PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-40


“Paman... terima kasih... alangkah gagahnya paman...!” Ia memegang tangan senopati itu dan membawa tangan itu ke depan hidung dan mulutnya untuk dicium.

Suroantani terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Pada saat itu yakinlah dia bahwa dia telah jatuh cinta kepada wanita yang bernasib malang ini!

Dengan tergopoh-gopoh Karyotomo dan isterinya menghampiri Suroantani. Tadi mereka sudah mendengar dari Sumarni siapa adanya pria yang gagah perkasa itu. Pria itu sudah menolong anak mereka dari tangan gerombolan Wiro Gembong, dan sekarang bahkan menyelamatkan mereka semua dari tangan dua orang jahat itu.

“Kanjeng Senopati, kami sekeluarga menghaturkan terima kasih atas pertolongan paduka, terutama terhadap anak kami Sumarni,” kata Karyotomo sambil menyembah.

“Sudahlah, paman. Jangan banyak sungkan. Semua ini sudah menjadi kewajibanku. Yang penting sekarang membicarakan bahaya yang mengancam keluarga paman.”

Sementara itu, melihat perkelahian sudah usai, Ki Lurah datang bersama para pemuda dusun yang membawa obor sehingga pendopo itu menjadi terang benderang.

“Ki Lurah, silakan masuk,” Karyotomo menyalami lurahnya.

“Ahh, inikah Ki Lurah Jaten?” Suroantani menghadapi lurah itu, lalu memperkenalkan diri, “Ki Lurah, ketahuilah bahwa aku adalah Senopati Mataram bernama Suroantani.”

“Ahh, Kanjeng Senopati...!” Ki Lurah cepat memberi salam.

“Cukup, Ki Lurah. Sekarang aku minta bantuanmu agar suka mengurus dan mengubur jenasah kedua orang ini secara baik-baik meski pun mereka ini adalah penjahat-penjahat dan antek pemberontak Wirosobo. Aku harus menyingkirkan keluarga Nimas Sumarni dari dusun ini karena aku khawatir kalau-kalau para kawan kedua orang ini hendak mencari ke sini untuk menangkap Nimas Sumarni. Tanpa pengawalan yang kuat maka keselamatan mereka bertiga terancam bahaya maut. Karena itu aku harus mengungsikan mereka ke tempat yang aman dan terjaga.”

“Kalau demikian yang paduka kehendaki, kami akan melaksanakan dengan baik.”

“Dan tolong sediakan seekor kuda yang baik untuk memboyong orang tua Nimas Sumarni dari dusun ini. Besok pagi-pagi kami berangkat.”

“Baik, sendiko dawuh, kanjeng!”

Ki Lurah lalu memerintahkan para pemuda supaya menyingkirkan kedua mayat itu dari pendopo rumah Karyotomo. Kemudian semua orang bubaran untuk memberi kebebasan kepada keluarga itu dan memberi kesempatan kepada mereka untuk membuat persiapan pergi besok dan untuk beristirahat.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ki Lurah sudah mengirimkan seekor kuda yang cukup besar dan kuat. Karena Ki Karyotomo dan isterinya belum pernah menunggang kuda, maka disuruh berboncengan di atas punggung kuda pemberian Ki Lurah, sedangkan Suroantani dan Sumarni berboncengan di atas punggung kuda milik senopati itu. Banyak penduduk dusun mengantar keberangkatan mereka sampai ke pintu dusun.

Kuda yang ditunggangi Suroantani dan Sumarni berjalan di depan karena senopati itu menjadi penunjuk jalan, sedangkan orang tua Sumarni mengikuti dari belakang. Karena kedua ekor kuda itu terpisah beberapa meter jauhnya, Suroantani dan Sumarni dapat bercakap-cakap tanpa terdengar oleh dua orang suami isteri itu. Sumarni merasa semakin akrab dan dekat dengan Suroantani yang bukan saja sudah menyelamatkan dirinya akan tetapi bahkan sudah menyelamatkan dia sekeluarga.

“Paman Suroantani...” katanya lirih karena yang diajak berbicara berada dekat sekali di belakangnya sehingga ia merasa seolah bersandar di dada pria itu terutama kalau kuda itu membuat hentakan ke depan sehingga tubuhnya agak tertarik ke belakang, merasa betapa dada yang bidang itu kokoh kuat menjadi sandaran kepala dan punggungnya.

“Hemmm...? Ada apakah, nimas?”

“Paman, tanpa adanya paman, kami sekeluarga tentu sudah mengalami kecelakaan, dan mungkin sudah binasa. Sekarang pun kami bertiga menyerahkan nasib kami sepenuhnya ke tangan paman, karena kami juga tidak tahu harus pergi bersembunyi ke mana.”

