PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-39
Wiro Gembong terkejut, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk mundur.
“Bagus, engkau memang digdaya, Suroantani. Sekarang giliranmu, keluarkan senjatamu dan inilah dadaku, boleh kau serang sampai tiga kali!”
“Aku tidak akan menggunakan senjata, Wiro Gembong. Cukup tanganku ini yang akan merobohkanmu dengan pukulanku “
Hati Wiro Gembong menjadi senang dan besar. Dia mempunyai aji kekebalan cukup kuat untuk menyambut bacokan golok dan tusukan keris. Apa lagi kalau hanya kepalan tangan yang menyerangnya!
“Baik, lakukanlah dan boleh engkau memilih bagian yang paling lunak!” sumbarnya.
“Wiro Gembong, dosamu sudah terlampau banyak. Kalau pukulanku menewaskanmu, itu merupakan hukuman yang setimpal bagimu dan jangan menjadi penasaran.”
“Pukullah, jangan banyak cerewet lagi!” bentak Wiro Gembong.
Suroantani mengerahkan tenaga saktinya, dikumpulkan pada telapak tangan kanannya, kemudian dia menerjang ke depan, memukulkan tangan kanannya dengan miring ke arah dada yang bidang dan berotot itu.
“Haaiiiiitt...!”
“Blarrrr...!”
Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting keras lalu rebah telentang, tidak bergerak lagi. Matanya terbelalak dan nyawanya putus karena isi dadanya terguncang dan remuk.
Suroantani memeriksa keadaan lima orang itu. Yang tiga orang tewas sedangkan yang dua orang masih hidup walau pun terluka.
“Urus dan kuburkan tiga orang kawan kalian yang tewas ini. Aku mengampuni kalian dan tidak akan membunuh kalian. Akan tetapi kalau lain kali aku masih mendengar kalian melakukan kejahatan, maka tidak ada ampun lagi bagi kalian. Mulai sekarang bertobatlah dan hiduplah sebagai orang baik-baik!” demikian katanya kepada dua orang anak buah gerombolan itu. Setelah itu dia lalu menghampiri Sumarni yang masih berdiri ketakutan.
“Nimas, mari kita pergi dari sini. Jangan takut, aku akan mengawalmu.”
Sumarni yang masih ketakutan hanya dapat mengangguk. Bagaimana pun juga sikap pria ini menimbulkan kepercayaan dalam hatinya dan tidak dapat disangkal lagi bahwa lelaki ini sudah menyelamatkannya dari ancaman yang dapat menghancurkan dan kehormatan dirinya. Dia masih bergidik ngeri kalau teringat akan perbuatan si muka hitam bernama Warok Wiro Gembong tadi kepadanya. Ketika pria itu menuntun kudanya, dia pun cepat mengikuti dari belakang meninggalkan tempat yang menyeramkan itu.
Mereka melangkah terus sampai keluar dari daerah berhutan itu. Setelah mereka keluar dari dalam hutan, Suroantani berhenti melangkah dan otomatis Sumarni juga segera ikut menghentikan langkahnya kemudian memandang pada pria itu. Suroantani juga menoleh kepadanya dan keduanya saling bertemu pandang.
Barulah teringat oleh Sumarni bahwa dia sama sekali belum mengucapkan terima kasih pada pria itu, padahal pria itu baru saja membebaskannya dari cengkeraman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut. Dia pun teringat bahwa pria ini tadi mengaku kepada Wiro Gembong sebagai seorang senopati Mataram yang bernama Suroantani. Seorang senopati! Seorang panglima! Teringat ini, Sumarni cepat menjatuhkan diri bersimpuh dan menyembah.
“Kanjeng Senopati, Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan paduka kepada saya.” Ia menyembah lagi.
Suroantani tersenyum. Begitu berjumpa dan melihat Sumarni, senopati yang walau pun usianya sudah empat puluh tahun tetapi belum beristeri itu merasa tertarik dan iba sekali. Ada daya tarik luar biasa dalam diri wanita ini yang membuat hatinya bergetar.
