SERULING GADING : JILID-03


Kedua alisnya tampak hitam di atas kulit dahinya yang putih mulus. Kemudian sepasang matanya seperti bintang kejora, lebar dengan ujung meruncing dan agak berjungat, manik matanya jernih sekali, putihnya metah dan hitamnya pekat bersinar-sinar dan sangat jeli. Keindahan mata itu semakin manis karena dihias bulu mata yang panjang tebal dan lentik sehingga pelupuk mata itu seakan dilingkari garis hitam. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya! Entah mana yang lebih indah mempesona antara matanya dengan mulutnya!

Seperti juga matanya, mulut itu mengandung gairah yang memiliki daya tarik luar biasa. Lengkung bibirnya demikian jelas seperti gendewa terpentang. Sepasang bibir itu merah basah, bukan karena pemerah bibir tapi karena sehat, bibir bawah yang lembut penuh itu seperti mencebi namun tidak mengejek melainkan menggairahkan dan menggemaskan.

Kalau sepasang bibir itu agak terbuka maka tampak deretan gigi seperti mutiara berbaris, putih mengkilap. Pipinya putih mulus dan halus, agak ke belakang di depan telinga kulit pipi itu kemerahan seperti buah tomat Lehernya panjang dan tegak, bagian belakang di belakang daun telinga terhias anak rambut melingkar-lingkar lembut.

Tubuh yang bagaikan bunga mulai mekar itu telah membayangkan bahwa beberapa tahun lagi tubuh itu akan sangat indah dengan lekuk-lengkung sempurna. Pinggangnya ramping perutnya datar, dada dan pinggulnya padat.

Parmadi melongo, matanya tak pernah berkedip, mulutnya ternganga.

“Duduklah, nini!” kata Ronggo Bangak.

Mendengar suara ini, Parmadi merasa seolah diseret kembali ke dunia sadar dan dia pun tersipu. Dengan gugup dia bangkit dan menyodorkan sebuah bangku kepada gadis itu.

“Ahh, ya... duduklah, Muryani.”

Mereka duduk berhadapan, terhalang meja. Akan tetapi sesudah kini sadar sepenuhnya, tidak dicengkeram pesona oleh keayuan Muryani, Parmadi teringat akan sesuatu dan dia mengerutkan alisnya, hatinya dicekam kekhawatiran.

Ronggo Bangak yang sudah lima tahun menjadi guru Parmadi, sudah mengenal perasaan yang terbayang pada wajah pemuda itu. “Parmadi, agaknya engkau merisaukan sesuatu. Ada apakah?”

Parmadi tidak merasa terkejut ketika gurunya bisa membaca isi hatinya. Dia tidak pernah dapat menyembunyikan sesuatu dari pandang mata gurunya yang tajam waspada. Dan dia pun biasa berterus terang tidak menyimpan rahasia hatinya kepada Ronggo Bangak.

“Maafkan kalau saya lancang bicara, Paman. Akan tetapi, paman sudah mengajak adik Muryani pulang ke sini. Apakah hal ini tidak menimbulkan bahaya?”

“Menimbulkan bahaya? Bahaya apakah yang kau maksudkan, kakang Parmadi?” Muryani bertanya sambil menatap wajah pemuda itu dengan matanya yang jeli itu terbelalak.

Parmadi juga memandangnya dan dia tidak tahan untuk menentang pandang mata yang sangat tajam itu sehingga cepat menundukkan pandang matanya. Akan tetapi pertanyaan gadis itu membuat dia gugup dan salah tingkah. Dia menganggap bahwa hal itu terlampau kotor untuk dibicarakan dengan seorang dara seperti Muryani.

“Anu... ehh, di sini ada Ki Demang Wiroboyo... dia... dia itu orang jahat...”

“Hmm, apa yang kau maksudkan, kakang Parmadi? Bicaralah yang jelas, aku sama sekali tidak mengerti ke arah mana tujuan kata-katamu. Apa hubungannya demang yang jahat dengan kehadiranku di dusun ini?”