“Jangan khawatir, nimas. Aku sudah mempunyai rencana. Aku akan membawa kalian ke perkumpulan Nogo Dento dan sementara kutitipkan di sana agar terbebas dari ancaman para penjahat itu.”

“Paman terlampau baik, budimu terlalu besar bagi kami, paman. Akan tetapi aku sungguh merupakan orang yang hanya bisa membikin susah orang lain saja. Aku sudah menyeret kedua orang tuaku ke dalam bahaya maut bahkan hampir saja mereka tewas karena aku, dan aku sudah pula menyusahkan paman sehingga paman harus menentang bahaya dan menjadi repot sekali. Nasibku yang begini buruk agaknya membuat setiap orang yang dekat denganku menjadi susah pula...”

“Hmm, jangan berkata demikian, nimas. Engkau adalah seorang gadis yang baik dan aku siap untuk membelamu dan orang tuamu dengan segenap kekuatanku. Di perkampungan Nogo Dento engkau akan aman dan terlindung. Setelah nanti gerombolan yang menguasai Jatikusumo dapat dihancurkan, engkau dan orang tuamu dapat kembali ke dusun Jaten “

“Akan tetapi kami akan selalu merasa ketakutan dan merasa terancam, paman. Hidup kami tidak akan tenteram lagi. Siapa tahu di antara gerombolan itu ada yang dapat lolos lalu mencariku di Jaten...”

“Kalau begitu aku usulkan agar engkau bersama orang tuamu pindah saja ke kota raja. Mataram supaya aku dapat selalu melindungi kalian.”

“Akan tetapi, di mana kami akan tinggal paman?”

“Di rumahku tentu saja. Rumahku cukup luas untuk menampung kalian bertiga.”

“Ahh, kami tentu akan merepotkan dan menyusahkan keluarga paman saja”

“Tidak ada yang direpotkan, nimas. Aku tidak mempunyai keluarga, aku hidup seorang diri di rumahku.”

“Apa? Paman belum... belum... mempunyai isteri?” tanya Sumarni heran. Bagaimana bisa seorang laki-laki berusia empat puluhan, sudah mempunyai kedudukan tinggi pula, masih membujang?

“Belum, nimas. Karena itu, aku sarankan agar kalian bertiga tinggal di rumahku sehingga aku dapat melindungi kalian.”

“Ah, paman begitu baik! Mengapa paman begini baik terhadap diriku? Mengapa, paman Suroantani?”

“Entah mengapa... akan tetapi aku... aku kasihan sekali kepadamu dan aku... aku suka sekali kepadamu. Kalau engkau sudi, aku ingin melindungi dirimu selamanya, aku ingin engkau hidup bersamaku, menjadi isteriku...”

Kuda melompat ke depan dan punggung Sumarni menempel di dada Suroantani. Gadis itu dapat merasakan dengan punggungnya, betapa dada yang bidang itu berdenyut keras, sama kerasnya dengan debar jantungnya sendiri mendengar pengakuan dan lamaran itu. Pinangan yang aneh dilakukan di atas kuda selagi mereka berboncengan!

“Aku... tentu aku sudi menjadi... isterimu paman? Ah, bukankah pertanyaan itu terbalik? Sepantasnya akulah yang bertanya apakah paman sudi kepadaku? Aku adalah seorang yang sudah kotor ternoda paman, menjadi permainan manusia iblis seperti Priyadi bahkan dinodai oleh jahanam Ki Klabangkolo. Aku sama sekali tidak patut dan sama sekali tidak berharga, bahkan untuk menjadi pelayan paman sekali pun...” Sumarni tak bisa menahan kesedihan hatinya lagi dan terisak menangis.

Lengan kiri Suroantani merangkul pinggang yang ramping itu. “Nimas, sudahlah, lupakan semua pengalaman pahit itu. Aku tahu bahwa batinmu masih bersih tak ternoda. Aku cinta padamu, aku kasihan padamu, aku ingin engkau menjadi isteriku. Maaf kalau aku membicarakan soal ini di atas kuda, karena kita tidak akan memiliki kesempatan bicara berdua saja seperti sekarang. Jawablah, Sumarni, maukah engkau menjadi isteriku?”

“Aduh, paman! Sesudah Gusti Allah sendiri yang mengulurkan tangan kepadaku, tentu saja aku suka. Aku terima dengan sepenuh hatiku. Aku serahkan jiwa ragaku kepadamu, paman...”

“Bagus. Kalau begitu aku tinggal meminangmu kepada ayah ibumu. Akan tetapi haruskah engkau menyebut paman seterusnya kepadaku, nimas?”

