SERULING GADING : JILID-02
Begitu suara suling itu melengking-lengking, puluhan orang itu pun terbebas dari serangan suara yang dahsyat itu. Mereka dapat bernapas lega, rasa nyeri pada telinga dan jantung mereka lenyap. Mereka mulai memunguti senjata mereka, tetapi tak berani sembarangan bergerak, hanya menonton ‘pertandingan’ yang amat aneh itu. Pertandingan antara tiga suara tawa dan lengking suara suling! Dan sekarang mereka melihat bahwa suara suling itu keluar dari sebatang suling putih kekuningan yang ditiup oleh seorang kakek tua renta yang duduk di atas sebuah batu besar.
Tiga orang datuk itu terkejut bukan kepalang. Ada daya kekuatan lembut bagaikan dinding yang amat kuat keluar dari suara suling itu, membendung dan menghalang sehingga daya serang suara tawa mereka membalik!
Mereka menjadi penasaran, kemudian berusaha untuk memperkuat suara tawa mereka untuk menembus dinding itu. Akan tetapi makin kuat mereka tertawa, semakin kuat pula daya serang mereka sendiri yang membalik dan gelombang suara itu lantas menghantam mereka sendiri.
Akhirnya ketiga orang datuk itu terhuyung dan menghentikan suara tawa mereka karena kalau mereka lanjutkan, mereka akan terserang daya kekuatan suara tawa mereka sendiri yang akan berakibat gawat bagi keselamatan mereka. Begitu tiga gelombang suara tawa itu berhenti, suara suling juga semakin lirih hingga akhirnya lenyap, hanya meninggalkan gaung yang seolah bergema di empat penjuru.
Resi Tejo Wening menyelipkan lagi suling gading di ikat pinggangnya, kemudian perlahan-lahan turun dari atas batu besar.
Sementara itu tiga orang datuk dengan marah melangkah dan menghampiri Resi Tejo Wening yang sudah turun dari atas batu lalu berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum, kedua matanya memandang kepada tiga orang itu dengan sinar yang lembut dan penuh pengertian. Semua anggota Welut Ireng yang masih belum kehilangan rasa kaget dan ngeri, kini berdiri berkelompok dengan hati tegang dan hanya menonton tanpa mengeluarkan suara.
“Semoga Sang Hyang Widhi mengampuni kita semua,” kata Resi Tejo Wening pada tiga orang datuk yang kini sudah berdiri di depannya dengan wajah mengandung penasaran. “Tiga orang ki sanak yang bijaksana, aku rasa kalian bertiga sudah menghabiskan waktu berpuluh tahun mempelajari berbagai ilmu adalah dengan niat agar dapat digunakan untuk menolong sesama manusia, bukan untuk mencelakai manusia. Namun apa yang kulihat sekarang justru sungguh berlawanan. Andika bertiga telah membunuh seorang pendekar, bahkan nyaris membunuh puluhan orang anak buahnya. Mengapa begini, ki sanak?”
“Orang lancang, sebelum kita bicara, katakanlah dulu siapa engkau!” kata Ki Harya Baka Wulung yang memiliki watak keras dan terbuka sehingga mendatangkan kesan kasar.
Resi Tejo Wening memandang datuk dari Madura ini sambil mengelus jenggot putihnya dan mulutnya tersenyum. “Tadi aku sempat mendengar bahwa andika adalah Ki Harya Baka Wulung dari Madura yang terkenal sebagai seorang satria yang gagah perkasa. Perkenalkan, aku biasa disebut orang Resi Tejo Wening, nama yang sama sekali tidak terkenal, maka andika bertiga tentu tidak mengenal aku.”
“Resi Tejo Wening, katakan di mana tempat tinggalmu supaya aku dapat mengetahui dari aliran mana andika berasal,” kata Wiku Menak Koncar dengan suaranya yang tinggi dan lantang.
“Hmm, andika adalah Sang Wiku Menak Koncar dari Blambangan yang sangat terkenal itu. Andika bertanya di mana tempat tinggalku? Di mana kedua kakiku berdiri, di situlah tempat tinggalku. Rumahku berlantai tanah berdinding pohon dan beratap langit.”
