SERULING GADING : JILID-01
Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lainnya yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga hawanya teramat dingin dan untuk dapat mendaki sampai ke puncak amatlah sulitnya karena tidak ada jalan tertentu. Selain itu, puncak-puncak ini, terutama sekali puncak Argadumilah dan Argadalem dikabarkan sebagai tempat-tempat yang angker.
Akan tetapi pada pagi hari itu tampak seorang lelaki tua sedang membasuh muka, lengan dan kakinya di tepi sebuah kolam yang dibentuk oleh sumber air. Sungguh menakjubkan memang, betapa di puncak gunung yang begitu tinggi dapat keluar sebuah sumber air. Kekuasaan Yang Maha Kuasa terjadi di mana-mana. Kolam itu dikenal dengan sebutan Sendang Drajat yang terletak tidak begitu jauh dari puncak Argadalem.
Orang akan merasa heran dan kagum kalau melihat kakek itu membasuh muka dengan air sendang itu. Hawa udara begitu dingin dan tajam menusuk hingga menembus pakaian yang tebal sekali pun. Namun kakek itu membasuh muka, lengan serta kakinya dengan wajah berseri gembira dan kelihatan menikmati air yang nyaris membeku oleh hawa yang amat dingin.
Kakek itu sudah tua, usianya tentu sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Rambutnya yang sepanjang pundak dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya. Kumis serta jenggotnya, seperti juga rambutnya, sudah putih semuanya laksana benang perak, agak mengkilat tertimpa sinar matahari pagi. Bahkan sepasang alisnya yang tebal itu pun telah putih semua.
Tetapi kulit mukanya masih segar, belum keriput seperti muka orang muda dan sepasang matanya bersinar lembut namun tajam dan penuh wibawa yang sangat kuat. Hidungnya mancung dan mulut yang sebagian tertutup kumis itu nampak selalu tersenyum, senyum penuh kesabaran dan pengertian.
Tubuhnya tinggi kurus tetapi kakek itu bertulang besar dan tubuh yang tua itu masih tegap dan dia tampak kokoh ketika dia bangkit berdiri dari jongkoknya. Pakaiannya sederhana sekali, hanya terdiri dari kain putih bersih yang dilibat-libatkan pada tubuhnya dari leher hingga ke lutut. Sekarang dia menggunakan sehelai kain putih untuk mengeringkan muka, leher, kedua lengan dan kaki yang tadi dibasuhnya.
Setelah selesai, dia memeras air yang membasahi kain itu dan mengikatkan kembali kain putih itu sebagai ikat pinggangnya. Diambilnya sebatang benda putih sepanjang setengah meter dari atas batu besar dan benda itu diselipkan kembali ke ikat pinggangnya.
Ia berdiri menghadapi sendang dengan bibir tersenyum dan pandang mata lembut seolah memberi ucapan terima kasih kepada sendang yang telah memberi kesegaran padanya. Lalu dia menoleh ke kanan kiri dan melihat sinar matahari sepenuhnya menimpa sebuah batu besar, dia pun menggerakkan kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri batu besar itu.
Dia membungkuk dan meniup-niup permukaan batu untuk membersihkannya dari tanah, kemudian dia duduk di atas batu, membiarkan matahari memandikannya dengan sinarnya yang gemilang.
Dia menghela napas panjang menandakan kelegaan hati. Kebahagiaan sejati yang langka dirasakan orang memenuhi seluruh dirinya lahir batin. Dia melayangkan pandang matanya ke tanah, ke sendang, ke langit dan ke matahari. Dalam hatinya dia menghaturkan terima kasih dan syukur akan kemurahan Yang Maha Murah, yang telah menciptakan tanah, air, udara dan sinar matahari yang memberi kehidupan. Dihisapnya hawa udara dalam-dalam memenuhi paru-parunya menembus ke bawah pusar. Alangkah bahagia dan nikmatnya hidup!