Namun Ki Ronggo Bangak sudah paham apa yang dikhawatirkan Parmadi dan dia tahu pula bahwa pemuda itu merasa rikuh untuk menceritakan bahaya yang dapat mengancam Muryani. Maka dia lalu berkata, “Nini, aku mengerti apa yang dimaksudkan Parmadi.”

“Nah, kalau begitu tolong jelaskan, Ayah. Apa yang dimaksudkan dengan bahaya itu?” tanya Muryani sambil memandang kepada ayahnya.

“Yang menjadi kepala Kademangan Pakis ini adalah Ki Demang Wiroboyo. Sebenarnya harus diakui bahwa dia seorang demang yang bijaksana dan baik terhadap para penduduk pedusunan. Akan tetapi dia mempunyai satu kelemahan atau cacad yaitu wataknya mata keranjang, tak bisa membiarkan bathuk klimis (dahi mulus) lewat begitu saja. Dia seorang laki-laki yang haus wanita cantik. Setiap kali melihat seorang gadis atau janda cantik, pasti akan diganggunya sehingga para gadis cantik di dusun ini banyak yang diungsikan oleh orang tua mereka, pindah ke dusun lain. Nah, agaknya Parmadi khawatir kalau engkau akan diganggu oleh Ki Demang Wiroboyo.”

Mendengar keterangan ini, tiba-tiba Muryani meloncat dari atas kursinya, berdiri tegak dan mengepalkan kedua tangannya menjadi tinju kecil. Matanya bersinar tajam dan keras, wajahnya berubah kemerahan, sepasang alis yang hitam melengkung indah itu berkerut, mulutnya yang menggairahkan itu kini ditarik membayangkan kemarahan.

“Jahanam keparat busuk!” ia mendesis marah. “Kalau dia berani mengganggu aku, akan kuhancurkan kepalanya!” Dia mengamangkan tinju kanannya ke atas.

Melihat ini, hampir Parmadi tidak bisa menahan tawanya. Dara jelita itu sama sekali tidak tampak menakutkan bila marah-marah seperti itu dan mengancam hendak menggunakan kekerasan, melainkan tampak lucu sekali.

“Hushh, nini, jangan bersikap seperti itu. Tidak pantas seorang gadis bersikap seperti itu. Engkau bukanlah Srikandi atau Larasati,” Ronggo Bangak menegur puterinya. Yang dia sebut Srikandi dan Larasati adalah dua orang dari isteri-isteri Harjuno yang merupakan wanita-wanita gagah perkasa dan digdaya.

“Paman Ronggo benar, adi Muryani. Ki Demang Wiroboyo adalah seorang yang kuat, tidak ada seorang pun di kademangan ini yang berani menentangnya dan dia mempunyai puluhan anak buah. Kita tidak akan mampu berbuat apa pun untuk menentangnya.”

Muryani menjadi semakin marah. Ia membanting-banting kaki kanannya dan berkata,

“Kenapa ayah dan kakang Parmadi menjadi laki-laki bersikap begini lemah dan penakut? Aku tidak takut menentang siapa pun kalau dia jahat dan sewenang-wenang. Sampai di manakah kedigdayaan demang itu? Kalian lihat...!” Gadis itu segera melompat keluar dari rumah. Gerakannya melompat tangkas sekali seperti seekor kijang.

Baru saja Ronggo Bangak dan Parmadi hendak mengejarnya, dia sudah nampak masuk kembali dan ia telah membawa sebongkah batu gunung sebesar perut kerbau! Dua orang laki-laki itu terbelalak. Bagaimana gadis itu mampu mengangkat batu sebesar itu dengan tangan kiri saja dan membawa batu itu masuk seolah-olah batu itu sebuah benda ringan saja?

Ketika Muryani meletakkan batu besar itu ke atas lantai, seluruh bangunan pondok kayu itu tergetar, menandakan bahwa batu itu berat sekali.