Kini Sumarni benar-benar menyandarkan kepalanya di dada yang bidang itu dan kedua tangannya menangkap lengan kiri yang merangkul pinggangnya. Dia merasa demikian berbahagia, demikian aman dan damai.

“Kakangmas Suroantani... aku merasa...”

Ia berhenti, lehernya seperti tercekik rasanya karena keharuan.

“Ya? Merasa bagaimana, nimas?”

“Aku merasa... seakan-akan baru terlepas dari cengkeraman cakar iblis dan terjatuh ke dalam tangan yang lembut penuh kasih seorang dewa.. Terima kasih, Gusti Allah... terima kasih...” Dan dia terisak lagi.

Lengan kiri Suroantani merangkul semakin ketat dan dia merasa berbahagia sekali. Dia yakin benar bahwa dia menemukan seorang wanita yang luhur budinya dan dia tidak akan salah pilih.

Ketika di tengah perjalanan mereka berhenti untuk beristirahat, Suroantani menyampaikan pinangannya kepada Ki Karyotomo dan isterinya. Suami isteri itu amat terkejut dan heran mendengar seorang senopati meminang anaknya! Akan tetapi setelah mereka mendengar bahwa anaknya telah menyetujui dan menerima pinangan itu, suami isteri itu pun segera menerimanya dengan hati penuh syukur dan kegembiraan.

Siapa yang tidak akan merasa gembira? Anak perempuan mereka bukan perawan lagi, sudah ternoda oleh orang jahat dan sekarang diambil isteri secara terhormat oleh seorang senopati yang masih membujang! Mereka hanyalah orang-orang dusun sederhana dan tiba-tiba menjadi mertua seorang senopati Mataram!

Tanpa halangan sesuatu akhirnya mereka tiba di perkampungan Nogo Dento. Setelah tiba di perkampungan itu, Suroantani disambut oleh tiga puluh orang murid Nogo Dento yang berjaga di perkampungan mereka. Dia memperkenalkan diri dan disambut dengan hormat oleh para murid kepala.

Suroantani mendengar bahwa pasukan yang dipimpin Puteri Wandansari telah tiba di situ dua hari yang lalu dan sekarang mereka semua sudah berangkat menuju ke Jatikusumo. Pasukan dari Mataram berjumlah seratus orang prajurit.

Pasukan Pasopati yang gagah perkasa itu diperkuat oleh tiga puluh orang murid Nogo Dento karena sebagian ditinggalkan untuk menjaga keamanan di Nogo Dento, ditambah dengan lima puluh orang anak buah perkumpulan Sardula Cemeng yang dipimpin oleh Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo.

Sang Puteri itu juga dibantu oleh Sutejo, Retno Susilo, Harjodento, Padmosari, Pusposari dan Cangak Awu. Mereka sudah berangkat pagi tadi dengan jumlah pasukan hampir dua ratus orang dan dibantu pula oleh orang-orang yang memiliki kedigdayaan.

Suroantani lalu menitipkan Sumarni dan ayah ibunya kepada para murid Nogo Dento. Dia berpamit dari mereka karena dia harus pergi menyusul pasukan yang dipimpin oleh Puteri Wandansari itu untuk mengamati dan kalau perlu membantu seperti yang diperintahkan Sultan Agung kepadanya.....

********************

“Anakmas Priyadi, kukira sudah tiba saatnya bagi engkau beserta seluruh anak buahmu untuk pindah ke Wirosobo memperkuat pasukan Wirosobo. Ketahuilah bahwa sekarang Kadipaten Wirosobo sudah siap untuk melakukan penyerbuan terhadap Mataram,” kata Bhagawan Jaladara kepada Priyadi.

Mereka tengah mengadakan perbincangan. Yang hadir di situ adalah Bhagawan Jaladara, Priyadi, Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo, Sekarsih, Maheso Kroda yang telah bergabung dengan Priyadi, dan Tumenggung Janurmendo yang datang bersama Bhagawan Jaladara sebagai utusan Kadipaten Wirosobo (Mojoagung).

“Paman Bhagawan Jaladara, apakah Wirosobo benar-benar telah cukup kuat maka berani menyerbu Mataram?” tanya Priyadi dengan suara mengandung keraguan.

“Walau pun Wirosobo telah memperkuat diri dengan bantuan banyak pihak, terutama dari pihakmu, anakmas Priyadi, tapi untuk menyerbu Mataram sendiri saja tentu masih kurang kuat. Namun kami bekerja sama dengan banyak kadipaten dan kabupaten seperti Lasem, Tuban, Jepan, Pasuruan, juga dari Arisbaya dan Sumenep di Madura. Kami semuanya dipimpin pula oleh Adipati Surabaya dengan juru nasihat Sunan Giri. Dengan kerja sama banyak kabupaten itu, mustahil Mataram tidak akan dapat kita jatuhkan “

“Kalau begitu halnya, memang sudah tiba saatnya kami harus pindah ke Wirosobo untuk mengadakan persiapan membantu Wirosobo menyerbu ke Mataram, paman.”