“Nimas, bangkitlah dan tidak perlu mengucapkan terima kasih. Kalau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Gusti Allah yang telah menuntun kudaku sehingga aku lewat di tempat ini pada waktu engkau diganggu para gerombolan itu. Aku sendiri hanya melaksanakan kewajibanku untuk memberantas semua kejahatan yang dilakukan orang dan menolong mereka yang terancam bahaya.”
Sumarni memandang kagum dan dia pun bangkit berdiri sesudah Suroantani menyentuh pundaknya dan menyuruhnya berdiri. “Kanjeng Senopati, paduka sungguh seorang yang luhur budi.”
Suroantani tersenyum. Dia sendiri merasa heran kenapa hatinya merasa demikian senang mendengar pujian yang keluar dari mulut wanita ini.
“Sudahlah, tidak perlu memuji, nimas. Sebenarnya siapakah andika dan mengapa andika seorang wanita muda berada seorang diri di dalam hutan?”
“Nama saya Sumarni dan saya... saya...”
Sumarni tak dapat melanjutkan. Ia teringat akan keadaan dirinya dan kesedihan membuat dia menangis. Dia menangis terisak-isak sambil menutupkan kedua tangannya ke depan mukanya. Air matanya mengalir melalui celah-celah jari tangannya.
Suroantani membiarkan wanita itu menangis karena dia tahu bahwa bagi seorang wanita, tangis merupakan penyaluran rasa duka yang menekan batin. Sesudah tangis itu mulai mereda, barulah dia berkata dengan suaranya yang tenang penuh kesabaran.
“Sudahlah, nimas Sumarni. Hentikan tangismu dan ceritakan kepadaku urusan apa yang membuatmu bersedih. Siapa tahu, barang kali aku akan dapat menolongmu.”
Setelah menyusut air matanya dan menghentikan isak tangisnya, Sumarni lalu bercerita. Ia telah demikian percaya kepada pria ini sehingga ia menumpahkan semua isi hatinya
“Saya adalah seorang yang bernasib malang sekali, Kanjeng Senopati.”
“Namaku Suroantani, Sumarni. Rasanya tidak enak engkau menyebutku seperti itu. Sebut saja aku... ehh, paman.” kata senopati itu walau pun di dalam hatinya dia ingin disebut kakangmas, bukan paman!
“Terima kasih, Paman Suroantani. Akan tetapi saya hanya seorang gadis dusun...”
“Aku pun berasal dari desa, Sumarni Nah, ceritakanlah pengalamanmu sampai engkau terlunta-lunta seorang diri di sini.”
Mereka duduk di bawah sebatang pohon asem. Suroantani membiarkan kudanya makan rumput yang tumbuh subur di tepi jalan. Setelah menghela napas beberapa kali, Sumarni melanjutkan ceritanya.
“Ketika saya masih tinggal di dusun Jaten, saya dirayu dan ditipu seorang pemuda yang mengaku sebagai dewa sungai bernama Permadi. Kemudian dia datang dan membawa saya pergi. Baru kemudian saya ketahui bahwa dia bukanlah dewa sungai dan namanya bukan Permadi melainkan Priyadi ketua Jatikusumo...”
“Ahhh! Priyadi ketua Jatikusumo?” seru Suroantani.
Dia sendiri sedang melaksanakan perintah Sultan Agung untuk mengamati gerakan Puteri Wandansari yang memimpin pasukan untuk membantu perkumpulan Nogo Dento dalam menumpas persekutuan pemberontak yang dipimpin oleh Priyadi ketua Jatikusumo!
“Kenalkah paduka dengan dia, paman?”
“Tidak mengenal, akan tetapi aku tahu siapa jahanam itu!”
Lega rasa hati Sumarni mendengar Suroantani menyebut jahanam kepada Priyadi. Hal ini membuktikan bahwa senopati ini bukan sahabat Priyadi, melainkan musuhnya!
“Memang dia itu manusia yang berwatak iblis paman. Saya dijadikan barang mainannya, bahkan dia begitu keji telah tega menyuguhkan saya kepada seorang pembantunya yang menyeramkan, bernama Ki Klabangkolo! Hati saya hancur, paman, dan malam itu saya mengambil keputusan untuk membunuh diri di Laut Kidul.”