“Ayah dan kakang Parmadi, lihatlah batu ini dan katakan, apakah kiranya kepala demang hidung belang itu lebih kuat dan lebih keras dari pada batu ini?” Setelah berkata demikian, dara jelita itu mengambil sikap, kedua kakinya dipentang dan berdiri kokoh, kemudian ia meniup tangan kanannya, lalu tangan kanan itu diangkat ke atas kepalanya, lalu diayun ke bawah menghantam batu itu dengan jari-jari terbuka.

“Haiiiitttt...!”

“Blarrrr...!”

Batu sebesar perut kerbau itu hancur berantakan seperti tertimpa martil yang besar dan berat sekali. Dua orang laki-laki itu melindungi muka mereka dengan kedua tangan agar jangan terkena sambaran pecahan batu, kemudian mereka menurunkan kedua tangan dan memandang kepada Muryani dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!

“Nini Muryani ...kau... kau...” kata Ronggo Bangak sambil memandang wajah puterinya.

Muryani merangkul pundak ayahnya dengan sikap manja. Kini lenyap sudah kegarangan yang tadi membayang pada pandang mata dan tarikan mulutnya dan ia berubah menjadi seorang dara cantik jelita yang manja terhadap ayahnya.

“Ayah, ketika ayah berada di Demak menjemputku, aku sudah mengatakan bahwa sejak kecil aku sudah mempelajari aji kanuragan. Bahkan aku menjadi murid utama dari Bapa Guru Ki Ageng Branjan, ketua dari perguruan Bromo Dadali di puncak Gunung Muria. Tetapi agaknya ayah tidak begitu memperhatikan atau mungkin tidak percaya kepadaku. Nah, sekarang aku membuktikan kemampuanku dan kuharap ayah dan kakang Parmadi tidak takut lagi kepada Ki Demang Wiroboyo itu. Kalau dia berani kurang ajar maka aku akan menghajarnya!”

“Bukan main! Nini, tadinya kukira engkau hanya sekedar mempelajari pencak silat untuk olah raga saja, tidak tahunya engkau telah mempunyai kedigdayaan. Akan tetapi kuharap engkau tidak akan mempergunakan itu dan membuat onar di dusun ini, nini. Kalau aku sudah berani membawamu pulang ke sini, tentu sudah kuperhitungkan watak demang itu dan aku dapat menghadapinya dengan kelembutan, bukan kekerasan. Ketahuilah bahwa jelek-jelek begini, di kademangan ini aku dihormati orang, bahkan Ki Demang Wiroboyo juga menaruh rasa hormat kepadaku. Aku adalah seorang sastrawan dan seniman yang tak pernah menggunakan kekerasan, tapi semua orang menghargai dan menghormatiku. Kalau memang Ki Demang Wiroboyo berani mengganggumu, aku dapat menasihatinya dan menyadarkannya.”

“Paman Ronggo berkata benar, Muryani. Ada ajaran kuno yang mengatakan: Surodhiro jayaningrat lebur dening pangastuti (Keberanian, kegagahan dan kejayaan dunia hancur oleh kerendahan hati).”

“Begitukah? Aku mendapatkan ajaran lain, kakang Parmadi. Guruku, Bapa Guru Ki Ageng Branjang mengatakan bahwa kita harus bersikap seperti domba terhadap orang yang baik tetapi bersikap seperti harimau terhadap orang yang jahat. Membalas kebaikan dengan kelembutan, akan tetapi menghadapi kejahatan dengan keadilan yang tentu saja harus didukung oleh kekuatan!”

“Nini, sungguh aku tidak mengerti. Bagaimana aku yang sejak muda selalu menghargai keindahan dan kelembutan, selalu mengutamakan pembangunan menjauhi pengrusakan, sekarang mempunyai anak yang hidupnya berlandaskan kekerasan?”