“Akan tetapi sayang sekali engkau belum dapat merebut kembali Pecut Bajrakirana dari tangan setan Sutejo itu, anakmas. Bagaimana kabarnya dengan para utusanmu yang melakukan pengejaran terhadap si pengkhianat Sumarni? Apakah wanita itu sudah dapat ditangkap?”

Wajah Priyadi muram dan alisnya berkerut, matanya menyinarkan api kemarahan dan ia mengepal tinju kanannya. “Apa bila wanita itu dapat aku tangkap, tentu akan kusiksa dia sampai mampus! Dan kalau sekali lagi aku berhadapan dengan jahanam Sutejo, tentu akan kulumatkan kepalanya!”

“Kalau begitu engkau belum berhasil menangkap gadis itu, anakmas Priyadi?”

Priyadi menghela napas panjang. “Aku sudah mengutus dua orang kepercayaan paman, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda untuk melakukan pengejaran terhadap Sumarni di dusun Jaten. Akan tetapi mereka itu tak pernah kembali dan tidak ada beritanya. Maka aku sudah mengirim utusan untuk menyusul mereka di dusun Jaten. Utusan itu mencari keterangan di Jaten dan dia mendapat kabar bahwa kedua orang kepercayaan paman itu telah tewas!”

“Apa?!” Bhagawan Jaladara terbelalak mendengar bahwa dua orang pembantunya yang amat dipercaya itu sudah tewas. “Bagaimana mereka dapat tewas dan siapa pembunuh mereka?”

“Menurut berita yang didapat, Sumarni dan orang tuanya dibela oleh Suroantani dan dua orang utusan itu dibunuh olehnya,” kata Priyadi.

“Suroantani, senopati Mataram itu? Keparat!” seru Bhagawan Jaladara marah.

Tumenggung Janurmendo segera berkata. “Wah, kalau senopati Suroantani dan Mataram yang menolong Sumarni dan orang tuanya, tentu dia telah mendengar pula dari Sumarni tentang keadaan kita di sini! Senopati itu pasti tidak akan tinggal diam dan melaporkan keadaan di Jatikusumo ini kepada Sultan Agung!”

“Betul juga pendapat itu!” kata Bhagawan Jaladara khawatir. “Anakmas Priyadi, kita harus cepat mengungsi ke Wirosobo sebelum pasukan Mataram menyerbu ke sini!”

Priyadi mengerutkan alisnya. “Kurasa mereka tidak akan menyerbu ke sini, paman. Andai kata mereka berani menyerbu sekali pun, aku tidak takut. Bukankah kedudukan kita kuat sekali? Anak buah kita ada dua ratusan orang, dan di sini ada aku dan paman sendiri, dibantu pula oleh Paman Resi Wisangkolo, Paman Klabangkolo, Paman Tumenggung Janurmendo, Sekarsih dan Paman Maheso Kroda. Apa lagi yang kita takuti? Jika mereka benar-benar datang, kita akan menghancurkan mereka!”

Pada saat itu dari luar ruangan itu tampak dua orang anak buah memasuki ruangan sambil mendorong-dorong seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun serta dua orang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun dan enam belas tahun. Walau pun pakaian dua orang gadis itu seperti pakaian wanita petani, namun harus diakui bahwa keduanya memiliki tubuh yang denok dan wajah yang manis dengan kulit yang bersih. Ada pun pria itu juga mengenakan pakaian seorang petani biasa. Tiga orang ini didorong oleh dua orang anak buah Jatikusumo, jatuh berlutut di depan sekumpulan pemimpin yang sedang bersidang itu.

Priyadi yang merasa terganggu, mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada dua orang anak buah itu. “Ada apa ini?! Kenapa kalian berani mengganggu kami, menghadap tanpa dipanggil?!” bentaknya.

“Ampunkan kami denmas. Kami melihat tiga orang ini sedang berindap-indap mendekati pagar yang mengelilingi perkampungan. Sikap mereka amat mencurigakan, maka mereka kami tangkap dan kami bawa menghadap denmas!” Anak buah itu melapor.