Kakek itu memejamkan kedua matanya dan menarik kedua kakinya untuk duduk bersila. Kemudian tangan kanannya mengambil benda putih yang terselip di pinggangnya. Benda itu ternyata adalah sebatang suling yang warnanya putih kekuningan. Sebatang suling yang terbuat dari pada gading gajah.
Sambil memejamkan sepasang matanya, dengan gerakan yang lembut dan santai kedua tangannya memegang suling, mendekatkannya ke mulutnya lalu ditiupnya suling itu. Jari-jari kedua tangannya bermain-main di atas lubang-lubang suling, kemudian terdengarlah lengkingan suara suling yang merdu. Suaranya mengalun dan mengayun perasaan, naik turun dengan lembutnya dan terdengar aneh.
Tidak seperti tembang yang biasanya dilagukan dengan suling bambu oleh para penabuh gamelan, suara suling itu mendayu-dayu, kadang kala terdengar seperti hembusan angin bermain di puncak pohon-pohon cemara, kadang seperti suara gemercik air anak sungai bermain dengan batu-batu, kadang terdengar seperti sorak-sorai dan tawa riang, kadang seperti tangis sedih. Aneh akan tetapi indah!
Kakek itu memejamkan mata, tubuhnya bergoyang-goyang perlahan ke kanan kiri dan semangatnya seperti melayang-layang di antara nada-nada suara suling.
Kalau orang mendengarkan suara itu dengan hati akal pikiran yang bekerja, menilai dan mencoba untuk mengerti, tentu suara suling itu akan terdengar aneh. Akan tetapi kalau didengarkan tanpa ikut sertanya hati akal pikiran, maka akan terasa bahwa suara suling itu sudah sewajarnya dan menjadi satu dengan alam sekitarnya, seolah suara itu memang sudah seharusnya dan sepatutnya terdengar di tempat itu. Seperti suara kicau burung, desah angin, gemercik air, kokok ayam dan suara alamiah yang lain.
Semua suara itu adalah puja-puji yang memuliakan nama Yang Maha Pencipta. Bahkan tubuh kakek yang bergoyang-goyang perlahan ke kanan kiri itu pun merupakan doa yang tanpa suara dan yang tidak kunjung henti.
Tampaklah lima ekor burung sejenis jalak terbang melayang, berputaran di atas sendang. Kemudian mereka melayang turun dan hinggap di atas tanah di dekat kakek itu. Mereka tampak jinak dan diam seakan ikut mendengarkan dan menikmati suara suling itu.
Suara suling itu berhenti dengan lembut makin lama semakin lirih dan akhirnya kakek itu menghentikan tiupannya. Akan tetapi suaranya seperti masih bergema di angkasa. Kakek itu menyelipkan sulingnya di ikat pinggang, lalu dia turun dari atas batu. Lima ekor burung jalak itu terbang tinggi dan kakek itu mengikuti mereka dengan pandang matanya sambil tersenyum. Sejenak dia merasa seolah dia ikut terbang di antara lima ekor burung jalak itu.
Setelah lima ekor burung itu menghilang di balik pohon-pohon, barulah kakek itu memutar tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan menuju ke puncak Argadumilah. Matahari naik semakin tinggi dan awan yang tadi berarak sudah meninggalkan puncak. Langit tampak biru bersih dan sinar matahari mulai terasa hangat di kulit, sungguh pun bayang-bayang pohon masih panjang.
Kakek tua renta itu adalah seorang pertapa yang telah puluhan tahun meninggalkan dunia ramai. Dia merantau dari puncak yang satu ke puncak yang lain, dari pinggir laut di ujung barat Laut Kidul sampai ke ujung timur. Dia suka menyendiri di tempat-tempat sunyi dan merasa bersatu dengan alam.