“Keparat jahanam, kejam benar manusia iblis itu!” kata Suroantani dengan geram. “Lalu bagaimana, nimas Sumarni?”
“Rupanya Gusti Yang Maha Kuasa belum menghendaki saya mati, paman. Saya ditolong oleh Denmas Sutejo dan Den Roro Retno Susilo. dua orang gagah perkasa yang menjadi musuh Priyadi.”
Suroantani mengangguk-angguk. Dua nama itu pun tidak asing baginya karena dia sudah mendengar ketika Cangak Awu dan Puteri Wandansari melapor kepada Sang Prabu.
“Untung mereka dapat mencegahmu membunuh diri, Sumarni.”
“Sebetulnya saya tidak mau kalau niat saya membunuh diri itu dihalangi, tetapi Den Roro Retno Susilo memberi jalan kepada saya untuk dapat membalas dendam kepada Priyadi.”
“Bagaimana jalan itu? Bagaimana cara engkau dapat membalas dendam kepada Priyadi? Aku mendengar kabar bahwa dia seorang yang sakti mandraguna.”
“Memang benar, paman. Den Roro Retno Susilo minta bantuanku supaya saya dapat mencuri pecut pusaka yung bernama Bajrakirana karena hanya kalau kehilangan pecut saktinya itu Priyadi dapat dikalahkan dan dibinasakan.”
“Ahh, begitukah? Lalu engkau sudah melakukan itu?”
Sumarni mengangguk. “Saya sudah melakukannya, paman. Malam tadi kucuri pecut itu dan sudah kuserahkan kepada Den Roro Retno Susilo. Ia menasihati saya supaya saya segera melarikan diri ke perkampungan Nogo Dento yang berada di daerah Ngawi, di tepi Bengawan Solo untuk berlindung pada perkumpulan itu yang dipimpin ketuanya bernama Ki Harjodento. Karena saya merasa yakin bahwa Priyadi dan kaki tangannya tentu akan mencari saya, maka saya segera melarikan diri secepatnya. Sejak malam tadi saya terus berjalan setengah berlari tanpa berhenti sampai pakaian saya compang camping dan telapak kaki saya luka-luka, hingga akhirnya saya sampai di sini kemudian dihadang oleh gerombolan tadi, paman. Untung bagi saya, paman datang dan menyelamatkan diri saya.”
Suroantani menghela napas panjang. Selama Sumarni bercerita, pandang matanya selalu bergantung pada sepasang bibir yang bergerak-gerak indah itu. Betapa ayu dan manisnya wanita yang bernasib malang ini!
“Kasihan engkau, nimas Sumarni. Jadi sekarang engkau hendak pergi ke perkampungan Nogo Dento? Kebetulan sekali sekarang aku pun sedang menuju ke sana sehingga aku dapat mengantarmu ke sana.”
“Terima kasih, paman. Akan tetapi hati saya gelisah sekali. Saya khawatir kalau Priyadi dan kaki tangannya mencari saya, ke dusun Jaten dan karena tidak menemukan saya di sana, mereka lalu mencelakai orang tua saya.”
“Hemm, kekhawatiranmu beralasan juga, Sumarni. Kalau begitu marilah kuantar engkau pulang dan ke dusun Jaten yang tidak berapa jauhnya dari sini. Kita perlu mengajak orang tuamu untuk meninggalkan dusun itu sementara waktu supaya terbebas dari ancaman Priyadi dan anak buahnya.”
Bukan main girangnya hati Sumarni ketika mendengar ini. Ia memandang wajah senopati itu dengan perasaan girang dan bersyukur. “Ahh, paman Suroantani, budimu bertumpuk-tumpuk kepadaku. Bagaimana saya akan mampu membalasnya?”