“Maafkan aku, ayah. Tetapi aku tidak hidup berlandaskan kekerasan, melainkan keadilan. Guruku menggemblengku untuk selalu membela kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang. Lebih baiik kita lihat saja perkembangannya nanti mengenai Ki Demang Wiroboyo, siapa yang lebih benar di antara pendapat kita,” ucap Muryani.

Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi selagi Parmadi memberi makan tujuh ekor kuda dalam kandang yang besar itu, muncullah Muryani. Gadis ini bertanya kepada penjaga gedung kademangan di mana adanya Parmadi dan sesudah diberi tahu bahwa Parmadi berada di kandang kuda, dia langsung memasuki bagian belakang gedung itu. Kandang kuda itu berada di sudut kebun belakang, terpisah agak jauh dari gedung.

“Kakang Parmadi!” Muryani memanggil ketika melihat pemuda itu sedang sibuk memberi makan kuda.

Parmadi menoleh dan dia terkejut sekali melihat munculnya Muryani di tempat itu. Betapa beraninya gadis itu! Gadis jelita seperti ia sengaja datang ke kademangan seperti seekor domba mendekati goa harimau! Akan tetapi dia langsung teringat bahwa Muryani sama sekali bukan domba melainkan seekor harimau betina! Betapa pun juga Parmadi merasa khawatir juga. Gadis itu seperti mencari perkara, mencari penyakit. Akan lebih tenteram rasa hatinya kalau gadis itu tidak pernah bertemu dengan Ki Demang Wiroboyo.

“Muryani! Kenapa andika datang tempat ini?”

Mendengar nada pertanyaan pemuda itu dan melihat sepasang alisnya berkerut, Muryani bertanya, “Kakang, apakah engkau tidak senang melihat aku datang mengunjungimu dan melihat pekerjaanmu?”

Ditanya begitu, Parmadi menjadi bingung. “Tentu... tentu...! Aku senang sekali, Muryani. Akan tetapi...”

“Kalau sudah senang ya sudah, tidak usah pakai akan tetapi segala. Wah, kuda-kuda ini bagus-bagus semua! Guruku juga mempunyai tiga ekor kuda yang sebagus ini dan aku sering menunggang kuda. Kami para murid Bromo Dadali sering berlomba menunggang kuda dan engkau tahu siapa pemenangnya? Aku selalu menjadi juaranya, kakang!”

“Ahh, benarkah, Muryani?” kata Parmadi sambil memandang ke kanan kiri karena hatinya khawatir kalau-kalau Ki Demang Wiroboyo muncul di situ.

“Agaknya engkau masih belum percaya padaku. Kau kira hanya kaum laki-laki saja yang pandai menunggang kuda? Lihat ini!” gadis itu mengambil pelana kuda yang tergantung di luar istal, memasangnya di atas punggung kuda dengan terampil menunjukkan bahwa dia memang sudah terbiasa dengan pekerjaan itu. Setelah mengikatkan pelana dengan baik, dia lalu berkata kepada Parmadi, “Aku ingin mencoba sebentar kuda ini, kakang. Kebun di sini cukup luas!”

Tanpa menanti jawaban Parmadi yang seperti orang tertegun, dara itu lalu melompat ke atas punggung kuda. Gerakan ini pun dilakukan dengan gesit sekali, tubuhnya seringan seekor dadali (burung walet). Memang, ilmu meringankan tubuh merupakan ilmu andalan dari perguruan Bromo Dadali.

Kuda yang dipilih Muryani itu adalah kuda terbaik milik Ki Demang Wiroboyo, warnanya hitam pekat dan diberi nama Nogo Langking (Naga Hitam). Begitu merasa punggungnya ditunggangi orang, Nogo Langking mengangkat kedua kaki depannya ke atas, meringkik seperti setan. Parmadi khawatir kalau-kalau gadis itu akan terlempar dari punggung kuda. Akan tetapi Muryani malah tertawa dan menyepak perut kuda.