Kalau tanpa disengaja dia berjumpa dengan penduduk dusun dan ditanyai namanya, dia selalu mengaku bernama Resi Tejo Wening dan kalau ditanya di mana tempat tinggalnya dia selalu menjawab bahwa tempat tinggalnya adalah di mana kedua kakinya menginjak. Kalau ditanya rumahnya, dia selalu menjawab bahwa rumahnya berlantai bumi, berdinding pohon-pohon dan beratap langit.
Resi Tejo Wening berjalan santai mendaki puncak Argadumilah, dan sesudah sampai di puncak, pada sebuah tanah datar di puncak itu dia melihat beberapa orang sedang berdiri berhadapan dan terdengar mereka bertengkar. Resi Tejo Wening lalu duduk di atas batu yang terpisah sekitar dua puluh meter dari orang-orang itu.
Dia memandang ke arah mereka, namun tidak mengenal mereka dan belasan meter dari situ dia melihat ada sedikitnya lima puluh orang yang berpakaian serba hitam bergerombol dengan senjata pedang atau golok siap di tangan dan sikap mereka seperti sedang menanti perintah.
Ada pun yang sedang bertengkar itu adalah seorang lelaki tinggi kurus yang berhadapan dengan tiga orang laki-laki lain. Laki-laki tinggi kurus itu berusia sekitar enam puluh tiga tahun, pakaiannya juga serba hitam dengan kain pengikat kepala berwarna hitam pula, wajahnya gagah berwibawa dan kumisnya yang melintang itu tebal dan sudah berwarna dua. Pada pinggangnya tergantung sebatang pedang.
Lima puluh orang lebih itu berdiri di belakangnya. Agaknya mereka mempunyai hubungan dengan orang tinggi kurus berkumis melintang itu!
“Ki Bargowo, engkau terkenal sebagai seorang pendekar, ketua perkumpulan Welut Ireng yang menjadi penghuni dan kawula Kadipaten Madiun. Akan tetapi sikapmu mirip seperti seekor bunglon yang suka berubah warnanya. Engkau membela Mataram, berarti engkau mengkhianati daerahmu sendiri,” kata salah seorang di antara tiga orang yang berhadapan dengan Ki Bargowo.
Orang ini adalah seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan tampaknya kokoh kuat. Dari pakaian dan terutama kain ikat kepalanya mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bersuku bangsa Madura.
Alisnya tebal dan seperti rambut, kumis dan jenggotnya, masih hitam dan kaku. Sepasang matanya bundar lebar, terbelalak dengan pandang mata penuh semangat dan tantangan. Kumis dan cambang bauknya lebat menutupi setengah mukanya bagian bawah. Otot-otot menggelembung melingkari kedua lengan dan kakinya.
Sebelum Ki Bargowo menjawab, orang kedua berseru, suaranya jauh berbeda dengan suara orang pertama yang dalam dan parau. Suara orang kedua ini kecil meninggi seperti suara perempuan.
“Ki Bargowo, tidak tahukah engkau atau pura-pura tidak tahu betapa angkara murkanya Sultan Agung? Dia selalu mengganggu daerah pesisir utara, bahkan baru-baru ini dia mengerahkan pasukan dan menaklukkan hampir seluruh daerah Jawa Timur. Jika engkau membela Mataram, apa sih yang kau peroleh? Tak urung engkau menjadi orang jajahan, daerahmu ditindas dan kekayaan daerahmu diangkut semua ke Mataram!”
Orang kedua ini bertubuh sedang, kulitnya hitam sekali seperti arang, pakaiannya agak mewah seperti seorang bangsawan, usianya juga sudah enam puluh tahun lebih. Kedua pergelangan lengannya dihias akar bahar berwarna hitam yang sama dengan kulitnya. Kumis, jenggot dan rambutnya sudah berwarna dua. Kedua matanya agak sipit, namun hidungnya besar, bibirnya lebar dan tebal.