Suroantani tersenyum. “Aku tidak mengharapkan balasan apa pun, nimas. Tadi sudah kukatakan, aku membantumu karena hal itu merupakan kewajibanku, tidak mengandung pamrih apa pun. Tetapi aku hanya memiliki seekor kuda, dan akan sangat melelahkanmu bila kita melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Bagaimana kalau engkau kubocengkan di atas kuda? Maukah engkau, Sumarni? Tapi kalau engkau merasa rikuh, aku pun tidak memaksa. Engkau boleh duduk di atas kudaku dan aku akan menuntun kuda itu.”
“Ahh, tidak, paman. Saya percaya dan tidak rikuh kepadamu. Paman sudah begitu baik kepada saya. bagaimana saya dapat membiarkan paman berjalan kaki sambil menuntun kuda, sedangkan saya malah menunggang kuda? Biar saya membonceng paman,” kata Sumarni, akan tetapi wajahnya berubah kemerahan karena sesungguhnya dalam hatinya dia merasa rikuh duduk berhimpitan di atas punggung seekor kuda bersama seorang pria yang baru saja dikenalnya. Tetapi ia merasa kagum, suka dan percaya kepada Suroantani dan ia percaya sepenuhnya bahwa pria yang berwatak satria ini tidak akan mempunyai pikiran yang tidak sopan terhadap dirinya.
Setelah Sumarni menyatakan persetujuannya, Suroantani lalu membantunya naik ke atas punggung kuda karena wanita itu belum pernah menunggang kuda, kemudian dia sendiri duduk di belakang Sumarni. Dengan cara berboncengan seperti itu, kuda lalu dibalapkan dan mereka menuju ke dusun Jaten. Walau pun mereka duduk berhimpitan, Suroantani selalu bersikap sopan sehingga Sumarni merasa semakin suka dan kagum kepada pria itu.....
********************
Dusun Jaten merupakan sebuah dusun yang tanahnya subur sehingga para penduduk dusun itu hidup dalam keadaan cukup makmur dan tenang tenteram. Peristiwa perginya Sumarni yang dibawa ‘Dewa penjaga sungai’ menjadi cerita yang cepat tersebar luas di dusun itu dan semua orang mempercayai cerita yang keluar dari mulut Ki Karyotomo dan isterinya, orang tua Sumarni itu. Mereka menganggap Sumarni telah diperisteri oleh dewa penjaga sungai.
Para penduduk dusun itu masih amat terbelakang dan amat sederhana sehingga mereka percaya akan ketahyulan. Pula, bagaimana mereka tidak akan percaya kalau buktinya Ki Karyotomo kini menjadi kaya, dapat memperbaiki rumah dan membeli sawah, memiliki banyak uang yang didapatnya dari pemberian mantunya yang dewa itu?
Ki Karyotomo sendiri dan isterinya juga tidak pernah meragukan bahwa anak perempuan mereka telah menjadi isteri dewa penjaga sungai. Begitu besar kepercayaan hati mereka sehingga setiap malam Jumat Kliwon, selapan (tiga puluh lima hari) sekali, mereka pasti mengirim sesaji dan membakar kemenyan di pinggir sungai dan menghanyutkan sesaji itu! Rupanya Agama Islam belum memasuki dusun itu sehingga penduduknya masih dipengaruhi tahyul.
Pada suatu senja, ketika Ki Karyotomo dan isterinya sedang duduk di beranda depan rumah mereka, menghadapi singkong rebus dan wedang kopi sambil bercakap-cakap membicarakan Sumarni, anak perempuan yang mereka rindukan, tiba-tiba saja muncul dua orang laki laki.
Mereka itu adalah dua orang yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Yang seorang bertubuh tinggi besar berkumis tebal dan seorang lagi bertubuh pendek kecil. Akan tetapi wajah mereka berdua tampak seram dan bengis. Mereka memasuki pekarangan rumah itu dan menghampiri suami isteri yang sedang duduk bercakap-cakap itu.
Tadinya Ki Karyotomo dan isterinya mengira bahwa yang datang adalah tetangga atau teman sedusun, akan tetapi setelah dua orang itu datang dekat dan suami isteri itu tidak mengenalnya, mereka cepat bangkit berdiri untuk menyambut dua orang tamu yang tidak mereka kenal itu.