“Resi Tejo Wening, aku melihat bahwa andika adalah seorang tua yang bijaksana. Andika masih bertanya mengapa kami menewaskan Ki Bargowo dan menyerang puluhan orang anak buah perkumpulan Welut Ireng. Kenapa andika masih berpura-pura tidak mengerti? Perbuatan kami itu bukanlah tindak kejahatan yang sewenang-wenang melainkan hanya sebuah akibat belaka. Andika tentu tahu bahwa semua akibat tentu ada sebabnya, dan sebabnya terletak pada sikap Ki Bargowo dan para anak buahnya sendiri!” kata Kyai Sidhi Kawasa dengan lembut tetapi penuh semangat sehingga sepasang matanya mencorong menatap wajah Resi Tejo Wening.
“Jagad Dewa Bathara! Semoga Sang Hyang Widhi mengampuni kita semua! Andika adalah Kyai Sidhi Kawasa dari Banten. Sikap dan tutur sapa andika sesuai dengan nama besar andika sebagai bekas senopati Kerajaan Banten. Ucapanmu itu memang benar, ki sanak. Akan tetapi lupakah andika bahwa akibat yang mengandung kekerasan itu dapat menjadi sebab dari akibat lanjutannya pula? Mengapa seorang bijaksana seperti andika membiarkan diri terlibat dalam ikatan rantai karma? Jika andika bertiga dan para anggota Welut Ireng terlibat dalam perang dan masing-masing berjuang demi tanah air masing-masing, hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi kalian tidak sedang berperang dan andika bertiga hendak membunuh puluhan orang yang tidak berdosa. Bila aku hanya berdiam diri berarti aku juga ikut membantu kalian membantai puluhan orang itu.”
“Resi Tejo Wening!” Ki Harya Baka Wulung membentak marah. “Kami bertiga adalah satria-satria sejati yang membela kerajaan dan kadipaten kami masing-masing! Kami siap untuk mengorbankan nyawa demi membela daerah kami masing-masing! Mataram sudah menyerang dan menundukkan banyak kadipaten di Jawa Timur, membuat kami merasa terancam. Karena itu kami menentang Mataram. Ki Bargowo dan anak buahnya membela Mataram dan tidak mau kami ajak bekerja sama, karena itu kami hendak membasmi mereka yang kami anggap sebagai musuh. Apakah andika hendak menyalahkan kami?”
“Aku tahu bahwa kalian semua berjuang untuk membela kadipaten masing-masing. Pihak kalian mau pun pihak Mataram tentu mempunyai alasan-alasan masing-masing yang kuat untuk membenarkan perjuangan masing-masing pula. Aku takkan mencampuri pertikaian antara sesama bangsa itu. Tetapi di atas segalanya masih terdapat kekuasaan Tuhan dan betapa pun pandainya manusia, tidak mungkin dia akan mengubah keputusan yang telah digariskan Hyang Widhi.”
“Resi Tejo Wening,” kata Kyai Sidhi Kawasa, “kami pun percaya akan kekuasaan Tuhan. Akan tetapi kita juga sudah diberi kewajiban untuk berikhtiar! Tuhan tidak akan menolong manusia yang tidak mau menolong dirinya sendiri. Walau pun keputusan terakhir berada dalam tangan Tuhan, akan tetapi berikhtiar sekuat tenaga merupakan kewajiban bagi kita. Perjuangan membela daerah dan kadipaten atau kerajaan kami masing-masing adalah kewajiban bagi kami dan akan kami perjuangkan dengan taruhan nyawa!”
Resi Tejo Wening mengangguk-angguk, “Bagus, andika bertiga memang satria-satria yang gagah perkasa. Akan tetapi jangan dilupakan bahwa baik buruk usaha itu tergantung sepenuhnya kepada caranya, bukan pada tujuannya. Caranyalah yang menjadi sebab dan tujuan hanyalah akibat. Cara yang baik akan menghasilkan akibat yang baik pula seperti pohon yang baik tentu menghasilkan buah yang baik.”