Baru saja orang kedua berhenti bicara, orang ketiga telah menyambung, suaranya lembut dan penuh daya pikat dan membujuk, ramah dan halus menyenangkan pendengarnya. “Ki Bargowo, engkau adalah ketua perkumpulan Welut Ireng yang terkenal sebagai pendekar. Tentu ucapan kedua orang kawanku sudah tadi bisa menyadarkanmu. Karena itu marilah engkau pimpin anak buahmu bergabung dengan kami membantu Kadipaten Surabaya yang agaknya akan menjadi sasaran Mataram berikutnya. Jangan khawatir, bantuanmu tentu akan mendapatkan imbalan yang pantas dari Kanjeng Adipati di Surabaya. Marilah, orang gagah, bergabunglah dengan kami.”
Orang ketiga ini berusia enam puluh tahun, tubuhnya kecil kurus. Kepalanya yang kecil itu botak. Sedikit rambut yang tumbuh pada bagian kanan kiri dan belakang kepalanya agak keriting dan masih hitam. Mukanya halus tanpa kumis mau pun jenggot. Matanya yang kecil itu mempunyai pandangan yang tajam sekali, penuh wibawa. Hidungnya pesek dan mulutnya juga kecil.
Bila melihat tubuhnya, orang ini seperti seorang kakek yang lemah saja. Namun sepasang matanya yang bergerak-gerak cepat dan sinarnya tajam menusuk itu membuat orang tidak tahan berlama-lama menentang pandang matanya.
Ki Bargowo adalah seorang pendekar yang gagah perkasa. Sebagai ketua perkumpulan Welut Ireng dia memimpin anak buahnya yang berjumlah kurang lebih enam puluh orang supaya selalu bersepak terjang sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Juga dia terkenal sebagai seorang yang selalu membela Mataram, bahkan pada waktu pasukan Mataram melakukan penyerbuan ke Jawa Timur untuk menaklukkan para adipati yang tidak mau tunduk kepada Mataram, dia pun memimpin anak buahnya untuk membantu.
Pada waktu itu dia memimpin anak buahnya menjelajahi Pegunungan Lawu untuk mencari tempat tinggal yang baru karena dia bermaksud untuk membuka perkampungan sebagai pusat perkumpulannya. Akan tetapi ketika dia dan anak buahnya berhasil mendaki sampai ke puncak Argadumilah, dia lalu bertemu dengan tiga orang kakek ini yang tiba-tiba saja menyerangnya dengan kata-kata kemudian membujuknya untuk bekerja sama membantu Surabaya yang hendak memberontak terhadap Mataram.
Dia mendengarkan ucapan tiga orang itu dengan sikap tenang. Sesudah mereka bertiga berhenti bicara, barulah dia menjawab, suaranya tenang namun tegas, “Sebelum saya menjawab ucapan andika bertiga, karena andika bertiga sudah mengenal dan mengetahui nama saya, saya ingin tahu lebih dulu, siapakah gerangan ki sanak bertiga ini?”
“Ha-ha-ha, engkau belum mengenal kami? Tidak heran. Engkau ini seperti katak dalam tempurung, tidak pernah meninggalkan daerah Madiun sehingga tidak tahu luasnya dunia tingginya langit,” kata kakek pertama yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa. “Engkau tidak tahu siapa aku? Tanyalah kepada setiap orang di Madura, laki-laki atau perempuan, dari anak-anak sampai kakek-kakek, mereka semua mengenal siapa adanya Harya Baka Wulung, ha-ha-ha!”
Diam-diam Ki Bargowo terkejut sekali. Biar pun belum pernah bertemu, dia sudah lama mendengar akan nama besar Ki Harya Baka Wulung yang merupakan gegedug (jagoan) yang terkenal sakti dan digdaya dari Pulau Madura! Namun sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, dia tidak memperlihatkan rasa kagetnya dan sikapnya tenang dan biasa saja.