Seperti yang menjadi kebiasaan bagi para penduduk dusun, mereka selalu menerima datangnya tamu dengan hati dan tangan terbuka dan penuh rasa keluargaan. Demikian pula Ki Karyotomo dan isterinya. Dengan senyum di mulut mereka menuruni anak tangga menyambut dua orang tamu mereka.
“Selamat datang, Ki Sanak!” sambut Ki Karyotomo dengan ramah. “Silakan masuk ke dalam gubuk kami yang tua daa buruk.”
Namun dua orang pendatang itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap sebagai tamu-tamu yang baik.
“Apakah ini rumah Sumarni?” tanya orang yang berkumis tebal, suaranya menghardik. Ki Karyotomo masih bersikap ramah dan lunak. Dia mengangguk-angguk dan tersenyum.
“Benar sekali, ini adalah rumah Sumarni dan kami berdua adalah ayah dan ibu Sumarni.” Diam-diam ia menduga apakah dua orang tamu aneh ini merupakan utusan dewa sungai, mantu mereka?
Mendadak orang yang bertubuh pendek kecil melangkah maju dan membentak dengan suara kasar, “Panggil dia keluar sekarang juga!”
Mulai terkejutlah hati Ki Karyotomo dan isterinya. Mereka memandang kepada dua orang itu dengan heran dan bingung. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa dua orang itu adalah jagoan terkenal dari Wirosobo, orang-orang yang sudah biasa memaksakan kehendak dengan menggunakan kekuasaan dan kekerasan. Mereka adalah Ki Warok Petak yang tinggi besar berkumis tebal dan Ki Baka Kroda yang bertubuh pendek kecil.
“Memanggilnya keluar? Akan tetapi dia... dia tidak berada di sini...” kata Ki Karyotomo dengan alis berkerut. Mulai tidak senang hatinya melihat sikap kedua orang tamunya yang kasar itu, sikap yang tidak biasa mereka lihat di dusun itu.
Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda memang tengah melaksanakan perintah Priyadi untuk mencari Sumarni di dusun tempat tinggal orang tuanya, yaitu di Jaten. Ki Warok Petak menjadi marah mendengar jawaban Ki Karyotomo. Mendadak dia menggerakkan tangan kanannya mencengkeram baju di dada tuan rumah itu, lalu mengguncangnya dengan kuat sehingga tubuh Ki Karyotomo terguncang-guncang dan akhirnya mendorong hingga tubuh tuan rumah itu jatuh terjengkang.
“Jangan main gila kamu! Hayo katakan di mana Sumarni berada, di mana ia bersembunyi! Kalau tidak mau mengaku, akan kuhancurkan kepalamu!” bentak Ki Warok Petak.
“Dan engkau perempuan dusun! Katakan di mana anakmu Sumarni itu atau kupatahkan lehermu!” bentak Ki Baka Kroda sambil mendorong Mbok Karyotomo sehingga wanita itu terpelanting dan jatuh di dekat suaminya.
Kedua orang suami isteri itu merangkak bangkit dan Ki Karyotomo masih mencoba untuk bersikap ramah dan sabar. “Ki Sanak, harap andika berdua bersabar hati dan silakan duduk. Mari kita bicara dengan baik-baik dan kami akan menceritakan di mana anak kami Sumarni berada.”
“Nah, begitu jauh lebih baik!” kata Ki Warok Petak sambil melangkah dan mendaki anak tangga menuju ke beranda, didahului oleh Karyotomo dan isterinya, lalu bersama Ki Baka Kroda dia duduk di atas kursi menghadapi meja. Suami isteri itu tetap berdiri di depan mereka. “Hayo cepat katakan di mana Sumarni berada!”
“Sumarni ikut dengan suaminya, Ki Sanak.”
Dua orang jagoan itu terbelalak dan saling pandang. “Ikut suaminya?! Ke mana?” bentak Ki Baka Kroda tidak percaya.
“Kami sendiri tidak tahu. Mungkin dibawa ke sungai.”