Kuda itu melompat ke depan kemudian membalap dengan cepat sekali, dikendalikan oleh sepasang tangan yang amat mahir. Parmadi memandang kagum. Jangankan dia atau lain pembantu Ki Demang, bahkan Ki Demang sendiri yang terkenal tangkas berkuda, tidak akan mampu mengendalikan Nogo Langking yang terkenal liar itu seperti yang dilakukan Muryani.

Dia mengikuti larinya kuda dengan pandang matanya dan hanya menggelengkan kepala dan menghela napas panjang melihat betapa kuda itu dibalapkan terus keluar dari kebun menuju keluar halaman gedung. Apa yang dia khawatirkan, tak lama kemudian terjadi. Ki Demang datang berkunjung ke istal.

Dengan jantung berdebar tegang Parmadi pura-pura tidak tahu dan sibuk menambahkan makanan kuda. Ki Demang menjenguk setiap kandang, kemudian melihat kandang yang kosong di sebelah kiri.

“Parmadi!” dia menegur.

Parmadi cepat menoleh dan bersikap seperti orang terkejut. “Ah, kiranya Paman Demang. Selamat pagi, Paman.” Dia memberi salam sambil membungkuk.

“Parmadi, di mana Nogo Langking?!” tanya Ki Demang dengan suara membentak.

“No... Nogo Langking...? Dia... dia tadi makan rumput...” kata Parmadi dengan gagap.

“Jangan bohong engkau! Aku tadi mendengar ringkiknya dan derap kakinya! Karena itulah aku datang menjenguk ke sini. Siapa yang menunggangi Nogo Langking?”

Parmadi memberi hormat dengan membungkuk, lalu dia berkata, “Maafkan saya, paman Demang. Sebenarnya yang menunggangi adalah putera paman Ronggo Bangak. Tadinya sudah saya cegah, akan tetapi dia hanya ingin merasakan menunggang Nogo Langking yang amat dikaguminya.”

Ki Demang Wiroboyo memandang heran. “Putera Ki Ronggo Bangak? Sejak kapan dia mempunyai putera? Aku tidak pernah melihat dia beristeri atau berputera,”

“Benar, paman. Isteri paman Ronggo telah meninggal dunia dan ketika dia pindah ke sini, puteranya dititipkan kepada ibunya. Sekarang ibunya sudah meninggal dunia pula, maka dia mengajak puteranya tinggal bersamanya di sini.” Parmadi merasa lega melihat bahwa demang itu tidak tampak marah. “Sekali lagi harap paman suka memaafkan saya.”

“Sudahlah, biarkan saja kalau putera Ronggo Bangak yang menunggangi Nogo Langking. Aku percaya bahwa putera Ronggo tentu baik dan sopan seperti bapaknya.”

Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki kuda. Parmadi dan Ki Demang segera memutar tubuh memandang. Nogo Langkin datang berlari cepat sekali ditunggang Muryani. Gadis itu dengan tegak duduk di atas punggung kuda dan dengan cekatan menarik kendali lalu menghentikan larinya kuda di depan Parmadi dan Ki Demang. Debu mengepul tinggi dan Muryani tersenyum manis sekali sambil menahan kendali. Nogo Langking mengangkat kedua kaki depan ke atas dan dia meringkik.

“Nogo Langking ini hebat sekali, kakang Parmadi. Tubuhnya kuat dan larinya cepat. Aku suka sekali!” Dia lantas melompat dengan gerakan yang ringan sekali dari atas punggung kuda.

Parmadi cepat-cepat menuntun kuda itu dan memasukkannya ke istalnya Jantungnya berdebar keras penuh ketegangan.

Ki Demang Wiroboyo tercengang memandang kepada dara itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Matanya bersinar-sinar dan dia terpesona. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang gadis yang begini cantik jelita, ayu dan kenes luwes. Cantik jelita dan gagah perkasa ketika menunggang si Nogo Langking, seperti Woro Srikandi!

