dia menghindarkan diri ke kanan sehingga tubrukan itu luput dan selagi tubuh Wiro Gembong condong ke depan, kakinya bergerak menendang lutut warok itu.
“Dukkk...!”
Tak dapat dicegah lagi tubuh warok itu roboh terlungkup! Akan tetapi dia cepat melompat bangun lagi dan kini mengamuk, menyerang bertubi-tubi ke arah tubuh Suroantani.
Senopati itu mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana kemari. Saking bernafsunya Wiro Gembong menyerang, dia menggunakan seluruh tenaganya sehingga sebentar saja, karena semua serangannya luput, napasnya terengah-engah. Akhirnya dia berhenti menyerang dan sambil terengah-engah dia berkata mengejek.
“Engkau bukan laki-laki! Bisanya hanya mengelak dan melarikan diri. Kalau kau memang seorang senopati Mataram yang gagah dan jantan, marilah kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang seperti yang biasa kami para warok lakukan!”
“Hemm, apa yang kau maksudkan, Wiro Gembong?”
“Kita saling serang tanpa dielakkan, menerima pukulan dengan kekebalan kulit. Beranikah engkau?”
“Mengapa tidak berani? Bagaimana aturannya?” tanya Suroantani.
“Aku akan memukulmu menggunakan kolor (ikat pinggang) yang kupakai ini sebanyak tiga kali dan engkau harus menerimanya tanpa mengelak. Setelah itu engkau boleh membalas dengan tiga kali pukulan atau serangan, boleh menggunakan senjata apa pun dan akan kuterima dengan kekebalanku!”
“Bagus! Aku setuju, akan tetapi dengan syarat, tidak boleh memukul kepala, hanya dari batas pinggang sampai ke leher!” kata Suroantani.
“Baik. Nah, bersiaplah menerima hantaman kolor pusakaku!” kata Wiro Gembong sambil memutar-mutar kolornya yang panjang.
Suroantani segera memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. “Aku sudah siap. Lakukanlah pukulanmu, Wiro Gembong!”
“Awas, terimalah pukulanku yang pertama. Pecah dadamu!” Kolor itu menyambar dengan amat cepat dan kuat, menimpa dada Suroantani yang sudah membuka bajunya sehingga menerima pukulan itu dengan dada telanjang.
“Dessss...!”
Hebat sekali pukulan itu dan Suroantani mundur selangkah, akan tetapi tidak menderita luka. Dia bahkan tersenyum.
“Pukulanmu kurang kuat, Wiro Gembong!” katanya dan sudah memasang kuda-kuda lagi, membusungkan dadanya yang penuh Aji kekebalan.
“Ini pukulan kedua! Ambrol wadukmu!” Kolor melecut lebih dahsyat lagi,
“Darrrr...!”
Begitu hebatnya hantaman kolor itu mengenai perut sehingga nampaklah uap atau asap mengepul ketika kolor itu bertemu dengan kulit perut. Suroantani terdorong mundur dua langkah, akan tetapi dia tetap tersenyum dan tidak terluka.
“Hanya sebegitukah kekuatanmu, Wiro Gembong?” dia mengejek.
Wiro Gembong terbelalak. Mukanya merah dan dia merasa penasaran sekali. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan ajinya. Batu karang sekali pun akan pecah berantakan terkena pukulan kolornya tadi. Akan tetapi senopati ini sama sekali tidak roboh, terluka pun tidak!
“Masih ada satu kali lagi!” katanya dan dia memutar kolornya, mulutnya berkemak kemik membaca mantera. “Sambutlah!” teriaknya.
Ujung kolor menyambar dahsyat mengarah ulu hati Suroantani, Senopati ini mengerahkan aji kekebalannya ke tempat yang dihantam.....
Komentar
Posting Komentar