“Ke sungai? Mengapa ke sungai?” tanya Ki Warok Petak.
“Kami benar-benar tidak tahu. Akan tetapi karena suaminya adalah Dewa Penjaga Sungai yang bernama Permadi, tentu saja ia dibawa ke sungai...” kata Ki Karyotomo lalu segera menerangkan, “sudah hampir tiga bulan ini Sumarni dibawa suaminya pergi dari sini...”
Dua orang jagoan itu segera bangkit berdiri, muka mereka menjadi merah sekali dan mata mereka melotot saking marahnya karena mereka merasa dipermainkan.
“Braakkk...!” Meja itu pecah berantakan dihantam tangan kiri Ki Warok Petak.
“Kau lihat ini? Kepalamu akan pecah seperti meja ini jika engkau berani mempermainkan kami!”
“Bressss...!”
Sebuah kursi ditendang Ki Baka Kroda dan kursi itu melayang lalu menghantam tubuh suami isteri itu sehingga mereka roboh terjengkang.
“Nyawa kalian berada di tangan kami dan kalian masih berani mempermainkan kami”
“Aduh Ki Sanak... kami tidak main-main... suamiku tidak main-main! Memang benar anak kami Sumarni dibawa pergi suaminya Dewa Penjaga Sungai!” Mbok Karyotomo berkata dengan ketakutan.
“Jahanam! Kalian berani membohongi kami? Kalian kira kami begitu bodoh untuk percaya dengan omongan kalian? Hayo jawab sekali lagi, katakan di mana Sumarni berada, atau kami akan menyembelih kalian!” hardik Ki Warok Petak sambil mencabut goloknya yang besar dan mengkilap tajam.
Pada saat itu terdengar derap kaki kuda memasuki pekarangan. Suroantani membantu Sumarni turun dari atas punggung kuda dan gadis itu segera menjerit ketika melihat ayah ibunya rebah di tanah diancam oleh Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang dia kenal sebagai anak buah Priyadi,
“Bapak...! Simbok...!” Sumarni berlari menghampiri ayah ibunya dan berlutut, merangkul ibunya sambil menangis.
Melihat kemunculan Sumarni, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda tertawa senang, “Ha-ha-ha-ha, ternyata akhirnya engkau muncul juga, Sumarni! Hampir saja ayah ibumu kami bunuh karena kebandelan mereka!”
“Sumarni, hayo engkau cepat ikut bersama kami. Denmas Priyadi sudah menunggu-nunggumu!” kata Ki Baka Kroda.
“Tentu engkau akan diberi hadiah, ha-ha-ha!” kata Ki Warok Petak.
“Tidak! Aku tidak sudi ikut kalian!” Sumarni berteriak lantang dan berani.
“Begitukah? Ha-ha-ha-ha, mau atau tidak mau engkau harus ikut dengan kami! Aku akan senang memondongmu dan membawamu pulang!” kata pula Ki Warok Petak.
Pada saat itu, Suroantani sudah memasuki beranda. “Nimas Sumarni, ajaklah ayah ibumu masuk, biar aku yang menghadapi dua orang berandal ini!” katanya dengan sikap tenang.
Ki Warok Petak dan Ki Buka Kroda terbelalak memandang kepada Suroantani. Tentu saja mereka berdua marah bukan main melihat ada orang yang berani melindungi Sumarni dan menghadapi mereka dengan sikap yang demikian menantang.
Sumarni membangunkan ayah ibunya dan mengajak mereka masuk, sesudah lebih dulu menoleh kepada Suroantani dan berkata, “Paman, mereka ini adalah Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, dua orang anak buah Priyadi. Harap paman berhati-hati menghadapi mereka yang kejam dan jahat ini.”
Sesudah berkata demikian, dia menggandeng ayah ibunya memasuki rumah, akan tetapi mereka mengintai dari dalam dengan hati tegang walau pun Sumarni sudah tahu bahwa penolongnya adalah seorang senopati yang digdaya dan gagah perkasa.
“Babo babo, keparat! Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami?” bentak Ki Warok Petak.