“Inikah... anak Ki Ronggo Bangak? Puterinya... ?” tanyanya kepada Parmadi yang masih sibuk melepaskan pelana dari punggung Nogo Langking.

“Benar, aku adalah Muryani, puteri Ki Ronggo Bangak. Engkau siapakah, paman?” tanya Muryani dengan suaranya yang merdu dan lantang. Sikapnya ramah namun juga lincah, sama sekali tidak malu-malu atau takut-takut seperti sikap para gadis yang pernah dilihat Ki Demang Wiroboyo.

Hati Ki Demang menjadi kagum dan juga girang sekali. Seketika itu dia sudah tergila-gila kepada gadis itu. Dia mengelus kumisnya yang sekepal sebelah dan tersenyum, merasa dirinya seperti Sang Gatutkaca. Dia bergaya, menggerak-gerakkan alisnya yang tebal dan menjilat bibirnya dulu sebelum menjawab dengan senyum ramah.

“Jeng Muryani puteri Ki Ronggo Bangak? Perkenalkan, aku adalah Ki Wiroboyo, Demang Pakis. Akulah pemilik kuda Nogo Langking itu.”

Muryani memandang pria itu dengan penuh perhatian. Jadi orang inikah yang dianggap berbahaya oleh Parmadi? Ia tersenyum lalu berkata kepada Ki Wiroboyo, “Kiranya paman yang menjadi demang di dukuh ini? Aku sudah mendengar dari ayah dan juga dari kakang Parmadi bahwa paman adalah seorang demang yang baik hati dan bijaksana!”

Ki Wiroboyo menyeringai, hidungnya kembang kempis karena bangga. Lalu dia tertawa. “Ha-ha-ha, diajeng Muryani, jangan sebut aku paman, sebut saja kakangmas. Kakangmas Wiroboyo begitu. Aku sendiri telah menganggap ayahmu sebagai paman. Paman Ronggo Bangak. Heh-heh-heh!”

Muryani memperlebar senyumnya.

“Kakangmas? Baiklah, kakangmas Wiroboyo, Andika seorang demang yang bijaksana dan baik. Akan tetapi aku mendengar berita di dukuh ini bahwa andika seorang yang mata keranjang, gila perempuan. Ahh, aku tidak percaya itu!”

Parmadi terbelalak. Betapa beraninya gadis itu! Dia menjadi khawatir sekali. Akan tetapi dia hanya mendengarkan, tidak berani mencampuri, menyibukkan diri dengan mengurus makanan Nogo Langking seolah-olah tidak memperhatikan mereka.

“Gila perempuan? Ha-ha-ha-ha! Diajeng Muryani, ketahuilah bahwa setiap orang laki-laki yang jantan dan gagah di seluruh jagad ini pasti menyukai empat hal dan aku juga begitu. Pertama curigo (keris), kedua wanito (wanita), ketiga turonggo (kuda), dan keempat kukilo (burung). Biar pun sekarang aku sudah memiliki tiga orang isteri, beberapa buah pusaka keris dan tombak yang ampuh, tujuh ekor kuda yang baik di antaranya Nogo Langking, dan belasan ekor burung perkutut yang suaranya kung, tetap saja aku akan selalu tertarik bila mana melihat keris ampuh, wanita cantik, kuda yang kuat dan burung yang suaranya merdu. Itu menunjukkan sifat kejantanan seorang pria!”

Meski pun hatinya merasa mendongkol mendengar ucapan itu, namun Muryani tidak ingin berdebat. Laki-laki di mana pun sama saja, pikirnya. Yang diutamakan hanya kesenangan dirinya. Wanita dianggap sejajar dengan keris, kuda dan burung, sebagai sebuah hiburan yang menyenangkan. Tetapi keadaannya pada waktu itu memang demikian dan pendapat Ki Demang Wiroboyo itu akan dibenarkan oleh semua laki-laki!

Ia pun mengalihkan percakapan. “Kakangmas Wiroboyo, kudamu Nogo Langking ini hebat sekali.”