Mendengar laporan itu. Priyadi mengamati tiga orang tawanan itu. Pria itu tampak seperti petani biasa, sederhana dan sama sekali tidak mencurigakan. Lalu dia mengamati dua orang gadis itu. Dua orang perawan dusun yang cantik manis kesederhanaan pakaian mereka tidak menyembunyikan lekuk lengkung tubuh yang sempurna dan kulit yang halus bersih.

Kecantikan alami dua orang gadis yang sedang mekar itu sungguh menimbulkan gairah di hati Priyadi yang baru saja ditinggalkan Sumarni, gadis dusun yang pernah membuatnya tergila-gila, Kini yang dekat dengannya hanya Sekarsih. seorang wanita yang mempunyai kecantikan yang tidak alami, kecantikan buatan, tiruan, usianya juga sudah mulai tua. Maka tidak mengherankan kalau dua orang gadis dusun itu membangkitkan berahi dalam hati Priyadi yang sudah menjadi hamba nafsunya sendiri. Dia lalu bertanya kepada orang dusun itu dengan suara kereng.

“Apa maksudmu berkeliaran di luar perkampungan kami?”

Orang dusun yang sudah ketakutan itu menjawab dengan suara lirih. “Ampunkan saya dan dua orang anak saya ini, denmas. Saya datang ke perkampungan Jatikusumo untuk minta perlindungan.”

Ucapan ini tidak mengherankan hati Priyadi. Dia tahu bahwa semenjak dahulu perguruan Jatikusumo memang sering menjadi semacam tempat pelarian bagi para penduduk dusun di sekitar daerah itu yang mengharapkan pertolongan dari perguruan Itu yang dianggap sebagai perguruan para pendekar. Mendiang gurunya, Bhagawan Sindusakti memang selalu mengulurkan tangan dan memberi pertolongan kepada para penduduk dusun kalau mereka terancam mala petaka.

Anak buahnya yang sekarang tentu saja tidak tahu tentang kebiasaan in,i maka mereka mencurigai ayah dan dua orang anaknya ini lalu menangkapnya. Tidak ada seorang pun murid lama yang masih tinggal di situ. Semua anak buah adalah orang-orang baru.

“Mengapa kalian datang minta perlindungan?” tanya Priyadi.

“Anakmas, beberapa hari yang lalu kami kedatangan dua orang laki-laki yang mengaku menjadi anggota Jatikusumo dan mereka hendak memaksa dua orang anak perempuan saya ini untuk menjadi isteri mereka. Mereka memberi waktu sampai hari ini. Kalau kami tidak memenuhi permintaan mereka, maka kami serumah akan dibunuh. Karena itu kami mohon perlindungan dan pertolongan denmas supaya kami dapat terbebas dari ancaman dua orang itu.”

Priyadi dapat memaklumi peristiwa itu. Dua orang perawan dusun ini memang menarik hati sekali, maka tidaklah mengherankan kalau ada dua orang anak buahnya yang jatuh hati dan ingin mengambil mereka sebagai istri dengan paksa dan ancaman. Ia tahu bahwa anak buahnya yang baru adalah orang-orang yang biasa menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka.

Tapi dua orang gads itu telah menghadapnya dan melihat mereka, dia sendiri tertarik dan merasa sayang kalau mereka terjatuh ke tangan dua orang anggota perkumpulannya. Dia lalu memberi isyarat kepada dua orang anak buah yang melapor itu.

“Bawa pengacau ini keluar dan bereskan dia!” Kemudian kepada Sekarsih dia berkata, “Sekarsih, bawa dua orang gadis ini ke dalam kamarku. Aku sendiri yang akan memeriksa dan memberi keputusan terhadap mereka.”

Dua orang anak buah itu lalu memegang kedua lengan petani itu dan menyeretnya keluar. Dua orang gadis itu berseru memanggil ayah mereka sambil menangis, namun Sekarsih langsung memegang pergelangan tangan mereka dan menarik mereka masuk ke dalam ruangan sebelah dalam.

Wanita ini tersenyum dan maklum akan apa yang dikehendaki Priyadi. Dia tidak merasa cemburu karena hubungannya dengan Priyadi adalah bebas tanpa ikatan apa pun. Dia sendiri boleh memilih pria mana pun yang disukainya dan Priyadi juga boleh memilih gadis mana yang dikehendakinya.

Dua perawan dusun itu menangis ketakutan, terutama sekali melihat ayah mereka diseret keluar dengan kasar oleh dua orang yang menangkap mereka tadi. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dengan diri mereka dan ayah mereka. Mereka masih terkejut, heran dan juga takut melihat sikap pimpinan Jatikusumo dan keadaan di situ yang jauh berbeda dengan yang mereka bayangkan.