“Kakang Warok Petak, agaknya orang ini sudah bosan hidup!” kata Ki Baka Kroda.
“Hemm, kiranya andika berdua inilah yang bernama Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, dua orang benggolan dari Wirosobo itu? Bagus! Hari ini andika berdua bertemu denganku, pasti tidak akan kuberi ampun, apa lagi karena kalian sudah menjadi antek pemberontak. Ketahuilah, aku adalah Suroantani, senopati Mataram yang siap untuk menumpas segala macam gerombolan pemberontak!”
Terkejut juga dua orang jagoan itu mendengar bahwa mereka sedang berhadapan dengan Senopati Suroantani yang nama besarnya sejajar dengan Senopati Mertoloyo dan lain-lain senopati di Mataram yang terkenal digdaya. Akan tetapi karena mereka telah berhadapan dengan Suroantani, maka terpaksa mereka memberanikan diri dan menjadi nekat. Apa lagi mereka berdua, sedangkan senopati itu hanya seorang diri.
“Bagus! Ternyata Senopati Suroantani yang berhadapan dengan kami. Sekarang inilah saatnya engkau mampus di tangan kami!” kata Ki Warok Petak dan langsung saja dia menggunakan golok yang sudah berada di tangan kanannya untuk menyerang dengan bacokan cepat dan kuat ke arah leher sang senopati.
Suroantani maklum bahwa kedua orang lawannya ini adalah orang-orang yang digdaya, tidak dapat disamakan dengan mendiang Wiro Gembong, karena itu dia pun tidak berani sembarangan menerima serangan golok itu melainkan menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dengan merendahkan tubuh dan bergeser ke kiri.
Golok itu hanya meluncur lewat di atas kepalanya, lalu dengan cepat tangan kanannya menampar ke atas untuk menyerang siku kanan lawannya yang memegang golok. Akan tetapi Ki Warok Petak sudah menarik lengannya sehingga sambaran itu luput. Pada saat itu terdengar suara bersiutan dan tampak tiga pucuk sinar berkilat menyambar ke arah tubuh Suroantani.
Senopati yang sudah banyak pengalaman bertanding ini dapat menduga bahwa dia telah diserang dengan senjata rahasia. Dugaannya memang benar. Tiga sinar itu adalah tiga batang cundrik terbang yang meluncur ke arah leher, dada dan perutnya, dilepas oleh Ki Baka Kroda. Senopati Suroantani cepat melempar tubuh ke samping, terus bergulingan di atas lantai sehingga tiga batang cundrik itu luput. Ketika dia melompat bangun, Ki Baka Kroda yang merasa penasaran melihat serangan cundriknya tak berhasil, telah menerkam maju sambil menusukkan kerisnya ke arah lambung Suroantani.
“Tranggg...!”
Tampak bunga api berpijar ketika dua batang keris itu beradu. Kiranya sambil bergulingan tadi, Suroantani sudah mencabut kerisnya karena dia maklum bahwa menghadapi dua orang lawan tangguh itu dia harus mempergunakan kerisnya. Maka ketika Ki Baka Kroda menyerangnya dengan tusukan keris ke arah lambungnya, dia dapat menangkis dengan kerisnya.
Tangkisan itu membuat lengan tangan kanan Ki Baka Kroda tergetar hebat dan jagoan ini melompat ke belakang dengan terkejut. Tahulah dia bahwa senopati Mataram itu memang tangguh sekali, memiliki tenaga sakti yang bukan main besarnya.
Terjadilah pertandingan yang amat seru di pendopo yang cukup luas itu. Suara keris Ki Baka Kroda dan golok Ki Warok Petak bertemu dengan keris Suroantani berdennngan, bunga api berpijar-pijar menerangi cuaca yang mulai gelap. Tiga sosok tubuh yang bertanding itu berkelebatan sehingga orang tidak dapat melihat dengan jelas jalannya pertandingan. Di pekarangan rumah Ki Karyotomo penuh dengan penduduk dusun yang berdatangan mendengar soal ribut-ribut, apa lagi ketika ada yang melihat Sumarni. Segera tersiar berita bahwa Sumarni yang dipercaya telah menjadi isteri dewa penjaga sungai telan pulang, maka berbondong-bondong orang berdatangan untuk melihat Sumarni. Akan tetapi mereka tertahan di pekarangan dan tidak berani mendekat ketika melihat ada perkelahian yang amat dahsyat terjadi di pendopo rumah itu.