“Andika suka, diajeng Muryani?”

Muryani memandang ke arah kuda hitam yang sedang makan itu dan mengangguk. “Aku suka sekali.”

“Bagus! Kalau begitu bawalah dia pulang. Kuberikan Nogo Langking kepadamu sebagai hadiah perkenalan kita ini!”

Parmadi terkejut mendengar ini dan tahulah dia bahwa seperti yang dia khawatirkan, Ki Demang sudah menyatakan bahwa dia jatuh cinta kepada Muryani sehingga begitu saja dia menghadiahkan kuda kesayangannya kepada gadis itu! Ketika dia melihat gadis itu memandangnya, Parmadi cepat-cepat menggeleng kepala memberi isyarat agar gadis itu jangan menerima pemberian itu.

Muryani tersenyum memandang kepada Ki Wiroboyo sehingga demang ini merasa betapa jantungnya berdebar-debar. Perawan ini kagum dan suka padaku, pikirnya girang. Pantas menjadi isteriku! Dia rela kehilangan dua orang isteri mudanya kalau digantikan oleh gadis ini.

“Kakangmas Wiroboyo, beginikah caramu memikat seorang gadis? Dengan pemberian benda-benda yang berharga?” kata Muryani dengan senyum mengejek.

“Ha-ha-ha-ha! Kalau aku jatuh cinta kepada seorang wanita, apa pun permintaannya akan kupenuhi. Semua harta bendaku pun akan kuserahkan kalau dia kehendaki! Bawalah si Nogo Langking, diajeng Muryani, dan kalau andika masih membutuhkan sesuatu, katakan kepadaku dan aku yang akan memenuhi kebutuhanmu!”

Muryani menegakkan leher dan membusungkan dadanya, sepasang matanya mencorong dansuaranya terdengar lantang. “Hei, Ki Wiroboyo, bukalah mata dan telingamu, pandang dan dengar baik-baik. Meski pun seluruh harta bendamu, bahkan sekalian nyawamu kau korbankan, masih belum cukup untuk memikat dan menundukkan hatiku. Terima kasih atas kebaikanmu!” Setelah berkata demikian Muryani memutar tubuhnya kemudian pergi meninggalkan tempat itu, terus keluar dari pekarangan dan menuju pulang.

Ki Wiroboyo berdiri bengong, tercengang melihat sikap dan mendengar ucapan gadis itu. Hampir dia tidak bisa percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya. Gadis itu demikian cantik jelitanya, begitu gagah perkasanya ketika menunggangi Nogo Langking, kemudian demikian keras dan beraninya ketika bicara kepadanya. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan perawan yang begitu cantik, begitu gagah, dan begitu beraninya!

Setelah dapat menenangkan hatinya kembali, Ki Wiroboyo menghela napas panjang dan memutar tubuh menghadapi Parmadi. “Perawan yang hebat sekali! Parmadi, gadis puteri Ki Ronggo Bangak itu hebat bukan main. Aku harus mendapatkannya. Dia harus segera menjadi istriku. Parmadi, engkau yang telah lama menjadi murid Ki Ronggo Bangak tentu banyak mengetahui tentang Muryani. Tentu dia belum mempunyai pasangan, bukan?”

Parmadi menggelengkan kepalanya. “Saya tidak tahu, paman.”

“Sudah berapa lama dia tinggal bersama Ki Ronggo Bangak?”

“Sudah kurang lebih satu bulan.”

“Heran, mengapa baru sekarang aku melihatnya? Parmadi, engkau harus membantuku agar Muryani dapat menjadi isteriku.”

Parmadi menatap wajah demang itu. “Bagaimana saya dapat membantu paman?'

“Engkau murid Ki Ronggo. Tentu engkau dekat dengan anak perempuannya. Bantulah aku membujuk gadis itu agar dia mau menjadi isteriku.”