Kiranya dalam bayangan mereka Jatikusumo adalah tempat orang-orang gagah perkasa dan budiman yang siap setiap saat menolong mereka. Akan tetapi kenyataannya sungguh berbeda dengan apa yang mereka pernah dengar dan bayangkan.

Seperti tidak pernah terjadi gangguan sesuatu, Priyadi lalu melanjutkan perbincangannya dengan rekan dan sekutunya. Setelah mereka semua pada umumnya membujuk Priyadi untuk segera mengungsi ke Wirosobo dan membantu kadipaten itu untuk menyerbu ke Mataram, akhirnya Priyadi mengambil keputusan.

“Baiklah, Paman Bhagawan Jaladara, aku mau pergi mengungsi ke Wirosobo, akan tetapi sesudah dua pekan lagi. Selama dua pekan ini aku hendak menyebar orang-orang kita untuk mencari tahu di mana adanya Sutejo karena aku masih belum puas dan merasa penasaran kalau belum dapat merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana.”

“Kalau memang sudah demikian keputusanmu, kami pun hanya menurut, anakmas. Kami dari Wirosobo akan menanti di sini sampai dua pekan lagi. Mudah-mudahan dalam waktu itu engkau sudah berhasil merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana,” kata Bhagawan Jaladara.

Mereka lalu bubaran.

Pada malam hari itu, sesosok mayat terapung di sungai. Mayat petani tadi, ayah dari dua orang perawan dusun. Tidak lama kemudian beberapa ekor buaya berenang mendekati dan binatang-binatang buas itu lalu menyerang dan merobek-robek daging dan kulit mayat petani itu yang menjadi mangsa mereka.

Sementara di dalam rumah induk perguruan Jatikusumo, dalam kamar Priyadi, terdengar rintih tangis dua orang perawan dusun itu. Mereka hanya mampu merintih dan menangis, tidak berdaya melepaskan diri dari kebuasan Priyadi yang bagaikan telah berubah menjadi binatang buas karena dikuasai nafsunya. Dua orang perawan itu seperti dua ekor kelinci yang tak berdaya dalam cengkeraman seekor harimau buas yang merobek-robek mereka. Nafsu telah membuat Priyadi menjadi seekor binatang buas yang haus darah.....!

********************

Fajar menyingsing. Sesekali terdengar ayam jantan berkokok. Pagi itu masih terlalu gelap. Burung burung masih sepi. Orang-orang pun masih malas meninggalkan tempat tidur.

Lapat-lapat masih terdengar isak tangis perlahan dari dalam kamar Priyadi. Laki-laki itu masih pulas kelelahan. Akan tetapi dua orang gadis dusun itu tidak berani melakukan hal yang bukan-bukan. Mereka ketakutan setengah mati. Takut dan berduka. Mereka hanya dapat saling rangkul sambil menangis perlahan. Si adik telah meringkuk dalam rangkulan mbakayunya yang mencoba menghibur akan tetapi ia sendiri pun mencucurkan air mata.

Mendadak terdengar sorak sorai yang mengejutkan semua orang dalam perkampungan Jatikusumo. Semua orang segera terbangun dari tidurnya dengan kaget, terutama sekali para anak buah yang sedang melakukan penjagaan di gardu jaga di dekat pintu gerbang perkampungan.

Belasan orang anak buah yang pagi hari itu berjaga dengan terkantuk-kantuk, menjadi kaget setengah mati ketika tiba-tiba terdengar sorak sorai dan mereka melihat bayangan ratusan orang muncul di kegelapan pagi membawa tombak, golok atau pedang di tangan! Sambil berteriak-teriak ratusan orang itu membuat gerakan mengepung sehingga dalam waktu sebentar saja perkampungan Jatikusumo itu telah terkepung rapat!

Dengan panik para penjaga lalu memukul kentongan yang tergantung di gardu penjagaan itu. Seluruh penghuni perkampungan menjadi semakin terkejut ketika mereka mendengar kentongan dipukul bertalu-talu menyambung sorak sorai yang membangunkan mereka dari tidur tadi. Semua anak buah Jatikusumo cepat mengenakan pakaian kemudian berlari keluar sambil membawa senjata.

Priyadi juga terbangun dengan terkejut. Mendengar kentongan yang dipukul gencar itu, tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Teringatlah dia akan ucapan Tumenggung Janurmendo kemarin tentang kemungkinan penyerangan dan pasukan Mataram. Ia cepat mengenakan pakaian, memandang kepada dua orang gadis kakak beradik yang masih saling berangkulan di sudut pembaringan. Sesudah semua gairah nafsunya terpuaskan, kini dua orang dara dusun itu tidak tampak begitu menarik lagi!