“Engkau tentu belum mengenalku karena aku datang jauh dari ujung timur Nusa Jawa. Di sana aku merupakan orang yang paling terkenal, paling ditakuti dan disegani oleh seluruh rakyat. Akulah Wiku Menak Koncar, orang kepercayaan Adipati Blambangan!” kata orang kedua yang berkulit hitam dan tampaknya bersikap kasar namun yang suaranya seperti suara seorang perempuan.
Kembali Ki Bargowo terkejut. Nama Wiku Menak Koncar ini juga sudah sangat kondang (terkenal), bahkan kalau dia tidak keliru, Wiku Menak Koncar ini masih ada hubungan saudara seperguruan dengan mendiang Resi Wisangkolo yang terkenal sebagai salah seorang jagoan yang dahulu membantu Kadipaten Wirosobo yang memberontak terhadap Mataram. Apa bila Wiku Menak Koncar ini mempunyai kesaktian seperti mendiang Resi Wisangkolo, dia merupakan seorang lawan yang teramat tangguh. Akan tetapi tetap saja Ki Bargowo tidak memperlihatkan perasaan khawatirnya dan wajahnya tetap tenang saja.
Kini orang ketiga yang sikap dan kata-katanya lemah lembut itu berkata, “Ki Bargowo, kalau engkau belum mengenal dua orang sahabatku ini apa lagi aku yang datang dari ujung barat Nusa Jawa. Aku tidak sehebat dua orang sahabatku ini dan sama sekali tidak terkenal. Namaku Kyai Sidhi Kawasa berasal dari Banten dan pernah menjadi senopati Kerajaan Banten ketika masih muda puluhan tahun yang lalu.
Ki Bargowo memang belum pernah mendengar akan nama ini, akan tetapi melihat sinar mata yang mencorong serta sikap yang lembut itu, dia dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki kesaktian yang tidak kalah dibandingkan dua orang yang lain.
“Kiranya andika bertiga adalah orang-orang yang terkenal dari Madura, Blambangan dan Banten. Andika bertiga mengajak saya untuk bergabung membantu Kadipaten Surabaya untuk menentang Mataram, dengan berbagai alasan seperti yang sudah andika bertiga kemukakan tadi. Sekarang perkenankan saya menjawab semua tuduhan andika terhadap Mataram itu. Agaknya andika bersikap memusuhi Mataram. Akan tetapi tuduhan andika bertiga itu keliru, para sahabatku yang baik. Lupakah andika bahwa sejak pemerintahan Sang Panembahoin Senopati Ing Alogo Saidin Panotogomo (1586-1601) Madiun dan semua kadipaten di Jawa Timur sudah menjadi bagian dari Mataram? Karena itu, kalau saya membela Mataram, hal itu sudah sewajarnya karena saya adalah kawula Mataram. Tentu saja saya tidak mau membantu pemberontak. Ada pun tuduhan bahwa Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram angkara murka, hal itu pun tidak benar. Beliau menyerang para adipati yang memberontak dan usaha beliau ini sama sekali bukan karena angkara murka atau hendak meluaskan kekuasaan, sama sekali bukan. Beliau menghendaki agar semua kadipaten, semua daerah dapat bersatu dan tidak terpecah-belah. Karena hanya dengan bersatu-padu kita menjadi kuat untuk menghadapi bahaya yang mengancam kita, yaitu kekuasaan Belanda yang kini menduduki Jayakarta. Kalau kita tidak bersatu-padu, bagaimana kita akan mampu mencegah Belanda memperluas wilayah kekuasaannya? Itulah sebabnya maka sekarang saya terpaksa tak dapat menerima ajakan andika bertiga untuk bergabung dan membantu Kadipaten Surabaya yang hendak menentang Mataram. Bagaimana pun juga saya dan semua anggota Welut Ireng tetap setia kepada Mataram.”
“Babo-babo, Ki Bargowo! Kami mengajakmu dengan baik-baik supaya engkau menyadari kesalahanmu, juga mengulurkan tangan mengajak bekerja sama supaya engkau dapat menebus dosa-dosamu, akan tetapi engkau bahkan berani mengatakan kami sebagai pemberontak! Kami berjuang mempertahankan daerah kami dari cengkeraman Mataram dan engkau berani menentang kami, apakah nyawamu sudah ada cadangannya sehingga engkau tidak takut mampus?”