“Saya tidak berani, paman. Muryani dan paman Ronggo akan marah sekali kepadaku dan menganggap saya lancang. Kenapa paman tidak langsung bertanya kepada mereka?”

Ki Wiroboyo mengelus kumisnya dan mengangguk-angguk. “Hemm, engkau benar. Ya, aku harus datang sendiri dan melamarnya kepada Ki Ronggo Bangak! Bagaimana pun juga Muryani harus menjadi isteriku.”

Ki Demang meninggalkan tempat itu dan Parmadi termenung dengan hati diliputi penuh kekhawatiran. Sekarang terjadilah apa yang dia takuti ketika pertama kali bertemu dengan Muryani.....

********************

“Selamat pagi, paman Ronggo Bangak!” Ki Wiroboyo memberi salam dengan sikap yang hormat sekali.

Ki Ronggo Bangak mengangkat muka dan terheran melihat bahwa yang memberi salam pagi itu adalah Ki Demang Wiroboyo. Anehnya, Ki Demang itu menyebutnya ‘paman’.

“Ahh, kiranya anakmas Demang Wiroboyo,” dia menjawab dengan menyesuaikan sebutan demang itu, maka dia pun menyebut ‘anakmas’. “Tumben anakmas datang berkunjung. Mari silakan masuk!”

Ki Demang Wirosobo memasuki ruangan pondok kayu itu dan dipersilakan duduk oleh Ki Ronggo Bangak.

“Maafkan kalau saya mengganggu kesibukan paman,” kata Ki Demang Wiroboyo sambil melihat sebuah ukiran patung yang belum jadi, yang agaknya tadi sedang dikerjakan oleh tuan rumah.

“Ahh, tidak sama sekali, anakmas. Nah, sekarang katakan, apa yang dapat saya lakukan untuk anakmas, maka sepagi ini anakmas telah datang berkunjung.”

Ucapan Ronggo Bangak ini hanya untuk basa-basi saja. Padahal dia sudah bisa menduga apa maksud kunjungan demang itu karena dia sudah mendengar dari Muryani mengenai pertemuan puterinya dengan Ki Demang.

“Saya datang untuk beranjang-sana, Paman. Sudah lama saya tidak bertemu dengan Paman dan kabarnya Paman baru saja pulang dari kepergian Paman ke pesisir utara selama satu bulan lebih.”

“Benar, anakmas. Saya pergi mengunjungi ibu saya dan tinggal di sana satu bulan lebih karena ibu saya meninggal dunia. Baru beberapa hari ini saya pulang.”

“Ahh, saya ikut berbela sungkawa paman.”

“Terima kasih, anakmas. Ibu saya sudah tua sekali dan berpenyakitan. Kematian bahkan membebaskannya dari penderitaan penyakit usia tua.”

Pada saat itu dari dalam muncul Muryani membawa baki berisi poci teh panas dan jagung rebus yang masih mengepul pula. Ketika bertemu pandang dengan Ki Demang Wiroboyo, gadis itu tersenyum manis dan sambil menaruh hidangan di atas meja, ia berkata dengan suara lembut,

“Silakan minum dan makan hidangan kami seadanya, Paman Demang.”

Alis Ki Wiroboyo berkerut mendengar gadis itu menyebutnya ‘Paman Demang’. Dia ingin disebut kakangmas, bukan paman!

“Ahh, diajeng Muryani, harap jangan repot-repot!” katanya, menekankan suaranya ketika menyebut ‘diajeng’. Akan tetapi Muryani sengaja berpura-pura tidak merasakan hal ini.

“Tidak repot, Paman. Hidangan ini sudah ada dan menjadi sarapan kami. Silakan, Paman, saya masih mempunyai kesibukan di belakang.”

Muryani lalu meninggalkan ruangan itu menuju ke belakang. Bagai tersedot besi sembrani mata Ki Wiroboyo terus mengikuti dan seperti hendak menelan sepasang buah pinggul yang bergerak lembut itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)