“Omong kosong!” bentak Wiku Menak Koncar dengan suara tinggi. “Kami mementingkan tujuan dan tujuan kami adalah baik!”
“Sayang sungguh sayang! Andika menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Jika begitu kalian pasti akan memetik buah dari pohon yang benihnya andika tanam sendiri.”
“Sudahlah, Resi Tejo Wening. Jika andika tidak membela Mataram maka kami tidak akan memusuhi andika. Pergilah dan jangan campuri urusan kami dengan orang-orang Welut Ireng,” kata Ki Harya Baka Wulung.
Resi Tejo Wening menggeleng kepalarrya. “Aku tidak akan mencampuri permusuhan dan pertikaian antara saudara sebangsa. Akan tetapi aku pun tidak bisa berpeluk tangan saja kalau andika bertiga hendak membunuh semua orang yang tidak bersalah ini.”
“Andika hendak melawan kami?” tanya Wiku Menak Koncar.
“Aku tidak hendak melawan siapa-siapa. Aku hanya ingin melindungi orang-orang ini dari ancaman maut.”
“Resi Tejo Wening!” kata Kyai Sidhi Kawasa. “Kalau engkau melindungi orang-orang yang menjadi musuh kami, berarti andika juga menjadi musuh kami, maka terpaksa kami juga akan mengenyahkan andika dengan kekerasan kalau andika tidak mau membiarkan kami membasmi musuh-musuh kami.”
“Terserah kepada andika sekalian,” kata Resi Tejo Wening dengan tenang.
Tiga orang datuk itu saling pandang, lalu mereka bertiga berdiri dengan kepala menunduk dan kedua lengan bersilang di depan dada. Mereka mengerahkan kekuatan batin mereka karena selain merupakan ahli-ahli silat yang digdaya, ketiganya juga memiliki kelebihan menggunakan ilmu sihir untuk menyerang lawan.
Dari tubuh Ki Harya Baka Wulung mengepul asap hitam yang makin lama semakin tebal dan perlahan-lahan asap hitam itu bergerak ke arah Resi Tejo Wening. Pada saat itu juga dari tubuh Wiku Menak Koncar bertiup angin yang semakin lama semakin kencang dan berpusing laksana angin ribut. Sementara itu dari tubuh Kyai Sidhi Kawasa muncul api berkobar yang juga menuju ke arah Resi Tejo Wening!
“Daya Kukus Langking...!” bentak Ki Harya Baka Wulung dan asap hitam tebal itu kini nenyerbu ke arah Resi Tejo Wening.
“Daya Bayu Bajra...!” Wiku Menak Koncar juga membentak dan angin ribut itu juga menyambar ke arah sang resi.
“Daya Analabani...!” Kyai Sidhi Kawasa berseru dan api berkobar itu menyerang pula ke arah sang resi.
Tubuh Sang Resi Tejo Wening tidak tampak lagi karena sudah tertutup asap hitam. Angin ribut dan api juga menyerangnya.
Tiba-tiba terdengar bunyi seruling melengking-lengking, makin lama semakin nyaring dan asap hitam, angin ribut serta kobaran api itu seperti terdorong tenaga yang sangat kuat sehingga membalik dan menyerang tiga orang itu sendiri!
Tiga orang datuk itu mengerahkan seluruh tenaga batin mereka untuk memperkuat daya serangan mereka, namun tetap saja asap, angin dan api itu membalik sehingga terpaksa mereka menghentikan ilmu sihir mereka kalau tidak ingin menjadi korban daya ciptaan mereka sendiri. Mereka bertiga menurunkan kedua tangan, maka asap, angin dan api itu pun lenyap.
Semua anak buah Welut Ireng terbelalak dan bengong menyaksikan adu kekuatan yang amat aneh itu. Karena Resi Tejo Wening melindungi mereka, tentu saja mereka berpihak kepada kakek tua renta ini.
Tadi pada saat ada asap hitam, angin ribut dan kobaran api menyerang sang resi, mereka semua menjadi gelisah dan khawatir sekali. Mereka maklum bahwa kalau sang resi kalah, tentu nyawa mereka terancam maut di tangan tiga orang sakti itu.