Lurah dusun itu pun hadir di pekarangan itu. Ki lurah yang tidak tahu mengapa dan siapa yang berkelahi, segera menyuruh orang-orang untuk menyalakan obor agar tempat itu menjadi terang. Akan tetapi lurah ini pun seorang yang mengerti bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kedigdayaan, maka dia tidak berani mendekat dan hanya menonton dari pekarangan.
Tadinya Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda merasa yakin bahwa mereka berdua pasti akan mampu mengalahkan lawannya yang hanya seorang. Kini mereka mulai terkejut dan khawatir. Lawannya itu ternyata tangguh bukan main.
Mereka sama sekali tidak dapat menekan lawan, bahkan mereka berdua yang terdesak oleh ancaman keris di tangan Senopati Suroantani yang bergerak cepat seperti kilat yang menyambar nyambar. Apa lagi melihat berkumpulnya banyak sekali orang di pekarangan itu. Mereka berdua merasa berada di pihak penyerang, pihak yang bersalah sehingga mungkin saja para penduduk dusun akan mengeroyok mereka.
Dugaan ini membuat mereka mulai merasa ketakutan sehingga permainan silat mereka menjadi kacau. Cepat Suroantani menggunakan kesempatan ini untuk mendesak mereka dengan permainan kerisnya.
Ketika golok Ki Warok Petak menyambar dan raksasa itu mengerahkan seluruh tenaga dalam bacokannya, Suroantani mengelak sehingga Ki Warok Petak terbawa oleh tenaga bacokannya sendiri hingga tubuhnya terhuyung ke depan. Kesempatan ini dipergunakan Suroantani untuk mengirim sebuah tendangan yang mengenai pinggang Ki Warok Petak sehingga raksasa itu terhuyung-huyung ke depan.
“Mampuslah!” Ki Baka Kroda membentak dan kerisnya meluncur ke arah perut lawan dari arah kanan.
Ki Suroantani mundur satu langkah. Ketika keris meluncur lewat, dia cepat menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang keris dengan tangan kirinya, memutar lengan itu hingga tubuh Ki Baka Kroda terputar. Pada saat itu dada Ki Baka Kroda yang sebelah kanan terbuka dan Suroantani menusukkan kerisnya.
“Cappp...!”
Cepat dia mencabut kembali keris yang sudah menancap sampai ke gagangnya itu dan mendorong tubuh Ki Baka Kroda dengan tangan kiri. Ki Baka Kroda mengeluh, keris di tangan kanannya terlepas, kedua tangannya mendekap luka di dada kanan dan dia pun terkulai roboh dan tak mampu bergerak lagi. Keris milik Suroantani adalah sebatang ketis pusaka yang amat ampuh, maka sekali keris itu memasuki dada sampai ke gagangnya, tewaslah Ki Baka Kroda seketika.
Melihat kawannya roboh, Ki Warok Petak menjadi marah sekaligus gentar. Akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, tidak mampu melarikan diri, dia menjadi nekat. Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka dia menyerbu lagi dan menyerang dengan goloknya secara membabi buta.
Akan tetapi dengan tenang dan penuh kewaspadaan, Suroantani yang melihat golok itu menyambar dan membabat ke arah lehernya, segera dia merendahkan tubuhnya dan golok itu lewat di atas kepalanya. Pada saat itu kerisnya kembali menusuk ke depan, tepat memasuki ulu hati Ki Warok Petak. Dia mencabut lagi kerisnya sambil menendang perut lawan yang sudah terluka.
Ki Warok Petak terlempar dan terbanting ke belakang dan tewas seketika karena lukanya bahkan lebih parah dibandingkan kawannya.....
Komentar
Posting Komentar