Beginilah sifatnya nafsu yang selalu berupaya untuk menguasai manusia. Kalau belum mendapat sesuatu yang diinginkan, maka sesuatu itu tampak indah dan menarik sekali, akan tetapi sekali yang diinginkan itu didapatkan, maka kebosanan segera menyusul dan nafsu menginginkan yang lain lagi yang dianggapnya lebih menarik.

Sesudah mengenakan pakaian dan menyelipkan keris pusaka Ilat Nogo di pinggangnya, tanpa mempedulikan lagi kepada dua orang gadis dusun itu, Priyadi segera melompat keluar dari kamarnya.

Di ruangan tengah dia bertemu dengan semua rekannya yang sudah berkumpul di situ. Tampaknya mereka semua juga telah siap siaga dan membawa senjata masing-masing. Wajah mereka juga tegang dan ketika melihat Priyadi muncul, Bhagawan Jaladara segera menyambutnya.

“Apa yang terjadi, paman?” tanya Priyadi.

“Seperti yang kami khawatirkan, anak mas. Pasukan Mataram sudah datang menyerbu kita,” jawab Bhagawan Jaladara.

“Kenapa tidak mengerahkan anak buah untuk menyerang mereka?”

“Mereka berjumlah lebih dari dua ratus orang dan mereka belum bergerak menyerang kita, anak mas. Mereka hanya baru mengepung saja dan agaknya pimpinan pasukan itu hendak bicara dulu dengan kita.”

“Hemm, siapa yang memimpin pasukan itu, Siapa senopatinya?”

“Agaknya yang memimpin di depan sendiri adalah Sang Puteri Wandansari!”

“Hemm, diajeng Wandansari?”

“Benar, anakmas. Melihat bahwa pasukan itu tidak dipimpin seorang senopati Mataram, melainkan oleh sang puteri, maka agaknya gerakan mereka itu adalah merupakan balas dendam sang puteri atas terbasminya perguruan Jatikusumo,” kata Bhagawan Jaladara.

“Hemm, kalau hanya diajeng Wandansari, jangan khawatir, paman. Aku sendiri pun dapat menundukkannya dengan sangat mudah!” kata Priyadi dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diriya sendiri.

Bagaimana pun juga Wandansari adalah adik seperguruannya, murid ke lima, sedangkan dia adalah murid ketiga. Meski kabarnya Wandansari telah mendapatkan pedang Kartika Sakti dan ilmunya, dia sama sekali tidak merasa gentar. Yang ditakuti hanyalah Sutejo yang kini telah berhasil mendapatkan dan memiliki Pecut Sakti Bajrakirana.

“Akan tetapi kita harus waspada dan berhati-hati, anakmas. Siapa tahu ada orang-orang lain yang membantunya,” kata Bhagawan Jaladara.

“Ha-ha-ha, biar pun ada yang membantunya, kita tidak perlu takut, Bhagawan Jaladara. Kita telah berkumpul di sini menghimpun tenaga. Siapa yang akan mampu mengalahkan kita semua?” Resi Wisangkolo tertawa dan membesarkan hati rekan-rekannya dengan ucapan yang sombong itu.

“Mari kita segera keluar dan menghadapi mereka bersama!” kata Priyadi dan pada saat itu pula terdengar teriakan lantang yang datangnya dari luar pintu gerbang perkumpulan Jatikusumo.

“Priyadi pengkhianat, murtad yang jahat! Keluarlah untuk menebus dosa-dosamu!” Suara itu melengking nyaring.

Priyadi segera mengenal suara itu sebagai suara Wandansari, adik seperguruannya. Akan tetapi alangkah nyaring melengkingnya suara itu, didorong oleh tenaga sakti yang sangat kuat. Maka dia pun dapat menduga bahwa puteri istana itu sudah berhasil menghimpun tenaga sakti yang sangat kuat. Dia pun segera melangkah keluar diikuti rekan-rekannya.

Udara sudah tidak segelap tadi. Sinar matahari mulai menyapu kegelapan dan mengusir sisa embun pagi yang bermalas-malasan meninggalkan bumi. Sesudah tiba di luar pintu gerbang perkampungan Jatikusumo, Priyadi melihat Puteri Wandansari dengan pakaian yang ringkas berdiri di depan pasukan yang dipimpinnya. Gadis bangsawan itu tampak demikian gagah perkasa dan jelita.

Dulu, pada waktu masih tinggal di perguruan Jatikusumo, Priyadi selalu memandang sang puteri itu sebagai seorang adik seperguruan, dengan perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya. Akan tetapi sekarang, ketika dia memandang gadis itu, penglihatannya sudah sama sekali berubah. Dia melihat Puteri Wandansari begitu cantik jelita dan amat menggairahkan, seolah baru sekarang ia melihat kecantikan itu dan hatinya dipenuhi rasa kagum dan berahi.