Akan tetapi ternyata, dengan suara sulingnya, Resi Tejo Wening dapat mengalahkan ilmu sihir ketiga orang penyerangnya. Sesudah tiga orang itu menghentikan serangan mereka, sang resi juga menghentikan tiupan sulingnya dan menyelipkan kembali seruling itu di ikat pinggangnya.
Melihat betapa ilmu sihir mereka, seperti juga suara tawa mereka tadi, dikalahkan dengan mudah oleh sang resi, tiga orang datuk itu menjadi penasaran dan marah sekali. Mereka saling pandang dan mereka langsung bersepakat untuk mempergunakan aji pukulan sakti mereka, pukulan yang mengandung tenaga sakti yang sangat kuat.
Kalau resi yang tua renta itu mampu mengalahkan ilmu sihir mereka, belum tentu tubuh tua yang tampak ringkih itu akan mampu bertahan terhadap aji pamungkas mereka yang dilakukan berbareng!
Ki Harya Baka Wulung melakukan gerakan seperti tadi ketika ia merobohkan Ki Bargowo. Dia menekuk kedua kaki sampai hampir berjongkok, kedua tangan mendorong ke depan dan berteriak nyaring.
“Aji Cantuka Sakti!”
Wiku Menak Koncar juga mengerahkan aji pamungkasnya. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, punggungnya membungkuk dalam seperti seekor lembu yang hendak menanduk, lalu mendorongkan kedua tangan sambil berteriak lantang.
“Aji Nandaka Kroda!”
Pada saat yang bersamaan Kyai Sidhi Kawasa juga mengerahkan aji pamungkasnya. Dia menekuk lutut kanannya dan menarik kaki kiri ke belakang, kemudian kedua tangannya didorongkan ke depan sambil berteriak pula.
“Aji Hastanala!”
Serangan tiga orang datuk itu dilakukan dengan berbareng. Memang mereka sengaja melakukan serangan secara berbareng dan serangan itu bukan main dahsyatnya. Baru Aji Cantuka Sakti (Katak Sakti) itu saja tadi telah menewaskan Ki Bargowo yang digdaya.
Aji Nandaka Kroda (Banteng Marah) itu pun tidak kalah hebatnya. Hantamannya dapat menghancurkan sebongkah batu besar dan menumbangkan sebatang pohon jati sebesar orang. Aji Hastanala (Tangan Api) bahkan lebih hebat lagi. Apa saja yang dilanda aji ini akan tumbang dan hangus seperti disambar petir!
Kini ketiga aji yang amat dahsyat itu menyambar secara berbareng ke arah tubuh kakek tua yang tampak ringkih itu! Tapi anehnya, Resi Tejo Wening tidak melawan sama sekali! Kakek ini bahkan merangkap tangannya depan dada seperti menyembah.
Puluhan orang anak buah Welut Ireng memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Mereka semua dapat menduga akan kedahsyatan serangan tiga orang itu. Tiga orang anak buah Welut Ireng yang memegang tombak tidak dapat menahan kekhawatiran mereka. Dengan nekat mereka sudah melompat lantas menyerang tiga orang itu dengan tusukan tombak mereka.
“Aauugghhh...!”
Tiga orang itu terpental dan terbanting roboh, hanya sempat mengeluarkan teriakan itu karena mereka bertiga telah tewas dan dari mulut mereka mengalir darah segar!
Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu tubuh tiga orang datuk sedang mengeluarkan hawa yang mengandung tenaga sakti yang amat hebat sehingga sebelum tombak mereka menyentuh tubuh tiga orang datuk itu, ada hawa dahsyat membuat mereka terpental dan tewas seketika. Kini hawa pukulan sakti tiga orang datuk itu sudah menghantam ke arah Resi Tejo Wening.
Akan tetapi apa yang terjadi? Tenaga sakti tiga orang itu bagaikan menghantam udara kosong, seolah tenggelam ke dalam air samudera. Tiga orang itu merasa penasaran dan kini mereka menerjang maju, hendak menyerang langsung dengan tangan mereka. Akan tetapi, ketika tangan mereka menyambar ke arah dada dan kepala Resi Tejo Wening, mereka bertiga seakan-akan terdorong oleh hawa yang teramat kuat sehingga ketiganya mundur dan terhuyung-huyung. Bertemu dengan hawa itu, tenaga pukulan mereka lantas membalik.