“Sesukamulah, Ki Harya Baka Wulung. Akan tetapi sekali lagi kutegaskan, kami semua tetap setia dan membela Mataram dan kalau andika bertiga tidak segera meninggalkan puncak ini, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan untuk mengusir andika!” kata Ki Bargowo yang menjadi marah. Dia memberi isyarat dengan tangan kirinya dan lima puluh orang lebih anak buahnya itu bergerak maju lalu berhenti di belakangnya dalam keadaan siap bertempur.
“Heh-heh-heh!” Ki Harya Baka Wulung terkekeh sehingga perutnya yang amat besar itu terguncang-guncang. “Engkau dan anak buahmu ini hendak mengusir kami? Dengan cara bagaimana engkau dapat mengusir kami?”
“Dengan cara ini!” Ki Bargowo mengacungkan tinju kanannya.
“Hendak memukulku? Heh-heh, maju dan pukullah, Ki Bargowo. Hendak kulihat apakah tanganmu yang lunak itu mampu merobohkan aku!”
Ki Bargowo merasa ditertawakan dan ditantang. Dia adalah seorang pendekar, seorang gagah, bahkan dia adalah ketua perkumpulan orang-orang gagah. Dia tak pernah mundur menghadapi tantangan siapa pun juga. Maka, sesudah mendengar tantangan Ki Harya Baka Wulung, dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya lalu membentak nyaring.
“Sambutlah pukulanku ini!”
Tangan kanannya menyambar, memukul dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan yang bidang itu. Pukulan ini kuat sekali dan dengan pukulan semacam itu, Ki Bargowo akan mampu membikin pecah sebongkah batu gunung atau menumbangkan sebatang pohon kelapa.
Namun Ki Harya Baka Wulung tampak tidak menangkis atau pun mengelak menghadapi pukulan dahsyat itu, melainkan malah membusungkan dadanya untuk menerima pukulan lawan.
“Wuuuuttt...! Bukkk...!”
Ki Bargowo terkejut sekali ketika merasa betapa tangannya seolah-olah bertemu dengan benda kenyal dan kuat seperti karet, membuat tangannya yang memukul menjadi mental.
“Heh-heh-heh-heh, ringan dan lunak sekali tanganmu, Ki Bargowo, seperti tangan tukang pijat, heh-heh-heh!” Ki Harya Baka Wulung menertawakan dan mengejek.
Ki Bargowo menjadi penasaran bukan main. Dia sudah sering bertanding lawan tangguh, akan tetapi aji pukulannya itu mampu menembus aji kekebalan lawan. Baru sekarang ini pukulannya itu terpental ketika bertemu dengan Ki Harya Baka Wulung.
Dia segera memusatkan seluruh daya ciptanya, mengerahkan tenaga sakti sepenuhnya ke arah kedua tangannya, lalu berseru, “Sambutlah pukulan ini!”
Sekarang kedua tangannya menyambar dengan jari-jari terbuka, meluncur dari kanan kiri menampar ke arah kedua pelipis kepala lawan.
“Wuuuuutttt...! Plakk!”
Kedua tangannya itu tertahan dan ternyata pergelangan tangannya sudah dipegang oleh sepasang tangan Ki Harya Baka Wulung yang besar. Sepasang pergelangan tangannya rasanya seperti dijepit alat penjepit dari baja. Demikian kuatnya jari-jari yang panjang dan besar itu mencengkeram pergelangan kedua tangannya, seakan-akan remuk rasa tulang lengannya.