Priyadi sengaja bersikap tenang dan memandang rendah, walau pun dia sudah melihat bahwa sang puteri itu ditemani oleh banyak orang muda yang gagah, di antaranya dia melihat Sutejo dan Cangak Awu.

“Ahh. kiranya diajeng Wandansari yang datang. Diajeng, mengapa andika datang dengan sikap marah dan menantang-nantang? Akan lebih baik kalau andika menemani aku, hidup bahagia sebagai teman hidupku selamanya di sini!”

Wajah sang puteri menjadi merah padam dan sepasang matanya yang jeli dan indah itu mengeluarkan sinar berapi api. “Jahanam busuk, tutup mulutmu yang kotor! Entah iblis mana yang telah memasuki jiwamu sehingga kini engkau berubah menjadi seorang yang hina dan biadab! Engkau telah membunuh Bapa Guru Sindusakti, Kakang Maheso Seto. Mbakayu Rahmini dan banyak murid Jatikusumo! Engkau sudah membasmi Jatikusumo, tempat di mana engkau dibesarkan dan dididik. Bahkan engkau sudah bersekutu dan menjadi antek Kadipaten Wirosobo. Aku datang untuk membasmi persekutuanmu yang busuk itu!”

“Wandansari!” kata Priyadi dengan suara berwibawa. “Apakah yang kau andalkan untuk mengalahkan aku? Lihat, selain anak buahku cukup banyak dan kuat, aku juga dibantu oleh banyak orang gagah. Dan apakah engkau berani melawan dan menghadapi aku?”

Sutejo segera melangkah maju. “Keparat Priyadi! Kalau andika memang jantan dan berani bertanding satu lawan satu, akulah lawanmu!”

Melihat Sutejo. Priyadi marah sekali, teringat akan pecut yang telah dicuri oleh Sumarni kemudian diberikan kepada pemuda ini. “Babo-babo, jahanam Sutejo! Kau kira aku takut kepadamu? Kebetulan sekali engkau ikut datang karena kalau tidak, akulah yang akan mencarimu untuk merampas kembali Pecut Bajrakirana yang secara licik sudah engkau curi dariku!”

Sutejo melangkah maju mendekat dan berkata dengan lantang sehingga suaranya dapat terdengar oleh semua orang. “Priyadi, apakah engkau tidak malu mengeluarkan kata-kata seperti itu? Aku adalah pemilik yang sah dari Pecut Sakti Bajrakirana. Mendiang Eyang Guru Resi Limut Manik telah memberikannya kepadaku: Akan tetapi dengan curang sekali Bhagawan Jaladara telah merampasnya dari tanganku, kemudian dia memberikan pecut itu kepadamu supaya dapat menarikmu menjadi antek Wirosobo! Sekarang engkau masih bermuka tebal untuk mengatakan bahwa aku yang mencuri pecut milikku sendiri ini dari tanganmu?”

Tiba-tiba terdengar suara tawa lantang dari rombongan Priyadi. Resi Wisangkolo sudah melangkah maju di samping Priyadi dan mengamangkan tongkat ularnya yang berwarna hitam, lalu berseru dengan nada mengejek. “Ha-ha-ha-ha! Setelah Sutejo maju bertanding dengan anakmas Priyadi, lalu siapa lagi yang akan mampu menandingiku? Hayo, orang-orang Mataram, kalau ada yang berani, boleh maju melawan aku Resi Wisangkolo!”

Wandansari yang dalam perjalanan tadi sudah berbincang-bincang dengan Sutejo dan telah mendengar keterangan pemuda itu tentang tingkat kepandaian semua orang yang membantunya melakukan penyerbuan ke perguruan Jatikusumo, maklum bahwa di antara para pembantu itu tak ada yang akan mampu menandingi kedigdayaan Resi Wisangkolo. Karena itu, sebelum ada yang menjawab tantangan kakek resi yang sombong itu, Puteri Wandansari segera melangkah maju dan suaranya terdengar lantang.

“Resi Wisangkolo, sudah lama aku mendengar akan kesesatanmu! Sebagai seorang resi engkau sudah menyeleweng dari kebenaran, mengandalkan kedigdayaan untuk bertindak sewenang-wenang. Jangan mengira bahwa tidak ada yang akan berani menandingimu. Akulah lawanmu!”

Semua orang terkejut, Mereka sudah tahu bahwa resi itu memiliki kesaktian yang hebat. Bagaimana puteri istana yang masih muda ini akan mampu menandinginya? Juga Cangak Awu merasa khawatir sekali.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)