Mereka bertiga saling pandang dengan muka berubah pucat. Kini barulah mereka bertiga merasa yakin bahwa mereka sedang berhadapan dengan orang yang sakti mandraguna, yang tanpa pengerahan tenaga sakti sudah terlindung oleh kekuatan yang maha dahsyat.
Melihat Resi Tejo Wening masih merangkapkan kedua tangan di depan dadanya seperti menyembah, tiga orang itu pun menyembah dengan dua tangan dirangkap di depan dada dan Ki Harya Baka Wulung mewakili teman temannya berkata dengan suara rendah.
“Resi Tejo Wening, sekali ini kami mengaku kalah. Akan tetapi kami tidak akan berhenti berjuang sebelum kerajaan Mataram yang murka itu dapat dihancurkan.”
“Kalau Hyang Widhi Wasa tidak menghendaki, kekuasaan apa pun tidak mungkin dapat menghancurkan Mataram. Aku tidak akan mencampuri pertikaian antara saudara sendiri, akan tetapi aku akan selalu berupaya untuk membantu kehendak Hyang Widhi, berusaha menjadi alat yang baik dari Hyang Widhi.”
“Babo-babo, kita sama lihat saja nanti siapa yang benar di antara kita,” kata Wiku Menak Koncar.
Sesudah berkata demikian, Wiku Menak Koncar dan dua orang temannya membalikkan tubuh dan melangkah pergi menuruni puncak Argadumilah. Entah siapa yang mendahului, lima puluh lebih anggota Welut Ireng itu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Resi Tejo Wening dan memberi hormat dengan sembah.
“Bapa Resi, paduka telah menyelamatkan nyawa kami. Terima kasih kami ucapkan atas budi pertolongan paduka,” kata seorang di antara mereka yang mewakili teman-temannya.
“Sudahlah, jangan berterima kasih kepadaku. Kalau hendak berterima kasih, bersyukur dan berterima kasihlah kepada Sang Hyang Widhi karena hanya Dia-lah yang berkuasa menyelamatkan semua orang. Sekarang lebih baik kalian mengurus jenasah Ki Bargowo dan teman-teman kalian yang tewas. Sesudah itu susunlah kembali perkumpulan kalian dan kalian pilih sendiri siapa yang patut menggantikan mendiang Ki Bargowo dan menjadi ketua baru.”
Setelah berkata demikian, Resi Tejo Wening mengangkat tangan kanannya seperti tengah memberi doa restu, kemudian dia melangkah pergi dengan santai.
Para anak buah perkumpulan Welut Ireng lalu mengangkat jenasah Ki Bargowo dan tiga orang kawan yang baru saja menyerang tiga datuk itu hingga tewas juga. Ada lima orang kawan lain yang telah tewas lebih dahulu ketika tiga orang datuk itu menyerang mereka dengan gelombang suara tawa. Mereka menggotong mayat-mayat itu turun dari puncak Argadumilah dan mencari tempat yang baik di lereng bawah untuk menguburkan mayat-mayat itu.....
********************
Desa Pakis adalah sebuah desa yang cukup besar. Penduduknya banyak dan mereka semua hidup sebagai petani di lereng Gunung Lawu sebelah timur laut yang tanahnya subur. Desa Pakis dikepalai seorang Demang, maka daerah Pakis disebut Kademangan Pakis. Demang itu bernama Demang Wiroboyo,
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, kumisnya sekepal sebelah sehingga tampak gagah dan menyeramkan. Usia Wiroboyo sekitar empat puluh tahun. Sebenarnya dia merupakan seorang kepala dusun yang baik dan bijaksana, tidak menindas rakyatnya, bahkan selalu berusaha untuk menyejahterakan kehidupan rakyat dusun Kademangan Pakis. Dia disegani dan dihormati semua orang di daerah Kademangan Pakis.