Ki Bargowo segera mengerahkan aji Welut Ireng yang menjadi andalannya, bahkan aji itu digunakan sebagai nama perkumpulannya karena semua anak buahnya mempelajari aji itu. Tubuhnya menggeliat, kedua lengannya bergerak dan kedua lengannya itu bagaikan telah berobah menjadi dua ekor belut yang tubuhnya licin sekali sehingga terlepas dari cengkeraman kedua tangan Ki Harya Baka Wulung! Ki Bargowo melompat ke belakang.
“Ehh?!” Ki Harya Baka Wulung terbelalak, akan tetapi lalu terkekeh. “Heh-heh heh, itukah aji Welut Ireng? Bagus! Tetapi sekali lagi engkau terpegang oleh tanganku akan kuremas hancur dan hendak kulihat apakah engkau mempunyai cadangan nyawa!”
Ki Bargowo tahu benar bahwa lawannya adalah seorang yang sakti mandraguna dan dia tidak akan mampu menandinginya kalau hanya bertangan kosong. Oleh karena itu dia melangkah tiga kali ke belakang kemudian mencabut pedangnya.
“Harya Baka Wulung, aku siap membela Mataram dengan taruhan nyawaku!” kata Ki Bargowo sambil memasang kuda-kuda, pedang di tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya menyilang di depan dada.
“He-he-heh-heh, bagus sekali! Aku pun siap membela Madura dan menentang Mataram dengan taruhan nyawaku!” kata Ki Harya Baka Wulung dengan sikap menantang.
“Pusakaku sudah siap di tanganku! Keluarkanlah senjatamu supaya kita dapat mengadu nyawa!” kata Ki Bargowo. Sebagai seorang pendekar yang berwatak gagah dia tidak mau menyerang lawan yang belum memegang senjata.
“Heh-heh-heh, Ki Bargowo. Biar pun engkau memiliki enam buah tangan yang semuanya memegang senjata, aku tidak takut menghadapimu dengan tangan kosong. Majulah dan bersiaplah untuk mati di tanganku!”
Mendengar ucapan ini, makin yakinlah hati Ki Bargowo bahwa lawannya memang tangguh sekali. Hanya orang yang sakti sekali dan sudah penuh kepercayaan akan kesaktiannya itu yang akan berani menghadapi lawan bersenjata hanya dengan tangan kosong. Karena ditantang, Ki Bargowo tidak merasa sungkan lagi. Dia menggerakkan pedangnya di atas kepala lalu berseru nyaring.
“Sambut serangan pedangku!”
Pedang itu menyambar ke arah leher Ki Harya Baka Wulung dengan cepat sekali hingga tampak sinar pedang menyambar seperti kilat. Tapi sambil tersenyum datuk dari Madura ini menggeser kakinya dan mengelak dengan mudah.
Baka Wulung tidak membual ketika tadi dia mengatakan bahwa seluruh rakyat Madura sudah mengenal namanya. Bahkan ketika dia masih muda dia adalah orang kepercayaan Panembahan Lemah Duwur adipati di Aros Baya. Kadipaten Aros Baya adalah sebuah kadipaten yang amat kuat di Madura barat. Dia seorang ahli ilmu silat dan ilmu sihir yang disegani, juga seorang yang sangat setia terhadap Kadipaten Aros Baya pada khususnya dan Pulau Madura pada umumnya.
Melihat serangan pertamanya dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya, Ki Bargowo langsung menyusulkan serangan kedua. Kini pedangnya meluncur dan menusuk ke arah dada Baka Wulung.
“Heeeiiiiitt...!”
Ki Harya Baka Wulung kembali mengelak dengan miringkan tubuhnya ke kanan. Ketika pedang lawannya meluncur di samping kiri tubuhnya, tangan kirinya mencengkeram ke depan, ke arah lengan kanan Ki Bargowo.
Ketua Welut Ireng ini pun bukanlah orang yang lemah. Dia tahu bahwa sekali ini apa bila lengannya dapat dicengkeram tangan yang sangat kuat itu, tentu tulang lengannya akan remuk dan patah-patah. Maka dia pun cepat menarik pedangnya dan memutar pedang itu sehingga kini keadaannya berbalik. Pedangnya yang mengancam tangan kiri lawan!