Akan tetapi di manakah terdapat manusia yang tanpa cacad? Demikian pula Ki Wiroboyo, di samping kelebihannya, juga terdapat kekurangannya. Kekurangannya itu adalah bahwa dia seorang laki-laki mata keranjang!
Di dalam rumah besar kademangannya, dia sudah memiliki tiga orang isteri. Akan tetapi matanya masih saja menjadi liar kalau dia melihat wanita cantik. Hanya ada satu hal yang merupakan pantangan bagi Ki Wiroboyo. Betapa pun cantiknya seorang wanita sampai membuat dia tergila-gila, dia tidak akan mengganggunya bila wanita itu sudah mempunyai suami.
Dia tidak mau mengganggu isteri orang. Yang diburu hanyalah wanita yang masih gadis atau janda. Akan tetapi, kalau nafsu berahi sudah memenuhi kepalanya dalam mengejar seorang gadis atau janda, dia akan berupaya sekuat tenaga untuk mendapatkan wanita itu.
Tentu saja pertama-tama dengan cara memikat. Harta dan kekuasaannya menjadi umpan ditambah janji-janji muluk. Dan bila dia sudah tergila-gila, maka timbullah watak jahatnya. Untuk mendapatkan seorang gadis atau janda yang membuatnya tergila-gila, dia tidak segan menggunakan kekerasan, mengandalkan kedudukannya sebagai orang yang paling berkuasa di Kademangan Pakis.
Karena tabiat Demang Wiroboyo ini, maka banyak orang tua yang mempunyai anak gadis yang tergolong cantik telah mengungsikan anak gadis mereka ke dusun lain atau terpaksa sekeluarga pindah tempat. Lain lagi ulah sebagian besar para janda. Mereka ini bahkan bersaing dan berlomba untuk dapat menarik hati sang demang. Menjadi kekasih demang berarti datangnya uang dan kehormatan!
Di ujung Kademangan Pakis, dekat pintu gerbang dusun itu, ada sebuah rumah pondok yang sederhana tetapi dikelilingi taman yang terawat baik sehingga keadaan di situ amat menyenangkan. Itu adalah rurnah dari seorang duda bernama Ronggo Bangak. Sudah sepuluh tahun dia tinggal di Pakis dan hidup sebagai ahli pembuat patung dari kayu yang diukir indah.
Penduduk dusun Pakis tidak kenal riwayatnya, hanya mengetahui bahwa Ronggo Bangak adalah seorang yang masih berdarah bangsawan dan pendatang dari pesisir utara, dekat daerah Demak. Dia hidup seorang diri di pondoknya, akan tetapi sejak lima tahun yang lalu dia mempunyai seorang murid yang hampir setiap malam datang berkunjung.
Muridnya itu seorang pemuda yang kini telah berusia delapan belas dan bekerja sebagai pemelihara kuda. Nama pemuda itu adalah Parmadi, seorang remaja putera yang sudah yatim piatu sejak dia berusia sepuluh tahun. Karena dia kematian kedua orang tuanya dan tidak mempunyai keluarga lagi, Demang Wiroboyo menerimanya sebagai seorang pekerja di rumahnya. Mula-mula sebagai kacung dan pembantu serabutan, kemudian dia diangkat menjadi tukang mengurus kuda milik Ki Demang yang berjumlah tujuh ekor.
Sejak berusia tiga belas tahun Parmadi mulai tertarik dengan pekerjaan Ronggo Bangak dan sering kali datang berkunjung. Akhirnya dia pun diterima sebagai murid dan sesudah semua kuda diberi makan dan dimasukkan kandang, Parmadi lalu pergi ke rumah Ronggo Bangak.
Dari lelaki seniman ini dia mempelajari banyak hal. Belajar membaca dan menulis, juga mengukir dan membuat patung, meniup seruling dan tata-krama. Sudah lima tahun dia berguru kepada Ronggo Bangak yang disebutnya paman dan hubungan di antara mereka akrab sekali.
Pada suatu malam, ketika Parmadi datang ke pondok Ronggo Bangak, laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu berkata kepadanya. “Parmadi, sudah kurang lebih lima tahun engkau mempelajari sastra dan seni ukir di sini. Ternyata engkau berbakat dan rajin sekali sehingga aku sangat senang mengajarimu. Kini engkau sudah memiliki modal kepandaian yang lumayan. Engkau pandai membaca dengan lancar, juga tulisanmu cukup indah dan engkau pun sudah pandai mengukir dan membuat patung. Aku ikut merasa bangga dan senang sekali, Parmadi.” Ronggo Bangak menatap wajah Parmadi dan diam-diam dia mengagumi remaja itu.
Sungguh pun hanya seorang dusun pegunungan, namun Parmadi memiliki wajah yang tampan dan ganteng, pantas menjadi pemuda bangsawan sekali pun. Pakaiannya sebagai abdi yang sederhana itu tidak menyembunyikan ketampanannya. Wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya lembut, hidungnya mancung dan wajahnya selalu cerah dengan bibir yang membayangkan senyum. Perawakannya sedang tetapi tegap karena sejak kecil dia sudah biasa bekerja keras di rumah Ki Demang.
Parmadi memandang wajah Ronggo Bangak dengan sinar mata mengandung rasa terima kasih. Wajah orang setengah tua itu kelihatan bersih dan tampan, sepasang matanya memiliki bulu mata yang panjang, lentik, ciri khas kaum bangsawan, tubuhnya jangkung agak kurus dan gerak-geriknya lembut.
“Berkat bimbingan paman maka saya dapat mempelajari semua itu. Saya amat berterima kasih kepada paman.”
“Ah, sudah berulang kali kukatakan engkau tidak perlu berterima kasih padaku, Parmadi. Berterima kasihlah kepada dirimu sendiri, kepada semangat dan ketekunanmu sendiri. Apa artinya bimbingan seorang guru bila si murid tidak tekun belajar? Seorang guru hanya memberi petunjuk dan kemajuan si murid tergantung kepada murid itu sendiri. Aku hanya ingin mengingatkan kepadamu, Parmadi. Namamu mirip nama Permadi, yaitu nama kecil dari Janoko atau Harjuno ksatria panengah Pandowo. Tirulah sifat dan sepak terjangnya, Parmadi. Dia rendah hati, lemah lembut, dan bersusila. Tetapi untuk membela kebenaran dan keadilan, dia selalu berjuang tanpa pamrih dan berani berkorban namun tidak kejam. Hormat dan tidak menjilat kepada atasan atau yang lebih tua, membimbing dan tidak menekan kepada bawahan atau yang lebih muda.”
“Semua nasihat paman masih saya ingat semua dengan baik dan mudah-mudahan saya akan mampu melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.”
“Sekarang aku ingin memberi tahu kepadamu bahwa besok pagi-pagi aku hendak pergi meninggalkan Kademangan Pakis dan mungkin selama sepekan lebih aku baru pulang.”
“Ah, paman hendak pergi ke manakah, kalau saya boleh bertanya?”
'Aku akan pergi ke Demak untuk menjemput anakku.”
“Wah, paman mempunyai anak? Belum pernah paman ceritakan kepada saya. Berapakah usianya, paman? Laki-laki atau perempuan?” tanya Parmadi dengan nada gembira.
“Dahulu aku tinggal di pesisir utara bersama isteriku dan seorang anak perempuan kami. Akan tetapi sepuluh tahun yang lalu isteriku meninggal...” wajah Ronggo Bangak tampak muram.
“Maafkan saya, paman, kalau pertanyaan saya mengingatkan paman akan hal-hal yang menyedihkan.”
Mendengar ucapan Parmadi, wajah Ronggo Bangak menjadi terang kembali. “Tidak apa-apa, Parmadi. Bukan salahmu, melainkan karena kelemahanku sendiri. Karena isteriku meninggal dunia, maka aku menitipkan anak perempuan kami itu kepada neneknya dan aku lalu berpindah ke sini. Ketika kutinggalkan kepada neneknya, Muryani berusia enam tahun. Sekarang dia tentu telah menjadi seorang gadis remaja berusia enam belas tahun. Aku mendapat kabar bahwa ibuku, yaitu neneknya, sedang menderita sakit, sebab itu aku harus pergi ke sana dan mungkin Muryani akan kuajak pindah ke sini.”