“Tranggg...!”
Ki Bargowo terkejut dan melangkah mundur. Ternyata pedangnya yang bertemu dengan tangan kiri itu terpental, seolah tangan itu terbuat dari baja yang amat keras dan kuat!
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa meninggi seperti tawa perempuan. “Hi-hi-hik, Ki Harya Baka Wulung, kenapa engkau masih main-main?” yang tertawa dan menegur ini adalah Wiku Menak Koncar.
“Ki Harya Baka Wulung, cepat bereskan dia dan jangan membuang banyak waktu!” kata pula Kyai Sidhi Kawasa dengan suaranya yang lembut.
Mendengar ini, Ki Harya Baka Wulung terkekeh. “Heh-heh-heh, engkau mendengar kata kawan-kawanku, Ki Bargowo? .Sekarang matilah engkau!” Setelah berkata demikian, dia menekuk kedua lututnya hampir berjongkok dan kedua tangannya didorongkan ke arah lawan sambil mulutnya berseru dengan suara yang seolah keluar dari dalam perutnya.
“Aji Cantuka Sakti... kok-kok-kokk...!” Berbarengan dengan bunyi kok-kok tadi, dari kedua telapak tangan itu menyambar angin pukulan yang amat dahsyat hingga tanah dan pasir ikut beterbangan seperti dilanda angin lesus!
Ki Bargowo maklum bahwa dia diserang dengan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sakti yang sangat kuat. Dia tahu bahwa dia tidak mampu mengelak, maka dia pun mengerahkan tenaga saktinya untuk menyambut pukulan itu dengan mendorongkan dua tangannya ke depan setelah melepaskan pedangnya yang jatuh ke atas tanah.
“Wuuuuttt...! Blarrrr...!”
Hebat sekali pertemuan antara dua tenaga sakti itu dan akibatnya, tubuh Ki Bargowo terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin kemudian jatuh terbanting dengan kerasnya di depan para anak buahnya. Para anak buah Welut Ireng cepat menghampiri dan berusaha membantu ketua mereka untuk bangkit, akan tetapi mereka melihat bahwa Ki Bargowo telah tewas dan darah segar mengalir keluar dari mulutnya!
Melihat ketua mereka tewas, para anggota Welut Ireng yang setia itu terkejut sekali dan mereka menjadi marah. Serentak mereka maju menyerang tiga orang itu sambil berteriak marah. Melihat lima puluh orang lebih itu menyerbu dengan golok atau pedang di tangan, tiga orang datuk itu lalu tertawa. Suara tawa mereka berbeda nadanya.
“Heh-heh-heh-heh...!” Ki Harya Baka Wulung tertawa.
“Hi-hi-hi-hik...!” tawa Wiku Menak Koncar terdengar seperti tawa seorang wanita.
“Ha-ha-ha-ha !” Kyai Sidhi Kawasa juga tertawa, suara tawanya merdu dan halus.
Tetapi dalam suara tawa tiga orang itu terkandung getaran yang amat hebat. Gelombang getaran ini menerjang dan menyerang lima puluh lebih anak buah Welut Ireng dan mereka terhuyung-huyung. Ada yang mendekap dada karena merasa jantung mereka tergoncang hebat, ada yang menutupi kedua telinga karena merasa telinga mereka seperti ditusuk-tusuk jarum, bahkan ada pula yang sudah bergulingan di atas tanah sambil merintih-rintih. Mereka saling bertabrakan dan senjata golok atau pedang yang tadi mereka pegang kini terlepas dari tangan.
Tiga orang datuk itu tertawa dan tertawa terus, dan puluhan orang itu menjadi semakin tersiksa. Daya serang yang terkandung di dalam suara tawa mereka itu iungguh dahsyat dan mengerikan.....
Komentar
Posting Komentar