“Kalau begitu, selamat jalan, paman. Saya akan berkunjung ke sini setiap sore selepas kerja dan saya akan membersihkan halaman depan.”
“Baik, dan terima kasih, Parmadi. Ini ada sebuah kitab Bhagawad Gita agar engkau baca dan renungkan isinya. Dari kitab ini engkau akan memperoleh banyak pengertian tentang kehidupan, Parmadi.” Ronggo Bangak menyerahkan sebuah kitab yang sudah tua kepada pemuda itu.
“Terima kasih, paman.”
Pada keesokan harinya, Ronggo Bangak meninggalkan dusun Pakis di lereng Lawu itu dan melakukan perjalanan ke utara. Parmadi memenuhi janjinya. Setiap petang selepas kerja dia tentu datang ke rumah gurunya itu dan membersihkan halaman dari daun-daun pohon yang rontok. Dia membersihkan taman, menyirami dan merawat tanaman bunga, mencabuti rumput-rumput liar.
Namun Ronggo Bangak yang dia tunggu-tunggu itu tak kunjung pulang. Sampai hampir sebulan Parmadi setiap hari datang membersihkan taman dan halaman. Dan pada suatu petang, pada waktu Parmadi sedang menyirami bunga, Ronggo Bangak datang bersama seorang gadis remaja.
“Paman sudah pulang?” seru Parmadi yang menyambut mereka dengan girang. “Paman baik-baik saja dan tidak ada halangan dalam perjalanan, bukan?”
“Parmadi, setiap petang engkau masih datang di sini? Ah, engkau tentu menanti-nantikan kembaliku. Sampai hampir sebulan aku baru pulang. Kenalkan, ini anakku Muryani. Nini, ini adalah Parmadi seperti yang pernah kuceritakan padamu. Sebut dia kakang.”
Cuaca petang itu sudah remang-remang. Pemuda dan gadis itu saling pandang dan saling membungkuk.
“Kakang Parmadi...” terdengar lirih dari mulut gadis itu.
“Adi Muryani...” kata pula Parmadi dengan sopan.
“Mari kita masuk dan berbicara di dalam,” kata Ronggo Bangak sambil membuka pintu rumah.
Mereka lalu masuk dan Ronggo Bangak mengajak anaknya membawa buntalan masuk ke dalam sebuah kamar yang memang sudah dia sediakan untuk kamar anaknya. Kemudian dia keluar dan duduk berhadapan dengan Parmadi, terhalang meja.
“Engkau tentu tidak sabar menunggu kembaliku, Parmadi. Sampai hampir satu bulan aku terpaksa belum dapat pulang.”
“Saya merasa khawatir sekali kalau-kalau terjadi sesuatu yang menghalangi paman untuk pulang,” kata Parmadi.
“Tidak salah. Memang terjadi sesuatu yang memaksa aku menunda kepulanganku. Ibuku, nenek Muryani, telah meninggal dunia.”
“Ahh, saya ikut berbela sungkawa, paman.”
“Kematian ibuku wajar saja, Parmadi. Beliau telah tua dan sakit-sakitan. Karena aku harus mengurus dulu kematiannya, maka baru hari ini aku dapat pulang. Tentu saja Muryani ikut bersamaku karena di sana yang ada hanya neneknya itulah.”
Ronggo Bangak menyalakan beberapa buah lampu gantung dalam pondok itu. Tidak lama kemudian Muryani keluar dari dalam kamarnya. Dia sudah mandi dan berganti pakaian.
Kesusilaan membuat Parmadi tak berani memandang langsung dan dia hanya menunduk. Akan tetapi keinginan tahu membuat dia melirik sehingga akhirnya tanpa disadarinya dia mengangkat muka.
Kebetulan Muryani juga memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang. Di bawah cahaya lampu gantung, kini mereka dapat saling pandang dan melihat jelas wajah masing-masing, tidak seperti tadi ketika pertama kali bertemu, ketika pandangan mereka terhalang oleh cuaca yang remang-remang.....
Komentar
Posting Komentar